Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch. 43: Waktunya Berbaikan

Wordcount: 1.296 words

Saat kupikir dunia ini sudah cukup aneh dengan adanya orang-orang berkekuatan super sepertiku, ternyata masih ada kejutan lain yang tersimpan. Pertemuan dengan Lumi kemarin hari sukses menambah beban pikiranku.

Cewek itu berasal dari dunia paralel dan ingin kembali ke sana. Aku, Theo, dan Aiden yang terancam dengan keberadaan BPE diberi tawaran. Kami bisa ikut dengannya kalau kami mau membantunya dan orang-orang di dunia sana, yang pernah kami dengar suaranya lewat radio. Dan, rupanya radio tersebut merupakan alat komunikasi antardunia paralel yang Lumi gunakan.

Sekarang aku sedang berada di toilet, hendak muntah untuk kedua kalinya hari ini, padahal masih pagi. Pintu tidak kututup jaga-jaga kalau aku pingsan, terpeleset, atau ditimpa kesialan lainnya.

"Feli, kamu kenapa sih?" tanya Natha yang tengah mengintip di ambang pintu. Aku tidak tahu wajah seperti apa yang sedang dia tunjukkan karena sibuk menatap lantai sambil menahan mual.

Natha pun masuk dan berjongkok di sampingku. Dia mengusap punggungku dengan harap itu dapat membantu. "Kamu kalau stres jadi pengen muntah gini, ya? Adekmu yang bilang."

Aku mengangguk lemas sambil menyeka ujung bibir dengan punggung tangan. Kehadiran Natha di sampingku membuatku ingin menangis dan meluapkan segalanya. Aku tidak mengerti kenapa begitu. Tahu-tahu aku sudah mulai sesenggukan.

"Duh, jangan nangis di WC gini. Sini, sini." Natha membantuku berdiri, kemudian kami naik ke lantai dua dan masuk ke kamar. Tidak ada siapa-siapa selain kami. Hana sedang keluar dengan si cowok bernama Rylo, sedangkan Nia entah sedang apa di rumah yang dekat danau.

Kami duduk di kasur masing-masing menghadap satu sama lain. Aku masih sibuk sesenggukan sambil mengelap air mata saat Natha berkata, "Kalau mau curhat bakal aku dengerin, kok. Jangan dipendam mulu. Udah mau empat hari kamu keliatan kayak lagi banyak pikiran gini."

"Ha---habisnya ... dari hari itu, semuanya jadi tambah rumit," jawabku yang masih sesenggukan. "Aku nggak tahu harus gimana ...."

"Ini soal tawaran dari cewek nama Lumi itu?" tanya Natha yang kubalas dengan anggukan pelan. "Kamu udah bicara lagi sama Aiden?" Aku menggeleng.

Natha menghela napas panjang terus mengembuskannya sambil bertopang dagu. "Masalahnya di situ, Fel. Ini udah masuk hari keempat kalian diem-dieman, loh. Kalau gitu terus, masalahnya nggak bakal selesai."

Aku memeluk lutut dan membenamkan wajahku di atasnya. "Tadinya aku pikir dia butuh waktu ... kayak Julian."

"Tapi Aiden bukan Julian," kata Natha, lantas merebahkan dirinya di kasur. "Kan, kalau masalah kalian berdua udah clear, kalian bisa bahas soal tawaran itu. Terus nanti ambil keputusan bareng. Selesai, deh."

"Sesimpel itu," gumamku.

"Iya, sesimpel itu."

***

Menyiapkan diri untuk menyelesaikan masalah dengan seseorang butuh waktu yang cukup lama bagiku. Hari sudah sore dan jantung dalam rongga masih berdebar cemas ketika membayangkan hal itu.

Aku mengambil cermin kecil dari atas meja guna memeriksa kondisi mata. Sudah tidak begitu sembab. Kurapikan rambutku sedikit sebelum mengembalikan cermin tersebut pada tempatnya. Sambil melangkah keluar kamar, aku berulang kali merapal mantra untuk menenangkan diri.

Masalah harus diselesaikan. Aku harus berani menghadapinya.

Usai makan siang tadi, Aiden memang naik ke lantai dua. Namun, saat aku mengecek kamar para cowok, tidak ada siapa-siapa di sana. Mungkin dia pergi cari angin ke luar saat aku sibuk bergelut dengan pikiranku sendiri di kamar.

Turun ke lantai bawah, aku mendapati seorang anak cowok di dapur. Itu si anak baru yang dibawa Hana, Rylo, dan Sera. Gerakan kami sama-sama tercekat kala bertemu pandang.

Aku segera menyadarkan diri, lalu lanjut menuruni tangga sambil bertanya, "Erik, kau ada ngeliat Aiden pergi ke mana?"

"Oh, yang pendek itu, ya. Kayaknya nyantai di bawah pohon beringin," jawab Erik. Dia sedang menuangkan makanan ringan ke dalam mangkuk.

"Oke, makasih." Segera aku pergi ke luar, melewati pekarangan, dan menaiki bukit. Kupelankan langkahku begitu sosok Aiden terlihat sedang merebah di atas rumput.

Bukan maksudku mengendap-endap, tetapi aku terperanjat ketika anak itu menyadari keberadaanku. "E-eh, hai ...." Menolak berinteraksi dengannya selama empat hari terbukti membuatku gugup dan canggung.

Aiden bangun dari rebah terus duduk bersila, baru membalas sapaanku dengan tampang heran. "Ada apaan?" dia bertanya dengan kepala ditelengkan sedikit.

Seketika kakiku seolah-olah terpaku di tempat. "Anu ... aku mau bicara. Soal yang waktu itu di unit pemulihan."

"Ya?"

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum memalingkan wajah seraya mengembuskannya. "Sori, udah marah-marah terus diemin kamu sampai empat hari."

Lengang sejenak. Embusan angin membuat rambutku jadi berantakan. Buru-buru aku mengucirnya asal-asalan. Saat selesai, kudengar Aiden berkata, "Nggak apa-apa, kok."

"Eh?" Aku menoleh padanya dengan kedua tangan membeku di belakang kepala.

Aiden mengangguk, kemudian kembali merebahkan tubuhnya. "Kalau kamu mau cerita kenapa sampai marah, boleh."

Sontak aku mengernyit. Dari kalimat barusan, dia tidak kedengaran seperti seorang Aiden. Aneh, tetapi segera kutepis pikiran itu, lantas duduk di dekatnya. Dia sudah menawarkan, jadi kenapa tidak.

Aku duduk di samping kanannya, bertumpu pada kedua kaki yang terlipat. Pandanganku jatuh pada Nia yang sedang bermain dengan Theo dan anak-anak lainnya di dekat rumah pohon. Kelihatannya mereka sedang bersenang-senang.

Sebelum mulai bicara, aku melirik Aiden di samping. Matanya terpejam. Lucu seka---ah, tidak! Feli, fokus!

Kualihkan pandangan pada rerumputan di sekitar kakiku yang beralaskan sendal. "Aku kesel ... karena kamu bilang mau 'nyerah'. Mungkin karena waktu itu aku kecapekan juga, makanya jadi marah-marah nggak jelas."

Aiden hanya membalas dengan gumam singkat. Kupikir dia ingin mengatakan sesuatu, jadi aku ikut diam. Setelah hampir satu menit berlalu, aku hendak mengatakan sesuatu. Namun, Aiden lebih dulu berkata, "Kayaknya aku emang salah ngomong waktu itu."

"Salah ngomong?"

"Iya," jawab Aiden, lalu membuka mata. Dia menatapku lekat. "Maksudku, aku udah nggak mau balas dendam lagi."

"Hah?" Aku melongo. Apa aku tidak salah dengar?

Selama kira-kira lima detik Aiden menatapku dengan tatapan polos, kemudian senyumnya mengembang disertai tawa yang tertahan. "Reaksimu lucu."

Pipiku memanas. Pasti sudah kelihatan merah seperti tomat. Cepat-cepat aku memalingkan wajah terus berkata, "Habisnya, mana mungkin dendam bisa hilang secepat itu. T-tapi bagus, sih. Kita jadi nggak perlu ngelakuin sesuatu yang gila kayak kemarin-kemarin."

Ada jeda sebentar sebelum Aiden berujar, "Sebenarnya aku masih dendam. Cuma ... aku kepikiran, mungkin bisa kubalas tanpa ngehancurin markas mereka." Dia mengembuskan napas gusar. Alisnya tertekuk dan salah satu sudut bibirnya terangkat. "Lagian, itu delusional banget."

Delusional, ya. Kalau ditanya setuju atau tidak dengan pernyataan itu, aku setuju. Orang-orang dewasa saja tidak mungkin bisa menjatuhkan organisasi itu, apalagi kami. Walau punya kekuatan super, kami masihlah anak-anak.

"Ngomong-ngomong, Fel," ujar Aiden. Pandangannya bergulir menemui mataku. "Kemarin kalian ke mana? Kamu, Marlo, sama Nia."

"Oh, kemarin." Perutku melilit untuk sesaat ketika aku mengingat perihal Lumi dan tawarannya. Kutenangkan diriku terlebih dahulu, kemudian menjawab, "Kami pergi ke vila buat ketemu Lumi. Kamu masih inget dia?"

Aku melirik cowok yang merebah di sampingku. Tatapannya hampir membuatku terkena serangan jantung. "A-apa?" Pipi dan telingaku kembali memanas.

Aiden mengalihkan pandangan, lantas menjawab, "Nggak apa-apa." Sekilas dapat kulihat pipinya sedikit merona. "Kalian ngomongin apa sama Lumi?"

Senyum tipis terlukis pada wajahku dan aku tidak tahu kenapa. Ikut merebah di atas rumput, aku meregangkan tubuh yang sedikit kaku. "Kamu nggak bakal percaya."

"Ceritain dulu."

Aku pun menceritakan padanya segala yang Lumi ceritakan kemarin hari. Harusnya ini menjadi pembahasan berat yang bisa membuat perutku melilit. Namun, entah mengapa, rasanya enteng sekali. Sesekali aku tertawa karena tanggapan Aiden yang menggelitik perut.

Untunglah kami bisa berbaikan tanpa banyak drama. Tidak berinteraksi dengannya selama kurang lebih empat hari terasa seperti satu tahun. Kalau diingatkan soal Aiden yang awalnya hanya ingin memanfaatkanku, kedengarannya seperti mimpi buruk saja. Meski merasa demikian, tetap ada yang mengganjal dalam dada.

"Hei, Aiden," panggilku, masih setia menatap langit biru.

"Kenapa?"

"Waktu pertama kali ketemu, kamu cuma mau manfaatin echros aku, kan?" Aku mengambil kesempatan untuk mengatur napas saat dia mengiakan pertanyaan tersebut. "Terus, sekarang gimana?"

Hening. Satu menit telah berlalu, barangkali lebih. Jawaban tak kunjung keluar dari mulutnya sampai-sampai aku hampir tertidur. Lalu, saat mataku sudah tertutup, Aiden menjawab, "Nggak gitu lagi, kok."

Dasar. Aku kira jawabannya akan lebih mengejutkan lagi. Namun, tidak apa. Begitu saja sudah membuat hatiku berbunga-bunga. Dapat kuartikan bahwa aku bukan lagi orang asing baginya.

.

A R C  4
Berdamai

.

.

Telah dimulai

Clou's corner:
Kita harus tau kapan kita mesti mundur, kan? Kalau tujuan itu bener-bener mustahil, lebih baik jangan maksain diri.

Yaaaaa! Hari itu aku bilang bakal mulai arc 4 minggu depan, tapi chapter ini udah keketik banyak. Tinggal ditambahin dikit terus revisi minor sebelum publish, udah deh yeeeey!

Targetku namatin lapak ini bulan depan. Semoga tercapai hehe

Aaaaaaaa btw hari ini Black Clover vol 24 terbit di indo! Gak sabar buat beli!!!

19-06-2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro