Ch. 35: Bukan Salah Kita
Wordcount: 1.210 words
"Jadi, kalau direkap," ucap Kak Will, "vila kalian diserang seminggu lalu, terus kalian kabur. Di jalan kalian dihadang aset organisasi itu yang dikasih misi buat nangkap kalian.
"Terus sekarang mereka udah mulai bergerak buat nangkap Eccentric lain yang bersembunyi atau yang disembunyikan. Kalian udah nemu tempat aman milik sekelompok Eccentric buronan yang bertujuan untuk memberontak melawan BPE. Dan, kalian pengen kami ikut ke sana biar aman?"
Aku dan Julian mengangguk berbarengan.
Kak Will bersedekap dan membiarkan dirinya bersandar. Dia sedang kesulitan, terlukis jelas pada wajahnya.
"Aset mereka kuat, nggak bisa dilawan sendiri. Apalagi tanpa echros," ujar Julian untuk meyakinkannya.
Aku pun menambahkan, "Waktu itu aja, kami beruntung bisa selamat karena dibantu orang-orang dari tempat aman itu, Kak."
"Ya, tapi ikut sama kalian ke sana berarti kami harus ikut memberontak, kan? Tetap aja bahaya. Aku nggak bisa biarin Tia ikut-ikutan sama kalian. Sori, Ian." Kak Will beralih pada adiknya di samping, mengacak-acak rambut anak itu tanpa mengindahkan keluhannya.
Kepalan tangan di atas pangkuanku mengerat. Aku tidak ingin mereka berakhir menjadi aset organisasi itu dan dipaksa menyakiti orang lain atau menjadi bahan eksperimen. Maka dari itu, aku kembali bersuara.
"Kalian nggak perlu ikut rencana pemberontakan, kok! Tujuan mereka---maksudku, tujuan kami nggak cuma memberontak, tapi juga ngasih tempat aman buat sesama Eccentric
"Kalau kalian memang nggak setuju, ya ... gapapa,"---mulutku terasa pahit saat mengatakan ini---"tapi, anu."
Anehnya, Julian tidak menginterupsi. Kak Will dan Tia juga memperhatikan.
Meneguk saliva dengan paksa, aku melanjutkan, "Kalau terus-terusan begini, kalau kita nggak bertindak, semua Eccentric bisa jadi dalam bahaya yang lebih besar ...."
Lima detik selepas aku bicara diisi keheningan. Kak Will merenung sambil melirik adiknya, Tia, yang senantiasa menatapnya dengan sorot penuh arti. Julian sibuk menatapi langit-langit, entah apa yang dipikirkannya. Karena dia kelihatan tenang, kurasa dia tidak sedang mengutukku yang payah sekali meyakinkan orang.
Kak Will mengembuskan napas gusar. Ia mengusap kepala adiknya, lalu bangkit berdiri. "Kalau yang tinggal di rumah ini cuma aku sama Tia, nggak ada masalah, kita bisa langsung pergi. Tapi ... aku harus bicara ke Pak Ito soal ini."
Aku dan Julian mengangguk paham, membiarkannya pergi ke halaman untuk menemui Pak Ito. Dia menyuruh Tia untuk menunggu di sini bersama kami. Anak itu yang tadinya kelihatan ceria dan penuh energi, apalagi saat melihat Julian, kini duduk di hadapan kami dengan bahu melorot.
Air mukanya tampak seperti campuran sedih, cemas, dan takut. Aku jadi tidak enak hati melihatnya, tetapi aku tidak tahu harus mengatakan apa untuk mencairkan suasana. Itu bukan keahlianku.
"Kamu takut, Ti?" tanya Julian, kelihatan tak begitu peduli. Meski demikian, nada bicaranya terdengar lebih lembut dari biasa.
Di sofa seberang, Tia mengangguk, pandangan terpaku ke lantai. "Aku takut kalau aku ketangkap. Aku takut Kakak sama Pak Ito jadi dalam bahaya karna aku." Kepalan tangannya di atas sofa mengerat, wajahnya mengerut, dan matanya sedikit berkaca-kaca. "Ini semua gara-gara Tia punya echros. Gara-gara Tia---Tia ...."
Spontan aku beranjak dari sofa, segera menghampiri Tia yang mulai menangis terisak-isak. Berjongkok di hadapannya, kuraih tangannya yang sedikit gemetar. "Bukan salah Tia, kok, bukan. Gapapa kalau mau nangis, nangis aja. Tapi ini bukan salah kamu, oke?" Apa-apaan. Suaraku sendiri bergetar.
Masih sesenggukan, Tia menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau---kalau aja Tia lahir normal ... nggak bakal gini. Mama---gara-gara Tia, Mama pergi---Mama udah nggak ada! Itu salah Tia!" Tangisnya jadi lebih kencang setelah tersendat-sendat berkata demikian.
Hah ... sekarang aku tahu kenapa aku bisa bereaksi begitu cepat. Bahkan sebelum diutarakannya, aku sudah mengerti apa yang dia rasakan.
Sebelum kaki kebas, aku beralih duduk di sisinya. Tubuh mungilnya yang begitu rapuh kurangkul dari samping. Lantunan melodi kusenandungkan untuk menenangkannya, sama seperti yang mendiang ibuku lakukan kala aku menangis karena tertimpa sial.
Aku ingin berkata-kata lebih banyak lagi. Aku ingin terus berusaha meyakinkan Tia bahwa itu semua bukan salahnya. Namun, dadaku terlalu sesak dan seperti ada yang mengganjal di tenggorokanku.
Tidak satu pun dari kami yang meminta untuk lahir dengan kekuatan ini. Kami tidak menyebabkan ini semua dengan sengaja. Tia juga---tidak. Kami semua masih anak-anak. Kenapa ini semua harus terjadi pada kami? Sungguh kejam.
***
Dari aku mulai menenangkan Tia sampai Kak Will kembali bersama Pak Ito, Julian diam saja. Dia baru bersuara saat diajak bicara oleh Kak Will. Aku dan Tia dibiarkan menyimak saja.
"Kami semua akan ikut dengan kalian, termasuk Pak Ito. Itu bukan masalah, kan?" tanya Kak Will, menatap Julian yang duduk di sebelah Pak Ito.
Julian mengangguk dengan enteng. "Nggak apa-apa. Lagian, bakal bahaya kalau Pak Ito ditinggal di sini."
Pria tua yang disebut-sebut sejak tadi terkekeh dengan raut kusut. "Pasti orang tua ini akan menjadi beban untuk kalian anak-anak muda, ya? Tidak apa, saya bisa tinggal---"
"Nggak bisa gitu," potong Julian ketus dengan tatapan sebal. "Selain karna aku peduli sama keselamatan Bapak, kalau Bapak tinggal terus mereka datang, bakal bahaya. Bapak bisa dimanfaatkan buat melacak kami biar bapak tutup mulut sekalipun."
Wah, itu perkataan paling panjang yang kudengar Julian ucapkan akhir-akhir ini. Kesampingkan fakta itu, Julian tampak serius ketika mengucapkannya. Kekhawatiran tampak jelas, seperti tidak ada usaha untuk menyembunyikannya.
Setelah mendengar itu, alih-alih tersinggung, Pak Ito justru menyunggingkan senyum simpul. "Dek Ian sudah tumbuh besar dan pintar rupanya. Baiklah, saya akan ikut dengan kalian."
Cepat-cepat Julian membuang muka seraya menyahut, "Ya, kalau begitu kita harus cepat berkemas."
Aku mengangguk. "Iya. Kami akan membantu."
Demikian, kami berhasil meyakinkan target kami untuk ikut kembali ke kantong dimensi yang aman. Namun, ini belum saatnya merasa lega. Aku tahu benar, orang-orang itu sedang dalam perjalanan kemari, dan terus mendekat sementara kami sibuk berkemas.
Masih ada kemungkinan bahwa kami harus bertarung di tengah jalan. Itu membuatku sungguh was-was. Di antara kami berlima di sini, setahuku, hanya Julian yang dapat bertarung dengan benar. Tentu, aku bisa melayangkan beberapa tinju juga tendangan yang lebih mantap dari sebelumnya berkat sedikit latihan dari Riel. Hanya saja, aku tidak yakin aku dapat melawan orang-orang ini cuma dengan tinju dan tendangan.
"Udah siap? Nggak ada yang ketinggalan?" tanya Julian saat semuanya sudah terkumpul di pintu depan.
"Siap, nggak ada!" jawab Tia yang sudah kembali semangat. Dia kelihatan berbunga-bunga saat memperhatikan Julian. Dasar anak-anak.
"Sebentar," ucapku dengan gestur menahan gerakan mereka. "Aku mau pakai echros-ku dulu supaya kita nggak ada yang kena sial di jalan."
Begitu mendapat persetujuan dari mereka bertiga, aku melakukannya. Karena kata Julian tadi caraku memberi keberuntungan kelihatan aneh, aku mencoba melakukannya dengan sedikit berbeda. Aku tidak mau berakhir malu sendiri karena bertingkah seperti sedang main tembak-tembakan dengan anak-anak.
Kedua tangan kutangkup di depan dada. Berusaha fokus, aku mengalirkan hanya keberuntungan ke dalam tangkupan. Saat bola kuning terbentuk di tanganku, aku berpikir untuk membagikannya pada Tia, Kak Will, dan Pak Ito, lalu aku meremasnya hingga pecah.
"Uwaaah ...." Tia tampak kagum mengamati kumpulan partikel melayang yang tampak seperti kunang-kunang. Totalnya ada tiga. Salah satu dari ketiga partikel itu melayang menuju dada Tia, lantas hilang bak tersedot masuk. Anak itu berseru tertahan kala menyaksikan.
"Sudah, ya." Julian berbalik terus melangkah. "Kita berangkat."
Ini dia. Misi yang sebenarnya akan dimulai dari sini. Debar jantungku mulai tidak karuan.
Belum ada satu bulan aku mempelajari echros ini. Masih banyak yang tidak kumengerti. Contohnya adalah garis kesialan yang baru kusadari keberadaannya saat kami berjalan menelusuri pekarangan rumah Kak Will dan Tia. Sangat pudar, tetapi itu tidak membuatku lebih tenang, justru sebaliknya.
Perjalanan ini tidak akan selesai tanpa hambatan. Lebih baik aku bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Namun, aku sungguh berharap aku tidak perlu menggunakan pisau lipat yang Riel berikan.
Clou's corner:
Sebentar lagi masuk bagian gelud, yey
21-05-2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro