Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch. 3: Permulaan yang Buruk


Wordcount: 1.343 words

Ini hari pertama aku masuk sekolah di kota. Masih ada yang perlu diurus bersama Paman, jadi aku agak terlambat masuk ke kelas.

Paman pergi setelah menyerahkanku pada seorang pria paruh baya yang katanya adalah wali kelasku. Nama beliau agak lucu. Pak Herman. Beliau kelihatan ramah. Senyumnya begitu menenangkan, sukses mengusir sedikit rasa gugup.

Aku pergi ke kelas diantar olehnya, melewati banyak kelas lain yang penuh dengan siswa-siswi. Makin jauh kami berjalan, makin ... turun kualitas ruang kelasnya. Hingga tibalah kami di depan kelas yang sudah bobrok.

"Maaf mengecewakan, tapi di sinilah kelas kita," ucap beliau dengan senyum sendu seraya melangkah mendahuluiku. Dibukanya pintu kelas yang tampak rapuh, menghasilkan suara derit.

Agak ragu melangkah, tetapi aku kembali mengekor sampai ke dalam. Dan, tentu saja bagian dalamnya tidak kalah bobrok. Pun suasananya tidak secerah kelas-kelas yang tadi kulewati.

Murid-murid di kelas ini tidak keluyuran. Mereka duduk diam di tempat dengan gaya masing-masing. Ada yang bertopang dagu, duduk santai dengan kaki mengangkang, tidur, pura-pura tidak sadar ada orang di depan kelas, dan lain sebagainya.

Pak Herman berdeham, mendapatkan perhatian sebagian besar anak muridnya. Beliau menyapa lebih dahulu dan balas disapa barulah menoleh padaku dengan senyum.

"A—"

Sial, baru buka mulut aku sudah mencetak satu aib. Suaraku melengking terus tersendat karena gugup. Rasanya ingin melarikan diri saja.

Secara mengejutkan, tidak ada yang tertawa. Suasana masih suram. Antara miris dan bersyukur rasanya.

Aku menghela napas, mengembuskannya, baru kembali membuka mulut. "Perkenalkan, nama saya Felisia Angelita. Biasa dipanggil Feli. A-aku gak ikut MPLS karena ...." Tiba-tiba lidahku kelu. Sungguh, aku tidak bisa melanjutkan kalimat.

Penuh harap aku melirik Pak Herman. Beliau tersenyum iba padaku, lalu menghadap murid-muridnya lagi. "Felisia baru bisa masuk hari ini karena minggu lalu ... dia dan keluarganya mengalami kecelakaan."

Tak kuasa memandang orang-orang di depan. Aku menolak mendengar bisikan-bisikan mereka. Ini lebih berat dari yang kubayangkan.

Telapak tangan Pak Herman mendarat pada pundakku. "Perlakukan dia seperti kalian memperlakukan teman yang lain." Sekali lagi beliau menepuk pundakku. "Nah, Feli, silakan duduk di samping Aiden."

"Di sini!" seru seseorang dengan suara agak cempreng seperti cowok yang belum puber.

Ragu-ragu aku mengangkat kepala, menoleh pada sumber suara. Aku mematung sejenak saat Pak Herman beranjak ke tempat duduknya. Di sisi lain, cowok bernama Aiden itu terus melambaikan tangan. Cepat-cepat aku melangkah menghampirinya.

"Hai ...." Aku berucap seraya meletakkan ransel di atas bangku.

Aiden tersenyum memamerkan deretan giginya. "Hai juga, Feli. Duduk aja, gak usah malu-malu."

Sumpah, silau. Kayak berhadapan dengan sang mentari.

Aku mengangguk, lalu duduk tanpa mengacuhkan bisikan murid-murid lain yang makin menjadi. Banyak dari mereka mencuri pandang terus lanjut berbisik-bisik.

Berbeda dari yang lain, Aiden terus menatapku. Senyum tak kunjung luntur, mengirimkan sensasi hangat yang menggelitik perut. "Kenalan dulu, dong," katanya mengulurkan tangan.

Tanganku bergerak kaku untuk menjabat tangannya. "Panggil aja Feli ... kan udah kubilang tadi."

Cowok ini tidak mengindahkan kata-kataku barusan. "Kenalin, namaku Aiden William. Cowok umur 16 tahun. Tinggi 155 sentimeter," jelasnya panjang lebar diakhiri dengan menyentakkan tanganku.

Cengo aku dibuatnya. Cowok ini manifestasi energi cahaya positif atau apa? Aku sampai kehabisan kata-kata. Belum pernah menghadapi manusia yang seperti ini.

Setelah perkenalan satu sisi yang mengherankan itu, semuanya diam menyimak kata-kata yang diucapkan Pak Herman. Ah, ralat. Semuanya diam, tetapi tidak semua menyimak. Ada yang tidur dan ada pula yang melamun.

Akhir kata, Pak Herman menyampaikan bahwa guru untuk jam pelajaran selanjutnya tidak masuk dikarenakan sakit. Baru kali ini aku tidak berseru kegirangan saat tahu ada jam kosong. Murid-murid lain juga tidak berseru merayakannya.

Kami memberi salam mengikuti komando ketua kelas yang telah ditentukan. Dia seorang cowok berpostur tinggi pun agak kurus. Wajahnya kelihatan kusut, mungkin tidak terima diberikan posisi ketua kelas. Gerakannya letoi dan suaranya sama sekali tidak berkarisma.

"Ketua kelas kita namanya Marlo. Anak nolep." Aiden terkekeh.

Dalam situasi biasa aku akan tertawa, lalu menyambung candaannya. Namun, atmosfer menegangkan dalam kelas ini sangat tidak mendukung. Mencekam. Setidaknya bagiku.

"Fel."

"Y-ya!"

Aiden tertawa kecil. Dia terus memandangiku sampai menopang kepala. "Kasih tahu echros-mu dong. Kami semua penasaran."

Eh, apa?

Aku menatapnya heran. Keningku sampai mengerut. "Kamu bicara ngelantur? Echros itu apa?"

Dia malah tertegun. Penghuni kelas lainnya kembali berbisik-bisik. Ucapanku pasti kedengaran jelas di tengah keheningan tadi.

Memangnya aku salah bicara?

Seketika Aiden mengukir senyum yang berbeda dari yang tadi. Senyum ini tidak hangat, malah membuatku merinding. "Menarik," katanya.

"Dia gak tahu dia itu Eccentric? Aneh banget."

"Mungkin dia punya echros pasif jadi gak sadar."

"Ih, mana mungkin dia masuk kelas ini tanpa tahu apa-apa."

"Jangan-jangan dia itu mata-mata sok polos dari organisasi itu."

"Eh ... mungkin aja dia gak dikasih tahu apa-apa sama orang tua atau walinya. Dia keliatan clueless banget."

"Duh, kasihan banget gak dikasih tahu."

"Huh, buat apa kasihan? Dia gak tahu apa-apa berarti hidupnya enak banget sampai sekarang."

Aku tak lagi bisa mengabaikan bisikan-bisikan mereka. Menutup telinga tidak bisa menghalau semuanya. Aku tidak mengerti apa yang mereka katakan. Kata-kata pedas yang beberapa dari mereka lontarkan tak dapat kuproses dengan baik.

Pelupuk mata mulai terasa hangat. Dada agak sesak, pun aku sedikit sulit bernapas. Tangisku bisa pecah sekarang juga, tetapi itu akan memalukan jadi aku berusaha keras menahannya.

Jantungku mencelus ketika pintu kelas mendadak terbanting tertutup. Seisi kelas tenggelam dalam hening, sama terkejutnya denganku.

"Udah cukup ngocehnya," ujar Aiden. Entah ekspresi seperti apa yang tengah ia pasang.

Ini mengerikan. Aku ingin pulang. Kenapa Paman meninggalkanku di tempat seperti ini? Ini bukan ruang kelas rasanya.

Di baris sebelah, seseorang menggeser kursi dengan kasar hingga menabrak meja di belakangnya. Mungkin begitu. Aku tidak lihat, sibuk merenungi kolong meja.

"Kau membelanya," geram seseorang yang berderap mendekat. Sesampainya di sampingku, dia terdiam sejenak, lantas menggebrak meja.

Untuk kedua kalinya pagi ini, jantungku memaksa keluar dari kurungan. Mungkin aku akan kena serangan jantung sebelum bel istirahat berbunyi dan segera menyusul orang tuaku. Kalau itu benaran terjadi, aku akan sangat menyesal.

Di samping kananku, Aiden bangkit berdiri. "Aku gak ngebela dia. Dia kan gak ada salah, buat apa dibela?"

"Belum. Belum ada salah," ucap si lawan bicara dengan penuh penekanan. "Banyak Eccentric yang hilang di SMP. Itu terjadi sejak munculnya anak mencurigakan yang ternyata dikirim oleh organisasi sinting itu. Kaumau itu terjadi di sini?"

Aiden mengembuskan napas gusar. "Ayolah, Julian. Itu rumor doang—"

Sekali lagi, cowok yang dipanggil Julian itu menggebrak mejaku. "Rumor apanya! Anak-anak itu beneran hilang! Gak ada yang balik sampai sekarang!"

"Anak yang kaumaksud itu juga menghilang, woi! Rumornya gak masuk akal!" sahut Aiden dengan suara ditinggikan tanpa takut ada guru yang datang.

"Kautahu itu masuk akal, Cebol!" geram Julian dengan suara tak kalah keras. Aura panas menguar darinya. "Pura-pura bego buat belain cewek ini di depan banyak orang—atau kau udah bego beneran?"

Dari sudut mata kulihat tangan Aiden mengepal. Buku-buku jarinya memutih. Ia tak lagi menyahut.

"Sudah kuduga," gerutu Julian. Ia pun menjambak rambutku yang terurai, menariknya kuat-kuat ke atas.

Seketika seisi kelas menjadi ricuh bak pasar. Mereka semua pasti meributkan tindakan Julian. Tidak ada yang berani menghentikannya sejauh ini. Mereka tidak peduli padaku atau takut pada cowok sinting ini? Mungkin keduanya.

Aku berusaha sekeras mungkin untuk melepaskan diri, sampai menendang-nendang kakinya. Namun, tenaga cowok ini berada jauh di atas. Diriku yang lemah dan payah ini terus mencakar tangannya dengan harap bisa terlepas. Tendanganku mulai memeleset mengenai kaki meja.

"Biar kuurus penyusup ini." Julian beralih mencekikku kala aku bangkit berdiri dalam upaya melepaskan diri yang sia-sia. Tenggorokanku rasanya seperti sedang dibakar.

Cengkeramannya teramat kuat. Namun, kurasa dia tidak berniat mencekikku sampai mati, melainkan mengadu tubuhku dengan meja atau lantai. Bekas luka dari kecelakaan waktu itu belum hilang dan orang sinting ini berniat melukaiku.

"Julian, hentikan!" teriak seorang cewek. Entah yang mana dan di mana.

Ketika tubuhku sedikit terangkat dari lantai, cengkeramannya tiba-tiba lepas. Seorang cewek meninju wajah Julian sementara aku jatuh ke atas kursi dan hampir terjungkal. Untunglah ada tubuh kecil Aiden yang menahan. Mendongak menatapnya, kulihat dia ... sedang mengangkat kursi dengan tatapan nyalang.

"Kalian berdua punya otak gak, sih?! Kalau punya dipake buat mikir dong! Jangan biarin diri kebawa emosi!" hardik si cewek. Julian dia singkirkan dengan mudah dari hadapanku. Hanya ditampar bahunya, Julian berpindah tempat ke atas bangku di baris sebelah.

Apa yang baru saja terjadi?

.

.

.

Clou's corner:
Ada yang panas nih. Kalian punya es batu?

12-08-2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro