Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch. 14: Harus Keluar Hidup-Hidup

N  E  W    C  H  A  P  T  E  R

Wordcount: 1.792 words

Secercah cahaya muncul di depan wajah. Lama-kelamaan cahaya tersebut makin terang juga silau, membuatku memejam. Ketenangan perlahan berganti menjadi guncangan. Bokongku sakit sekali, wajahku terus ditampar angin juga helaian rambut, dan sepertinya ada yang sedang merangkulku.

Begitu membuka mata, aku disambut oleh pemandangan yang aneh. Pepohonan di depan menerjang ke arahku. Nyatanya aku tengah meluncur menuruni lereng curam berkerikil tanpa papan seluncuran.

"Apa-apaan ini?! Celanaku bisa robek!"

"Feli! Akhirnya sadar!" Aiden mengeratkan rangkulannya agar kami tidak terpisah di tengah jalan.

Ini memalukan, tetapi biarlah. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan itu. Kakiku bergerak liar, mencoba memperlambat laju gerak kami. "H-hei! Kita bakal nabrak pohon di bawah!"

"Belok!" Aiden menarikku seraya memiringkan badan ke kanan.

Kami berdua akhirnya berguling-guling sampai ke bawah. Walau sudah memakai jaket tebal dan celana jeans, sakitnya bukan main. Selain menyakitkan, ini juga membuatku pusing.

Aksi guling-guling kami berakhir dengan bunyi derak juga gemerisik dedaunan. Punggung Aiden menghantam sebuah pohon yang batangnya tak begitu besar. Pohon tersebut langsung patah dan roboh.

Aku yang berada dalam dekapan Aiden tidak mengalami cedera berat. Paling parah memar dan sedikit lecet di wajah. Walau begitu, badanku rasanya seperti baru saja diremukkan oleh tangan raksasa.

Tak berlama-lama dalam dekapan seorang cowok, aku segera menarik diri. Badanku tambah sakit karena gerakan tiba-tiba itu.

Aiden mengerang kesakitan. Wajahnya lecet, lebih parah dariku. Bagian punggung serta lengan jaketnya yang tidak setebal milikku sobek.

Mengabaikan lukaku yang tidak seberapa, aku membantu Aiden duduk. Penampilan kami benar-benar kacau. Aku tertawa kecil. Untuk apa memusingkan penampilan di saat seperti ini.

Mata Aiden terpejam erat sementara meringis kesakitan. Punggungnya baru saja menabrak pohon dengan tambahan momentum dariku. Pasti sakit sekali. Semoga tulang punggungnya tidak retak.

Beberapa menit kami duduk dalam keheningan, menunggu rasa sakit pergi. Aku ingin bicara padanya, tetapi tidak enak hati. Ekspresinya saat sedang menahan sakit membuatku tidak tega membuatnya bicara barang satu kalimat. Jadi, aku menunggu dia yang memulai pembicaraan.

"Kamu ... kok bisa pingsan—tadi?" ucap Aiden patah-patah.

Aku memang ingin bicara dengannya. Sungguh. Hanya saja, aku tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Tadi aku tiba-tiba berpindah ke tengah kegelapan. Bagaimana bisa aku menjelaskan hal aneh yang tidak kupahami?

"Gak tau, ya." Aiden memalingkan wajahnya. "Mungkin itu echros orang yang mengejar kita tadi."

Seketika aku menoleh. "Kamu sempat lihat?" Antusiasme langsung terjun ke dalam jurang ketika Aiden menggeleng. "Begitu ya ... tapi untunglah kita bisa kabur darinya."

Padahal aku ingin tahu pemilik echros yang membuatku melihat hal-hal dalam ruang gelap tadi. Mirip dengan echros Lumi, tetapi tidak mungkin itu Lumi. Satu orang harusnya tidak punya lebih dari satu echros, kan? Lagi pula kalau itu benar Lumi, Aiden pasti sudah tahu dan tidak akan bertanya.

Aku terperanjat kaget ketika Aiden tahu-tahu jatuh terduduk. Sontak aku menoleh, mendapati anak ini mencoba berdiri sendiri. Tanganku terulur menahannya agar tetap duduk. "Duduk diem dulu, heh! Kita baru aja guling-guling nurunin lereng terus nabrak pohon. Punggungmu yang nabrak pohon! Pasti sakit banget ...."

Wajahnya sampai mengerut pun ringisan terdengar. "Kita harus keluar secepat mungkin. Nggak boleh lama-lama istirahat." Tangan Aiden yang sedikit gemetar bergerak menunjuk dinding besar di arah barat.

Keraguan muncul. Di satu sisi aku paham akan apa yang dia katakan. Namun, di sisi lain aku ingin kami beristirahat sedikit lebih lama. Kami berdua butuh istirahat, apalagi Aiden yang menanggung sebagian besar dampak jatuh tadi.

Pada akhirnya, kudapati diriku menyahut, "Oke." Meski tubuh ini terasa seperti akan hancur berkeping-keping, aku memaksakan diri untuk bergerak. "Sini, kubantu," ujarku mengulurkan tangan.

Aiden sempat bengong beberapa detik baru menyambut uluran tanganku. Meski sudah dibantu, dia masih kesulitan berdiri. Satu kali ia hendak terperenyak. Untung genggamannya tidak lepas. Ya, aku juga hampir jatuh karena bobotnya.

Tubuh kami sama-sama gemetar sehabis menuruni gunung tadi dengan cara ekstrem. Setelah semua itu, kami masih bisa berjalan, menopang satu sama lain. Jujur, sekarang ini aku ingin sekali berbaring di atas kasur empuk untuk melepas penat.

"Capek?" tanya Aiden lirih saat sudah setengah jalan.

Aku mengangguk tanpa suara.

"Sama, aku juga capek."

Aku tahu itu. Kami sama-sama lelah, kesakitan, juga gemetar. Keinginan agar tidak tertangkap masihlah kuat, untuk sementara menjadi sumber tenaga. Kami harus keluar dan segera bergabung dengan yang lain.

Kata Aiden, dia menyuruh yang lainnya pergi duluan. "Pikiran mereka kacau semua. Gak ada yang mau balik, malah koar-koar nyuruh ninggalin kamu," jelasnya lirih.

"Tapi kamu balas marah, suruh mereka duluan, terus balik demi aku?" Kutatap dia dengan kedua alis terangkat.

Aiden mengangguk. Pandangan tertuju ke depan dengan wajah kusam dibanjiri keringat. Agak pucat juga.

"Oh ... makasih."

Balasannya hanyalah gumaman. Kurasa dia sudah sangat, sangat, sangat lelah. Wajah tanpa senyum itu membuatku makin tidak bersemangat.

Aku mengembuskan napas kasar, kembali menyadarkan diri. Semangat atau tidak, aku harus terus berjalan. Adikku menunggu bersama yang lain. Keselamatan kami juga terancam. Dan, masih ada lonjakan adrenalin sebagai sumber tenaga darurat.

Setibanya di hadapan dinding besar nan kokoh, aku kehabisan tenaga. Tidak ada lonjakan adrenalin karena keadaan sekitar tenang-tenang saja. Tubuhku terhuyung ke depan dan ke belakang hingga akhirnya jatuh berlutut. Aiden ikut jatuh karena sejak tadi ia bertopang padaku.

Aku menahan diri untuk tidak mengucapkan keluhan meski sekujur tubuh gemetar hebat. Lelah, sakit, pusing. Rasanya aku akan pingsan. Aku ingin pulang. Aku benci rasa lelah berlebihan ini.

"Hei," panggil Aiden, "aku tahu kamu kelelahan, tapi bertahanlah. Kita gak bisa ketemu Erna kalau belum lewatin dinding itu."

Apa katanya? Erna? Bukannya kita bakal kabur pakai mobil?

Aiden sudah lebih dulu berdiri, mengulurkan tangan kala aku mendongak. Senyum tipis terukir pada wajahnya. "Udah kuwanti-wanti sebelum berangkat. Sekarang ini dia pasti udah ketemu Julian sama yang lain. Dan kalau Erna peka, dia bakal nunggu di tempat yang kita tuju."

Aku sama sekali tidak mengerti, pun terlalu lelah untuk memikirkan hal rumit. Kubiarkan Aiden memapahku menuju sebuah pohon besar yang tumbuh dekat sekali dengan dinding pembatas, padahal dia sendiri kelelahan.

Aiden melakukan gerakan melibas dengan tangan kanannya. Semak-semak yang tidak jauh dari kami terlempar mengikuti gerak tangannya. Ada sesuatu di balik semak-semak itu.

Kami berjalan mendekat. Aku tidak lagi bertopang pada Aiden sepenuhnya. Kembali ke posisi awal, saling menopang.

Di balik semak-semak yang baru Aiden singkirkan, terdapat pintu masuk ke lorong bawah tanah. Mirip dengan yang kami masuki tadi. Yang ini pintunya sudah tidak ada. Kami sama-sama mengintip, mendapati onggokan besi yang mungkin awalnya merupakan pintu yang terpasang di sini.

"Julian sama yang lain pasti lewat sini." Aiden menoleh padaku dengan senyum tipis yang jelas dipaksakan. Wajah kami tidak terpaut jauh karena masih saling memapah. "Kamu masih kuat buat turun tangga, kan?"

"B-bisa," jawabku seraya membuang muka.

Senyum itu dipaksakan, jelas dia sangat lelah. Wajahnya makin berkeringat dan makin pucat. Khawatir juga tersipu, kedua bercampur. Kombinasi yang sangat aneh.

"Oke deh. Aku duluan, ya. Siapa tahu kamu jatuh, nanti bisa kutangkap." Aiden memisahkan diri dariku, kemudian turun lebih dahulu.

Aku mengambil kesempatan untuk duduk sambil memperhatikan anak itu. "Sendirinya udah gemeteran gitu," gumamku.

Aiden menyerukan namaku setibanya di bawah. Aku pun menuruni tangga dengan hati-hati. Sangat pelan. Butuh waktu lama bagiku untuk sampai ke bawah, bahkan aku sempat terpeleset beberapa kali.

Sementara itu, Aiden duduk bersandar pada dinding lorong. Diam menunggu dengan tatapan kosong. Ia segera berdiri begitu melihatku. "Lorong ini nggak panjang-panjang amat, ayo," ucapnya tidak sabar.

Dia tidak berbohong. Aku dapat melihat sesuatu yang menempel pada dinding di ujung lorong. Samar memang, tetapi aku yakin benda di ujung sana adalah tangga. Mungkin tubuh ini sudah sampai pada batasnya hingga penglihatanku jadi buram.

Kali ini aku menolak tawaran Aiden untuk memapahku. Sok-sokan kuat padahal dia sendiri kelihatan sudah mau ambruk saja. Lebih baik aku berjalan sambil berpegangan pada dinding lorong yang berlumut dan penuh dengan tanaman rambat. Pikiranku melayang pada momen yang baru saja kami lewati. Wajahku makin panas.

Gila, tadi deket banget. Terlalu deket.

Oke, lupakan itu. Mari fokus pada Erna yang ternyata sudah menunggu di pintu keluar. Aku memekik senang ketika mendongak di depan tangga dan mendapati wajahnya.

"Kenapa?" Aiden ikut mendongak tepat saat Erna menghilang dari sana. Dia beralih menatapku. "Ada apaan di atas sana?"

"Ada aku!" seru Erna yang rupanya berpindah ke belakang kami.

Sontak Aiden dan aku berbalik dengan jantung berdegup kencang. Tanpa basa-basi, Erna meraih tangan kami dan langsung berteleportasi.

Kami bertiga muncul di samping sebuah mobil. Mobil tersebut tidak berdiri sebagaimana mestinya. Seseorang atau sesuatu telah membuatnya berdiri dengan sisi kiri di bawah. Beberapa orang yang kukenal tengah berlindung di baliknya.

"Oi—bodoh!"

Sudah terlambat saat Julian menyadari keberadaan kami yang muncul tiba-tiba. Kumpulan logam tajam dalam beragam bentuk jauh lebih cepat darinya, memelesat ke arah kami. Aiden dan Erna segera menghindar, sedangkan aku membatu di tempat layaknya orang bodoh.

Logam-logam tajam itu sangat cepat, memelesat tepat ke arahku. Pada detik ini, sudah terlambat untuk bergeser barang satu langkah saja. Logam-logam itu akan mengenaiku. Habis sudah.

"Feli!" jerit Aiden kembali menyadarkan diriku yang sudah pasrah.

Aku mengerjap-ngerjap keheranan. "Eh?"

Logam-logam tajam yang tadinya memelesat ke arahku berhenti di udara. Ada beberapa yang tak sempat dihentikan. Pipi, lengan, serta betisku tergores cukup dalam. Bertambah lagi luka-lukaku. Kali ini karena kebodohan sendiri.

Melihat lurus ke depan, ada seseorang di sana. Cowok itu kelihatannya seumuran dengan kami. Dia tampak kesal. Rahangnya mengeras juga alisnya tertekuk sampai kening berkerut.

"Si bego!" Julian menarikku agar ikut berlindung bersama mereka. "Cari mati?!"

Aku tidak merespons, hanya melongo seperti orang yang baru bangun tidur. Pandanganku kini terfokus pada Aiden yang telah menggantikan posisiku. Kedua tangannya terentang ke depan dengan bulir keringat mengalir menuruni pelipis.

"Logam-logamnya berhenti," celetukku seperti orang bodoh.

"Itu karena Aiden menghentikannya dengan telekinesis." Erna beringsut mendekat. "Mumpung orang itu fokus pada Aiden, akan kubawa kalian ke tempat aman. Bergantian."

Dua orang sekali teleportasi. Marlo dan Theo yang pertama. Ketika Erna kembali untuk menjemput Julian dan aku, sebuah bilah pisau memelesat. Dia sempat mengelak, hanya bahunya tergores. Bilah pisau itu tadinya menyasar dada Erna, tepat di bagian jantung berada.

Baru saja merasa lega, napasku kembali dibuat memburu dan akhirnya tercekat selama satu detik penuh. Cuma mengalihkan pandangan sebentar, kondisi Aiden sudah menjadi lebih buruk saja.

Tenaganya pasti sudah terkuras sangat banyak. Aiden tak bisa menahan semua bilah tajam yang berdatangan. Ada saja yang berhasil menggores lengan atau bagian tubuh lainnya.

Erna menyambar tanganku. Belum sempat ia berkata-kata atau berteleportasi, kami bertiga dibuat mematung.

Bilah-bilah logam yang berceceran di belakang Aiden seketika terangkat, memelesat menancap pada punggungnya. Serangan dari depan tidak lagi berdatangan. Tubuh Aiden seketika kaku, begitu juga kami.

Bilah-bilah yang tertancap pada punggung Aiden bergerak ke bawah. Di saat yang sama, Aiden jatuh berlutut dengan tangan bertumpu di atas tanah.

Pandanganku seketika bergeser pada si pelaku. Ingin menjerit dan memaki orang itu, tetapi mulutku tak dapat mengeluarkan suara. Alih-alih jeritan makian, yang keluar justru air mata.

Si pelaku tertawa kencang sementara Aiden menjerit kesakitan. Keributan itu menyadarkan Erna untuk segera membawa kami pergi dari sini. Pemandangan terakhir yang kulihat adalah Aiden menahan jeritan dengan mencengkeram rumput kuat-kuat.Rumput yang kini dihiasi darah.

.

.

.

Clou's corner:
Asal kalian tau, ini chapter favoritku~

23-08-2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro