Ch. 36: Kode EC-01
Wordcount: 1.850 words
Setelah bergabung dengan kelompok Natha dan Riel, Aiden jadi punya lebih banyak rekan. Saat dirinya dipasangkan dengan seorang bocah asing yang tidak dia ingat namanya, Aiden merasa tidak terima.
Bocah tersebut kini berjalan mengekori Aiden. Sikapnya yang pendiam mirip dengan adiknya Feli. Sudah mau satu jam mereka berjalan dan bocah itu tidak bicara apa-apa. Aiden sendiri sedang kesal karena dipisahkan dari teman-temannya.
Feli ... apa dia baik-baik saja bersama Julian? Pertanyaan itu betah sekali tinggal di benak Aiden sejak mereka berpisah untuk mendatangi target masing-masing. Semoga saja dua temannya itu tidak berkelahi karena hal bodoh.
"Anu ... Kak Aiden?" panggil si bocah, berusaha menyejajarkan langkah dengan remaja di depannya.
Aiden hanya bergumam, lantas menoleh sekilas. Suasana hatinya sedang tidak baik untuk berpura-pura ramah di depan orang-orang.
"Jangan jalan di situ, Kak. Tanaman orang keinjek ...." Bocah itu menunjuk tanaman yang menjalar di tanah yang Aiden pijak.
Buru-buru Aiden berpindah kembali ke jalan setapak. Hampir saja dia menginjak labu milik orang yang masih mungil-mungil. Kalau itu terjadi dan mereka bertemu dengan pemiliknya, bisa-bisa Aiden digorok dengan parang.
Setelah berjalan menaiki tanjakan, barulah Aiden sadar kalau bocah itu mengingat namanya. Karena itu dia bertanya, "Btw, namamu siapa? Aku lupa."
"Eh---oh." Si bocah sedikit terkejut. "Feo," jawabnya.
Aiden hanya ber-oh ria. Setidaknya untuk hari ini, dia akan berusaha mengingat nama itu. Yah, walau kepalanya terus-terusan dipenuhi oleh nama seseorang yang juga berinisial F.
Mereka melanjutkan perjalanan tanpa bercakap-cakap lagi. Semakin jauh dari bising kendaraan yang jarang, semakin ramai para serangga hutan. Kadang Aiden merindukan suasana perkotaan dan bangunan-bangunannya yang beragam.
Sudah cukup untung mereka bisa keluar lewat jalan rahasia yang paling dekat dengan tempat tujuan. Namun, Aiden tetap mengeluh dalam hati. Dia pikir dirinya sudah terbiasa berjalan jauh, ternyata tidak demikian.
"Kak." Feo menarik ujung kaus Aiden. Tangannya yang satu lagi menunjuk ke depan. "Ada orang lain di sana."
Aiden menoleh terus mengikuti arah telunjuk Feo. Pandangannya jatuh pada sebuah pondok kecil yang halamannya dihiasi bunga marigold oranye. Di depan pondok itu berdiri tiga orang remaja seumuran Aiden. Salah satunya berdiri di samping sebuah portal dengan tangan terulur; satu lagi sedang mengeret seorang anak perempuan ke dalam portal; yang terakhir sedang berjaga.
"Kita terlambat," decak Aiden, mengambil posisi siaga.
Target yang harus mereka rekrut sudah digeret masuk ke dalam portal. Tidak ada yang bisa Aiden dan Feo lakukan di sana. Mereka harus segera pergi, walau agak terlambat karena Aiden sempat melakukan kontak mata dengan anak laki-laki yang berjaga.
"Kita mundur," ucap Aiden seraya berbalik dan menyambar lengan Feo. Mereka berlari secepat mungkin ke arah mereka datang.
Kendati terpaut jarak yang cukup jauh, berkat penglihatan yang masih bagus, Aiden dapat mengenali anak laki-laki yang berjaga itu. Dia adalah pengendali besi yang menyerang ketika Aiden dan yang lainnya hendak kabur usai menyelamatkan adik Feli.
Langkah kaki Aiden tidak begitu panjang, apalagi langkah Feo yang tingginya hanya sebahu Aiden. Cepat atau lambat, mereka akan terkejar. Aiden menoleh ke belakang untuk memastikannya, tetapi dia tidak melihat ada yang mengejar. Bukannya lega, rasa panik justru muncul. Orang-orang itu---para aset BPE---punya seseorang yang bisa membuka portal.
"Kak Aiden, awas!" seru Feo yang mendadak berhenti dan menarik Aiden mundur. Keduanya tergelincir, lantas terjungkal ke belakang. Dua langkah di depan mereka, dua bilah pisau tertancap, mengilap diterpa terik matahari.
"Wah, refleks bocah itu bagus juga. Tapi aku emang nggak ada niat buat nyakitin kalian, sih," kata si pelaku yang berdiri tak jauh dari lokasi. Dia berdiri di dalam petak tanaman labu dengan sebelah tangan berkacak pinggang.
Katanya saja tidak punya niat. Nyatanya, kalau Feo tidak menarik Aiden mundur, paling tidak lengannya yang akan disasar bilah-bilah pisau itu. Ya, siapa juga yang mau terang-terangan mengatakan niat jahatnya.
Memang benar, si pelaku adalah pengendali besi yang pernah menyerangnya. Aiden masih bisa mengenalinya walau dia tidak sedang menunjukkan senyuman sinting seperti hari itu. Dia datang sendiri, barangkali rekan-rekannya sibuk mengurusi anak perempuan yang mereka culik.
"Eh, setengah boong, sih." Atensi anak remaja itu berpindah pada Aiden. "Aku nggak ngincar kalian berdua. Cuma satu orang."
Aiden meneguk ludah dengan paksa seakan keterkejutannya bisa ikut tertelan. Walau sedikit lemas, Aiden bangkit berdiri. Entah mengapa, dia masih bisa merasakan rasa sakit dari hari itu, saat bilah-bilah besi berkarat menancap punggungnya.
"Halo, Kode EC-01. Kita ketemu lagi," sapa si pengendali besi. Senyum tipis tersungging disertai tatapan dingin yang menusuk.
Melihat senyum licik itu, seketika Aiden teringat akan sesuatu. "Feo, hati-hati!" seru Aiden seraya melakukan gerakan melibas. Dua bilah pisau yang tadi nyaris menusuknya terempas ke antara pohon-pohon pisang lima meter dari mereka.
"Kau keren juga," puji si pengendali besi. "Waktu itu kau berusaha mengambil alih besi yang kukendalikan. Dan hampir semuanya berhenti di udara."
Penekanan dalam kalimatnya membuat sebelah pipi Aiden berkedut juga alisnya bertekuk. Anak laki-laki yang tengah dia hadapi jelas-jelas berusaha memancing emosinya.
Tampak tidak puas dengan reaksi Aiden, anak laki-laki itu kembali berceloteh. "Echros-mu punya banyak potensi, tahu. Yakin nggak mau gabung sama kami? Ada banyak fasilitas buat berlatih di markas---"
Tawaran---atau lebih cocok disebut pancingan itu berhasil mematik amarah Aiden. Mulanya dia tidak ingin merusak kebun orang, tetapi ini bisa jadi masalah hidup dan mati. Aiden tidak bisa tinggal diam. Dia harus kembali ke persembunyian utuh-utuh bersama Feo.
Papan-papan kayu yang memagari petak labu tempat si pengendali besi berdiri terangkat. Mengikuti gerak tangan Aiden, papan-papan kayu tersebut memelesat menghantam si musuh. Tanpa membuang waktu, Aiden menarik lengan Feo dan mereka kembali berlari.
"Woi! Kita belum selesai bicara!"
Persetan dengan orang itu. Mana mau Aiden berlama-lama bicara dengan orang gila sepertinya. Mereka juga tidak berada di pihak yang sama.
Tiba-tiba Feo menarik lengannya yang digaet Aiden. Bocah itu lalu berbalik dan merentangkan tangan ke depan.
Pang! Pang!
Aiden berbalik, mendapati bocah itu telah menciptakan lapisan pelindung. Dua bilah pisau terpental jauh dan tertancap di antara sayur-sayur yang tumbuh subur. Mata Aiden membelalak, terkejut dengan kecepatan Feo menyadari serangan itu lantas bertindak.
"Tahan lapisan pelindungnya," perintah Aiden sementara menatap sengit si pengendali. "Sekarang dia masih main-main, tapi sebenarnya dia tipe yang brutal kalau nyerang. Kamu bisa bikin berapa lapisan pelindung sekaligus?"
"K-kalau lebar begini ... cuma satu," jawab Feo. Kelihatan jelas dia berusaha untuk menyembunyikan kepanikannya.
"Berapa lama?"
"Eeh ... bisa tahan selama masih ada tenaga."
Dari jawaban-jawaban itu, Aiden menarik kesimpulan bahwa mereka tidak bisa terlalu bergantung pada echros Feo. Stamina bocah sepertinya tidak begitu banyak, apalagi setelah berjalan kaki cukup jauh. Aiden harus mengakhirinya dengan cepat, meski harus merusak kebun milik orang yang tak dia kenal.
"Diskusinya udah?" tanya si pengendali besi keras-keras.
Aiden berdecak sebal. "Feo, hemat tenagamu. Bikin lapisan pelindung yang nggak terlalu besar dan jangan ditahan lama-lama. Cuma munculkan kalau ada serangan yang datang."
Feo mengangguk kaku seraya menutup telapak tangannya. Pada saat itu juga, lapisan pelindung di hadapan mereka lenyap.
"Hei! Apa maksudnya kode EC-01 tadi?" tanya Aiden dengan suara lantang. Dia sudah siap dalam posisi kuda-kuda.
Si pengendali besi beranjak dari petak tanaman labu sambil memegangi perut yang baru saja dihantam papan kayu. "Aduh ... kenalan dulu, yuk, baru kujawab." Kini dia juga berdiri di jalan setapak. "Aku Alex."
Meski ogah-ogahan, Aiden tetap mengucapkan namanya.
Anak laki-laki bernama Alex itu tertegun sejenak. Matanya menyipit, berusaha melihat wajah lawannya dengan lebih jelas. "Hmn ... pantes kayak nggak asing." Tiba-tiba dia menyeringai. "Ternyata bisa begitu, ya."
Dia tahu.
Pemikiran untuk memprioritaskan keselamatan mereka lenyap, digantikan oleh pemikiran yang sejak tadi Aiden tahan. Awalnya, dia pikir itu tidak perlu. Feli pernah memarahinya karena dia mengusulkan ide yang serupa. Tidak manusiawi, katanya.
Tapi Feli nggak ada di sini.
"W-wah, jadi serem banget mukanya," ujar Alex sedikit terbata. Meski demikian, seringai masih dia tunjukkan. "Nggak heran kau sampai dikasih kode 01."
Feo melirik remaja di sampingnya. "Kak Aiden ...?" panggilnya yang tidak digubris.
"Kalau direkrut cuma bakal bikin masalah, sih," celetuk Alex sambil merogoh kantong pada sabuknya. Itu tempat dia menyimpan persediaan bilah pisau.
Aiden mengangkat tangan kirinya seolah sedang menarik sesuatu yang berat. "Banyak bacot dari tadi. Kubunuh kau," ucapnya dengan tatapan bengis.
Feo terlambat menciptakan lapisan pelindung. Beberapa bilah sudah melewatinya, tetapi Aiden bisa menghindar ke kiri sambil mengayunkan tangan arah berlawanan.
Tiga pohon pisang di samping kanan Alex tercabut dari tanah dan memelesat ke arahnya. Alex tidak cukup gesit untuk menghindari semuanya sehingga satu pohon yang cukup besar menghantamnya telak.
Itu belum cukup. Alex masih bisa menggerakkan tangannya dan itu berarti masih ada kemungkinan dia akan menyerang. Orang itu harus dihentikan sepenuhnya sebelum dia macam-macam.
Sekali lagi Aiden menggerakkan tangannya, mengangkat salah satu pohon pisang yang berhasil dihindari Alex. Belum sempat Aiden menjatuhkan pohon itu pada sasarannya, perhatiannya teralihkan oleh dentingan yang begitu ramai di belakang.
Bilah-bilah besi milik Alex terus-terusan menghantam lapisan pelindung buatan Feo. Mengherankan. Kenapa tidak membuatnya melakukan manuver untuk menghindari lapisan pelindung itu? Beberapa detik kemudian, Aiden mendapatkan jawabannya. Namun, dia terlambat.
Pohon pisang yang Aiden kendalikan jatuh dua jengkal dari Alex. Pengguna echros serupa telekinesis itu mengumpat sembari memegangi lengan kanan yang berlumur darah. Satu bilah yang entah datang dari mana telah bersarang di lengan atasnya.
"Ada banyak celah sih, tapi aku cuma nusuk tangan kananmu," kata Alex. Dia menggerutu kala menyingkirkan pohon pisang yang menindihnya. Bangkit berdiri, lagi-lagi dia menyeringai. "Aku ini baik hati, kan?"
Orang itu benar. Aiden punya banyak celah dan Feo yang sedang dibuat sibuk tidak bisa menutupinya. Sekilas rasanya seperti tidak ada harapan. Namun, dia belum boleh menyerah.
Empat bilah pisau berceceran di sekitar kaki Aiden. Dengan tangan kirinya yang tidak terluka, dia mengendalikan bilah-bilah itu, meluncurkannya ke arah Alex. Seperti pada bentrokan pertama mereka, bilah-bilah tersebut berhenti di udara.
"Mau main rebut-rebutan kendali lagi nih?" tanya Alex dengan tampang juga nada mengejek.
Aiden berdecak sebal dengan peluh membanjiri wajah. Bilah yang menusuk lengan kanannya masih ada di sana. Lukanya masih mengeluarkan darah sampai-sampai tanah pijakan mereka turut ternoda. Kalau saja tangan kanannya itu masih leluasa digerakkan, Aiden bisa mengendalikan batu-batu yang berserakan di mana-mana untuk menyerang.
"Nggak asik," ucap Alex. Sedetik kemudian, salah satu bilah yang menyibukkan Feo berganti target, menyasar betis Aiden.
"Kak Aiden!" pekik Feo, teralihkan. Satu bilah menggores pipinya, bergerak menuju punggung Aiden. Segera Feo membuat lapisan pelindung kecil yang mementalkan bilah tersebut.
Kendali Aiden lepas; bilah-bilah yang sempat terhenti di udara meluncur ke arahnya. Lapisan pelindung muncul meski tidak cukup lebar untuk menghalau semuanya.
Pada detik-detik yang menegangkan itu, Alex justru berhenti menyerang. Dibiarkannya Aiden terfokus pada luka yang sakit bukan main.
Aiden tidak bisa menggunakan echros-nya secara maksimal dengan cedera seperti itu. Membiarkan dua bilah itu bersarang di lukanya tidak mengurangi rasa sakit dan mencabutnya malah akan memperburuk pendarahan.
"Karena mood-ku lagi bagus, aku kasih kalian kesempatan," ujar Alex sembari berjongkok. Dia lantas menarik semua bilah pisau miliknya yang kemudian dia masukkan ke dalam kantong pada sabuknya. "Bebat lukanya terus lari atau nyerang lagi. Terserah kalian. Kusaranin lari aja, sih."
"Bajingan," geram Aiden.
Alex mengendikkan bahu. "Bakal langsung game over kalau kutusuk lengan kirimu sekarang. Kau nggak bisa make echros tanpa menggerakkan tanganmu, kan? Dan bocah itu nggak bakal bisa menghentikanku."
Mengetahui bahwa dirinya dan Feo berada dalam belas kasihan musuh, rasanya Aiden ingin mati saja. Namun, dia tidak bodoh untuk mencoba yang macam-macam. Pikirannya sudah kembali jernih.
Apa pun yang terjadi, Aiden dan Feo harus kembali hidup-hidup ke persembunyian.
Clou's corner:
Asik tapi pusing juga
29-05-2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro