Ch. 31: Tidak Apakah Aku Beristirahat?
Wordcount: 2.017 words
"Loh? Kamu kan---"
"Kamu!"
Aku dan cewek yang baru masuk ke kamar saling tunjuk dengan ekspresi terkejut masing-masing. Dari raut wajahnya bisa kutangkap sedikit rasa kesal, dan kekesalan itu menular padaku.
"Kok kamu ada di sini, sih?" Alisku tertekuk dan hidungku mengerut, memimik ekspresinya.
Cewek itu menyentakkan kaki. Masih menunjukku, dia berseru, "Harusnya aku yang nanya! Ngapain kamu di sini?!"
"Aku---"
Pintu kamar di seberang berayun terbuka dengan cepat, menarik atensi kami berdua. Julian di sana, memasang wajah dua kali lipat lebih masam dari biasanya. "Berisik banget kalian. Gatau apa orang lagi istirahat?" Suaranya agak parau, jadi kutebak dia baru saja terbangun.
"Loh? Kau!" Cewek itu gantian menunjuk Julian. "Kau juga ada di sini?!"
"Berisik banget kek toa." Julian mengorek telinga dengan jari kelingking. "Kubakar itu muka baru tau rasa."
Cewek itu tertegun. Mulutnya terkunci sebentar. Tatapan garangnya masih tertuju pada Julian hingga perhatiannya berpindah pada suara langkah kaki seseorang dari arah tangga.
"Apaan sih, Na? Bukannya istirahat malah---" Suara cowok, dan itu bukan suara Riel. Sepertinya dia berhenti di ujung lorong. "Lah---Julian?"
"Hah?" Julian menoleh dengan sebal, lalu wajahnya kembali santai. "Oh, Rylo."
Ini reuni yang tidak pernah kunantikan.
***
Setelah reuni singkat tadi, semuanya masuk ke kamar masing-masing, tetapi tidak denganku. Aku buru-buru keluar membawa baju ganti juga handuk, lalu pergi mandi. Setengah hati karena sudah gerah, setengah lagi karena menghindari Hana.
Agak lama aku mandi karena, sumpah, badanku kotor sekali gara-gara jatuh saat longsor tadi. Aku juga harus berhati-hati untuk tidak terlalu kasar saat menggosok beberapa bagian yang lecet pun dipenuhi luka-luka gores.
Selesai membersihkan tubuh, aku berendam sebentar sambil menatap seonggok pakaian kotor yang kubiarkan di lantai. Semua itu dibeli oleh Paman Val dengan uangnya. Pakaian bersih yang kusiapkan juga.
Tidak sudi. Aku tidak sudi memakainya. Sungguh.
Dia membawa Theo ke markas organisasi itu dan merahasiakan banyak hal dariku. Orang tua itu pasti merencanakan sesuatu. Namun, kenapa dia memperlakukanku dengan baik sebelumnya?
Aku tidak mengerti. Aku benci ini. Aku benci diriku yang tidak mengerti. Banyak hal yang tidak kupahami dan itu membuatku muak.
Tujuan Paman Val yang sebenarnya, penyebab Theo yang sempat menjauh dariku, apa yang Theo rasakan saat mendapat penglihatan ... banyak. Soal diriku sendiri juga, echros-ku, belum bisa kupahami.
Pelupuk mataku terasa hangat dan air mata sudah berjatuhan sejak tadi. Pandanganku buram. Mengusap wajah tidak ada gunanya karena tanganku basah.
Kami berada di tempat yang aman sekarang, tetapi hatiku tak kunjung tenang. Hati ini justru penuh dengan rasa sesak, perasaan negatif berkecamuk. Kepalaku tidak berhenti memikirkan hal-hal yang membuat hati sakit.
Air mata ini tidak mau berhenti mengalir. Aku sampai terisak-isak. Keran air sudah kumatikan, jadi kalau ada orang di sisi lain pintu itu, dia atau mereka pasti bisa mendengarku.
Semoga tidak ada siapa pun di sana, begitu pikirku. Namun, harapanku tidak terkabul. Seseorang mengetuk pintu. Aku tidak menyahut karena suaraku akan terdengar aneh, masih berusaha meredakan tangis.
Jeda sebentar. Orang yang mengetuk pintu pun memanggil, "Fel?"
Gawat!
"I-iya! Udah mau selesai, bentar!" Buru-buru aku keluar dari bak mandi dan menyambar handuk yang kugantung di belakang pintu.
Tidak ada suara lagi selain kuapan keras yang terdengar karena aku berdiri membelakangi pintu. Orang yang barusan memanggil itu Aiden, aku langsung tahu dari suaranya. Anehnya dia tidak bicara lebih. Kurasa karena dia baru bangun dan masih mengantuk. Yah, suaranya memang sedikit serak.
Secepat kilat aku mengeringkan badan dan memakai pakaian ganti yang ada. Handuk tersampir layaknya jubah menutupi punggung. Onggokan pakaian kotor kupungut sebelum keluar. Karena buru-buru, rambut tidak sempat kukeringkan, jadinya air menitis-nitis ke wajah dan lantai.
Menoleh ke samping, kudapati Aiden sedang bersandar pada dinding, menguap tanpa suara. Matanya sedikit berair. Dia benaran baru bangun. Lucu. Hatiku langsung berdebar kencang.
"Mau mandi?" tanyaku basa-basi, memasang senyum seadanya.
Dia menatapku dengan mata setengah tertutup, lalu menggeleng pelan. "Ke WC. Pas lewat kedengeran ada yang nangis," ujarnya sambil mengucek-ngucek mata.
Beneran kedengeran!
Aku tertawa canggung, mengalihkan pandangan. "Salah denger tuh. Kayaknya kamu masih ngantuk." Kembali menatapnya, aku bertanya, "Gimana tidurnya? Nyenyak?"
Sejenak dia menatapku linglung, baru mengusap wajah dengan kasar. "Tadi aku manggilnya ngelantur, ternyata beneran kamu." Anak itu tertawa kecil. Wajahnya kelihatan sedikit lebih cerah sekarang.
Lucu banget.
Aiden mengangguk dengan senyum manis. Matanya yang masih sayu entah kenapa menenangkan. "Nyenyak, kok. Tadi mimpiin kamu."
"Eh---hah?" Kalau otakku adalah sistem gawai, maka sekarang otakku sedang membeku. Tanganku nyaris menghantam wajah anak ini dengan gumpalan pakaian kotor. Untung aku masih bisa menahan diri, mengingat pakaian dalamku bersembunyi di balik kaus dan jaket.
"Bangun-bangun ngebucin," ucap seseorang dengan suara serak, lantas terdengar menyeruput minuman.
Aku menoleh ke sisi lain ruangan dan mataku terbuka lebih lebar lagi, pun wajahku kian panas hingga rasanya bisa meledak sekarang juga. Ada Julian di sana, berdiri di samping meja makan, bertopang pada sandaran kursi. Cowok itu menyeruput air putih dengan wajah datar. Dia sengaja supaya aku menyadari keberadaannya.
"Siapa yang bu---heh! Ngapain dari tadi diem di situ ngeliatin?!"
Julian menyeringai penuh jenaka. Gelas yang masih setengah terisi dia singkirkan dari mulut, membuat wajah menyebalkannya terlihat jelas. "Orang lagi asik bucin masa diganggu. Gini-gini aku ngerti kali," ujarnya dengan intonasi songong.
"Tapi barusan ganggu---eh! Nggak! Siapa juga yang bu---"
Ada yang menubruk bahuku. Pada saat yang sama, gumpalan kain dalam genggaman jatuh ke lantai. Cepat aku berbalik ke samping sebelum badan Aiden ikut jatuh bersama handuk yang meluncur turun dari punggung.
Onggokan pakaian lusuh yang semula mengisi dekapku digantikan oleh seorang cowok. Aku bisa merasakan kehangatannya menjalar ke sekujur tubuhku. Itu atau aku yang kepanasan karena situasi tak terduga dan posisi yang amat buruk untuk kesehatan jantung ini.
Napasnya yang begitu teratur membuat bulu kuduk meremang. Jantungku juga tengah menggedor-gedor jeruji rusuk yang mengurungnya. Dia mengigau tidak jelas, membuat telingaku jadi dua kali lipat lebih panas dan merah.
Kepalanya tersandar pada pundakku. Rambutnya nan lembut menggelitik pipi, membuat tanganku gatal untuk memainkannya sampai jadi lebih berantakan.
Tangan kiriku melingkar pada pinggangnya agar dia tidak jatuh. Sementara itu, tangan kananku ragu-ragu terangkat. Kutelan ludah dengan paksa saking gugupnya, tetapi tangan ini tak dapat kuhentikan.
Katakanlah aku aneh. Aku tidak peduli. Rasanya bahagia sekali ketika tanganku menyentuh belakang kepalanya, mengacak-acak rambutnya dengan pelan. Ekspresi yang kutunjukkan saat ini pastilah sangat konyol.
Sekian menit berlalu, baru aku berani menoleh ke arah meja makan. Julian masih di sana, tetapi dia tak lagi melihat kemari. Cowok itu duduk di meja makan dengan gelas kosong di depannya, tampak begitu tenang kala menerawang ke luar jendela.
Dia butuh waktu lima detik untuk menyadari bahwa aku sedang menatapnya. "Apa?"
Tidak mau bersuara dan malah membangunkan Aiden, aku memberi isyarat agar cowok tempramen itu mau membantuku. Kugerak-gerakkan tanganku saat menunjuk manusia dalam pelukanku, lalu berganti menunjuk ke atas tangga menuju lantai dua.
Julian mengerti dan tidak banyak bicara. Dia berjalan menghampiriku, kemudian aku membantu Aiden naik ke punggungnya. Agak susah, tetapi lebih baik aku yang kesusahan daripada Aiden diangkut seperti karung beras.
"Makasih." Kata itu keluar begitu saja saat Julian melangkah pelan menaiki tangga. Aku tidak ingat pernah berterima kasih pada cowok itu. Mungkin ini pertama kalinya dan dia tidak mengindahkan itu, atau aku saja yang tidak dapat melihatnya.
Setelah kedua cowok itu hilang dari pandangan, suhu tubuh dan degup jantungku berangsur normal. Sambil memungut pakaian dan handuk yang terjatuh, aku terpikirkan sesuatu yang membuatku terdiam dalam posisi jongkok.
Julian kelihatannya lebih santai. Aiden juga, dia pernah bilang kalau dia sulit pun enggan tidur, tetapi hari ini kurasa tidurnya nyenyak seperti yang dia katakan. Benar-benar nyenyak sampai dia jatuh tertidur lagi.
Kutarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskannya seraya bangkit berdiri. Kakiku sedikit kebas, untungnya tidak sampai kesemutan.
Aku lega dan senang. Aku senang mereka merasa nyaman dan bisa bersantai di sini setelah melewati hari-hari penuh tekanan. Kalau mereka bisa bersantai, harusnya aku juga bisa. Jalan-jalan di luar sepertinya ide yang bagus.
Melangkah keluar rumah, onggokan pakaian kotor masih berada dalam dekapku. Niatnya ingin bertanya di mana aku bisa mencuci pakaian.
Embusan angin lumayan kencang sore ini, nyaris membuat pintu terbanting tertutup. Cepat-cepat aku menahannya, lantas menutupnya dengan perlahan. Napas lega pun kukeluarkan.
"Oh, hai, Feli," sapa seorang cewek yang kukenal dengan nama Natha. Kelihatannya dia datang dari rumah pohon, masih dengan senyum ramah yang selalu ia tunjukkan. "Gimana istirahatnya? Tidur nyenyak? Baru selesai mandi, ya."
Aku tertawa kecil. "Nyenyak banget." Melongak-longok, aku pun bertanya, "Anu, tempat buat cuci baju di mana, ya? Atau di kamar mandi tadi?"
"Nyuci? Biasanya kami giliran nyuci di danau sana." Natha menunjuk ke belakangku. "Di belakang rumah. Masukin ke keranjang di kamar aja biar nyucinya sekalian."
"Boleh?" Agak tidak enak hati rasanya.
Natha mengangguk mantap. "Boleh. Kan hari ini kamu harus istirahat penuh." Ia pun menaruh satu tangan di pinggang, sementara yang satu lagi menunjuk jendela dapur. "Mending kita ngobrol aja. Sore-sore gini emang paling cocok ngobrol sambil minum teh, kopi, atau coklat panas."
Dengan begitu, aku naik ke lantai dua untuk memasukkan pakaian kotor ke dalam keranjang di kamar. Natha sudah siap dengan dua mug cokelat panas ketika aku kembali. Aromanya sungguh memikat, tahu-tahu aku sudah duduk memegang salah satu mug.
Mugnya ditiup-tiup, baru Natha menyeruput sedikit. Dia kelihatan begitu tenang, menguarkan aura dewasa nan pekat. Walau rambutnya dicepol asal-asalan, dia tetap kelihatan cantik. Yah, kalau hanya melihat sekilas penampilannya, orang-orang akan terkejut saat mengetahui kepribadiannya.
"Keliatannya kamu punya banyak pertanyaan. Ayok, tanya aja. Siapa tau kepalamu jadi lebih ringan." Natha bertopang dagu, meletakkan mugnya di depan. "Siapa tau aku bisa jawab, kan?"
"Eh, umn. Kalo kamu ... kalo Kak Natha gak keberatan." Aku yang tadinya sibuk mengamati isi mug pun mengangkat kepala, mendapati Natha sedang menahan tawa geli. "Eh, salah ya kalau aku panggil 'Kak'?"
Tawanya lepas sedikit. Dia mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah, menyahut dengan senyum geli, "Nggak, nggak. Aku emang lebih tua setahun lebih, kan tadi udah bilang pas makan bareng."
Refleks aku mengoreksi, "Dua tahun."
"Belum genap, jadi masih satu tahun lebih." Dia berdeham. Senyum masih terukir tipis. "Oke, balik ke topik. Aku nggak keberatan. Tanya aja."
Sebenarnya ada banyak yang ingin kutanyakan soal bagaimana cara melatih echros, melihat dia dan Riel sudah lebih mahir menggunakan milik mereka. Namun, kurasa akan lebih baik kalau mulai dengan pertanyaan sederhana.
"Itu, tadi kulihat di kamar ada meja yang berantakan sama kertas-kertas. Itu meja Kak Natha atau meja Hana?"
Natha tertawa kecil, lalu berkata, "Kamu lucu juga. Tapi nggak usah pake embel-embel deh manggilnya, biar lebih santai aja." Dia mengambil jeda untuk menyeruput cokelat panasnya yang kemudian aku ikuti.
Dia kelihatan seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. "Oh, iya, kerjaanku itu. Maaf, ya, biasanya aku doang yang make mejanya jadi nggak kuberesin. Cardigan aku ada di sandaran kursinya?"
Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya. "Nggak apa-apa, kok. Aku cuma penasaran, itu Ka---kamu nulis apa?"
Senyum jahil terukir pada wajahnya dan dia kelihatan bersemangat. "Itu catatan soal echros-echros penghuni rumah ini sama orang-orang yang aku kenal. Aku nyatet penjelasan dasar, proses perkembangan, sama potensi perkembangannya. Menurutku, ya, echros itu keren sama misterius banget, loh. Sejauh ini belum bisa dikategorikan kayak yang di film-film, sih, soalnya random banget. Setidaknya yang kulihat sejauh ini ...."
Mulutku sedikit menganga, padahal aku yakin tadi aku menutupnya rapat. Kuseruput minumanku supaya tidak kelihatan canggung atau aneh. Antusiasme orang ini menyangkut echros tinggi juga. Maksudku, dia tidak berhenti mengoceh.
Dari caranya membicarakan echros dan fakta bahwa dia mencatat banyak hal soal kekuatan misterius ini, kurasa dia bisa kumintai bantuan. Bantuan untuk mengembangkan echros-ku.
"Oh, iya! Echros kamu itu menyangkut keberuntungan, ya?" tanya Natha dengan mata berbinar pun badan condong ke depan. Mugnya aman di samping.
Agak canggung aku mengangguk. Antusiasmenya membuatku sedikit salah tingkah. Sepertinya aku terlalu lama dikelilingi orang-orang yang ... tidak seriang ini.
"Keren banget! Aku jadi penasaran soal ...."
Hmn, seingatku Aiden ceria. Namun, ada sesuatu yang membuat keceriaannya berbeda dari Natha ... atau hanya perasaanku saja, ya?
"Eh, maaf. Aku ngoceh mulu." Natha menggaruk kepala sambil cengar-cengir. "Kamu dulu deh yang ngomong."
Ya, pasti cuma perasaanku. Lagi pula, ada yang lebih penting sekarang.
Selagi diberi kesempatan, aku harus mengungkapkannya, masalah yang membuat pikiranku kalut. Soal aku yang sepertinya terlambat atau parahnya lagi, belum membangkitkan echros-ku secara penuh.
Natha mendengarkan dengan saksama. Minuman kami pun habis dan percakapan selesai. Dia menyuruhku istirahat untuk hari ini, juga berjanji untuk membantuku besok setelah sarapan.
.
A R C 3
Pemberontak
.
.
Telah dimulai
26-01-2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro