Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch. 25: Kita Pergi

Wordcount: 1.373 words

"Dia aset organisasi itu, dikirim buat ngerusuh di sini, tapi malah ngasih peringatan ke kita buat kabur terus minta diajak?" Julian menatap anak cewek yang masih terikat di depan kami lamat-lamat. "Trik konyol. Kau pikir kami bakal percaya sama orang yang baru aja nyerang kami plus ngehancurin vila ini? Jelas nggak."

Marlo kembali menoleh pada si bocah. Raut wajahnya tambah kusut. "Jadi, isi pikiran anak cowok yang kudenger tadi itu suara Eccentric yang bisa ngerasukin badan orang lain?"

Julian berdecak seraya memutar bola mata. "Dia bilang apa lagi?"

"Katanya, dia datang kemari pas udah dirasuki Eccentric yang kubilang barusan." Tatapan Marlo bergeser padaku dan Julian, lalu pada Aiden di sofa sebelah. "Dia nggak ngelakuin semua tadi karna mau."

Baik Aiden maupun Julian tidak memberi respons selain tatapan tajam nan menusuk. Aku menatap Marlo sesaat, lalu beralih pada si bocah. "Kalau emang gitu, gimana kalau dia dirasuki Eccentric tadi lagi?"

Sontak bocah tersebut menggeleng-gelengkan kepala. Dia berbicara langsung ke dalam kepalaku, katanya, "Nggak bakal karna ada syarat tertentu biar dia bisa ngerasukin seseorang. Syaratnya, harus ada kontak fisik."

"Hmn ... harus ngelakuin kontak fisik sama seseorang yang bakal dia rasuki, ya?" Aku mengulangi supaya yang lain tahu.

Ekspresi Aiden melunak. Hanya dia, Julian tidak. Cowok tempramen itu masih memasang tampang galak. "Jangan bilang kalian percaya sama dia. Anak-anak itu paling jago boong. Kalian mau tiba-tiba ditusuk dari belakang?"

"Tapi kalau dia gak boong, untung buat kita dong," celetuk Aiden mengundang geraman dari Julian. "Kita kekurangan anggota yang bisa berantem sama mertahanin diri sendiri. Jelas untung."

"Ini bukan soal untung ato gak, Cebol!" hardik Julian yang untuk kesekian kali hari ini hilang kesabarannya.

Sambil mengorek telinga dengan kelingking, Aiden menggerutu, "Haaa ... berisik!" Untuk sesaat dia kelihatan risi, lalu sedetik kemudian dia mencebik seperti anak kecil merajuk. "Dari tadi teriak-teriak mulu udah kayak orang gila."

Hati-hati aku melirik Julian. Mulutnya bungkam. Alisnya tertekuk dalam sampai kerutan pada keningnya kelihatan jelas. Setelah terdiam cukup lama, Julian bangkit berdiri seraya mengembuskan napas kasar. "Kalian tunggu di sini. Jangan macam-macam." Dia pun pergi membawa senter yang merupakan satu-satu sumber cahaya dalam ruangan ini.

"Kedengeran kayak penjahat," gumamku berharap tidak ada yang mendengar.

Mereka mendengarnya. Langkah Julian sempat tersendat; Marlo memelotot padaku; Aiden menahan tawa. Aku selamat karena mungkin tenaga Julian sudah terkuras habis. Cowok itu terus melangkah ke arah tangga. Sosoknya hilang meninggalkan kami ditelan kegelapan.

"Jadi ... habis ini kita ke mana?" tanyaku meringkuk di atas sofa, masih setia di samping Theo.

Aiden hanya mengendikkan bahu sementara Marlo diam saja. Perhatian Marlo sepenuhnya tertuju pada bocah yang belum lama ini membuat kerusuhan di sini. Si bocah tampak risi, lantas memalingkan wajah pun memejamkan mata erat.

Aku kembali memperhatikan Marlo, dibantu sedikit cahaya rembulan yang menerobos masuk dari jendela-jendela yang sudah pecah kacanya. Makin lama menatap bocah tersebut, wajahnya makin tertekuk.

Dalam diam aku berusaha menarik perhatian Aiden dengan cara memelototinya. Butuh sekian detik hingga akhirnya dia menoleh padaku. Aku pun mengarahkan telunjuk pada Marlo. Satu alisku terangkat ketika pandangan kembali pada Aiden.

Aiden melirik Marlo sebentar. Saat balas menatapku lagi, kedua sudut bibir ditariknya ke samping, membuat pipinya mengembang sedikit. Dia pun mengangkat tangan sejajar dengan bahu. Artinya, dia juga tidak tahu Marlo sedang apa menatap si bocah sampai matanya hampir meloncat keluar dari rongga.

Ingin bertanya langsung, tetapi kurasa itu akan mengganggunya. Dia kelihatan serius sekali. Maka dari itu, aku memilih untuk menunggu dia selesai dengan apa pun yang dilakukannya.

Lumayan lama sampai-sampai Julian sudah selesai dengan urusannya di lantai dua. Julian tidak langsung kemari, melainkan pergi ke dapur. Ruangan jadi sedikit lebih terang berkat senternya.

Puas memelototi si bocah malang, Marlo kembali bersandar dengan lemas. Kalau dia tidak punya tulang, badannya itu pasti sudah kelihatan seperti jeli. Agak seram kalau membayangkan itu dengan orang sungguhan bukannya kartun.

Tampak lebih lesu dari biasa, Marlo melirikku dan berkata, "Pikiranmu aneh banget."

"Oh, kedengeran, ya," sahutku seadanya. Mengabaikan Aiden yang kebingungan menatap kami bergantian, aku pun bertanya, "Barusan kamu ngapain? Melototin anak orang sampe itu mata udah kek mau loncat keluar."

Marlo mencebik. "Cuma ngetes. Siapa tahu echros-ku gak buat baca pikiran orang doang."

"Kutebak kau mau ngambil informasi dari dalam kepala bocah itu tapi gagal. Begitu, kan?" Alis Aiden naik-turun.

"Ya, gitu."

Hening kembali melingkupi kami bertiga---berlima kalau si bocah dan Theo dihitung. Di sisi lain, area dapur ramai dengan bunyi plastik bergesekan, barangkali Julian sedang mengemas persediaan makanan. Ya, pasti itu yang dilakukannya. Dia sibuk berkemas, padahal mau ke mana tidak ada yang tahu.

Tanganku bergerak ke samping, mengelus pucuk kepala Theo yang belum sadar juga. Beberapa detik berlalu, dia mengerang dan memutar badan ke samping. "Jangan ... jangan buang ...." Dia mengigau.

Buang apa? Aku bertanya-tanya dalam hati. Mungkin anak ini sedang bermimpi buruk. Kuharap mimpi buruknya tidak separah punyaku. Dia sudah cukup tertekan karena echros-nya. Kemungkinan-kemungkinan yang dia lihat pasti tidak semuanya baik. Pasti ada yang buruk atau sangat buruk.

Menjadi anak-anak berkekuatan aneh di dunia yang seperti ini ... masa depan jadi lebih menakutkan. Aku tidak lagi takut tumbuh dewasa karena aku sendiri ragu kalau bisa tumbuh dewasa atau tidak.

"Nih, punyamu," ujar Julian ketus, menyodorkan ransel besar ke sisi wajahku. Dia melepas pegangan sebelum aku sempat mengambil alih. Alhasil, ransel tersebut jatuh berdebum di atas lantai.

Sejenak aku melongo seperti orang bodoh. Aku terlarut dalam pikiran sampai tidak sadar cowok itu datang menghampiri.

Menyentakkan kepala, aku beranjak memungut ransel yang dia berikan, lalu memeriksa isinya. Keningku langsung mengerut kala mendapati ransel ini penuh dengan pakaian yang dibelikan Paman Val juga beberapa lembar pakaian lama Aiden.

"Kita pergi sekarang," ucap Julian tegas begitu selesai membagikan ransel-ransel yang dia seret kemari.

Biar orang lain yang bertanya detailnya. Aku kembali mengurusi ransel, memilah pakaian yang akan kubawa dan yang tidak. Bawa terlalu banyak tidak ada gunanya. Dan, mana mungkin aku memakai rok atau dress saat sedang diburu begini.

"Kita pergi ke mana? Tadi bilang gak tau tempat lain buat sembunyi," kata Marlo terdengar skeptis.

"Ke mana aja yang penting jauh dari sini." Jeda sebentar saat Julian memikul ranselnya. "Kalian gak mau disergap lebih banyak Eccentric yang kayak bocah itu, kan? Mereka pasti ambil kesempatan nyerang sekitar tengah malam sampai subuh."

"Hmn ... mereka pikir kita bakal nganggap yang tadi itu sepele terus istirahat tidur kayak bia---"

"Nggak, Bego." Julian memotong perkataanku dengan begitu ramah. "Mereka itu bukan sekumpulan orang tolol. Mereka tahu kita bakal siaga, tapi mereka juga tahu kita semua capek banget habis kekacauan tadi. Tinggal nunggu adrenalin kita turun, baru mereka nyerang."

Aku mendengkus sebal, lantas bangkit berdiri sambil memikul tas. "Kabur dalam kondisi ini bukannya bikin tambah capek?"

Julian menengok kemari masih dengan tatapan sinisnya. "Pilih mana, badanmu remuk di sini terus dibawa ke markas sana atau capek-capek kabur malem ini?"

Sebelumnya aku tidak akan pernah dengan sengaja membuat Julian kesal. Namun, akhir-akhir ini aku sering melakukannya tanpa sadar dan tanpa kenal waktu. Yang was-was bukan aku, melainkan Marlo. Untuk Aiden, interaksiku dan Julian (hampir setiap saat) tampak seperti hiburan.

"Bocah ini ikut, kan?" tanya Aiden dengan tampang memelas. Tahu-tahu dia sudah berpindah tempat duduk ke samping bocah tersebut. "Kalau dia ditinggal terus kerasukan Eccentric tadi lagi kan bahaya."

Julian tidak membalas dengan bentakan, dia justru diam bersedekap, berpikir sebentar. "Dia gak nyoba yang macem-macem dari tadi?"

"Nggak," jawab Aiden sambil menggeleng.

Tatapan Julian bergulir pada Marlo. "Dari tadi dia gak mikirin yang aneh-aneh?"

"Nggak."

"Oke. Lepasin ikatannya, ntar kita dikira penculik."

"Asek!" seru Aiden girang. Dengan senyum lebar dia memandang bocah itu dan bertanya, "Namamu siapa?" Jeda sebentar. "Oh, Zenia? Kupanggil Nia, ya."

Bocah bernama Zenia itu ragu-ragu mengangguk. Otot-ototnya mulai rileks ketika Aiden melepas tali yang mengikatnya. Begitu bebas, senyum tipis tersungging pada wajah gadis kecil itu. Senyumnya melebar kala menatap Aiden.

"Masama," ucap Aiden membalas senyum bocah itu.

"Sip." Julian berkacak pinggang. Pandangan diedarkannya dan terhenti pada Theo yang tak kunjung sadar, masih berbaring di sofa. "Dia biar Marlo yang gendong."

Cowok yang disebut namanya langsung menoleh dengan mata mendelik.

"Tenagaku habis karna yang tadi. Sekarang giliranmu," kata Julian seketika membungkam Marlo.

Batal protes, Marlo berderap menghampiri Theo. Ransel dipindahkannya ke depan badan baru dia membopong anak itu dengan bantuanku.

Kami langsung pergi setelahnya, menembus rimbunnya pepohonan diterangi cahaya rembulan. Berenam kami berjalan tanpa tahu arah maupun tujuan, dengan harap bisa lolos dari mereka yang akan datang.

Clou's corner:
Jeng jeng jeng, anggota geng bertambah satu!

19-04-2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro