Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch. 38: Ini Belum Selesai

Wordcount: 1.186 words

Zenia yang harusnya berjaga di tempat persembunyian tiba-tiba muncul dan menyelamatkan kami. Anak itu menembakkan petir ke arah si pengguna portal, lalu bergegas menengahi kami dan cowok tersebut. Telingaku masih berdenging, tetapi aku bisa mendengar suaranya dengan jelas karena dia berkomunikasi menggunakan telepati. Zenia punya dua echros.

Begitu efek kejutnya reda, aku buru-buru memungut pisau lipat yang terjatuh, kemudian membantu Tia berdiri. Lututnya lecet karena dia memakai celana pendek rumahan, tidak sempat berganti saat hendak berangkat. Untunglah dia masih bisa berjalan, jadi aku beralih mengecek Pak Ito. Kak Will sedang berusaha memapahnya. Beliau hanya terkejut, begitu kata Kak Will.

"Wah, ada Zenia. Kupikir kamu pergi ke mana," ujar si cowok pengguna portal. Kelihatannya dia hanya dua atau tiga tahun lebih muda dariku. Ah, lupakan itu. Dia sama sekali tidak terluka karena serangan Zenia. Mungkin dia sempat berpindah tempat menggunakan portalnya.

Atensi cowok itu sepenuhnya tertuju pada Zenia. Memasang wajah tersakiti yang dibuat-dibuat, dia lantas berkata, "Kasar banget. Bukannya kita temenan?"

Percikan arus listrik di sekitar tubuh Zenia makin liar. Sepertinya dia sedang melakukan telepati dengan si pengguna portal itu.

"Kak Feli, ayo," panggil Tia. Kali ini dia yang menggenggam tanganku, bukan sebaliknya. Kak Will dan Pak Ito sudah jalan lebih dulu.

Aku menoleh sebentar ke arah Zenia, lalu kembali pada Tia dan mengangguk. Baru maju tiga langkah, tiba-tiba aku merasakan firasat buruk yang membuatku segera menarik Tia mundur.

Sebuah portal muncul tepat di hadapan kami. Tak sampai satu detik kemudian, serangan petir Zenia menyasarnya. Portal itu pun terdistorsi dan lenyap. Tidak begitu mengejutkan. Aku lebih kaget karena aku bisa mendapat firasat buruk seperti barusan dan spontan menghindarinya.

Si pengguna portal berdecak, "Jangan ganggu aku, dong. Misi kita kan sama, membawa kode SS ke markas---oh. Aku lupa."

Aku tidak ingin tinggal lebih lama, jadi aku segera menyusul Kak Will dan Pak Ito sebelum mereka pergi terlalu jauh dan tersesat di hutan. Sebelum ledakan kedua terjadi, aku sempat mendengar cowok itu berkata, "Kamu kan sudah berkhianat."

Sebetulnya aku ingin sekali menoleh ke belakang untuk memastikan kondisi Zenia. Namun, anak itu mengirim telepati lagi. "Nia lebih unggul kalau lawan dia. Kak Feli harus cepet balik terus bicara sama Theo."

Sayang sekali aku tidak bisa membalas telepatinya, padahal aku ingin tahu kenapa aku harus bicara dengan Theo. Dari kalimatnya dan dengan adanya dia di sini, aku yakin adikku dan Marlo yang tinggal di rumah baik-baik saja. Tak mungkin Zenia meninggalkan dua orang yang tidak bisa bertarung memakai echros dalam situasi berbahaya.

"Belok kiri," ujarku memberi arahan.

Kilatan-kilatan petir yang hanya sekilas di belakang sana menandakan bahwa Zenia masih bertahan melawan si pengguna portal. Dia diuntungkan karena petirnya bisa merusak portal buatan cowok itu, jadi aku tidak perlu khawatir.

Senyumku merekah begitu batu besar yang menjadi jalan rahasia mulai terlihat. Aku hampir memekik kegirangan karena berpikir semua ini akhirnya akan selesai. Namun, aku langsung teringat akan nasib Julian. Cowok tempramen itu ... echros-nya tidak lebih unggul bila dibandingkan dengan cewek tadi yang bisa melakukan serangan jarak jauh.

"Fel! Masih jauh?" tanya Kak Will, menarikku kembali ke kenyataan.

"Iya---eh, nggak, Kak. Ke sini!" Aku mempercepat lariku ke arah batu besar yang diposisikan dekat tebing.

Begitu tiba di hadapan batu tersebut, aku melepas pegangan Tia seraya bersiul. Lalu, kuketuk permukaan batu itu dengan tangan kananku yang masih memegang erat pisau lipat pemberian Riel. Ada pola ketukan tertentu yang harus dilakukan agar jalannya terbuka. Sesaat kemudian, sensasi hangat menjalar dari buku jari ke sekujur badanku.

"Jalannya udah kebuka." Aku menoleh, menatap tiga orang di belakangku secara bergantian. "Kalian masuk duluan. Aku terakhir."

Kak Will tampak ragu, begitu juga dengan Tia. Tak pernah kuduga kalau yang akan maju pertama kali adalah Pak Ito. Dengan senyum lembut beliau mengangguk padaku, kemudian melangkah masuk.

Tia dan Kak Will kudapati berdengap menyaksikan Pak Ito berjalan menembus sebuah batu besar. Kurasa itu reaksi yang wajar. Aiden dan yang lainnya pasti menunjukkan reaksi yang lebih heboh saat melihatku ditarik Natha menembus dinding tanah waktu itu.

"Ayo, Kak, Tia. Cepetan sebelum ada musuh yang muncul," tegurku. Kakak beradik itu mengangguk paham, lalu melangkah masuk sambil berpegangan tangan.

Sebelum tubuh mereka sepenuhnya hilang dari pandangan, aku berucap, "Aku nyusul sebentar lagi, ya." Entah mereka sempat mendengarku atau tidak.

Jalan rahasia ini tidak akan tertutup sebelum semua orang yang diizinkan sudah masuk. Ya, izin. Mereka yang tidak diberi izin tidak akan pernah bisa masuk. Karena itu, aku rasa tidak ada salahnya bagiku untuk tinggal barang sebentar saja. Di dalam sana sudah ada Marlo dan Theo yang bisa menyambut para pendatang baru.

Ketika adrenalin berangsur turun, letih mulai terasa. Kakiku sudah loyo, maka kuputuskan untuk duduk dengan kaki diluruskan ke depan. Sebenarnya aku bisa saja duduk setelah masuk ke dalam kantong dimensi. Akan tetapi, di sana pasti ramai dan aku sedang butuh waktu sendiri. Kalau ada musuh yang muncul, aku tinggal berguling masuk.

Peganganku pada pisau pemberian Riel sudah melonggar sejak tadi. Kutatap pisau lipat itu lamat-lamat. Baru saja bersyukur karena aku tidak perlu menggunakannya, langkah kaki di atas dedaunan kering terdengar. Otomatis aku berdiri dan masuk mode siaga.

Melihat orang yang muncul dari balik pohon, mulutku refleks menganga. "K-kamu ... Lumi? Yang waktu itu ... yang sempat satu kelas itu?" tanyaku terbata-bata.

Aku tidak salah lihat. Memang benar yang berdiri di depanku saat ini adalah Lumi yang pernah satu kelas denganku. Dia juga yang memperlihatkan rekaman pasca-kecelakaan keluargaku. Sorot matanya begitu dingin, persis seperti yang kuingat, membuat netra yang harusnya sewarna langit cerah kelihatan mendung.

"Kita nggak punya banyak waktu buat ngobrol," ujarnya menepis pertanyaanku jauh-jauh. "Aku cuma mau ingetin kamu soal radio yang waktu itu. Tiga hari dari sekarang, temui aku di vila tempat kalian sempat tinggal."

"Eh, kenapa?" tanyaku seraya mengambil satu langkah mendekatinya.

Lumi menggeleng, lantas menengok ke kiri dan ke kanan dengan gelagat cemas. "Nanti kujelaskan pas kita ketemu di sana. Kusarankan kamu datang dengan Julian atau Nia. Sekarang aku harus pergi."

"Kamu ke sini cuma buat bilang itu? Kamu juga dikejar aset-aset BPE?" Aku ikut cemas karena melihat gerak-geriknya itu.

Lagi-lagi Lumi mengabaikan pertanyaanku. Dia membalikkan badan, hendak berderap pergi sebelum mengingat sesuatu. Menoleh padaku untuk terakhir kalinya dengan tatapan serius, Lumi berkata, "Sebaiknya kamu cepat pergi. Aiden butuh bantuan."

"Apa---" Kuhentikan ucapanku sendiri karena tahu Lumi tidak akan menjawab. Dia sudah berlari pergi dan menghilang di balik pepohonan.

Dia bilang, Aiden butuh bantuan. Itu berarti Aiden berada dalam bahaya ... lagi.

Kusimpan pisau lipatku ke dalam saku, lantas bergegas masuk ke kantong dimensi. Sekarang aku tidak lagi merasa mual karena tubuhku sudah beradaptasi dengan perpindahan ini. Begitu tiba di dalam, aku tidak mendapati siapa pun di atas bukit. Semuanya pasti sudah masuk ke dalam rumah.

Ngomong-ngomong soal rumah, aku hampir dibuat berteriak mempertanyakan apa aku sedang berhalusinasi karena kelelahan atau tidak. Harusnya hanya ada satu rumah dengan dua lantai dan rumah pohon kecil di pekarangannya. Aku tidak ingat ada rumah lain yang hanya punya satu lantai di dekat danau.

Kedua pipiku kutepuk keras-keras guna menyadarkan diri. Ini bukan saatnya untuk terheran-heran dengan perubahan yang terjadi di sini. Aku harus bergegas ke rumah utama dan bicara dengan Theo seperti pesan dari Zenia. Semoga apa yang ingin adikku sampaikan masih berkaitan dengan Aiden, bukannya masalah baru.

Clou's corner:
Aiden gimana kabarnya, ya? Oh, Julian juga. Hampir lupa /ditabok/

01-06-2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro