Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch. 37: Kode EC-SS

Wordcount: 1.095 words

Aku memang menduga akan ada aset BPE yang menghadang kami di jalan, tetapi tidak secepat ini. Berjalan selama sepuluh menit saja belum, sudah ada yang muncul. Tidak seperti hari itu, kali ini hanya ada satu cewek yang menghadang di jalan setapak.

Cewek itu berdecak. Keping-keping tanah keras berkumpul membungkus tinjunya. Tak terbayangkan betapa sakitnya jika tinju itu mengenaiku. Mungkin aku akan langsung pingsan dengan mulut berbusa.

Julian yang semula berjalan paling belakang bersamaku maju ke depan. Hawa panas menguar dari tubuhnya, tanda bahwa dia sudah siap bertarung. "Minggir, atau kubuat kau nggak bisa pulang ke markas busuk kalian."

Si pengendali tanah tertawa mengejek dengan tampang menyebalkan. "Jangan pikir aku bakal main-main kayak yang waktu itu."

Mereka pernah berkelahi waktu kami kabur dari vila. Kala itu aku tidak terlalu memperhatikan karena sibuk dengan Aiden yang mematung dan cewek kurang ajar yang mirip kuntilanak. Seingatku, waktu itu mereka hanya bertukar tinju yang diselubungi echros masing-masing.

"Aku cuma ditugaskan buat menangkap Kode SS, yaitu dua cewek yang lagi bareng kalian. Kau dan sisanya boleh pergi," kata cewek itu, mengadu tinjunya.

"Hah? Enak aja." Julian bergantian meremas tinjunya diikuti bunyi gemeletuk, lantas mengambil posisi kuda-kuda. Api merah-oranye melahap tangannya, dari ujung jari hingga siku.

Si cewek di sisi lain turut memasang kuda-kuda. "Kenapa kalian segitunya nggak mau berkooperasi? Bergabung dengan kami jelas lebih baik daripada hidup tunggang-langgang kayak gini."

Mendengar itu, dadaku langsung panas juga sesak. "Jadi, lebih baik hidup sebagai alat daripada hidup bebas? Ogah!" hardikku.

"Dasar orang-orang keras kepala," ucap cewek itu. Dia kemudian menumbuk permukaan tanah dengan tinjunya, memunculkan barisan pilar miring yang makin dekat makin tinggi.

"Awas!" seru Julian dan Kak Will bersamaan. Dia menghindar ke kiri bersama Kak Will dan Pak Ito, sedangkan aku ke kanan bersama Tia yang tangannya gemetar.

Aku mengeratkan genggamanku pada tangan Tia, berusaha meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Lawan kami hanya satu dan kuharap tidak bertambah. Sesuai rencana, Julian yang akan mengurusnya sementara aku menuntun yang lainnya ke jalan rahasia.

Semuanya sudah tahu apa yang harus dilakukan. Ketika Julian menerjang maju, aku dan Tia buru-buru bergabung dengan Kak Will dan Pak Ito. Kami tidak berucap sepatah kata pun, hanya bertukar pandang, mengangguk, dan mulai bergerak.

Si cewek berseru, "Nggak akan kubiarkan kalian lolos!" Dia mencoba untuk melakukan hal yang sama, tetapi Julian lebih dulu mencapainya. Julian meninjunya tepat di perut sehingga cewek itu tersaruk mundur. Kerak tanah yang menyelimuti tinjunya terkikis, barangkali karena fokusnya teralihkan pada rasa sakit alih-alih mengendalikan echros.

Sebelum aku dan yang lainnya berlari masuk ke hutan, sempat kuperhatikan garis-garis nasib yang tampak hanya bagiku. Garis keberuntungan Julian kini mengarah ke dalam hutan di sisi lain jalan setapak, sedangkan garis kami terputus darinya.

Melihat garis keberuntungan kami yang terputus dari Julian membuatku sedikit was-was. Genggamanku pada tangan Tia melonggar sejenak. Kuperhatikan sekelilingku, tidak merasakan keberadaan orang lain selain kami berempat. Aku juga sedikit terkejut melihat Pak Ito masih cukup kuat untuk berlari didampingi Kak Will.

"Kak Feli," panggil Tia di sela-sela deru napasnya yang tidak karuan. "Masih jauh?"

Aku menggeleng, lantas kembali menghadap depan. "Udah deket, kok. Tia yang kuat, ya," ujarku yang dibalas dengan anggukan darinya.

Kantong dimensi tempat kami bersembunyi bisa membuat jalan di mana pun yang sudah ditandai. Betapa beruntungnya kami karena salah satu tempat yang ditandai tidak begitu jauh dari rumah Tia dan Kak Will.

Waktu datang, aku dan Julian butuh kira-kira dua puluh menit untuk sampai ke rumah mereka, itu pun hanya berjalan kaki. Harusnya kami bisa sampai dalam sepuluh menit kalau berlari seperti ini.

Pelan-pelan garis nasib muncul. Kusebut garis nasib karena yang muncul bukan hanya garis keberuntungan. Tia dan yang lainnya mendapat garis keberuntungan, sedangkan aku mendapat keduanya.

Masih sambil berlari, aku mengarahkan Tia untuk berpindah ke sisi kiriku. Dengan begini, aku bisa berjaga-jaga dengan pisau lipat pemberian Riel. Seketika aku merinding kala membayangkan diriku menyakiti orang lain dengan sebuah pisau. Aktor-aktor di televisi membuat hal ini terlihat mudah.

Semua garis keberuntungan mengarah sedikit ke kanan sementara garis kesialan milikku mengarah sedikit ke kiri. Semakin dekat dengan ujung lainnya, maka garis-garis nasib ini akan makin kentara. Karena kami sedang berlari, itu terjadi dengan cepat. Pikiranku mendadak kalut.

Aku hanya berkedip dua kali dan tiba-tiba yang lainnya ikut mendapat garis kesialan. Arah ujung lainnya sama dengan milikku. Ditelan kepanikan, aku mengerem mendadak seraya berseru, "Tunggu dulu!" Akibatnya, Tia nyaris jatuh, tetapi aku berhasil menahannya.

Kak Will dan Pak Ito ikut berhenti. Tidak semendadak aku, jadi mereka berada di depan. Sementara Pak Ito mengambil kesempatan guna mengatur napas, Kak Will bertanya, "Kenapa, Fel?"

Dapat kurasakan sekujur tubuh ini gemetar, membuatku hampir tersedak saat menelan ludah. Pandanganku terkunci ke depan. "Kalau kita terus maju, kita bakal kena sial. Aku takutnya itu sial karena ada musuh yang muncul, Kak."

"Kalau gitu, mau ambil jalan memutar?" usul Kak Will.

Aku mengangguk setuju, begitu juga Tia. Menoleh pada Pak Ito, aku pun bertanya, "Pak Ito nggak apa-apa, Pak?" Wajahnya yang mulai pucat membuatku was-was sendiri.

Beliau menoleh padaku, tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, kok, Dek Feli. Kita lanjut saja."

Kami melanjutkan perjalanan setelah jeda dua menit untuk mengatur napas. Walau lari kami tidak secepat sebelumnya, aku merasa lebih tenang karena kami semakin jauh dari sumber kesialan dan semakin dekat dengan sumber keberuntungan.

Sekarang aku dan Tia berlari paling depan karena tempat jalan rahasia berada tidak hanya lurus tanpa belokan kecil ataupun tikungan tajam. Aku harus memandu karena kami mengambil jalan memutar untuk menghindari kesialan.

Rasa panik dalam dada sudah mulai surut ketika tiba-tiba dibuat memuncak karena hal yang hanya bisa dilihat olehku. Garis-garis nasib kami, baik keberuntungan dan kesialan, ujung lainnya mulai mendekat seakan sedang berlomba. Napasku seperti berhenti; degup jantungku menggila.

Di sisi kiri kami, di antara pepohonan, aku bisa melihat sebuah portal muncul dan ada seseorang yang keluar dari sana. Awalnya dia teramat jauh sampai aku tidak yakin bila itu manusia atau hanya tumbuhan. Namun, berkat portalnya, dia berhasil mendekat tanpa perlu susah-susah berlari.

Aku hendak memacu lariku lebih kencang lagi dan berteriak, tetapi sesak di dada ini tidak membiarkanku. Kedua kaki ini juga mulai lemas karena terus-terusan dipaksa melangkah. Kalau begini, orang itu akan mengirim kami entah ke mana dengan portalnya.

"Kak Feli---kalian semua! Menunduk!"

Suara itu mengejutkan kami semua. Alih-alih menunduk, kami berempat justru menjatuhkan diri ke atas tanah yang diselimuti dedaunan kering. Percikan listrik terdengar ramai di telinga sebelum kilatan petir muncul, disusul oleh ledakan di sisi kiri kami. Begitu lantang bunyinya sampai-sampai telingaku berdenging.

"Kak Feli, cepat bawa yang lain ke tempat persembunyian! Orang ini biar Nia yang urus."

Hanya ada satu Nia yang bisa melakukan telepati, dan itu adalah Zenia. Anak itulah yang datang sebagai keberuntungan kami.

Clou's corner:
Chapter ini lebih pendek dari biasanya, ya. Kayaknya gara-gara kebablasan di chapter sebelumnya '3')

31-05-2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro