Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch. 12: Sama-Sama Kacau

Wordcount: 1.591 words

Usai beristirahat di gua, kami kembali bergerak. Tidak banyak petugas keamanan di bukit ini jadi kami bisa turun dengan aman. Kebanyakan dari mereka pasti sedang berkeliaran di sekitar jalan keluar. Semoga Erna dan Marlo baik-baik saja.

Begitu sampai di bawah, kami semua berjalan di dekat Hana. Sangat dekat. Kalau echros-nya tidak harus dipakai dalam situasi ini, aku tidak akan sudi berjalan berjalan sedekat ini dengannya.

Selain dirinya sendiri, Hana bisa membuat orang-orang dalam radius tiga meter darinya jadi tak kasatmata. Sangat berguna, bukan?

Bayangkan sebuah selimut yang bisa membuat apa pun yang ditutupinya menjadi tidak terlihat. Cara kerjanya seperti itu. Sayang tidak ikut meredam suara orang yang dibuat tak kasatmata.

Ketika kami mengendap-endap melewati tiga orang petugas, aku tergelincir menginjak pasir kasar. Tubuhku oleng ke belakang, tetapi aku masih bisa mempertahankan keseimbangan.

Satu dari tiga petugas keamanan itu menoleh dengan cepat. Pendengarannya tajam. Ia menatap lamat-lamat sumber suara ganjil itu, yaitu aku. Beruntung aku sedang dalam keadaan tak kasatmata. Dia tidak melihat siapa-siapa di tempatku berdiri.

Hana memelototiku; Aiden menahan tawa; Julian kelihatan ingin mencekikku sekarang juga.

Baru mengambil satu langkah maju, aku mematung. Sensasi dingin menjalar dari bawah sampai atas tubuh terus berangsur lenyap.

Julian sadar bahwa aku tidak mengikuti mereka. Ia menahan Hana dan Aiden, lalu berbalik menghadapku. Dinaikkannya sebelah alis.

Bukannya menjawab, aku justru menoleh ke kanan. Penglihatanku mendapati satu sosok, sedang bersembunyi di balik rumah minimalis beratap datar. Refleks tanganku terangkat menunjuk sosok tersebut. Pandangan mereka bertiga mengikuti arah yang kutunjuk. Ketiganya menyipitkan mata, begitu juga denganku.

"Itu Rylo," bisik Julian.

Kami pun menghampiri sosok tersebut. Cukup menantang, melewati tanah berbatu tanpa menimbulkan suara yang mengundang perhatian.

Begitu sampai di balik bangunan yang kumaksud, pandanganku langsung tertuju pada sosok bertubuh kecil yang tengah duduk bersandar pada dinding. Di samping Rylo yang mengembuskan napas lega sembari mengelus dada, adikku terduduk. Dia memegangi pergelangan kaki kanan dengan ekspresi kusut.

"Theo ....!"

"Sssut!"

Gejolak dalam hati yang mendadak muncul ini tak dapat kutahan. Aku segera menghampiri adikku itu. Rylo menyingkir, membiarkanku berjongkok di samping Theo. Langsung saja kuacak-acak rambutnya.

Pelupuk mataku memanas. Sial, aku tidak mau menangis di depan orang sebanyak ini. Namun, air mata tidak pernah menuruti keinginanku. Walau hanya setitik, ia mengalir menuruni pipi.

"Syukurlah kamu masih hidup ...." Aku berucap lirih juga mulai sesenggukan. Cepat-cepat aku mengusap air mata yang mengalir di pipi. Sungguh, ini memalukan. Ada empat orang lain di sini, barangkali sedang menatapku atau pura-pura tidak lihat.

Seseorang berdeham. Suaranya asing di telingaku. "Kupikir kau beneran tega ninggalin kami di sini," ucap Rylo yang ditujukan pada Hana.

"Huh, aku udah kabur sendiri kalo gak ketemu mereka." Hana mendengkus sebal. "Sial banget."

Aku berdiri terus berbalik, mendapati Hana dan Rylo saling melontarkan tatapan sinis. Dugaanku salah. Mereka tidak kelihatan seperti teman dekat. Mungkin hanya kebetulan ditangkap pada waktu yang sama.

"Oi, kalian pengen keluar dari sini atau nggak?." Julian melangkah menghampiri Theo, lantas berjongkok membelakanginya. "Kalau iya, kita harus cepat sebelum petugas yang di luar masuk lagi."

Hana dan Rylo tampak kesal. Mereka sama-sama membuang muka.

"Hmn, mereka udah sadar kita nggak kabur ke luar," ujar Aiden yang tengah mengamati jalanan. Ada banyak petugas yang berlari ke sana kemari membawa senjata.

Tempat ini mirip dengan area perumahan di kota. Kelihatan biasa saja. Mungkin area ini adalah tempat mereka tinggal. Mungkin mereka yang bekerja di sini tidak diperbolehkan tinggal di kota demi menjaga kerahasiaan tempat ini.

"Hoi, bantu adikmu naik."

Aku yang keasyikan mengamati sekeliling tertegun sejenak seperti orang bodoh baru menyahut, "Iya, bentar."

Sementara membantu Theo naik ke punggung Julian, dari sudut mata kulihat Rylo menghampiri Aiden. "Kita keluar lewat mana? Kudengar kalian sudah mengacau di satu jalur evakuasi," katanya dingin.

Aiden tertawa kecil sebagai respons. Dia bahkan tidak berbalik menghadap Rylo. Anak itu masih sibuk mengamati sekitar.

Merasa posisi Theo di punggungnya sudah yang paling nyaman, Julian bangkit berdiri. "Aku sempat lihat ujung gua tadi. Ada jalan keluar."

Agak meragukan, tetapi tidak ada pilihan lain saat ini. Saling tatap dalam diam atau adu mulut tak akan membuahkan hasil.

Akhirnya, kami kembali ke gua tadi. Perjalanan yang harus ditempuh tidaklah mudah seperti tadi. Bergerak dalam rombongan seperti ini benar-benar menyusahkan.

Ucapan Julian benar. Para petugas yang tadi hampir memergoki kami sudah kembali. Aku bisa tahu karena jumlah pria bersenjata di dalam sini meningkat pesat. Mereka ada di mana-mana, bahkan di bukit yang tadinya aman. Kami jadi kesusahan untuk mencapai gua tadi.

Hana langsung lemas begitu kami masuk ke dalam gua tersebut. Tenaganya banyak terkuras karena menggunakan echros-nya untuk enam orang termasuk dirinya sendiri.

Andai petugas yang menelusuri bukit tidak sebanyak ini, kami bisa naik tanpa mengandalkan echros Hana. Kondisinya sedikit mengkhawatirkan, meski kondisi Aiden tadi lebih parah. Tubuhnya gemetar, apalagi kaki.

Aku ingin membantu, tetapi ya ... ogah. Alhasil, Rylo yang memapahnya sepanjang perjalanan menyusuri gua nan lembab dan dingin ini. Hana juga ogah-ogahan saat dipapah Rylo. Hubungan mereka sungguh membingungkan.

Menurun, menanjak, lurus, berbelok sedikit, dan belokan tajam. Begitu terus hanya dengan pola berbeda. Aku merasa gua ini tidak ada ujungnya.

Aiden menoleh pada Julian dengan alis tertekuk dalam. "Kaubohong tadi. Kita udah jalan lama banget tapi nggak keluar-keluar."

"Loh, baru sadar?" Julian melirik dengan tatapan datar. "Kalau si Cebol aja baru sadar, yang lain pasti nggak sadar."

"Hah?!"

Julian memperbaiki posisi Theo yang memerosot di punggungnya. "Kalau aku nggak bilang begitu, kalian pasti ngotot nerobos lewat jalur evakuasi tadi."

Mendengar pernyataan itu, Hana dan Rylo mulai membentak-bentak Julian. Banyak kata-kata kasar yang terlontar. Sementara itu, aku dan Aiden hanya bungkam dengan ekspresi kusut.

"Ujung gua ini beneran jalan keluar kok," ucap Theo di tengah kepanikan mereka, "tapi kita harus cepat. Ada yang mengikuti."

Seketika hening. Pandangan kami-kecuali Julian-tertuju pada Theo. Adikku itu kembali membenamkan wajah di bahu Julian, tidak lagi berkata-kata.

"Kalau gitu, tunggu apa lagi. Kita harus cepat." Aiden mulai berlari, meninggalkan kami yang masih memproses ucapan Theo.

Sontak Hana menepis tangan Rylo. "Kaupercaya gitu aja sama bocah ini? Aiden!" Ia pun berlari menyusul Aiden. Cepat sekali tenaganya pulih.

"Emangnya kita punya pilihan lain? Bocah itu bisa melihat masa depan!" seru Aiden sambil berlari.

Rylo mengacak-acak rambut frustrasi. "Mungkin dia bener. Dari tadi aku denger ada langkah kaki lain di belakang kita. Samar sih, jadi tadinya kupikir cuma gema."

"Yaudah," celetuk Julian, lantas berlari menyusul. Aku terkejut dia masih punya tenaga untuk berlari sambil menggendong Theo.

Tidak menunggu lama, aku dan Rylo segera menyusul. Dan yang benar saja, ada suara langkah kaki lain dari belakang. Kedengarannya makin dekat juga cepat. Langsung saja aku dan Rylo mempercepat lari.

Setelah merasa sudah cukup jauh dari si pengejar, aku sedikit memelan. Rylo dan yang lain sudah berada jauh di depan meninggalkanku tanpa sadar.

Rasa kantuk menyerang karena bangun terlalu pagi. Beberapa kali aku hampir tersungkur, padahal staminaku tergolong tinggi.

Terus berlari sambil memikirkan berbagai hal membuatku pusing. Pandanganku mulai berkunang-kunang. Lariku makin lambat. Samar-samar aku bisa melihat punggung yang lain kian jauh. Aku tertinggal.

Ada apa denganku?

Perlahan-lahan penglihatanku mengabur terus menghitam. Aku tidak bisa merasakan kaki dan tanganku. Rasanya seperti ditelan kegelapan. Aku membuka mulut, hendak berseru meminta pertolongan. Namun, tidak ada suara yang keluar.

Sunyi dan gelap. Harusnya ini menakutkan, tetapi kudapati diriku tidak merasakan apa-apa. Pun aku kehilangan jejak waktu.

Setelah sekian lama terombang-ambing dalam kegelapan, aku dapat merasakan dan melihat anggota tubuhku lagi. Perlahan kaki menapak permukaan yang memantulkan bayanganku layaknya sebuah cermin. Kokoh dan tidak licin.

Permukaan yang memantulkan bayanganku adalah lantai, sedangkan permukaan hitam dengan petak-petak putih bercahaya adalah dinding. Bagian atas gelap, tidak kelihatan apa-apa di sana.

Oh, petak putih di hadapanku menampilkan sesuatu. Seperti film saja.

"Apa maksudmu Feli adalah salah satu dari mereka, anak-anak aneh itu?" ucap seorang wanita. Suaranya pelan, agak kasar seolah-olah ia sedang menahan diri.

Muncul sensasi hangat juga sesak dalam dadaku ketika mendengarnya. Dari perasaan ini aku jadi yakin, itu suara Ibu.

"Asal kau tahu, Val, anak gadisku tidak seperti mereka."

Betapa rindunya aku akan suara Ibu. Aku tidak akan merajuk jika Ibu muncul dan membentakku saat ini juga.

"Hah? Feli dan Theo adalah anak-anak biasa. Tahu apa kau? Akulah yang membesarkan mereka selama ini. Hentikan omong kosongmu itu." Diputuskannya panggilan telepon setelah berujar demikian.

Petak putih yang menampilkan klip barusan perlahan memudar, menyatu dengan hitamnya dinding ruangan aneh ini. Sekarang giliran petak di sebelahnya yang menampilkan sebuah klip.

Kali ini yang muncul dalam klip tidak hanya Ibu. Ada Ayah juga. Wajah mereka pun terlihat jelas. Keduanya sedang berbicara dengan seseorang yang tidak tampak di layar.

Melihat wajah mereka aku jadi ingin melompat ke pelukan mereka. Sekali lagi, aku ingin merasakan hangatnya pelukan Ayah dan Ibu yang jarang kudapat sejak aku beranjak remaja.

"Sudah kubilang, kan? Keputusan terbaik bagi kalian adalah pindah ke kota. Di sana kalian bisa dilindungi." Cara bicara yang agak tegas tetapi masih memberi kesan ramah. Aku yakin, orang itu adalah Paman Val.

"Kalian sadar, kan? Orang-orang desa mulai risi sama Feli yang bawa sial buat orang-orang di sekitarnya."

Klip tersebut mendadak berhenti. Seketika semua petak putih di dinding lenyap. Sedetik kemudian, muncul petak putih yang lebih besar. Klipnya berkedip-kedip, tetapi suaranya terdengar jelas.

"Kalian apakan kakakku?!" Suara bocah laki-laki. Cempreng.

"#####, hentikan!" Suara bocah perempuan.

Petak putih di depanku masih berkedip-kedip. Sepertinya aku tidak diizinkan melihat apa yang terjadi. Hanya bisa mendengar.

"Apa-bagaimana bisa mereka ada di sini?!" Suara pria dewasa. "Jangan biarkan mereka lolos-"

"Stop." Itu ... itu suara Paman.

"Apa-apaan, Val! Kau membiarkan dua bocah itu kabur!"

"Mereka bukan masalah. Lanjutkan saja kerja kalian."

Mendadak petak putih tersebut menghilang. Lantai pijakanku retak, kemudian hancur berkeping-keping. Aku kembali terombang-ambing dalam kegelapan. Kepalaku berdenyut. Sakitnya bukan main.

Aku sedang apa sebelum muncul di sini?

.

.

.

Clou's corner:
Selamat! Kalian telah mendapat dua keping puzzle!

21-08-2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro