Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch. 42: Janji Temu di Vila

Wordcount: 1.686 words

Cewek bodoh ini perlu tempat untuk mencurahkan isi hatinya. Saat aku sedang menyendiri, tidak tahu harus bercerita pada siapa, seorang cowok yang bisa membaca pikiran muncul. Tanpa menyapa terlebih dahulu, dia langsung duduk di sampingku.

Kami duduk di atas papan yang menjorok ke danau, kira-kira sepanjang empat sampai lima meter. Ada jarak yang bisa ditempati satu orang lagi di antara kami.

"Mau cerita?" tanya Marlo.

Refleks aku mencebik. "Yang ngintip tadi itu kamu, kan?"

Marlo cengar-cengir, mengalihkan pandangan sambil mengelus tengkuk. "Ya ... kebetulan tadi aku lagi di ruang tengah bareng Kak Will sama Pak Ito."

"Pas aku teriak tadi, kedengeran sampe sana?"

Cowok di sampingku mengangguk, lantas memperagakan gerak mencubit. "Dikit."

Sejenak aku termenung. Kedua kakiku ujungnya tercelup ke dalam danau, berayun-ayun pelan membuat air beriak. Refleksi kami di permukaannya jadi terlihat aneh.

Marlo sudah sering menjadi tempatku untuk bercerita, tetapi kadang aku masih merasa tidak enak. Soalnya aku ini merepotkan, apalagi kalau topiknya tentang seseorang.

"Nggak ngerepotin, kok. Emangnya Aiden kenapa?" tanya Marlo yang lagi-lagi membaca pikiranku. Setelah cukup lama berteman dengannya, aku mulai terbiasa sampai tidak begitu sering memedulikan hal itu.

Aku menghela napas dan mengembuskannya dengan gusar. Masih mengayun-ayunkan kaki, aku menelengkan kepala sambil memperhatikan riak air. "Katanya dia mau nyerah aja."

Marlo menoleh. Sebelah alisnya terangkat. "Soal balas dendam sama BPE?" Aku mengangguk, lalu dia melanjutkan, "Bukannya itu bagus? Bergerak karena didorong dendam itu nggak bagus."

Aku hendak menjawab dengan segera; mulutku sudah terbuka. Namun, kukatupkan lagi dan mengambil jeda sebentar. Satu menit berlalu barulah aku menyahut, "Iya. Aku sendiri nggak ngerti kenapa aku marah."

Embusan angin hangat menerpa, membuat rambutku menari-nari di udara, mengeringkannya. Di sampingku, Marlo melepas sendalnya, ikut mencelupkan ujung kaki ke dalam air danau.

"Mungkin kamu marah karena dia bilang dia 'nyerah'," ujar Marlo.

Mendengar kata itu, rasa kesal kembali berkobar. "Habisnya, kita udah sejauh ini terus dia bilang mau nyerah. Aku nggak pernah mikir dia bakal nyerah karna dikalahin beberapa kali sama musuh. Kalah itu kan wajar, bukan berarti kita harus nyerah."

Aku menendang air danau yang tak bersalah sambil berseru, "Sebel! Memangnya mau apa kalau nyerah!?" Cipratan air tak dapat mendinginkan hati. Rasanya ingin bercebur saja, siapa tahu bisa langsung dingin. Akan tetapi, tatapan Marlo langsung membuatku mengurungkan niat.

"Kalau dia nyerah, berarti kita bubar? Dia mau ke mana? Kalian mau ke mana? Aku harus ke mana?" Kutarik rambutku yang menggantung di sisi wajah saking frustrasinya. "Tujuan Natha dan yang lainnya itu ngelawan BPE. Kalau maksud dia nyerah itu dia nggak mau ngelawan lagi, berarti dia nggak bakal tinggal di sini. Aku---"

"Fel," panggil Marlo, sepenuhnya menarik atensiku. Wajahnya yang sedikit mengerut dan tatapannya yang sulit kuartikan membuat napasku tertahan untuk sesaat. Dia tersenyum, tetapi senyum itu kelihatan menyesakkan.

Masih mengunci kontak mata denganku, Marlo pun berkata, "Percaya, deh. Dia nggak bakal pergi selama kamu masih ada di sini." Ekspresinya terlihat masam.

Pada saat itulah aku tersadar akan satu hal yang membuatku cepat-cepat membuang muka ke sisi lain. Kuharap bagian tertentu dari pemikiran ini tidak bocor padanya karena aku tahu, Marlo tidak akan dengan sengaja membaca pikiranku di saat seperti ini.

Walau demikian, aku harusnya aku memikirkan hal lain saja, seperti apa yang terjadi padaku kemarin hari. Mulai kuingat-ingat rentetan kejadian sejak kami berangkat ke tujuan masing-masing. Selain soal echros-ku yang sebagian besar belum kumengerti, harusnya ada satu hal penting lain.

"Ah, itu!" aku berseru seraya menggebrak papan kayu yang kami duduki. Sontak aku menoleh pada Marlo, mendapatinya sedikit terkejut. "Kemarin aku ketemu Lumi, yang waktu itu sekelas sama kita. Kamu inget?"

Dengan alis tertekuk, Marlo mengangguk kaku. "Iya, aku inget dia."

Itu lampu hijau. "Jadi, kemarin aku ketemu dia habis nyuruh Kak Will sama yang lain masuk ke sini. Dia ngingetin aku soal radio yang kita temuin waktu itu, terus nyuruh aku ke vila buat ketemu dia dua hari lagi, lusa."

"Oke ...." Marlo menatapku aneh. "Kok dia bisa ada di sana? Sama ... kok bisa dia tahu soal vila ortu Julian, sama radio aneh yang waktu itu?"

Aku terdiam, baru menyadari segala kejanggalan tentang Lumi. Bisa-bisanya aku tidak menyadarinya lebih awal. "Dia juga bilang Aiden butuh bantuan, dan Aiden beneran ...."

"Dia nyuruh kamu datang sendiri?" Marlo bertanya dengan raut serius.

Aku menggelengkan kepala. "Nggak, dia nyaranin buat datang bareng Nia atau Julian. Aku sempet nanya kenapa, tapi cuma dibilang bakal dia jelasin pas ketemuan lagi."

Kami larut dalam diam. Hanya bising anak-anak bermain di pekarangan rumah utama yang mengisi sunyi. Suara Tia yang paling keras, menenggelamkan suara anak-anak lain yang dasarnya pendiam dan pemalu.

Setelah berpikir agak lama, baru Marlo bersuara lagi. "Kamu mau pergi?"

"Iya, soalnya aku penasaran soal radio itu."

"Aku juga, sih." Marlo termenung. Dia beringsut mundur, menarik kakinya naik ke atas papan. "Gimana kalau kamu pergi bareng aku sama Nia?"

Aku sendiri masih asyik bermain air. "Boleh. Nanti aku yang bilang ke Nia sama izin ke Natha atau Riel."

Kurasa kami berdua tahu kalau mengajak Julian bukanlah ide yang bagus, setidaknya untuk satu minggu ke depan. Alangkah baiknya untuk tidak mengganggu cowok itu sebelum dia selesai menjinakkan bom dalam dirinya yang bisa meledak jika disenggol sedikit saja.

***

Dua hari berlalu dengan cepat. Sejak hari itu, suasana berangsur ramai dan hangat, meski ada dua orang yang masih saja kelihatan suram.

Aku, Marlo, dan Nia berangkat pagi-pagi setelah sarapan. Hanya Natha dan Riel yang tahu ke mana kami pergi. Sebisa mungkin kami menghindari percakapan dengan yang lainnya sebelum berangkat.

Natha membukakan jalan ke lokasi yang paling dekat dengan tujuan: gubuk tempat kami pernah bermalam waktu pergi dari vila.

"Gubuk ini memang nggak ada yang punya, ya," ujar Nia menggunakan telepati. Lagi, aku sudah terbiasa dengan ini.

"Ada, deh. Kerawat gini tempatnya," balasku. Kalau benar sudah ditelantarkan, rumput-rumput di sekitar pasti sudah tumbuh tinggi. "Mungkin orangnya lagi sibuk aja, makanya belum sempat kemari."

Perkataanku mengakhiri percakapan singkat itu. Kami pun lanjut berjalan dengan santai menuju vila. Yah, dikata santai kurang tepat karena aslinya kami bersiaga. Hanya saja, jalan kami tidak tergesa-gesa seperti malam itu.

Kali ini, pada pagi hari yang cerah, kami menyempatkan diri untuk menikmati keindahan alam sekitar. Pepohonan tumbuh subur dan rindang. Sinar mentari pagi menembus celah-celahnya, mengantarkan kehangatan ke antara pepohonan yang begitu sunyi dan damai.

Perjalanan singkat ini rupanya lebih lancar dari yang kuduga. Tidak ada gangguan yang muncul, sekecil apa pun itu. Kami bertiga tiba di vila sebelum matahari mencapai puncak.

"Kayak rumah angker, ya," celetukku.

Nia cengar-cengir, sadar betul bahwa vila orang tua Julian berakhir dalam kondisi seperti ini karena ulahnya. Yah, ini bukan sepenuhnya salah Nia. Kami tahu, waktu itu dia dikendalikan oleh Eccentric lain yang menjadi aset BPE.

"Dia ada di dalam," kata Marlo. Dia yang lebih dulu masuk melalui bingkai kayu yang pintunya entah sudah hilang ke mana.

Aku dan Nia cepat-cepat menyusul dengan langkah pendek. Setibanya kami bertiga di ruang santai, seorang cewek menyambut kami dengan tatapan teduh yang begitu khas.

Lumi menatap kami satu per satu, mengecek siapa saja yang datang, lalu dia berkata, "Julian masih marah, ya." Cewek itu duduk sendiri di atas sofa berdebu. Sebuah radio yang tampak tak asing berada di pangkuannya. Dia mengerling pada sofa lain di seberangnya. Itu isyarat agar kami duduk.

Sudah kusadari dari kali pertama bertemu kalau cewek ini sungguh hemat dalam berkata-kata. Aku tidak akan kaget kalau sebenarnya dia punya batasan untuk berapa kata yang bisa dia ucapkan per hari.

Begitu kami bertiga duduk, Lumi berdeham. "Pertama, aku ingin bilang kalau aku dan Erna udah lama bekerja sama. Kedua, kami sama sekali nggak ada niat buruk sama kalian, justru sebaliknya. Kuharap aku bisa mendapat kepercayaan kalian dengan itu."

Aku menelan saliva. Ragu-ragu kulirik Marlo yang sedang terfokus pada Lumi. Raut wajahnya tertekuk, campuran ekspresi kesulitan dan tidak percaya.

Cukup lama Lumi bertukar pandang dengan Marlo sebelum dia beralih menatapku. "Harusnya, dari kejadian hari itu, kamu udah tahu kalau kamu dan adikmu termasuk kode SS. Itu kode yang dikasih BPE ke Eccentric yang menurut mereka harus mereka dapatkan."

"Ya ... aku mendengarnya dua kali," balasku. Tia juga diberi kode itu. Ini pasti berkaitan dengan echros yang kami miliki.

Selanjutnya, Lumi mulai menjelaskan perihal sistem kode yang dibuat BPE. Selain kode SS, ada juga kode 03 sampai kode 00. Semakin kecil kodenya, maka semakin berbahaya tandanya. Bahaya yang dimaksud adalah dalam artian mengancam ketenteraman masyarakat dan keberadaan BPE sendiri.

"Aiden diberi kode 01 yang artinya 'berbahaya'," ujar Lumi. Cewek itu memindahkan radio dari pangkuan ke samping agar bisa memangku kaki. "Echros-nya kuat dan punya potensi, tapi dia nggak bisa direkrut karena alasan yang udah kalian tahu. Kalau dia macam-macam lagi, bisa jadi dia langsung diberi kode 00 yang berarti 'musnahkan'."

Mataku spontan membelalak. "A-apa maksudnya? Musnahkan? Maksudnya dibu---" Aku membekap mulutku sendiri, tidak ingin menyelesaikan kalimat itu.

"Iya." Lumi mengangguk. "Kalau kalian nggak mau itu terjadi, kalian bisa menyerahkan diri. Tapi---"

"Nggak. Kami nggak bakal menyerahkan diri," potongku sambil meremas pinggiran sofa tempatku duduk. Aku pun mengangkat kepala, kembali menatapnya. "Jadi, selama ini kamu sama Erna ada kerja sama dengan BPE?"

Lumi mengembuskan napas gusar seraya memiringkan kepala ke samping kanan. "Ya, tapi kayak yang aku bilang, kami nggak ada niat buruk. Kami juga nggak mau kalian bergabung sama BPE yang lebih banyak busuk daripada baiknya."

Tatapan cewek itu tertuju pada Nia dan Marlo barang sebentar. "Tanya aja ke Nia yang bekerja sama dengan kami dari awal. Atau ke Marlo yang dari tadi sibuk menggali isi pikiranku."

Aku menoleh pada dua orang yang namanya disebut. Mereka menghindari kontak mata denganku. Frustrasi memuncak. Hampir saja aku berteriak kalau Nia tidak menarik ujung lengan kausku. "Nanti Nia jelaskan," katanya.

"Baiklah. Sekarang kita bisa masuk ke intinya." Lumi menurunkan kakinya, lalu mengambil radio yang tadi dia letakkan di samping. "Aku punya tawaran lain buat kalian. Tawaran yang bisa bikin kalian lepas dari kejaran BPE."

"Itu gila, Mi," ujar Marlo yang sepertinya sudah selesai menggali isi pikiran cewek itu. Dia kemudian memejamkan mata sejenak sambil memegangi sisi kanan kepalanya. "Pergi ke dunia paralel lewat Pulau Nomaden? Ide gila dari mana lagi itu?"

"Dunia paralel?" celetukku. Bergantian kutatap mereka berdua, berharap akan diberi jawaban.

Masih dengan tatapan teduh dan bibir datar, Lumi menjawab, "Tempatku berasal dan tempat orang-orang yang kalian dengar lewat radio ini berada."

.

.


A R C  3
Pemberontak
Wordcount: 18.954 words

.

.

Selesai sampai di sini

.

17-06-2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro