
Ch. 19: Julian yang Tidak Bersahabat
N E W C H A P T E R
Wordcount: 1.506 words
Hubungan antar-individu dalam kelompok ini lumayan mengkhawatirkan. Aku dan Julian, Aiden dan Theo, Marlo dan aku. Dua dari tiga kombinasi ini bisa dibilang mustahil, apalagi aku dan Julian. Sepertinya dia sangat-sangat membenciku.
Harusnya aku yang membenci cowok itu karena dia hampir membuat nyawaku melayang di hari pertama sekolah. Ditambah, tidak ada kata maaf yang keluar dari mulutnya yang ditujukan kepadaku. Bukan maksud mengemis permintaan maaf, ya.
Julian memang sudah menggendong Theo yang kakinya terkilir sampai ke luar markas itu. Tindakannya tak dapat kusepelekan, apalagi dia sampai membakar tangannya sendiri waktu itu.
Ah, mungkin bisa mulai dari basa-basi. Seperti yang biasa kulakukan dengan orang-orang lain. Tidak mungkin Julian langsung membakarku hidup-hidup karena membuka obrolan dengannya.
"Ian—eh. Jul?" Kudekati dirinya yang bersantai seorang diri di halaman belakang. Bersandar pada sebuah pohon yang berdiri sendiri. Pagar kayu pendek yang mengelilingnya sudah roboh, tampak lapuk pun cat putihnya telah mengelupas.
Tanpa menoleh, tanpa menunjukkan kepedulian sedikit pun padaku yang kikuk memanggilnya, dia menyahut, "Apaan?"
Antusiasme untuk berinteraksi dengannya terkuras cukup banyak. Sama sekali tidak ada keramahan. Walau begitu, aku tetap menghampirinya. Niat untuk menjalin hubungan baik lebih kuat dari keinginan untuk merajuk seperti bocah.
Aku berdiri di dekatnya, bersandar pada pohon yang sama. "Tanganmu ... udah baikan?" tanyaku sambil melirik tangannya yang masih dibalut perban. Perbannya putih bersih, mungkin baru diganti.
"Mendingan."
Hening dan canggung datang melingkupi untuk sesaat. Aura tak bersahabat yang Julian kuarkan membuatnya sulit didekati. Ini menyebalkan.
"Gak usah maksa. Akrab ato gak itu gak penting."
Oke, jadi tambah nyebelin.
Julian bangkit berdiri sebelum kata-kata sempat keluar dari mulutku. "Sori ... soal yang waktu itu," ujarnya terus melangkah masuk ke vila. Pagar kayu yang sudah roboh bukannya dilompati malah diinjak.
Kakiku bergerak menyusul. Ada yang ingin kusampaikan. Agak sulit menyamai langkah karena kakinya panjang sekali sementara kakiku ini pendeknya meresahkan.
"Hei," panggilku saat akhirnya berhasil menyamai langkah. "Aku belum sempat bilang makasih. Yang kemarin-kemarin ... waktu kau bantuin gendong Theo. Jadi ... makasih."
Julian melirik sebentar, langsung berdecak kala aku memergokinya. "Ngapain sih, ngekor mulu kek gak ada kerjaan."
"Emang gak ada. Lagian barusan aku bilang makasih, gak kedengeran?" Aku mempercepat langkah kaki seperti yang dia lakukan.
Tangan dia kibas-kibaskan dengan maksud mengusir. "Ganggu orang lain aja, sana. Jauh-jauh."
Manusia satu ini memang tidak ada niat untuk berbaikan. Dia sungguh tidak menyukaiku. Akrab dengan Julian adalah satu dari sekian banyak hal mustahil bagiku.
Kami berpisah jalan. Julian masuk ke dalam, sedangkan aku berbelok untuk mengelilingi vila. Ganggu orang lain saja, katanya barusan. Benar-benar tidak bersahabat.
Mendongak untuk menatap birunya langit, perhatianku justru terpikat oleh papan-papan biru yang hanya tampak tepiannya. Kata Marlo, itu yang namanya panel surya, terpasang pada atap vila.
Ngomong-ngomong soal Marlo, aku baru saja menabraknya. Punggungnya lebih tepat. Daguku yang menghantam punggung cowok itu karena sejak tadi aku terus menatap ke atas.
Marlo membalikkan badan, mendapati diriku tengah mengusap dagu. "Eh, Feli. Uh ... udahan ngobrol sama—eh, enggak. Barusan aku nggak nguping ato apa!" Gelagapan dia dengan telapak tangan dilambai-lambaikan.
Aku hampir kelepasan tertawa karena tingkah lucunya itu. "Apasih." Senyum secara alami terukir. "Ngapain di sini?"
"Oh, anu." Marlo menoleh ke balik badannya sebentar. "Tadinya mau manggil kalian ke dalam, tapi keliatannya lagi ngobrol serius jadi gak jadi. Maksudku, mau nunggu sampai kalian selesai baru balik."
"Bicaramu belepotan, Mar."
Marlo menggeram frustrasi sambil mengelap wajahnya. Dengan telapak tangan masih menempel pada wajah yang tertunduk, ia bertanya, "Bisa kita masuk aja sekarang? Aiden lagi nunggu nggak sabaran."
Bicaranya masih belepotan. Kuabaikan fakta itu, mengangguk setuju. "Oke. Emangnya ada apaan?"
Tangan disingkiran dari wajah, kemudian Marlo berbalik melangkah ke depan vila. Jalannya mungkin sengaja dipelankan supaya aku bisa dengan santai mengekor. "Tadi kami nemu sesuatu di gudang."
"Apaan tuh?" Kalau sudah bicara begini pasti sesuatu itu menarik.
"Hmn ... liat aja deh pas udah di dalam."
Kami tidak bicara lebih sampai masuk dan berkumpul dengan yang lainnya di ruang tengah. Marlo bahkan tidak menanyakan lebih lanjut mengenai percakapanku dengan Julian sebagai basa-basi.
Di ruang tengah yang lainnya sudah berkumpul. Aiden dan Julian duduk berseberangan, sedangkan Theo menguasai satu sofa dengan duduk di tengah dan merentangkan tangan. Anak itu baru bergeser ketika melihatku masuk.
Tampak dalam pangkuan Aiden sebuah benda kotak. Ada antena kecil dan dua tombol putar yang tengah diotak-atik Aiden.
"Kalian nemu radio?" tanyaku setelah menempatkan diri di samping Theo. Benda kotak itu sungguh memikat. Pandanganku tak lepas darinya. "Keliatan canggih. Kupikir kalian nemu barang jadul."
"Menurutku malah aneh kalau kita nemu barang jadul di tempat kayak gini," sahut Marlo. Dia duduk di sofa yang berhadapan denganku.
Aiden sejak tadi kelihatan fokus sekali pada benda kecil itu. Dia terus memutar salah satu tombol pun menggeser-geser sesuatu di atasnya.
"Ngumpul buat liatin rongsokan yang gak bisa nyala. Gak guna," decak Julian bersedekap. Tatapan sinis tertuju pada rongsokan tersebut.
"Tadi nyala! Ada suaranya!" Aiden masih bersikeras, kini mulai mengguncang-guncang radio itu. "Kalo gak percaya, tanya aja Marlo."
Mengendikkan bahu aku pun berceletuk, "Aku emang lebih percaya Marlo, sih." Bibir kumajukan seperti hendak bersiul.
"Hei!"
Marlo mengangguk, mengundang perhatian aku dan yang lain. "Beneran. Malah tadi ketemu karena radionya bunyi."
Julian kelihatan tertegun. Ia pun beralih menghadap Aiden seraya mengulurkan tangan. "Siniin."
"Jangan dibakar." Aiden memindahkan radio tersebut ke tangan Julian dengan telekinesis.
Sontak Julian berdecak kala menyambar radio itu dari udara kosong. Dia tidak melontarkan kata-kata bernada kasar sebagai balasan. Kelihatan sudah lelah dengan tingkah Aiden. Mungkin bukan hanya dia.
Untuk sesaat Julian melirik benda itu. Segala sisi dan sudut diamatinya. Pun ia mengotak-atik segala macam tombolnya. "Asing," ucap Julian saat meletakkan radio itu di atas meja.
Satu kata itu sukses membuat kami memasang tampang bertanya-tanya. Marlo sendiri yang ekspresinya kembali netral dalam sekejap.
"Asing gimana?" tanyaku sampai beringsut maju.
Bukannya jawaban, aku malah diberi tatapan kau-lagi-kau-lagi. Kurasa aku disuruh tutup mulut.
Tiba-tiba Aiden memukul permukaan sofa di sampingnya seraya berseru, "Oh!" Seperti ada bohlam menyala melayang di atas kepalanya. "Maksudmu, ada kemungkinan seseorang diam-diam masuk terus ninggalin radio ini di gudang, kan? Karena dulu kausering di sini, jadi pasti bakal langsung kenal kalau barangnya emang dah dari lama disimpen di gudang."
Sekilas kulihat tatapan Julian yang berbinar kagum. Tak sampai satu detik kemudian, dia memutar bola mata malas dengan seringai terukir. "Hebat. Kupikir otak itu udah berkarat karna kekurangan gizi."
"Hei, sembara—"
Tanpa disentuh, radio yang pagi ini menjadi topik pembicaraan mengeluarkan suara. Terdengar seperti televisi yang sudah rusak antenanya.
Kami semua terdiam. Fokus kembali tertuju pada kotak yang tiba-tiba mengeluarkan suara itu. Suara terdistorsi menggema dalam ruangan. Makin lama suaranya makin jelas. Ada seseorang yang sedang bicara ... atau mencoba bicara. Suaranya putus-putus.
"Nomaden ... datang ... pulau nomaden ...."
Suara anak cewek. Kedengaran tidak asing.
"Menyeberang ... tolong ... belum binas—"
Sambungan terputus, menyisakan bunyi terdistorsi yang membuat bulu kuduk berdiri. Lebih lagi kata-katanya yang bolong di sana-sini.
"Belum ... binasa?" ucap Marlo seperti bertanya.
Mengedarkan pandangan ke sekeliling, hanya dua jenis ekspresi yang kudapati: heran dan tertekan. Aiden dan Marlo keheranan, sedangkan Julian dan Theo tampak tertekan dengan alis tertekuk pun kening mengerut.
Seketika aku merinding sampai tersentak. "Serem." Tatapanku kembali terkunci pada radio itu. Tadi sempat kulihat tombol gesernya bergeser-geser sendiri tanpa pola khusus. Berhenti tepat saat suara si anak cewek terputus.
"Jangan-jangan itu pesan minta tolong," ujar Aiden kembali meraih radio tersebut. Dia mengetuk-ngetuknya seperti mengetuk pintu, lalu diguncang-guncang lagi di dekat telinga.
"Pesan minta tolong dari cewek yang ada di Pulau Nomaden?" Julian kembali menghempaskan punggung ke sandaran. "Bisa jadi, tapi kenapa minta tolong sama kita? Kenapa radionya bisa ada di sini? Jelas-jelas mencurigakan, kautahu itu."
Aiden menurunkan radio ke pangkuannya, lantas tersenyum hambar pada Julian. "Kenapa?"
"Ketauan banget sekarang kau lagi mikirin hal bodoh."
Pandanganku bergeser pada Marlo yang kemudian balas menatap kemari. Untuk sesaat kami sama-sama mengalihkan perhatian dari dua orang yang kurang akur.
"Mungkin, mungkin." Senyum Aiden kian lebar kala jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan radio. "Gimana kalo itu jadi tujuan kita habis ngacau di markas BPE?"
"Gila," sahut Julian dan Marlo bersamaan.
Aku yang masih kebingungan di sini memberanikan diri untuk bertanya, "Memangnya Pulau Nomaden itu apa? Namanya aneh banget. Masa ada pulau yang gak netap di satu tempat."
Sontak Aiden mengalihkan pandangan padaku. "Ada kok."
"Bagus, alihkan pembicaraan, Cewek Kudet." Lagi-lagi Julian memutar bola mata malas. Semoga bola matanya itu tidak pusing.
Napas kasar kuembuskan. Tidak mengerti ucapannya itu sarkasme atau serius ingin aku mengalihkan pembicaraan.
Di antara mereka bertiga, yang berbaik hati menjelaskannya tentu adalah Marlo. "Sekitar dua puluh tahun yang lalu, pulau itu muncul di Samudra Atlantik, terus tujuh tahun kemudian pindah ke Samudra Pasifik. Tahun lalu pulau itu tiba-tiba muncul di Laut Sulawesi."
"Pindah? Beneran pindah tempat?!" Keterkejutan tak dapat kusembunyikan lagi. Volume suaraku sampai naik.
"Iya, beneran pindah. Gak ninggalin jejak. Kondisinya juga gak berubah." Marlo santai saja menghadapiku, berbeda dari Julian yang kelihatan ingin mencelupkan kepalaku ke dalam lubang toilet sekarang juga.
Aiden masih senyam-senyum sendiri. "Keren, kan? Bikin penasa—"
"Cepatlah!"
"Buset!" seru Aiden yang refleks melempar radio ke udara.
Radio itu ditangkap oleh Marlo yang tampak gelagapan, nyaris menjatuhkannya ke lantai. Lagi-lagi si Cewek Radio menjerit, "Sial! Sudah terlambat!"
Tunggu dulu.
"Hei, bukannya itu ... suaraku?"
Clou's corner:
Kapan selesai, ya ....
15-09-2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro