Ch. 30: Istirahat yang Layak
Wordcount: 1.676 words
Setelah cukup lama beristirahat sambil mengobrol, kami diundang makan di rumah mereka. Bukan untuk makan saja, mereka bilang, kami boleh menetap di sana karena masih ada satu ruangan kosong yang cukup luas. Ada juga kemungkinan ruangan bertambah, kata Natha.
Mau tinggal di sana atau tidak itu urusan nanti. Sekarang aku sangat-sangat senang dan bersyukur sudah diundang untuk makan. Tidak hanya sekali terdengar gemuruh perut selama perjalanan. Makanan beku tidak cukup mengenyangkan.
Setelah cukup lama mengamati, hewan pun serangga tak kunjung tampak. Itu membuat tempat ini terasa ganjil, walau apa yang berada di depan sana adalah rumah idaman beberapa orang.
Natha berlari mendahului kami menghampiri rumah pohon di pekarangan. "Halo! Kami kembali!" Semangat sekali dia melambai-lambai pada mereka yang tengah bersantai di sana.
Ada anak laki-laki seumuran Theo yang asyik membaca di ayunan. Natha mengacak-ngacak rambut anak itu sambil mengucapkan sesuatu yang tak sampai ke telingaku. Sementara itu, ada yang mengintip dari jendela rumah pohon, sepertinya anak kecil juga. Dia langsung sembunyi begitu sadar aku menatapnya.
Karena Natha teralihkan perhatiannya, Riel mengambil kendali. Dia menoleh ke belakang dengan ekspresi santai. "Habis makan, kalian bisa tidur kalau mau. Ada satu kamar kosong yang tadi Natha bilang."
"Feli sama anak cewek yang satu lagi tidur di kamarku aja!" seru Natha yang masih asyik di area rumah pohon.
Riel pun menuntun kami masuk. Tidak ada yang menunggu di dalam. "Yang lain belum balik," jawab Riel sebelum ada yang bertanya.
Cowok itu berjalan ke meja makan, menarik satu kursi, lalu menoleh pada kami. "Kalian duduk aja, biar kumasakin sesuatu." Riel pun beranjak ke dapur. Samar kudengar dia menambahkan, "Yang layak dimakan."
Sekitar lima detik kami diam mematung seperti orang bodoh, padahal sudah dipersilakan duduk. Mungkin efek kelelahan dan lapar.
Aiden yang pertama beranjak duduk. Aku mengambil tempat di sampingnya, barulah yang lain duduk di kursi yang tersisa. Ransel-ransel diletakkan di samping kursi masing-masing.
Aiden memecah kecanggungan dengan meregangkan tangan sambil mengerang. Sesudah itu, ia membuka percakapan dengan berceletuk, "Akhirnya bisa santai!"
Julian yang duduk di seberangnya mendengkus sementara bertopang dagu. "Kalian berdua enak sempat tidur sebelum jalan," sindirnya. Kali ini tidak dengan lirikan sinis.
"Jatah tidur kita sama, tau," sahutku ketus. Kedua tangan kulipat di depan dada dengan punggung tersandar pada sandaran kursi kayu yang herannya terasa nyaman alih-alih keras.
"Udah-udah." Marlo menengahi. Dia yang kelihatan paling segar di sini. Namun, aku tahu dia juga lelah. Bonus: sakit kepala. Marlo melirikku sebentar baru melanjutkan, "Kita semua capek. Kalian jangan ribut."
Ya, dia benar. Kami semua kelelahan. Lihat saja Zenia yang langsung menyandarkan kepala di atas meja begitu bokongnya mendarat di kursi dengan aman. Theo juga begitu.
Kutaruh lipatan tangan di atas meja, lantas menenggelamkan wajah di atasnya. Spontan aku berucap, "Kupikir kita bakal berkeliaran di hutan sampai mati jadi makanan hewan buas."
"Mana ada hewan buas. Paling parah itu ketemu yang kayak tadi," sahut Julian diikuti embusan napas gusar.
"Mending hewan buas, deh," celetuk Aiden, terdengar santai sekali. "Bisa digencet sama batu ato pohon besar sampai mati. Terus dimasak pake apinya Ian buat kita makan."
Aku nyaris memuntahkan setengah bungkus makanan beku yang kulahap tadi pagi. Aiden malah tertawa melihatku hampir muntah.
Bukannya protes soal makan daging hewan buas yang mati digencet pohon dan batu, Julian justru menyahut, "Udah berapa kali dibilang jangan nyebut nama itu, Cebol."
"Kau sendiri, stop ngatain cebol."
"Lah, itu kan fakta."
Terjadilah adu mulut kecil-kecilan, padahal baru diperingati Marlo. Yah, belum satu menit juga mereka sudah berhenti. Dihentikan oleh auman cacing raksasa dari dalam perut masing-masing.
Pandangan kualihkan pada punggung Riel yang sibuk memasak. Melihat kompor menyala dan bahan-bahan yang sedang diolah, aku jadi bertanya-tanya dari mana mereka mendapatkan semua itu. Apa mereka mengambilnya dari dunia luar?
Aku kembali menaruh kepala di atas lipatan tangan, kali ini dengan wajah mengarah pada Riel. "Hei," panggilku, "ini ruang ... ruang buatan, kan? Jadi kalian sesekali keluar buat beli keperluan?" Rasa penasaran ini tak dapat dibendung.
"Hmn ... iya, ada yang tugasnya keluar buat belanja," jawabnya tanpa menoleh. Dia sibuk memotong ini-itu sambil melakukan sesuatu dengan wajan. "Ini mereka lagi keluar belanja."
"Hee ... yang tinggal di sini banyak?" tanya Aiden.
Gerakan Riel terhenti barang satu detik. Hanya satu detik, tetapi itu membuatku khawatir. Pun ada jeda sebentar sebelum dia menjawab, "Dulu banyak. Sekarang tinggal berenam kalau kalian nggak diitung."
Aiden hanya ber-oh ria sebagai balasan, lalu kami tenggelam dalam hening. Hanya ada suara Riel memasak dan samar-samar seruan Natha dari luar. Obrolan berhenti pada titik yang membuatku tak enak hati.
Empat dari kami sudah tertidur, atau mencoba tidur. Theo dan Zenia tertidur di atas lipatan tangan, Julian sambil bersedekap dengan punggung menempel pada sandaran, sementara Marlo sambil bertopang pipi. Cuma Aiden yang melamun dengan tatapan terkunci pada permukaan meja.
Melihat mereka yang tampak tenang dan santai membuatku merasa lega. Walau penampilan berantakan dan kotor, kami selamat tanpa luka serius. Kami masih hidup dan tidak terpisah. Bagiku itu sudah cukup.
Tak lama kemudian, Riel meletakkan wadah besar berisi nasi goreng spesial di tengah-tengah meja. Kubilang spesial karena campuran lauknya banyak dan beragam. Aku bisa melihat potongan kol dan seledri yang dicincang halus. Mulutku langsung banjir air liur.
Riel juga membagikan alat makan, lalu beranjak ke pintu dan berteriak memanggil mereka yang di luar. Kami makan bersama setelahnya. Tidak ada percakapan berat, hanya basa-basi yang untuk saat itu saja membuatku melupakan segala kegilaan ini.
Natha yang paling banyak bicara. Dua anak kecil yang kulihat di rumah pohon tadi diam saja dan menjawab seadanya kalau diajak bicara.
"Ah, biar kubantu cuci piring," ucapku seraya berdiri kala semuanya sudah selesai makan.
"Eits!" Natha menahanku. "Nggak usah, hari ini jatahku nyuci piring. Kamu sama temen-temen kamu mending istirahat, deh," ujarnya cengar-cengir.
Riel mengangguk setuju sementara menyusun piring-piring kotor dan alat makan lainnya. "Mau mandi boleh, mau tidur boleh. Habis nyusun ini kuantar. Bentar."
"Duh! Biar aku aja kali!" Natha bergegas menggantikan cowok itu, lantas mendorongnya bergabung dengan kami. "Mereka udah capek gitu disuruh nunggu. Antar, gih!"
Riel memberenggut, tetapi dia menurut tanpa adu mulut. Setelah mengambil napas, dia berkata, "Kamar-kamar ada di atas. Kalian liat dulu baru turun lagi buat yang mau mandi. Kamar mandinya di situ." Dia menunjuk pintu kayu di sisi lain ruangan, tepatnya di depan anak tangga menuju lantai dua.
Mengikutinya, kami naik ke atas, mendapati koridor yang mirip dengan rumah penginapan. Di masing-masing sisi ada dua kamar, jadi totalnya ada empat dan hanya satu yang kosong.
Pemandu kami menunjuk kamar pertama di kiri kami. "Yang ini kamarku sama anak cowok satu lagi yang lagi keluar. Sebelahnya kamar Natha." Dia berbalik menatap Zenia dan aku bergantian terus berucap, "Kalian berdua tidur di situ."
"Oke," jawabku dan Zenia berbarengan. Bedanya, anak itu menggunakan telepati.
Beralih pada para cowok, Riel menunjuk kamar kedua di kanan kami. "Kalian berempat di situ. Kalo terlalu rame, satu boleh ke kamarku."
Aiden, Julian, dan Marlo bertukar pandang sejenak. Marlo mewakili mereka menjawab, "Nggak apa-apa---"
"Aku mau sama Kakak," potong Theo. Wajahnya menunjukkan ekspresi tidak suka. Makin masam mukanya kala bertemu pandang dengan Aiden.
Melihat Riel agak bingung, aku segera menyahut, "Aku kakaknya." Pun aku beranjak mendekati anak itu. Baru kali ini dia bertingkah lengket. Agak sulit dipercaya kalau ini nyata.
"Hmn ... kalau gitu, nanti kalian tidur berlima. Ada satu lagi yang tinggal di kamar Natha." Raut wajah Riel menunjukkan ketidaksetujuan.
"Aku tidur di lantai gapapa," ucap Theo mengundang pelototan dariku dan beberapa yang lain.
"Heh, nggak boleh! Kalau ada yang mesti tidur di lantai, biar aku aja!" sahutku jelas tidak terima. Aku memang merindukan keempukan kasur, tetapi mana mungkin kubiarkan adikku tidur di lantai.
Di depan kami, Riel sibuk menggaruk-garuk belakang kepala dengan gusar. "Ini merepotkan," keluhnya.
"Ayok lah, Dek," bujuk Aiden, "cowok sama cewek gak boleh sekamar biar kakak-adek. Lagian, kau udah gede. Kita cowok-cowok bareng aja, ya? Kakakmu gak bakal ilang---"
"Gamau," potong Theo sekali lagi. Tatapannya makin sinis saja.
Aku dan Riel bersamaan mengembuskan napas panjang. Aku pun meletakkan salah satu tangan pada pundak adikku itu. Sedikit membungkuk, aku bertanya, "Kamu kenapa sih, Theo? Gak biasanya."
Alih-alih menjawab, anak ini justru membuang muka. Aku jadi tambah bingung dibuatnya. Mungkin hanya Marlo yang mengerti karena dia bisa membaca pikiran. Namun, mana mungkin aku bertanya kepadanya.
Pundak Theo kuelus-elus dalam upaya menenangkannya kalau ada sesuatu yang membuatnya takut atau cemas. "Bener, tahu, kata Aiden. Aku gabakal tiba-tiba ngilang, jadi tenang aja."
"Denger ya, kalian semua," ucap Riel bersedekap, "kami di sini ngebantu sesama Eccentric biar aman dari ancaman itu. Kami sukarela nyediain tempat tinggal, fasilitas, sama makanan. Kami gabakal macam-macam."
Dia menghela pun mengembuskan napas. Melirik Marlo sebentar, dia lanjut bicara, katanya, "Salah satu dari kalian kan bisa baca pikiran. Aku mau nanya, apa dari awal sampe sekarang ada kedengeran pikiran busuk dari aku atau Natha? Atau anak-anak tadi?"
Marlo menggeleng dengan wajah serius. "Nggak ada."
"Kan? Jadi buat apa takut?" tanya Riel pada Theo yang masih memalingkan wajah.
Selang beberapa detik, baru Theo berbisik, "Iya, deh. Gapapa." Kami bisa mendengarnya dengan jelas karena di sini sunyi.
Dengan demikian, kami masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Riel pamit turun ke bawah sebelum aku menutup pintu.
"Akhirnya! Kasur!" seru Zenia dalam kepalaku seraya melompat ke salah satu kasur yang polos. Tidak ada seprai, bantal, ataupun selimut di atasnya, berbeda dari yang lain.
Sebelum bergabung dengan Zenia di atas kasur, aku lebih dahulu mengamati seisi ruangan. Di sisi kiri ada tiga kasur berjejer tanpa bingkai, yang sedang Zenia tempati sekarang adalah yang tengah. Karena kasur yang lain tidak polos, kutebak yang di tengah memang tidak ditempati.
Sementara itu, di sisi kanan terdapat lemari pakaian yang cukup besar dengan dua keranjang pakaian di depannya. Di samping lemari tersebut, ada sebuah meja yang ramai dengan buku-buku serta bola-bola kertas. Pada kursinya tersampir sebuah cardigan rajut berwarna biru muda.
"Kak Feli! Ayok, sini rebahan! Kakak pasti ngantuk." Dari kasur, Zenia melambai-lambai dengan senyum lebar terukir pada wajahnya.
"Iya, iya."
Aku memang mengantuk, justru sangat mengantuk. Sebenarnya tadi aku ingin mandi dahulu, tetapi badanku keburu lemas dan mata ini makin berat saja. Maka dari itu, aku segera melepas sepatu dan jaket, lalu merebahkan badan di samping Zenia.
"Empuknya ... aku kangen kasur."
Zenia tertawa tanpa suara menanggapi celetukanku.
.
.
A R C 2
Para Buron
Wordcount: 23.418 words
.
.
Selesai sampai di sini
.
Clou's corner:
Akhirnya, ya! Mereka bisa bener-bener istirahat~
Sebelum dihantam badai
Atau malah menerjang badai?
21-06-2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro