Ch. 21: Pesan dari Mereka
[ Mulai dari sini, yang di-update adalah chapter yang benar-benar baru. ]
[ Masih menggunakan lapak yang sama. ]
[ Komentar lama akan dihapus. ]
[ Enjoy! ]
Wordcount: 1.420 words
Langkah kaki terdengar. Seseorang menaiki tangga. Itu Marlo, kabur dari lantai bawah, menyusulku. Kami menyerahkan sang tersangka pengkhianat pada Aiden dan Julian karena mereka yang paling dekat dengannya. Ah, agak kejam juga menyebut Erna begitu.
"Nggak kedengeran apa-apa. Kayak biasa," bisik Marlo tertunduk lesu. Dia menoleh menatap ke luar jendela. "Aku gak pernah bisa baca pikiran dia. Paling-paling kedengeran kalau dia mikir pengen izin ke toilet, laper, atau semacamnya."
Aku ini bukan detektif andal yang bisa menyatukan kepingan teka-teki. Namun, aku terpikir sesuatu. "Jangan-jangan dia udah ngelatih diri biar pikirannya gak bisa dibaca atau didenger. Kayak tindakan pencegahan."
Marlo manggut-manggut sementara melangkah menjauhi tangga dengan diriku mengekor seperti anak itik. "Kalo dipikir-pikir, bisa jadi." Pandangan Marlo masih lurus ke depan. Dia berjalan menuju balkon.
Udara segar menyambut ketika kami melangkah melewati pintu kaca. Cuaca teramat cerah dengan angin sepoi-sepoi nan menyejukkan. Beda jauh jika dibandingkan dengan hawa di dalam vila. Penuh akan kegelisahan, kebingungan, frustrasi, stres, dan lain sebagainya. Sungguh suram.
"Mar," panggilku, "kamu kenapa mau ikut rencana ini?"
Dari sudut mata kulihat cowok itu tersentak. Langsung saja aku berbalik padanya sambil menggerak-gerakkan tangan ke kiri dan ke kanan. "Maaf, maaf, mulutku kadang asal nyeletuk. Itu pasti terlalu anu ... personal?"
Sempat termenung, Marlo pun terkikik gemas. Wajahnya yang hampir selalu kelihatan lelah kini tampak cerah. "Gak apa-apa, kok. Aku cuma kaget karena kamu nanya tiba-tiba. Biasanya isi pikiran orang yang mau nanya kedengeran dikit."
"Ah, gitu, ya." Sekarang malah aku yang gelagapan. "Ngomong-ngomong, anu. Echros-mu. Kalau boleh tau, sejak kapan muncul atau aktif?"
Marlo ikut bertopang pada pagar balkon. Dia menatapku, masih dengan senyum tipis. "Jadi, kamu mau aku jawab pertanyaan yang mana dulu? Aku gak masalah sama dua-duanya, kok."
Entah kenapa, kesannya berbeda. Ramah seperti biasa, tetapi sekarang ini dia tidak lagi kaku. Ekspresi cerah itu nyaris membuatku berpikir yang di hadapanku ini bukan Marlo.
Terlalu lama menatapnya aku jadi malu, cepat-cepat memalingkan wajah. "Yang mana aja boleh."
"Oke." Pandangannya bergulir ke depan. "Aku mulai dari pertanyaan pertama aja."
Pada detik itu juga, aku merasa seperti ada yang meninju dadaku. Rasa bersalah karena mengungkit topik itu masih ada.
Tangan Marlo bergerak ke belakang kepala, mulai menggaruk. Kepalanya sedikit tertunduk. "Ah ... aku ngerasa gak enak bilang ini ke kamu yang ... gitu."
Sontak aku menoleh dengan kepala dimiringkan. "Loh, kok malah kamu yang ngerasa gak enak?"
Kepalanya makin merunduk. "Karena kurasa ... alasan kita ada di sini itu berkebalikan." Jeda sebentar. Aku tidak menyahut, jadi dia melanjutkan, "Aku di sini karena pengen kabur dari keluargaku."
Oh, aku paham sekarang.
Perlahan aku kembali menghadap depan juga menunduk. Aku baru ingat, mereka masih punya keluarga. Kalau mereka ada di sini sekarang, artinya mereka melarikan diri dari keluarga mereka. Tentu dengan alasan masing-masing. Pertanyaan yang bodoh.
"Cuma aku, ya ... yang ada di sini karna kehilangan." Kata-kata itu meluncur keluar dari mulutku begitu saja.
Lagi-lagi hening di antara kami. Samar kudengar Aiden, Erna, dan Julian bercakap-cakap di bawah. Tidak jelas apa yang mereka bicarakan.
"Gak juga," ucap Marlo memecah keheningan.
Hanya dua kata dia ucapkan, pikiranku sudah berkelana. Apa maksudnya bukan hanya aku yang kehilangan di sini? Kalau iya, siapa?
Aku meliriknya sejenak, menilik air mukanya. Tidak kelihatan sedih ataupun hampa. Hanya lebih tenang dari biasa.
Di belakang kami terdengar suara kaki tersentak-sentak menaiki tangga. Hanya satu orang. Aku menoleh ketika orang itu berseru, "Hei!" Itu Aiden. Dia berderap ke arah kami dengan radio di tangan. Wajahnya tidak kelihatan ceria, justru serius bukan main.
"Ada apaan?" tanyaku tepat saat Marlo ikut berbalik.
"Tadi ada pesan lagi pas aku tunjukin ini ke Erna," ucapnya dengan suara agak bergetar. Tatapan matanya tidak fokus pada satu arah.
Aiden bicara seperti itu tidaklah biasa. Terbukti dari Marlo yang melirikku dengan tampang agak terkejut.
"Masih suaraku? Apa katanya?" Aku bertanya, lebih seperti mendesaknya.
Respons yang kudapatkan adalah gelengan kepala. Sekarang aku tidak tahu harus tenang atau panik. Apa yang terjadi pada diriku di sana?
"Mungkin kalian ... mungkin kalian nggak akan percaya." Tatapan Aiden secara khusus tertuju padaku, membuatku makin was-was. Pun kulihat tangannya sedikit gemetar.
"Gak mungkin," ucap Marlo dengan mata terbelalak.
Pegangan Aiden pada radio tersebut mengerat. Terdengar suara yang membuat gigi ngilu kala kukunya bergesekan dengan permukaan benda kotak itu. Gigi anak itu juga bergemeletuk. Dan, untuk pertama kalinya aku melihat mata Aiden berkaca-kaca.
Julian datang bergabung tepat saat Aiden berbalik seraya mendorong radio itu ke hulu hatinya. Hanya embusan napas kasar yang keluar dari mulut Julian ketika Aiden berlari pergi sambil menutupi wajah.
"Argh!" Seruan terdengar bersamaan dengan bunyi debum di lantai bawah. "Sial!" jerit Aiden yang sepertinya baru saja jatuh.
"Hei, pesan apa yang kalian dengar?" tanyaku mulai tidak sabar. Kalau yang di depanku ini bukan Julian, sudah kuguncang-guncang badannya sekuat tenaga.
Julian mendengkus, sempat-sempatnya memberiku tatapan sinis. "Sumpah, radio ini makin aneh---"
"Langsung ke intinya bisa gak? Dari tadi bikin greget!" Tanganku terangkat, telunjuk mengarah ke tangga. "Terus itu kenapa Aiden sampe keliatan mau nangis terus lari?"
"Sabar dikit napa?! Tadi udah mau bilang, malah dipotong!" bentak Julian. Hampir dia banting radio tersebut.
Buru-buru Marlo menengahi sebelum kami saling cekik. Tangannya terentang di antara kami. "Stop. Aku tau kalian berdua gak bisa akur, tapi ini bukan waktunya berantem," ucapnya tenang dengan tatapan tajam.
Sekali lagi Julian mengembuskan napas kasar. Radio dia serahkan pada Marlo, lalu mengambil satu langkah menjauh dariku. "Yang bicara tadi bukan suara cewek ini, tapi suara yang mirip sama suara Aiden. Kautahu siapa yang kumaksud," katanya pada Marlo.
Sejenak Marlo diam mengamati radio di tangan. "Riano, ya."
Aku kelihatan seperti anak tersesat di sini. Bergantian kutatap mereka berdua. "Riano itu siapa?"
Tidak terhitung sudah berapa kali Julian berdecak setelah aku bicara. Alisnya tertekuk lebih dalam. "Gak ngerti juga? Riano itu kembarannya Aiden. Udah kubilang suara mereka mirip."
Aku yang sempat tercengang pun menyahut, "Mana kutahu kalau cuma begitu kodenya! Urgh!" Napas kuatur lebih dahulu agar tenang baru bertanya, "Terus, dia bilang apa?"
Hening sebentar. Julian juga sedang menenangkan diri. Kurasa dia tidak ingin meneriakkan jawaban dari pertanyaanku itu.
"Kalian berdua cepatlah kembali. Mereka sudah gugur."
Hening nan mencekam melanda. Tergagap aku bertanya, "Si ... siapa yang gugur?"
"Kau," ucapnya, "sama Aiden."
Jantungku seakan berhenti berdetak. Spontan aku memegangi lengan sendiri. Lidahku kelu seketika, kata-kata tak dapat meluncur keluar.
"Jangan langsung bikin kesimpulan yang nggak-nggak." Julian bersedekap menatapku. "Kau sama Aiden nggak bakal mati muda. Pakai itu otak kalo masih berfungsi."
"Mulutnya emang pedes tapi Julian ada benernya." Marlo menyentuh pundakku dengan lembut. "Kalian berdua gak bakal mati muda. Kurasa pesan dari radio itu bukan pesan dari masa depan. Mustahil."
Julian memutar bola mata seraya menelengkan kepala. "Gak enak bahas ini tanpa Aiden, tapi si cebol itu sendiri yang lari."
Entah bagaimana mereka berhasil menenangkanku. Namun, sampai di sini aku belum paham arah pembicaraannya. Karena tidak ingin situasi memanas seperti beberapa menit lalu, aku memilih diam dan menunggu penjelasaan dari mereka.
"Dimensi paralel," ucap Marlo dengan kepala tertunduk. Merenungi radio dalam genggaman untuk sesaat. "Mungkin ini kedengeran kayak bullshit tapi ...."
"Gak juga." Julian bergeser dari posisinya, menjadikan dinding pembatas balkon dan ruangan di dalam sebagai sandaran. "Kita hidup di dunia yang ada manusia super. Aku gak bakal kaget kalau dunia paralel bener-bener ada. Lagian, itu yang paling masuk akal buat situasi ini."
Tidak, tidak, tidak. Masih ada yang lebih masuk akal. Rekaman palsu yang dibuat dari sampel suara, misalnya. Aku berpikir begitu. Itu pemikiran paling logis yang bisa diterima otakku.
Kudapati Marlo sempat melirikku, lalu dia mengembuskan napas pelan. "Memang masih ada yang lebih mudah diterima akal sehat---"
"Akal sehat apanya. Emang ini dunia masih normal?" potong Julian. Sambil mengibas-ngibaskan tangan dia melanjutkan, "Mending kau buang akal sehat itu dan mulai nerima kenyataan. Orang denial itu nyusahin."
Cowok satu ini benar-benar pandai menyulut emosiku. Sontak aku menyahut, "Nerima kenyataan yang mana? Omonganmu itu cuma spekulasi, bukan kenyataan!"
"Oh? Kalau gitu, kau harus nerima kalau kau!" Julian maju selangkah dengan telunjuk terarah padaku. "Kau itu bukan orang normal! Kami semua tahu kalau kau masih berharap bisa hidup normal."
"Julian, stop!" Tanpa kuduga, Marlo maju untuk mendorong Julian menjauh dariku. "Bukan itu yang mesti kita bahas sekarang!"
Dengkusan lolos dari mulut Julian yang tiba-tiba naik pitam. Dia kembali bersedekap dan bersandar pada dinding, lantas memalingkan wajah dari kami. Julian menggumamkan sesuatu. Sangat pelan sampai aku tidak bisa mendengarnya.
"Oke," gerutu Marlo sambil memijit pangkal hidung. Dia kemudian mengangkat kepala, bergantian menatap Julian dan aku. "Kita semua perlu waktu buat dinginin kepala sebelum mulai bahas ini."
Kupalingkan wajah dan melenggang pergi, ingin menghilang dari pandangan mereka untuk sementara waktu. Aku juga ingin mereka menghilang dari pandanganku. Hanya sementara.
Clou's corner:
Hai hai! Aku kembali! Kali ini untuk menamatkan buku pertama Eccentric Teens untuk yang terakhir kalinya. Nggak ada rewrite-rewrite lagi. Pusing! Kan masih ada dua buku lagi yang harus ditulis :(
Aku belum bilang kah? Eccentric Teens bakal jadi trilogi loh! Ya, author satu ini hobi manjang-manjangin cerita, padahal rencana awal cuma stand alone, hadeeeh. Terlalu sayang sama geng kwek-kwek ini.
Anyway! Demi namatin buku pertama ini, aku ikut event 60 Days Road to End. Event internal flc_writers yang tujuannya biar karya member pada tamat. Kayak event maraton lah ya. Kesempatan emas, kapan lagi dipecut buat namatin naskah, yekan?
Ayuk cek tagar #flc60RTE :D banyak loh yang ikutan. Ceritanya bagus-bagus, banyak pilihan genre pula.
Ini catatan terpanjang di work ini buset. Ekhem, mulai sekarang ET bakal update dua sampe tiga kali tiap minggu sampe tamat. So, stay tuned!
02-04-2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro