Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch. 24: Mereka Datang

Wordcount: 1.733 words

Kami kembali ke vila setelah cukup lama tidak mendengar keributan. Begitu tiba kami disambut oleh pemandangan nan kacau dan dua orang yang terbaring di atas rumput.

Pintu depan lepas dari bingkainya dan sudah hancur berkeping-keping. Jendela di lantai satu pecah semua, mungkin karena ada batu yang menyasar ke dalam. Beberapa titik di halaman terbakar, pun ada ceruk kecil yang terbentuk. Bebatuan dan kerikil berserakan.

Aiden terbaring dalam posisi menelungkup, sedangkan si bocah dalam posisi terlentang. Ada jarak sekitar tiga meter yang memisahkan mereka. Terdapat bercak-bercak darah pada badan bocah tersebut.

Aku beranjak mendekati Aiden sementara Marlo mendekati si bocah. Kubalikkan badan Aiden secara perlahan. Tidak ada protes atau ringisan, berarti anak ini benar-benar pingsan. Lihat saja wajahnya yang pucat pasi dibanjiri keringat sampai poninya lepek.

Tanganku menelusuri lengannya yang semula dibalut rapi dengan perban. Kini perban putih itu berubah kumal dan sudah longgar, mengekspos bekas luka dari beberapa hari lalu. Tak ada luka baru kalau lecet di bagian sini dan situ tidak dihitung.

"Marlo," panggil Julian di belakangku. Dia kini sedang menggendong Theo yang masih tak sadarkan diri. "Nggak ada orang lain yang sembunyi di sekitar sini?"

Marlo terdiam sejenak, lantas menggeleng. "Nggak kedengeran suara pikiran siapa pun kecuali kalian berdua."

Sambil membenarkan posisi Theo di punggung, Julian berujar, "Oke, anggap aja sekarang udah aman. Bawa mereka ke dalam." Ia pun berbalik melangkah masuk melewati bingkai yang pintunya sudah hancur.

"Tunggu, anak ini juga?" protes Marlo yang sontak berdiri.

"Iya! Kita bisa dapat informasi dari dia!" seru Julian dari dalam.

Refleks aku mengangguk setuju. "Lagian, Mar, kalo dibiarin gitu aja atau ditinggal di hutan, dia bisa balik bawa temen. Maksudku, anak itu punya echros petir. Rekan-rekannya pasti lebih kuat, kan?"

Marlo memalingkan wajah, menggerutu tidak jelas, lalu balik menatapku. "Iya, bener juga. Mumpung dia pingsan."

Aku ikut berdiri setelah menyadari sesuatu. Sambil mengelus tengkuk aku berkata, "Anu ... aku gak kuat kalau harus ngangkat Aiden. Tukeran, yuk?"

Marlo tertegun sejenak. Segera dia menutupi wajah dengan tangan saat kulihat pipinya sedikit merona. "Iya, ya. Sori, harusnya aku peka."

Tingkahnya membuatku tertawa kecil. "Apaan sih." Selalu lucu melihatnya salah tingkah begitu.

Cepat-cepat Marlo bertukar tempat denganku, lantas menggendong Aiden dan membawanya ke dalam. Dia meninggalkanku yang masih kesusahan mengangkat anak kecil ini. Mungkin dia buru-buru pergi karena malu setelah mendengar isi pikiranku.

Anak ini kurus sekali. Benar-benar ringan. Aku hanya kesulitan memposisikan dirinya dalam tanganku. Sementara melangkah ke dalam, aku teringat sesuatu. Marlo bilang dia mendengar suara pikiran anak cowok, padahal jelas-jelas yang berada dalam gendonganku ini adalah anak cewek.

Langkahku terhenti hanya untuk celingak-celinguk tak jelas, mencari keberadaan sosok lain yang bisa saja sedang mengintai. Mungkin dia bersembunyi terlalu jauh atau pandai mengosongkan pikiran seperti Erna---ah, kemungkinan kedua itu tidak mungkin. Tadi isi pikirannya sempat terdengar.

Tidak mendapati siapa pun, aku bergegas masuk dan bergabung dengan yang lain. Sendirian di saat seperti ini bukanlah pilihan bijak.

Bagian dalam vila masih gelap gulita, barangkali listrik padam karena echros anak ini mengganggu alirannya. Aku tidak mengerti, tetapi mungkin memang itu yang terjadi.

"Anak itu perlu kita ikat atau apa? Di gudang ada tali tambang," ujar Marlo yang sudah menurunkan Aiden di sofa yang tadi jatuh ke belakang. Posisinya sudah dibetulkan.

"Boleh juga, tapi bahaya kalau kita pisah di situasi kayak gini." Julian bersedekap, berdiri di depan sofa tempat Theo berbaring. "Si Cebol udah K.O, jadi cuma aku yang bisa ngelawan kalau ada apa-apa."

Perlahan aku menurunkan anak cewek yang tidak kukenal di atas sofa kosong. Dia sama sekali tidak bergerak sejak tadi. Perhatianku pun beralih pada dua cowok di hadapan. "Gimana kalau pake barang yang deket sini aja? Pasti ada sesuatu."

"Ya, mungkin ada." Julian beranjak menuju dapur. "Kita nggak mau dia tiba-tiba bangun terus nyerang pake petir."

Kakiku melangkah menjauhi si anak cewek tanpa diperintah. "Jangan bilang-bilang, tapi aku jadi agak takut kalo ditinggal Julian," bisikku pada Marlo yang berdiri tepat di sampingku, hanya terpaut beberapa senti.

"Di situasi macam ini wajar, sih. Echros kita pasif, bukan buat nyerang. Aiden sama adikmu juga lagi pingsan. Bahaya kalau terjadi sesuatu," ujarnya. Dari suara saja aku bisa merasakan betapa tegangnya cowok ini. Dia bahkan tidak menyarankan untuk duduk.

Tidak hanya dia yang tegang. Aku juga tegang, membayangkan anak cewek di depan kami tiba-tiba bangun atau ada rekan-rekannya yang menyusul karena dia gagal.

"Hei, aku nemu tali rafia," kata Julian, lantas melempar segulung tali plastik ke wajahku. Entah lemparannya memeleset atau akurat.

Gulungan tali tersebut tidak sempat kutangkap, jatuh ke wajah Aiden. "Pfft---"

Sontak aku membalikkan badan, mendapati Aiden menyingkirkan gulungan tali itu sambil tertawa. Dia beranjak duduk, kemudian menyerahkannya padaku. "Nih. Lemparan Ian tepat sasaran, ya."

Aiden langsung mendapat tabokan dari belakang. "Ian Ian---dibilangin jangan manggil gitu."

Dua orang ini punya bakat membuat suasana jadi suram juga bakat mencairkan suasana tegang. Dualitas.

"Sini, biar aku yang ngikat anak itu," ucap Marlo mengambil alih gulungan tali dari tanganku.

Aku hanya mengangguk, lalu duduk di samping Aiden. Menoleh padanya aku bertanya, "Udah lama bangun?"

"Ya ...." Aiden menghempaskan punggungnya ke sandaran. "Sebenernya aku gak pingsan. Tadinya mau bangun, tapi kupikir bakal digendong Feli jadi batal. Eh, malah digendong Marlo."

Bayangkan perempatan imajiner merah tercetak di dahiku. "Kau ini, ya ... kadang pengen kucekek."

"Jangan dong." Aiden beringsut menjauh sambil terkekeh. "Kan biar impas. Waktu itu aku yang bawa kamu keluar gua."

"Oh, itu. Harusnya tadi kuseret aja kamu."

Julian pura-pura batuk. Tangannya yang terlipat ditaruh di atas sandaran belakang kami. "Kalian santai banget, ya. Padahal bisa aja ada serangan susulan."

Aiden langsung menggeram sambil menengadah dengan mata terpejam. "Biarin aku istirahat dulu! Capek banget pengen rebahan!" Perhatiannya bergeser padaku. "Fel, minggir dong. Mau rebahan lagi."

"Hmn, ya." Tanpa banyak bicara, aku pindah ke sofa sebelah, duduk di samping Theo. Tidak, aku tidak berharap dia akan meminta izin untuk tidur di pangkuanku.

Memori tentang cerita-cerita romantis harus segera kuhapus dari otak ini. Keberadaan memori itu hanya membuatku mengharapkan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi. Harusnya aku lebih banyak menonton film soal manusia mutan.

Selesai mengikat si anak cewek---demi keamanan bersama---Marlo berjalan mundur ke tempat aku duduk tadi. Dia duduk di sana, di atas kaki Aiden, tanpa melihat ke belakang sebelum menaruh bokongnya di situ. Dari wajahnya yang kelihatan tak acuh, kuanggap dia sengaja.

"Woy! Ada orang!" seru Aiden melengking. Suaranya yang pecah seperti anak cowok belum puber itu terdengar lucu dan menggemaskan di telingaku.

"Marlo!" seru Aiden lagi karena yang diserukan namanya tak kunjung berdiri. Kaki satunya yang bebas berusaha menendang kepala Marlo yang berada jauh di atas. "Bisa patah ini kaki, woy!"

Marlo baru pindah saat tendangan Aiden mengenai punggungnya. "Oh, sori. Gak keliatan." Dia pindah ke sandaran tangan, padahal masih ada sofa kosong. Sepertinya dia tidak mau duduk berjauhan dari yang lain.

Suasana kembali hening, lalu dipecahkan oleh langkah kaki Julian. Cowok itu berjalan ke arahku, duduk di atas sandaran tangan. "Kau serius gak bisa pake echros-mu? Kita beneran butuh itu sekarang."

Aku langsung dongkol dibuatnya. "Aku gak tahu caranya. Nggak pernah kupake." Tanganku meremas tepian sofa. "Jangankan pake, percaya aku punya echros aja kagak."

Julian mengembuskan napas gusar. "Jangan denial mulu, Bego. Denial tuh gak guna."

"Siapa yang denial?" sahutku memberanikan diri menatap wajahnya. "Dikira habis semua ini aku masih denial? Nggak. Aku cuma bingung gimana caranya pake echros-ku kayak kalian. Katanya echros-ku itu keberuntungan, tapi selama ini aku sial mulu."

Terdiam sebentar, Julian berucap sebelum yang lain sempat, "Gimana bisa dipake kalau kau sendiri gak percaya? Echros itu, setahuku, ngerespon keinginan sama perasaan pemiliknya."

Roda-roda dalam otakku berputar, lalu sebuah bohlam bercahaya muncul di atas kepala (hanya imajinasi). "Jadi, kau punya echros api karna pengen bakar orang?"

"Gak gitu!" seru Julian sembari menabokku. "Tolol."

"Sakit!" Aku memegangi belakang kepala yang baru saja ditabok. Syukurlah tidak benjol atau bocor.

Setelah menabokku, Julian tidak mau bicara lagi. Marlo menggantikannya untuk bicara denganku. "Dia bener, Fel. Kau harus percaya. Dari pengalaman beberapa orang, echros aktif karena si pemilik pengen sesuatu. Maksudnya, secara gak sadar keinginan mereka itu yang mengaktifkan echros mereka. Keinginan yang berkaitan."

Tiba-tiba Aiden bangkit duduk seperti mayat hidup bangun dari kubur. Dia mengacungkan tangan. "Kayak aku dulu! Kepengen ambil sesuatu tapi mager, tau-tau echros-ku aktif. Ruangannya jadi berantakan."

"Ah, gitu, ya ...."

Bicara saja gampang. Perihal percaya diri itu sulit, pun menginginkan keberuntungan. Aku sering merasa tidak menginginkannya. Aku tidak menginginkan keberuntungan yang bisa membuat orang lain celaka, yang bisa membuat temanku celaka.

Tidak. Aku tidak mau kehilangan lagi. Tidak mau.

"Fel," panggil Marlo. Wajahnya kelihatan seperti sedang memelas. "Nggak usah khawatir kami bakal celaka. Kan ... bisa dilatih biar nggak bikin kami celaka."

Kata-katanya tidak salah, tetapi aku agak kesal dengan kalimat terakhirnya jadi aku mendengkus. "Caranya? Latihan percaya sama diri sendiri biar bisa pake echros-ku tanpa bikin orang lain celaka?"

"Ya, kayaknya gitu." Marlo mengalihkan pandangan.

"Jangan ngomel-ngomel, dah. Kita semua nggak ada yang tahu pasti cara kerja kekuatan yang dinamain echros ini. Nggak ada buku panduan juga," ujar Julian bersedekap. Dia masih betah duduk di sandaran tangan. "Kau aja yang---ironisnya---sial karna dapet echros keberuntungan yang sulit dimengerti ato dipake."

Aku ikut bersedekap, mendongak menatapnya. "Asal kau tahu, aku sudah cukup sial seumur hidupku. Pernah dalam sebulan lima kali jatuh ke sungai karna hampir ditabrak kendaraan?"

"Pfftt---" Para cowok tertawa. Ya, mereka bertiga tanpa terkecuali. Aku sudah menduganya, tetapi tetap saja menyebalkan.

Baru saja aku mencerahkan suasana, dalam sekejap ketegangan menguasai ruangan. Anak cewek yang belum lama ini menyerang kami bangun. "Kalian harus pergi sekarang! Mereka akan datang!" Dia berteriak kencang sekali seperti tepat di samping telingaku, padahal mulutnya saja tidak terbuka.

Aku menoleh pada para cowok. Mereka sama bingungnya denganku.

"Telepati?" tanya Marlo yang sepertinya spontan.

Anak cewek tersebut mengangguk cepat. Perhatiannya teralih pada tali yang mengikat dirinya, lalu kembali menatap Marlo.

"Kenapa kami harus bawa kamu juga? Siapa yang bakal datang?"

Aku tidak lagi mendengar suara anak cewek itu. Kurasa saat ini dia hanya fokus berkomunikasi dengan satu orang, yaitu Marlo.

Setelah saling tatap dalam diam cukup lama, Marlo beralih mengedarkan pandangan. Bergantian dia menatap Aiden, Julian, dan aku dengan tatapan yang sukar dipahami. Di sisi lain, anak cewek tersebut tidak lagi meronta-ronta. Dia hanya menatap kami dengan gelisah.

"Bocah itu bilang apa?" tanya Julian bersedekap, kelihatan serius dan tenang. Lagi-lagi aku dibuat merinding.

"Dia ini ... aset BPE yang dikirim buat ngerusuh di sini. Terus ...."

Julian berdecak. Alisnya kembali tertekuk. "Cepetan ngomongnya!"

Marlo mengembuskan napas gusar, lantas menarik napas panjang terus berkata, "Bakal ada lebih banyak aset yang dikirim buat nangkep kita."

Clou's corner:
Wholesome tapi tegang tapi agak sedih, TAPI WHOLESOME

Ini aku revisi kecil-kecilan sebelum publish gemes sendiri bacanya (⁠≧⁠▽⁠≦⁠)

14-04-2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro