Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch. 29: Tempat yang Aman

Wordcount: 1.621 words

"Gak mau sekalian ngehancurin organisasi sialan itu?"

Satu pertanyaan itu berhasil meyakinkan Aiden untuk bergabung dengan mereka. Saat Aiden sudah bulat niatnya untuk melakukan sesuatu yang masih masuk akal, kami hanya mengikuti. Tidak ada yang menentang kali ini. Toh, mereka sudah menyelamatkan nyawa kami.

"Jadi ... selama ini kalian sembunyi di hutan?" tanyaku di tengah perjalanan nan canggung.

"Buat sekarang, iya," jawab Natha yang masih memandang lurus ke depan. "Persembunyian kami pindah-pindah supaya gak gampang dilacak sama aset-aset BPE."

Marlo menyusul langkahku, memperkecil jarak dengan Natha terus bertanya, "Yang tadi itu aset-aset BPE?"

Natha mengangguk, kemudian menoleh ke belakang. Dia memperhatikan kami satu per satu. Mulai dari aku dan Marlo yang paling dekat dengannya, berpindah pada Aiden dan Zenia, lalu Julian dan Theo di paling belakang.

Cewek itu tersenyum miring sebelum kembali menghadap depan. "Kalian ini kumpulan Eccentric buronan paling menarik yang pernah kutemui," kekehnya.

"Menarik dari mananya," cibir Julian keras-keras. Cowok pemarah itu pasti sengaja supaya semua mendengarnya.

Tak terlalu mempedulikan Julian, Natha bersenandung ria. Sesekali dia meloncat kecil sementara berjalan.

Riel menoleh ke belakang dengan tampang aku-tidak-kenal-cewek-ini. Ia menunjuk Natha dengan jempol, lantas berkata, "Omongannya kadang nyeleneh, tapi kalo udah gitu, artinya dia nemu sesuatu yang menarik."

"Itu caramu mengakui kami beneran menarik?" ucap Aiden dengan nada mengejek. Tidak hanya nada bicara, ekspresinya juga menunjukkan bahwa dia sedang mengejek cowok yang berjalan paling depan itu.

Riel mendengkus disertai tatapan tak suka, lalu memalingkan wajah. "Beberapa dari kalian sungguh menyebalkan."

"Sebentar lagi kita sampai," ujar Natha setengah berbisik. Dia melirik ke belakang. "Kita bisa bicara kalo udah masuk." Itu kode agar kami mengunci mulut hingga tiba di tempat tujuan.

Natha dan Riel menuntun kami membelah rerumputan tinggi, kemudian berseluncur menuruni tanah curam berbatu. Ini mengingatkanku pada masa-masa tenang sebelum pindah ke kota, saat aku masih bisa main parkour dan tertawa bersama dengan Arvin. Aku merindukannya.

Aku merindukan Arvin. Aku juga merindukan Ayah dan Ibu.

"Fel," bisik Marlo seraya menepuk pundakku.

Sontak aku menoleh padanya, disambut tatapan lembut juga senyum yang perlahan mengembang. Rasa rindu dan sepi perlahan memudar. Aku pun membalas senyumnya terus kembali fokus ke depan.

Bodohnya, aku hanya fokus ke depan, tidak pada sekitar. Kaki kiriku menginjak kerikil tajam dan aku nyaris menjerit. Tanganku bergerak cepat membekap mulut sendiri.

Di belakangku Aiden hampir kelepasan tertawa. Dia menatapku geli. Tanpa suara ia berucap, "Hati-hati."

Wajah dan telingaku seketika memanas. Cowok manis sialan. Jangan membuatku salah tingkah di saat seperti ini! Ingin kubiarkan diriku hanyut dibawa arus sungai yang kedengarannya tidak jauh dari sini.

Tadi yang tertawa di belakang, sekarang di depan. Ragu-ragu aku mengangkat kepala. Tampak bahu Natha bergetar.

"Ini orang kenapa sih?" bisik Riel sebal.

Natha menggeleng. Bahunya masih bergetar.

Selama perjalanan, aku harus mengubur dalam-dalam keinginan untuk memutus satu urat, yaitu urat malu.

"Katanya sebentar lagi sampai," keluh Zenia entah dalam kepalaku saja atau dalam kepala semua orang. Dia pasti kelelahan setelah berkelahi dengan salah satu aset BPE tadi dan terjun bebas saat tebing mendadak longsor.

Kulihat Natha terlonjak kaget, lantas berbalik menghadap kami yang langsung berhenti melangkah. Untuk sesaat dia tidak mengatakan apa pun. Habis menetralkan ekspresi baru dia berkata, "Tinggal nyebrang sungai sana, kok. Kalian pasti capek banget habis dikejar-kejar."

Tidak ada yang menyahut. Gerak-geriknya barusan agak mencurigakan---setidaknya menurutku. Namun, kalau memang mereka berdua merencanakan sesuatu yang buruk, Marlo pasti sudah memperingatkan kami setelah membaca pikiran mereka.

Kami kembali melangkah mengikutinya dalam diam, menyusul Riel yang lebih dahulu sampai di tepi sungai. Dia sudah sibuk membangun jembatan dari bebatuan hanya dengan berdiri di sana. Mungkin echros-nya berhubungan dengan pengendalian batu dan tanah. Kalau benar, berarti dia yang membuat pijakan tadi dan Natha yang entah apa echros-nya mengubah pijakan itu menjadi trampolin.

Mengingat peringatan dari Natha tadi, tidak ada dari kami yang berkomentar. Hanya mengamati dalam diam sampai jembatan batu itu selesai dibuat.

Begitu selesai, Riel bergeser, membiarkan Natha menggantikan posisinya di depan jembatan batu itu. Natha pun berjongkok, meletakkan kedua telapak tangan di atas mahakarya Riel. Kumpulan batu itu perlahan menyatu seperti disemen, mulai dari bagian yang disentuh Natha sampai ujung lain di seberang.

"Waaah ...." Aku dan Aiden kelepasan bersuara. Sebenarnya Zenia juga, tetapi suaranya hanya menggema dalam kepala kami.

Ketika proses transformasi itu selesai, Natha mengembuskan napas panjang terus bangkit berdiri. Cewek itu meregangkan tangan ke atas sebelum berbalik, mempersilakan kami lewat dengan senyum bangga pada terukir wajahnya.

Terkagum-kagum kami kala menyeberang. Ya, tidak semua. Julian dan Theo kelihatan biasa saja. Satu setia dengan tampang garang, sedangkan yang satu lagi dengan wajah sedatar papan triplek.

Setibanya kami di seberang, Natha dan Riel bergantian menyentuh jembatan tersebut. Jembatan itu pun kembali menjadi susunan batu dengan ukuran bermacam-macam, kemudian perlahan melayang kembali ke tempatnya tadi. Aku dan yang lainnya harus menyingkir supaya kaki tidak digencet batu-batu berat itu.

Kami menunggu sampai Riel selesai baru dituntun ke kaki tebing. Natha bersiul singkat terus mengetuk dinding tanah di hadapan tiga kali dengan cepat. Aku tidak bisa menahan diri untuk mengerutkan kening.

Selang beberapa detik, aku mendengar balasan dari sisi lain seolah-olah tanah di depanku ini hanya tembok penyekat ruangan. Keningku sampai lelah mengerut. Otakku barangkali sudah berasap.

Tiba-tiba Natha meraih tanganku. Kegirangan dia berseru, "Ayok!"

"Hah---" Tidak sempat aku bertanya, dia menarikku maju bersamanya menembus permukaan tanah yang tadi dia ketuk.

Napas tertahan, mata memelotot, jantung mencelus. Rasanya aku baru saja jatuh dari ketinggian sepuluh meter. Seketika kakiku lemas. Dengan cekatan Natha menahan tubuhku seraya berucap, "Ups."

Kepalaku ringan sekali. "B-barusan apa?"

Natha tertawa kecil baru menjawab, "Yang barusan itu jalan masuk rahasia."

"Jalan ma---"

"Feli!"

"Ack!"

"Aw!"

Jangankan melihat-lihat sekeliling, sepenuhnya sadar saja belum, sudah ditabrak sampai jatuh. Pertama, aku ditabrak Aiden, lalu kami menabrak Natha dan jatuh mencium tanah.

"Aduh, Aiden. Minggir. Kamu beraaat!" keluhku sembari meraup udara sebanyak mungkin.

Tidak hanya menyingkir, anak ini juga menarikku bersamanya seakan-akan Natha adalah objek beracun yang harus dijauhi. "Apaan kau, hah?! Tiba-tiba narik Feli barusan!"

Pelukannya kian erat, membuat napasku tercekat pun jantungku seakan berhenti berdetak. Wajahku jadi panas lagi. Aku hampir meleleh, padahal udara di sini sejuk dan matahari tengah bersembunyi di balik awan.

"Aelah, kalem. Cewekmu gak bakal kuapa-apain kok." Natha berkacak pinggang, menatap Aiden dengan pipi mengembung. Senyum jenaka terbit kala ia bertukar pandang denganku. "Ekhem, kayaknya ceweknya gak biasa dipeluk."

Badanku aslinya masih utuh, tetapi rasanya sudah meleleh menjadi sup mendidih.

"Kami gak pacaran," ucap anak ini baru melepas pelukannya, lantas beringsut mundur. Dia pun memalingkan wajah. "Maap, Fel."

Aku mengusap wajah dengan kasar, berusaha membuang rasa malu yang menumpuk dan memberatkan ini. Mulutku refleks berucap, "Lain kali jangan gitu." Sungguh, jantungku tidak kuat.

"Wah, ada bucin tolol," celetuk Julian kala melangkah keluar dari batang pohon beringin besar. Dia entah sengaja atau tidak sengaja menendang punggung Aiden yang tadinya duduk manis.

Lupakan itu. Ada hal yang lebih penting dan menarik perhatianku. Sementara Aiden dan Julian bertengkar kecil, Marlo dan yang lain sempoyongan ikut keluar dari batang pohon beringin tersebut. Riel mengikuti mereka dengan santai, barangkali sudah terbiasa.

Di bawah naungan pohon beringin nan besar kami berada. Sulurnya menjuntai jarang-jarang, sekitar lima puluh senti di atas tanah. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, aku sadar bahwa kami berada di puncak bukit kecil. Ada jalan setapak menurun di depan kami, menuju sebuah rumah dua tingkat yang cukup besar dan ada rumah pohon di pekarangannya. Tidak jauh di belakang rumah itu terdapat sebuah danau.

"Ini tempat apa?" tanya Theo mewakili kami.

"Tempat aman buat buronan kayak kita," jawab Riel bersedekap. Dia bersandar pada batang pohon yang sudah memadat, kalau bisa dibilang begitu. Habisnya belum lama ini, batang pohon itu bisa ditembus.

Seakan tahu jawaban Riel tidak cukup memuaskan, Natha menambahkan, "Tempat yang gak bisa dimasukin sembarang orang. Tempat yang terpisah dari bumi yang kita kenal."

"Hah?"

Pernyataannya memunculkan tanda tanya besar di atas kepala kami. Marlo yang bisa membaca pikiran sampai mengernyit, tanda tak paham.

"Ini ruang buatan rekan kami yang ... udah meninggal." Natha menunduk, menghindari kontak mata.

"Awalnya tempat ini nggak seluas sekarang." Tangan Riel terangkat mengusap udara kosong, lalu kembali masuk ke dalam saku celana. "Dulu isinya cuma rumah kecil sama halaman yang lumayan luas.

"Setelah dia mati terbunuh, kami pikir tempat ini bakal hilang. Tapi waktu nyoba masuk, ternyata masih bisa. Jadi kami mutusin buat ngubur dia di sini."

Riel menarik tubuhnya menjauh dari pohon yang menjadi pintu masuk kami tadi. Dia pun berbalik menghadap pohon tersebut. "Gak lama habis dia dikubur, pohon ini tumbuh, tepat di atas kuburannya. Lalu, tempat ini tiba-tiba jadi luas."

Sejak awal dia dan Natha bercerita, aku terus memikirkan tentang betapa cerita itu terdengar seperti kisah dongeng. Aku yang dulu pasti akan menyangkal, tetapi aku sudah berubah. Ditambah, kami sedang berada di tempat yang diceritakannya. Tepat di hadapan pohon yang merupakan makam mendiang rekan mereka.

"Jadi, ini kayak ... peninggalannya buat kalian?" tanya Marlo yang tampaknya paling serius menyimak.

Riel mengendikkan bahu dengan ekspresi acuh tak acuh. "Emangnya bisa dibilang peninggalan kalau dia masih ada di sini? Yang membalas ketukan Natha itu dia, loh."

"Badannya mungkin udah membusuk atau berubah jadi pohon ini, tapi jiwanya masih ada di sini. Buktinya, echros-nya masih bekerja," ujar Natha terus mengulurkan tangan ke depan, menyentuh pohon tersebut.

Echros. Sungguh misterius cara kerja pun kemunculannya. Aku penasaran, echros macam apa lagi yang akan kami temukan atau hadapi nanti. Sejauh ini ada beberapa yang menarik seperti milik cewek sialan tadi dan milik mendiang rekan Natha dan Riel.

Di atas langit masih ada luar angkasa. Pastinya akan ada echros yang jauh lebih hebat lagi. Aku takut pemiliknya akan berada di pihak lawan bukannya kawan.

Ah, daripada digerogoti rasa takut, aku lebih penasaran dengan keberadaan echros di dunia ini. Kemunculan dan cara kerjanya, terlebih cara kerja milikku yang katanya membawa keberuntungan.

Natha dan Riel kelihatan sudah berpengalaman. Mungkin aku bisa meminta petunjuk dari mereka. Aku harus menguasai echros-ku secepat mungkin, sebelum kami diserang lagi.

Clou's corner:
Haiyaaa gagal ikut RTE. Yasudahlah, yang penting nanti bakal tamat (⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧

08-06-2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro