Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch. 18: Soal Makanan dan Hidup

N  E  W   C  H  A  P  T  E  R

Wordcount: 1.229 words

Mereka sudah berkumpul di ruang tengah saat aku bangun. Sambutan pertama yang kudapat adalah tatapan sinis Julian. Aku jadi curiga kalau-kalau dia terus menatapku selama tidur tadi dengan harap bisa membuatku bangun dengan tidak nyaman.

Asal dia tahu, tanpa ditatap begitu pun aku sudah tidak nyaman. Bayangkan kau seorang cewek, bangun dari tidur sore yang nikmat mendapati hanya ada cowok-cowok di sekitar.

Sekarang aku sedang menunduk dan menutupi wajah yang entah terlihat seperti apa. "Kenapa pada ngumpul di sini sih? Kenapa juga gak bangunin aku, hah?"

"Kalo Marlo gak bilang apa-apa, udah kusiram pake air es dari tadi," ujar Julian bersedekap. Kakinya bergerak mengetuk-ngetuk lantai.

Tidak lagi peduli pada wajahku yang mungkin kelihatan seperti monyet sekarang ini, aku sontak menatap orang yang namanya baru saja disebut. "Bilang apa kamu tadi?"

Marlo memalingkan wajah secepat aku mengangkat kepala. "Bukan apa-apa. Gak usah dipikirin."

"Ya, ya, gak usah dipikirin." Aiden menyikut-nyikut lengan Marlo dengan senyum yang manis seperti biasa. "Yang penting kamu selamat dari siraman air es," ujarnya terus mengacungkan jempol.

Spontan aku mengelap wajah. Beralih menatap ke luar jendela yang sudah ditutup, kudapati hari sudah gelap. Lampunya menyala, berarti Julian tidak mengacau saat mengurus listrik tadi.

Hening nan canggung melanda. Sudah kuduga akan jadi seperti ini. Kami semua belum akrab, apalagi aku satu-satunya cewek di sini. Kapan ada cewek yang bergabung dengan kami?

Geraman monster perut menjadi pemecah heningnya malam. Benar sekali, kami semua kelaparan.

"Kalian ... gak lupa bawa makanan, kan?" Takut-takut aku menatap para cowok. Takut mereka benaran lupa bawa. Dipikir-pikir, kalau mereka bawa, kenapa tidak masak dari tadi?

Tidak ada yang menjawab. Perasaanku jadi tidak enak. Jangan bilang mereka lupa dan kami harus mencari makan di hutan yang mungkin isinya cuma tumbuhan tak layak konsumsi.

"Hei, hei, jangan makan jari sendiri!" seru Aiden. Tangannya terentang ke arahku dengan telapak terbuka. Badannya sedikit bungkuk. "Makanan ada kok!"

"Oh." Sontak aku menjauhkan jempol yang entah sejak kapan masuk ke mulutku. "Kebiasaan."

"Biasa ... kunyah-kunyah jari?" Julian menatapku seperti menatap tikus yang menyelonong masuk ke dapurnya. "Banyak bakte—ah, sudahlah. Intinya kita punya makanan. Nugget, sosis, dan banyak macam lagi."

Seketika semangatku naik. Bayangan nugget dan sosis goreng sudah membuatku tergiur. Namun, dengan mudah semua itu dihancurkan.

"Tapi si cebol bego itu," kata Julian menunjuk Aiden, "lupa bawa minyak goreng kemari."

Pandanganku mengikuti arahan telunjuknya. "Kok bisa?" tanyaku seramah mungkin dengan senyum.

Bisa-bisanya dia melupakan sesuatu yang sangat penting. Sekarang ini aku sudah sangat lapar, rasanya ingin menerkam seseorang. Seseorang itu mungkin Aiden.

Aiden balas menunjuk Julian. "Kupikir udah dibawa!"

"Ngapain aku bawa barang yang kusuruh kaubawa, Bego?!" Julian mengepalkan tinju, kelihatan siap melemparkannya pada wajah Aiden.

"Sudah, sudah ...." Dengan tubuh kerempengnya, Marlo mencoba menengahi. Tangan kurus yang sudah seperti tulang terangkat, melakukan gerakan menyetop. "Mending kita masak yang gak perlu minyak goreng."

"Mi instan?" Theo bersuara.

Kami semua saling bertukar pandang. Jawabannya sudah jelas.

"Nggak ada."

Julian mendengkus, lalu merebah menguasai sofa yang ditempatinya. "Ya udah, kalian aja yang masak. Sana."

"Terus kau enak-enak rebahan di sini nunggu makanan jadi?" Astaga, sejak kapan aku berani bicara seperti ini pada orang yang nyaris menghabisiku? Sudah gila aku ini.

Secara mengejutkan, cowok pemarah itu tidak membalas dengan teriakan. Dia justru mengibaskan tangan kanannya yang kini berwarna cokelat gelap, pun kelihatan kasar. "Cepetan. Lama-lama ntar keburu lemes, gak ada yang masak, terus kita semua mati kelaparan di sini."

Aku, Aiden, dan Marlo akhirnya bangkit berdiri, kemudian beranjak ke dapur. Di atas konter sudah ada ransel yang seingatku tadi dipikul Julian. Tanpa ragu Aiden membongkarnya, mengeluarkan isinya yang hampir semua adalah makanan beku. Tiga bungkus nugget ayam, lima bungkus sosis, dua bungkus bakso ikan, dua bungkus ayam potong, dan sebungkus pangsit.

"Makanan ... ini makanan orkay semua gak sih." Bergantian aku menatap Aiden dan Marlo yang saling lirik sebentar.

"Bukan makanan orkay juga sih ...." Marlo mengelus tengkuk, lagi-lagi mengalihkan pandangan.

Sambil menyikut-nyikut Marlo, Aiden berkata, "Kalau kamu gak peka juga, Julian sama Marlo itu orkay loh. Yah, ortu mereka sih." Senyumnya melebar kala merentangkan tangan di hadapan tumpukan makanan beku. "Dan ini, asal kamu tahu, adalah stok makanan di kontrakan kami."

Aku tidak terkagum-kagum. Mataku tidak berbinar-binar, justru datar menatap Aiden. "Kalian gak bosan makan ginian mulu?"

"Heh, gak tiap hari juga kali makan ginian. Eneg," ujar Aiden berkacak pinggang. "Biasanya Erna masak."

"Erna gak di sini sekarang," ucap Marlo. Dia menatap makanan beku di konter seperti zombie menatap otak manusia.

Aku berbalik, mengambil panci dan mengisinya dengan air. "Udahan ngobrolnya. Yuk, mulai masak."

Melihatku kebingungan hendak menyalakan kompor listrik, Marlo datang mengambil alih. Masih kelihatan seperti zombie karena kelaparan.

"Garam sama bumbu lain mana ...?"

Seketika aku dan Marlo berbalik menatap Aiden yang sibuk menggeledah ransel Julian. Aku yakin ransel itu sudah kosong. Jangan-jangan anak itu disuruh bawa bumbu dapur dan dia melupakannya.

"Aiden ...." Hilang sudah keramahan dari suara Marlo. Tampaknya dia lebih siap melahap seseorang ketimbang aku.

"Buset!" Aiden mengangkat tangan. Kantong plastik berisi bumbu dapur berada dalam genggamannya. "Bercanda doang, astaga ...."

Acara masak-memasak kami tidak tenang dengan kehadiran Aiden di dapur. Pawangnya juga malah malas-malasan di sofa. Aku sakit kepala; Marlo sakit kepala tiga kali lipat.

Sementara kami memasak sup campur-campur dengan tidak damai, Theo melenggang ke dapur. Anak itu menatap berbungkus-bungkus makanan beku di konter, lalu beralih pada ransel Julian. Dia mencari sesuatu, tetapi tidak menemukannya karena ransel itu sudah kosong melompong.

"Beneran nggak ada mi instan?" tanya anak itu agak memelas.

"Ada nggak, ya," sahut Aiden dengan nada ramah dibuat-buat.

Dalam sekejap wajah memelas Theo jadi mengerut jengkel. "Nggak nanya sama kau," ujarnya ketus memalingkan wajah, lalu melangkah pergi.

Gerakan tangan Marlo yang sedang mengaduk sup terhenti. Pandangannya terfokus pada Theo, mengikuti anak itu hingga punggungnya hilang dari penglihatan. Kuperhatikan dia sempat melirik Aiden sebelum kembali fokus pada panci sup mendidih.

Tadi aku tidak sempat menanyakan kenapa dia tidak suka Aiden. Aku agak penasaran karena dia biasa saja pada semuanya kecuali anak itu. Pasti ada alasan khusus.

"Fel, awas gelasnya jatoh," tegur Marlo.

"Oh, iya." Kubenarkan pegangan pada nampan berisi lima gelas kaca, kemudian bergegas ke meja makan. Karena tidak banyak yang perlu dilakukan di dapur, aku mengatur meja makan saja. Bagian memasak sudah ditangani Marlo, sedangkan Aiden sibuk mengatur persediaan makanan di dalam kulkas.

Aku menyeret kursi ke depan wastafel cuci piring, berniat mengambil peralatan makan lain dari lemari di atasnya. Namun, baru menginjakkan sebelah kaki di atas kursi, seseorang menepuk pundakku.

"Biar aku ambil pake telekinesis aja. Bahaya kalo naik kursi, nanti jatoh," ujar Aiden yang kemudian mengulurkan tangan ke lemari tersebut. Pintunya seketika terbuka. Lima mangkok lengkap dengan sendok dan garpu melayang keluar mengikuti arahan telunjuk Aiden. Peralatan makan tersebut berbaris di udara, melayang terus mendarat di meja makan.

Tahu-tahu aku sudah tersenyum. "Kayak cerita dongeng jadi nyata."

Pintu lemari mengayun tertutup. Aiden terkekeh setelah semua alat makan sudah rapi di atas meja makan sana. Dia menoleh padaku dengan senyum tipis dan tatapan yang anehnya tampak sendu. "Selama ini hidup kita kayak gak nyata, ya."

Aku mengangguk setuju. "Jujur, kadang aku ngarep ini semua cuma mimpi." Tawa kecil lolos dari mulutku. "Konyol banget. Hidup ini."

"Hidup emang konyol," ucap Marlo yang masih berkutat di depan kompor, menarik perhatian kami untuk berbalik.

Pernah aku berpikir bahwa hidup adalah pertunjukan. Dan, sepertinya aku dan mereka ini tengah berada di satu panggung yang sedang menampilkan kisah penuh tragedi.

Kalau memang begitu, sehabis hari-hari damai ini, tragedi macam apa lagi yang tengah menanti kami semua?

Clou's corner:
Hidup mereka gak akan tenang

13-09-2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro