Ch. 40: Nyaris Kehilangan (Lagi)
Wordcount: 1.388 words
Beberapa saat yang lalu, aku memang berpikir kalau tempat persembunyian sedang ramai. Namun, aku tidak menyangka akan seramai ini. Di rumah utama, selain para pendatang baru dan mereka yang tugasnya berjaga, ada Natha dan Rylo. Tatapan mereka semuanya tertuju padaku yang baru masuk dengan tergesa-gesa.
"Feli? Ada apa?" tanya Natha.
Aku menggeleng sementara berusaha mengatur napas. Untuk sesaat seperti ada yang tersangkut di kerongkongan. Setelah merasa lebih baik, kakiku kembali melangkah mendekati Theo yang balas menghampiri.
"Nia nyuruh aku bicara sama kamu. Ada apa?" tanyaku cemas sampai tidak sadar sudah memegang erat kedua bahunya.
Theo tampak enggan menyampaikan apa yang sudah tergantung di ujung lidah. "Itu, si anu ...."
"Siapa?" Riel bertanya-tanya, mengundang rasa penasaran dari yang lain. Kini perhatian seluruhnya terfokus pada Theo.
Barangkali merasa malu atau tertekan, Theo menarik dirinya dariku. Dia melempar pandangannya ke lantai terus berkata, "Aiden dalam bahaya."
Aku, Natha, dan Riel terperanjat kaget sampai bergeming untuk sesaat. Marlo kelihatannya sudah tahu karena bisa menbaca pikiran Theo, sedangkan para pendatang baru terlihat bingung dan cemas.
"Kenapa---" Riel memotong ucapannya sendiri. Dengan nada yang lebih rendah, dia mengulang, "Kenapa kamu nggak bilang dari tadi? Biar aku sama Natha bisa langsung berangkat."
"Karena harus pergi sama Kakak. Kak Marlo juga. Kalau nggak berempat, nggak bakal bisa," jawab Theo pelan.
Dari wajahnya, aku bisa tahu kalau Riel punya banyak pertanyaan yang ingin dia ajukan. Akan tetapi, ini bukan waktunya untuk sesi tanya-jawab.
"Kalau gitu, ayo cepetan kita pergi! Aset-aset BPE itu kuat bukan main," aku menyela sebelum percakapan diperpanjang.
Marlo mengangguk setuju. "Ayo. Kalau sudah begini, berarti keadaannya darurat."
Setelah aku dan Marlo bersuara, tak ada lagi yang ingin menunda-nunda. Para pendatang baru juga tidak ada yang menyela, seperti paham betul kalau ini adalah situasi genting. Aku bersama dengan Marlo, Natha, dan Riel bergegas keluar dan naik ke bukit. Di hadapan pohon beringin, kami berhenti sejenak. Natha dan Riel sebagai dua orang yang tahu lokasi Aiden dan anak yang satu lagi saling tatap.
"Kenapa? Ada masalah?" tanyaku cemas.
Natha menggeleng pelan. Melangkah mendekati batang pohon beringin tersebut, dia menaruh telapak tangannya di sana. "Aku cuma nyoba buat inget-inget kalau ada jalan rahasia yang lebih dekat dengan tujuan Aiden atau nggak. Tapi ternyata nggak ada." Natha mengembuskan napas gusar.
Sekali lagi aku melontarkan pertanyaan. "Jaraknya ke tujuan mereka ... jauh?"
"Iya," jawab Riel, "tapi semoga aja mereka belum sampai atau udah mau balik pas kena masalah."
Penuh harap-harap cemas kami melangkah ke dunia luar. Ini lebih mendebarkan daripada yang tadi. Perutku sampai melilit, padahal aku tidak sedang ingin ke toilet. Aku juga sudah terbiasa menggunakan jalan rahasia macam ini.
Jalan yang ini terhubung dengan sebuah gubuk di taman yang tak terurus, letaknya di tepi jalan kecil. Lagi-lagi kami harus berkeliaran di tengah hutan.
"Ke arah sana," ujar Natha, menunjuk ke arah barat. Dia lalu mulai berjalan. "Ayo, cepat. Tapi jangan lari."
"Katanya harus cepat," protesku. Kegelisahan ini makin menjadi. Aku merasa bisa meledak sekarang juga kalau disenggol.
Riel menyusul Natha, ikut berjalan cepat. "Kalau lari, nanti kita keburu capek sebelum ketemu Aiden atau musuh." Cowok itu menjeling sebentar. "Aku tahu kamu khawatir, tapi coba buat tenang sedikit."
Tepat sasaran. Dadaku seperti ditusuk jarum raksasa dan perutku semakin melilit. Aku hendak mengikuti mereka saat Marlo meletakkan tangannya di atas pundakku.
"Tenang aja. Kita bakal sampai tepat waktu," ujar Marlo terus menurunkan tangannya. "Kamu percaya sama adikmu, kan? Sama penglihatannya."
Dengan kepala tertunduk, aku membalas, "Iya. Aku percaya."
Karena sudah tertinggal lumayan jauh, aku dan Marlo harus berlari untuk mengejar Natha dan Riel. Tidak ada dari mereka berdua yang menegur ketika kami akhirnya berhasil menyusul.
***
Andai ini bukan keadaan genting, aku sudah mengibarkan bendera putih dari lima menit yang lalu saat kami keluar dari jalan beraspal. Sepasang kaki ini sudah lemas seperti mie, membuat laju jalanku melambat.
Lari, lari, dan lari. Berapa kali lagi aku harus terantuk batu atau nyaris hilang keseimbangan? Aku sudah lelah. Aku sudah muak.
"Ada orang di sana."
"Itu mereka!"
Untuk sesaat aku seperti orang linglung. Penglihatanku tidak secerah biasanya karena penat menggerogoti. Memang ada orang di depan sana, masih jauh, tetapi aku tidak bisa mengenali mereka. Walau demikian, aku turut memacu lariku.
"Feli!" seru Marlo seraya menyambar tanganku. Pandanganku seketika jelas dibuatnya. Dia lalu menarikku ke depan. "Cepat samperin Aiden!"
Melihat kondisi Aiden di depan, juga berkat dorongan dari Marlo, aku masih bisa menambah kecepatan. Lemas, nyeri, sesak, semua itu kulawan.
Aiden sedang bertumpu pada sebuah pohon dengan badan penuh luka. Di sebelahnya ada Feo yang sedang menahan serangan musuh dengan lapisan pelindung buatannya.
Si musuh adalah seorang cowok pengendali besi. Begitu dia menyadari keberadaan kami, atensinya berpindah pada Natha dan Riel yang paling dekat. Serangannya terhenti untuk sesaat. Feo yang sudah kewalahan pun berhenti memasang lapisan pelindung.
Aku pikir itu adalah kesempatan bagus. Ternyata pengendali besi itu licik. Dia tidak mengganti target, hanya mengecoh. Saat aku lengah, dia menyengir ke arahku, lalu kembali membidik Aiden.
"Jangan!" teriakku spontan, susah payah mempercepat lari.
Tinggal dua langkah lagi, aku malah tersandung dan terjungkal ke depan. Di antara Aiden dan Feo aku tersungkur. Seakan-akan berada dalam mode autopilot, aku mengangkat kepala terus menggebrak permukaan tanah. Kubah transparan dengan cahaya kuning keemasan muncul melingkupi kami.
Mendadak bulu kudukku meremang seolah-olah ada yang mengguyurku dengan seember air es. Terbata-bata aku menoleh ke samping. Badai bilah pisau yang harusnya mengenai kami tahu-tahu sudah menghujam tanah di sekitar kubah buatanku.
"H-hah?" Si pengendali besi mematung, tampak syok sekaligus kagum.
Rupanya tidak hanya dia yang bergeming. Aku tidak tahu kalau echros-ku yang menyebabkan ini atau mereka hanya syok. Beberapa detik kemudian, semuanya kembali sadar.
Cowok pengendali besi itu tidak lagi membidik kami karena Natha dan Riel mulai bergerak. Bilah-bilah pisau dialihkannya untuk menyerang mereka, tetapi materielnya berubah menjadi kain tepat saat Natha merentangkan tangan ke depan.
Marlo bergabung dengan kami di dalam kubah buatanku.. "Kita harus pergi sekarang." Dia kemudian menginstruksikan Feo untuk membantu Aiden naik ke punggungnya.
Mataku mulai berkunang-kunang. Karena merasa sudah aman, aku melepas echros-ku. Kubah berkilau luruh dengan cepat. Feo yang sudah selesai membantu Aiden berpindah ke sampingku. Dia membantuku berdiri, padahal kami sama-sama lemas.
Aku sempat melihat apa yang terjadi pada si musuh. Dinding batu muncul dari tanah, mengurungnya. Selain itu, aku tidak tahu lagi. Feo sudah menuntunku menjauh. Jalan kami terseok-seok di belakang Aiden dan Marlo.
Butuh niat yang teramat kuat agar tidak pingsan karena kelelahan. Sayangnya, niatku tidak cukup kuat. Pandanganku berubah hitam pekat begitu kami mencapai jalan kecil beraspal.
***
Ketika sadar, aku tidak berada di atas jalan beraspal ataupun tanah berkerikil di tengah hutan. Ternyata pertarungan tadi selesai dengan cepat dan Riel masih punya tenaga untuk menggendongku kembali ke tempat persembunyian. Namun, aku tidak mengenali ruangan ini.
Setahuku tidak ada ruangan seluas ini di lantai dua. Di satu kamar paling banyak hanya punya empat kasur. Itu juga karena Riel memindahkan satu kasur dari kamarnya ke kamar teman-temanku yang cowok. Ruangan ini punya lima kasur yang tiga darinya terisi.
Aku ditempatkan di kasur yang tengah. Perlahan aku bangun dan beringsut mundur, menarik sepasang kakiku yang begitu nyeri. Saat punggungku bersentuhan dengan dinding, akhirnya aku bisa menarik bernapas dengan lega.
Di kasur sebelah kanan ada Aiden dan yang di sebelah kiri ada Julian. Entah mereka berdua sedang tidur atau masih pingsan. Satu menit lebih mengamati, terheran-heran diriku ketika tidak melihat luka apa pun pada mereka. Lalu, aku beralih mengecek keadaanku sendiri.
"Kok ...," ucapku lirih, membalik-balikkan kedua lenganku yang tidak begitu keram. Harusnya ada banyak bekas luka dan luka lecet baru yang kudapat saat menolong Aiden dan Feo, tetapi kudapati tanganku dalam keadaan mulus.
Seingatku tidak ada yang punya echros penyembuhan atau sejenisnya di sini. Mungkinkah salah satu dari para pendatang baru? Ya, pasti salah satu dari mereka. Aku akan berterima kasih nanti. Saat ini, aku hanya ingin beristirahat dan bersyukur kami semua bisa kembali dengan selamat.
Udaranya dingin, barangkali sudah malam. Kutarik selimut tipis yang disediakan sampai ke pundak. Perlahan tubuhku kembali hangat, begitu juga dengan hatiku. Mengingat saat aku menggunakan echros-ku untuk menolong Aiden dan Feo, bibirku melengkung membentuk senyum.
Aku belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi dan belum ingin memikirkannya. Namun, rasanya senang sekali. Kalau saja aku masih punya sisa tenaga, aku akan meloncat-loncat kegirangan sambil menahan seruan bahagia.
Kesampingkan kekhawatiran dan segudang pertanyaan tak terjawab dalam benak. Hal terpenting saat ini adalah fakta bahwa aku bisa berguna. Walau masih perlu banyak latihan dan pengalaman, aku bukan lagi beban.
Clou's corner:
JDER! Echros Feli upgrade lagi?
Cepet, ya? Eh, lama deng. Ini udah chapter 40. Hehe
Nulis scene gelud sama yang tegang begini capek juga. Semoga decent dan bisa kalian nikmati
09-06-2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro