Ch. 13: Pelarian Mereka
N E W C H A P T E R
Wordcount: 1.429 words
Derap langkah menggema mengisi gua nan kosong melompong. Segerombolan remaja berlarian tanpa kenal lelah seolah-olah nyawa bisa melayang kalau mereka berhenti barang satu detik saja.
Karena suara gaduh berpasang-pasang alas kaki beradu dengan lantai gua, tidak satu pun dari mereka sadar bahwa seorang telah gugur. Feli hilang kesadaran saat sedang berlari. Tubuhnya terhuyung ke depan dan dia pun jatuh terjerembap.
Kawan-kawan seperjuangannya telah mencapai ujung gua. Mereka berhenti guna meraup udara sebanyak mungkin. Beberapa membungkuk dan bertumpu pada lutut, lainnya bertopang pada dinding gua.
Masih dengan napas terengah-engah, Aiden memperhatikan kawan-kawannya satu per satu. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa mereka kekurangan satu orang.
Aiden menarik napas panjang baru berucap, "Feli. Feli gak ada ...." Ia berbalik membelakangi jalan keluar yang mereka cari sejak tadi.
Julian yang lelahnya dua kali lipat dari yang lain menggerutu, "Apa-apaan cewek itu—ugh. Tinggalin aja!"
Sejurus kemudian, Theo menghadiahi Julian bogem mentah di bahu.
"Bikin repot! Mending tinggalin dua-duanya!" Hana berseru geram, makin kesal setelah melihat kelakuan Theo.
Rylo di sampingnya tak kalah geram. Kepalan tangannya tampak begitu erat. "Kalian berdua udah gila, mau ninggalin mereka yang harus kita bawa?! Nanti semua usaha kita sia-sia!"
Sementara tiga orang tersebut adu mulut, Aiden menatap gelapnya gua dengan rahang yang mengeras. Dia menggeram. Giginya pun bergemeletuk.
"Berisik!" seru Aiden lantang seraya menoleh pada mereka yang sibuk beradu mulut.
Kawan-kawannya menoleh terkejut. Mata mereka terbuka sangat lebar kala melihat Aiden sebegitu marahnya. Wajah cowok itu sampai memerah.
"Kalian—sekumpulan pengecut! Pergi duluan!" bentak Aiden. Suaranya melengking karena berteriak terlalu keras. Tanpa menunggu respons, dia berlari kembali menelusuri arah mereka datang.
Aiden sudah lelah. Sangat lelah. Tenaganya terkuras banyak dari menggunakan echros juga berlarian ke sana kemari. Namun, ia tidak bisa membiarkan Feli. Mereka datang bersama, jadi harus pergi bersama pula.
Feli tertinggal cukup jauh. Aiden terus memaksakan diri untuk berlari. Sebentar saja dia tidak mengambil jeda istirahat. Dia baru memperlambat laju ketika melihat Feli terbaring tak sadarkan diri beberapa meter darinya.
Napas lega diembuskannya begitu mencapai tujuan. Baru mau mengecek kondisi gadis di hadapannya, telinga Aiden menangkap suara orang berlari dari arah yang berlawanan. Hanya satu orang.
Aiden fokus menatap kegelapan di depan. Orang yang tadi berlari ke arahnya juga berhenti, tidak berniat mendekat.
Kembali fokus pada tujuan. Aiden berjongkok, lantas membalikkan tubuh Feli yang jatuh dalam posisi tengkurap. Untunglah dia memakai jaket tebal serta celana jeans panjang. Wajahnya juga terlindungi karena jatuh di atas lengan sendiri.
Setelah beberapa detik berdiam di situ, barulah Aiden menyadari sesuatu. "Argh ... aku malah suruh mereka pergi duluan," keluhnya sambil mengacak-acak rambut yang sudah berantakan sejak tadi.
Tubuh Aiden tidak tinggi ataupun besar. Tingginya dan Feli sama persis. Kekuatan fisiknya pun tidak seberapa. Mana mungkin dia membawa Feli yang merupakan seorang manusia dengan telekinesisnya yang masih belum seberapa.
Aiden pun mencoba menggoyang-goyangkan tubuh Feli. "Hei, Feli, bangun. Heeiii!" serunya kesal. Usahanya itu sia-sia. Feli tak kunjung bangun walau ia mencubit pipi gadis itu sampai melar.
Tak ada jalan lain. Entah bagaimana caranya, Aiden harus membawa Feli sendiri dengan harap yang lain masih menunggu di ujung gua.
Jangan harap Feli digendong ala tuan putri karena Aiden tidak mampu melakukannya. Aiden punya cara sendiri. Dia melingkarkan tangan Feli pada lehernya terus berdiri. Sambil memegang erat tangan gadis itu, Aiden melangkah perlahan menuju jalan keluar.
"Maaf ya, Fel. Sepatumu pasti lecet parah nanti."
Butuh waktu lama hingga mereka tiba di penghujung gua. Aiden menempuh perjalanan dengan perasaan was-was. Siapa tahu orang tadi adalah musuh yang sedang mencari kesempatan untuk menyerang.
Aiden mengembuskan napas panjang, kecewa teman-temannya sungguh pergi lebih dahulu. Tidak ada yang bisa membantu.
Istirahat sejenak tidak ada salahnya. Aiden pun menyandarkan Feli pada dinding gua. Ia ikut duduk bersandar sambil memperhatikan mentari yang sudah setengah jalan meninggalkan persembunyiannya.
Sekali lagi Aiden mencoba membangunkan gadis di sampingnya. "Feli, hei, bangun. Kecapekan, ya?" Mengguncang tangan ataupun bahu tidak ada gunanya. Aiden kembali bersandar, berusaha melepas penat. "Huh ... aku juga capek."
Tidak sampai sepuluh menit beristirahat, Aiden tersentak dan segera memasuki mode siaga. Terdengar suara alas kaki beradu dengan bebatuan kecil diikuti bunyi debum nan menggema. Sengaja atau ceroboh, Aiden tidak tahu. Dia mengambil posisi melindungi dengan pemikiran bahwa Feli merupakan incaran utama musuh.
Tak menunggu lama, Aiden buru-buru menarik Feli ke tepi lereng yang teramat curam. Mereka duduk berdekatan. Sangat dekat. Sementara merangkul gadis itu, Aiden mengamati sekitar.
Gua yang sangat dalam dan jalannya penuh cobaan itu telah menuntun mereka ke sebuah gunung yang cukup tinggi. Gunung tersebut terletak tak jauh dari dinding pembatas markas BPE dengan dunia luar.
Tidak ada benda yang dapat ia gunakan sebagai papan seluncuran. Mereka harus meluncur ke bawah hanya dengan celana jeans juga dalaman sebagai pelindung bokong.
Berbekal nekat dan echros mereka berdua, Aiden meluncur menuruni lereng bersama Feli yang masih tidak sadarkan diri.
***
Julian masih menggendong Theo, bersama Hana dan Rylo ia berlari menelusuri lebatnya hutan. Mereka langsung meluncur turun setelah Aiden berbalik untuk menjemput Feli.
Ada perasaan tidak enak dalam dada. Julian tidak menggubrisnya. Banyak pula yang harus ditanyakan pada Hana dan Rylo. Akan tetapi, itu urusan nanti. Pertama, mereka harus keluar dari markas BPE, lantas berkumpul dengan Erna dan Marlo.
Mereka kian dekat dengan dinding tinggi yang mengisolasi tempat itu dari dunia luar. Julian bisa lega kalau mereka sudah berada di sisi lain dinding itu sebab dia hafal jalannya dari sana.
Lari mereka kian pelan. Tenaga juga emosi dikuras habis. Mereka baru mengambil jeda istirahat saat tiba di hadapan dinding tersebut. Julian bertumpu pada kakinya yang gemetar; Hana bersandar pada pohon; Rylo terduduk di atas rumput.
"Ja ... jalan keluar. Di mana?" tanya Rylo masih mengap-mengap seperti ikan yang terdampar di daratan.
Meneguk saliva dengan paksa, Julian kembali berdiri tegak, kelihatan dipaksakan. "Ada di sekitar sini. Sebentar," ucapnya terus berkeliling pelan-pelan. Matanya awas mencari sesuatu yang tersembunyi.
Disibaknya semak-semak dengan lemah. Kumpulan daun tersebut bergeser, menampakkan pintu rahasia yang terbuat dari besi. Julian melirik ke balik bahunya, "Bisa turun tangga?"
Theo menggeleng pelan.
"Bisain," ujar Julian ketus. Tidak mungkin dia menuruni tangga itu sambil menggendong seorang bocah.
Theo sudah tahu Julian akan menjawab seperti itu, tetapi rasanya kesalnya tetap timbul. Bocah itu menggerutu terus membenamkan wajahnya di atas bahu Julian, membuat cowok itu berseru tertahan.
Berbalik pada Hana dan Rylo, Julian berkata, "Jalan keluarnya udah ketemu. Di balik semak-semak itu." Ia menoleh pada semak-semak yang dia maksud. Tangannya sibuk menahan beban di punggung untuk sekadar menunjuk.
Tanpa berkata-kata, Hana dan Rylo beranjak dari tempat. Menghampiri jalan keluar yang Julian maksud, Rylo pun berjongkok, berusaha membuka pintu tersebut. Wajahnya sampai memerah. "Ergh ... gak bisa dibuka. Udah berkarat." Rylo mendengkus seraya melepas pegangan.
"Payah banget," ejek Hana bersedekap.
Julian tidak menghiraukan perkelahian kecil dua orang di sampingnya itu. Theo diturunkannya perlahan, lalu ia menghampiri pintu tersebut, menggeser Rylo dari tempatnya. "Kalo gak bisa apa-apa selain berantem mending kalian diem aja."
Gagang pintu tersebut dicengkeram kuat. Api melahap tangannya, lambat-laun berubah biru, kemudian mulai menjalar. Hawa panas menguar ke sekeliling. Theo dan yang lain bisa merasakannya, bahkan mereka sampai berkeringat.
Tak lama kemudian, gagang tersebut meleleh diikuti sebagian besar pintunya. Julian memadamkan apinya sementara sisa pintu tersebut jatuh berdenting di bawah.
"Tangan—" Ucapan Theo langsung ditelan kembali ketika Julian memelototinya.
Tangan yang terbakar itu disembunyikan dari pandangan. Dia menoleh pada Hana dan Rylo yang sempat cengo. "Kalian berdua cepat turun, jangan bengong kayak orang bego." Melirik sebentar jalan masuk di hadapannya, Julian menambahkan, "Hati-hati."
Dengan demikian, mereka turun ke bawah satu per satu. Mulai dari Rylo, Hana, Julian, baru Theo. Di pertengahan tangga, rasa sakit bukan main menyengat kaki Theo. Bocah itu pun tak sengaja melepas pegangan.
"Kampret!" seru Julian kala menangkap Theo menggunakan kedua tangan, yang satunya baru saja terbakar. Wajahnya kala menahan sakit seperti sedang mengunyah lemon masam utuh-utuh.
Sambil meringis dan menggumamkan berbagai umpatan, Julian menurunkan Theo dengan hati-hati. Kaki anak itu terkilir, tetapi Julian tak lagi bisa menggendongnya, kecuali dia mampu rasa sakit luar biasa. Tubuhnya sudah tidak kuat.
"Rylo, kau—" Lidah Julian mendadak kelu ketika mendapati Hana dan Rylo sudah berada di ujung lorong. Keduanya buru-buru memanjat keluar tanpa menoleh ke belakang.
"Bangsat!" seru Julian geram seraya menyentakkan kaki. Dia mengacak-acak rambut frustrasi, sesekali melirik Theo yang kepalanya senantiasa tertunduk.
Kembali menatap ujung lorong, Julian dikagetkan dengan kemunculan Erna tepat di hadapannya. "Loh, Aiden sama Feli?" tanya gadis itu sambil celingak-celinguk. Pandangannya berakhir pada tangan Julian yang tak lagi disembunyikan. Refleks ia berseru, "Ian, tanganmu!"
Mengibaskan tangan yang tidak terbakar, Julian menyahut, "Nanti aja. Cepat bawa kami ke mobil terus balik ke sini, tungguin dua orang itu. Kalau lima menit lagi mereka nggak nyampe, cari mereka."
Tanpa mempertanyakan apa pun, Erna bertindak sesuai perintah.
.
.
.
Clou's corner:
Banyak yang bakal ketinggalan kalau full pakai PoV 1, jadi sesekali bakal ganti ke PoV 3 gini~
<( ̄︶ ̄)>
22-08-2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro