Ch. 11: Terjun ke dalam Lubang Pemangsa
Wordcount: 1.770 words
Perjalanan menuju ujung lorong memakan banyak waktu. Kira-kira setengah jam—mungkin lebih. Aku tidak yakin karena tak satu pun dari kami membawa ponsel atau memakai jam tangan.
Aiden sudah siuman di tengah perjalanan. Sesekali kami mengobrol, berdua saja. Julian yang membopongnya bungkam hingga kami mencapai jalan keluar.
"Udah ... bisa jalan, kan?" tanya Julian dengan napas tersengal. Wajar saja dia lelah. Setengah jam lebih melewati jalan menanjak sambil membawa seseorang di punggungnya.
Aiden mengangguk. "Udah." Ia pun diturunkan dengan perlahan.
Lorong ini berada jauh di bawah tanah, jadi kami harus memanjat untuk keluar. Betapa beruntungnya, sudah tersedia sebuah tangga buluh. Kelihatan sudah termakan usia. Maka dari itu, kami naik satu per satu. Aku yang pertama, disusul oleh Aiden, baru Julian.
Sempat terbesit dalam benak bahwa kami berjalan terlalu jauh sampai ke luar markas BPE. Namun ketika menyisir area sekitar, kudapati dinding beton tinggi nan kokoh di sisi lain bukit ini. Dinding tersebut mengisolasi area ini dari dunia luar.
Melihat itu, satu pertanyaan muncul. Sudah berapa lama area ini ada? Pasti sudah lama sekali. Bisa-bisanya tidak banyak orang yang tahu soal ini. Para orang dewasa berkedudukan tinggi di sini punya banyak cara, ya.
Ah, itu bukan hal yang penting sekarang. Aku menoleh ke belakang dengan tatapan penuh harap. "Punya rencana B?"
Baru mulai sudah kacau. Aku sungguh berharap mereka diam-diam menyiapkan rencana cadangan. Kalau tidak, bagaimana nasib kami bertiga yang terlajur masuk ke lubang pemangsa.
Aiden mengacungkan telunjuk. Kepalanya masih tertunduk lemah. "Ada. Rencananya ... lakukan sebisa kita dan keluar dengan selamat bareng adikmu."
Bodohnya aku sempat berharap.
Sementara itu, Julian memamerkan punggungnya pada kami. Ia bersedekap. Dapat kudengar cowok itu tengah meracau.
Napas gusar kuembuskan. Ada sedikit penyesalan dalam diriku.
Tiba-tiba Julian berdecak seraya memutar badan. Dia menatapku geram. "Apanya si Beruntung! Kaumalah bikin sial!"
Tatapan itu. Gerak-gerik itu. Segera aku mundur lima langkah, bersembunyi di balik pohon yang berperan sebagai sandaran Aiden. Dia belum sepenuhnya pulih, tidak bisa mencegah Julian.
Saat aku sudah siap dicekik, sesuatu yang tidak kuduga terjadi. Julian berhasil menahan diri. Kedua tangannya kembali ke sisi tubuh. Ia pun memejamkan mata terus mengatur napas. Setelahnya, dia menjauhiku.
Tanganku bergerak dengan sendirinya, memegangi leher. Aku meneguk saliva kasar. Detak jantungku berangsur normal. Bayang-bayang kejadian dua hari lalu di kelas masih menghantui.
Meski demikian, rasa gelisah tak kunjung pergi, justru makin menjadi. Tubuh Julian masih memancarkan aura panas. Waktu itu aku juga merasakan hal ini. Mungkin aura panas tersebut berhubungan dengan echros-nya.
Entah apa yang membuatnya berhasil menahan diri. Apa pun itu, aku sangat bersyukur. Akan tetapi, rasa syukur tersebut tidak bertahan lama.
Suasana kembali mencekam kala telingaku menangkap suara dedaunan bergesekan dengan ranting. Asalnya dari depan tempat Aiden duduk. Suara yang kian liar membuat kami langsung bersiaga, bahkan Aiden yang tadinya duduk beristirahat langsung berdiri.
Seseorang menyembul keluar dari semak belukar di balik pepohonan. Seorang pemuda, sepertinya baru memasuki usia dewasa. Terdapat sebuah pistol di genggamannya, siap memuntahkan peluru.
"Diam di situ." Walau terdengar tenang, raut wajahnya menyiratkan sebaliknya: ragu dan cemas.
Dia kalah jumlah. Kami bertiga, sedangkan ia seorang diri. Dilihat dari perawakan juga pakaiannya, kurasa dia baru bekerja di sini. Kemungkinan ini kali pertama ia berada di tengah situasi genting.
Kulihat dua cowok di sampingku mengangkat kedua tangan sejajar dengan kepala. Aku pun melakukan hal yang sama meski ragu. Kupikir mereka akan melakukan sesuatu.
Habis sudah. Kondisi Aiden tidak prima dan aku hanya pandai dalam melarikan diri. Aku bisa kabur seorang diri, tetapi setelahnya apa? Boleh saja kalau punya rencana, sayangnya aku tidak punya rencana apa pun.
Harapan kami satu-satunya hanya Julian yang sekali saja belum pernah kulihat menggunakan echros-nya. Tahu echros macam apa saja tidak. Itu membuatku makin was-was.
Si petugas perlahan keluar dari persembunyian pun makin dekat. Moncong pistolnya senantiasa tertuju pada kami. Lima langkah lagi hingga ia bisa menarik salah satu dari kami untuk dijadikan sandera. Tamat riwayat kami kalau masih tidak ada yang bertindak.
Ya Tuhan, kumohon tolong kami. Aku tidak mau tertangkap di sini sekarang. Tidak sebelum bertemu dengan Theo.
Baru memejamkan mata beberapa detik, tak kusangka doaku langsung dijawab.
Langkah petugas itu terhenti. Alisnya tertekuk menandakan ia sedang kebingungan. Memutar kepala ke samping, ia melihat sedikit asap di balik punggungnya.
Batang pohon di dekat tempat persembunyiannya tadi terbakar. Tidak, apinya tidak liar. Batang pohon tersebut seperti diiris dengan rapi menggunakan api.
Aku tahu itu tidak masuk akal, tetapi memang itu yang terjadi. Penglihatanku masih jernih, tidak mungkin salah lihat. Hari belum terlalu terang, api kecil itu tentunya mencolok. Lagi pula, apa yang menyala begitu kalau bukan api?
Mengingat pada saat tertentu Julian menguarkan aura panas, kutebak dialah pelakunya. Syukurlah cowok pemarah itu tidak bodoh dan berusaha membebaskan kami dari situasi ini.
Respons si petugas kurang cepat karena terkejut. Dia sempat menghindar kala pohon tersebut hampir menimpa sekujur tubuhnya. Namun, ia tidak sepenuhnya lolos. Kaki kirinya tergencet. Pistolnya pun terlempar sampai ke luar jangkauan. Genggamannya kurang erat saat menjatuhkan diri guna menghindar.
Kesempatan bagus.
Julian bergegas ke belakang petugas itu, mengunci gerakannya. Agak kesulitan karena tenaga mereka sepertinya beda tipis. "Kita apakan dia?"
"Bakar hidup-hidup."
Sontak kami menoleh pada Aiden dengan mata terbuka lebar. Si petugas kembali meronta-ronta. Kali ini lebih liar.
"Jangan!" Aku berseru lantang.
Aiden langsung membekapku dengan tatapan cemas. "Sssh ... nanti lebih banyak yang datang." Dia menarik tangannya setelah berkata demikian.
Aku mengambil tiga langkah mundur, menutup mulut dengan lengan. "Salahmu mengusulkan hal gila," desisku.
"Memangnya kenapa? Petugas itu kan ancaman buat kita. Diapain lagi kalau nggak dimusnahkan saja."
Aku tercengang dibuatnya. Tidak kusangka dia setega itu.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku berderap menghampiri Julian dan petugas keamanan yang terus meronta. Dia berseru, "Anak-anak berbahaya seperti kalian harusnya dimusnahkan saja!"
Tanpa menghiraukan ocehannya, aku membungkuk dengan jemari yang sudah dirapatkan. Kupukul bagian belakang leher petugas tersebut, membuatnya lemas terus pingsan. Tadi aku sempat ragu, tetapi keraguan itu seketika sirna setelah mendengar omong kosongnya.
Kembali berdiri tegak, aku menunjuk si petugas yang sudah tidak sadarkan diri. Tatapanku tertuju pada Aiden yang tertegun. "Lihat? Kita masih bisa melumpuhkannya. Jangan langsung memutuskan tindakan nggak manusiawi gitu."
Tidak ada yang menyahut. Aiden membuang muka sementara Julian sibuk mengurus orang yang kubuat pingsan. Entah ke mana Julian membawa tubuh petugas itu. Ya, setidaknya kalau ditemukan, dia masih hidup dan kami tidak menjadi pembunuh.
Setelah urusan menyembunyikan tubuh si petugas selesai, kami memutuskan untuk mencari tempat yang lebih aman untuk beristirahat. Menuruni bukit, terdapat jalan setapak yang sudah tertutup pohon, rerumputan, juga bebatuan. Jalan setapak tersebut menuntun kami ke mulut gua yang dihalau oleh tanaman rambat.
Sekarang aku mulai bertanya-tanya. Apa kami masih berada di kota? Kalaupun iya, mungkin ini sudah termasuk daerah pinggiran.
Beberapa saat setelah Julian pergi memeriksa bagian dalam gua tersebut, sesuatu yang tak kasatmata menarik Aiden. Aku yang berdiri di samping refleks meraih jaketnya. Alih-alih menahan, aku malah ikut ditarik karena tidak menjaga keseimbangan.
Kami terseret ke balik semak-semak. Aku meringis kesakitan karena bokongku sempat menghantam tanah berkerikil. Aiden pun sama.
Seorang cewek tiba-tiba muncul di depan mata kami. Dia muncul begitu saja dari udara kosong.
"Hana?" ucap Aiden cengo.
"Hah, Hana? Siapa?" Bergantian kutatap Aiden dan cewek yang dipanggil Hana itu.
Hana meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya. "Jangan berisik. Kita harus pergi dari sini sekarang."
Detik itu juga raut wajahku berubah serius. "Enak aja. Kami kan baru sampai."
Cewek itu langsung memelototiku. "Siapa kau? Anak baru?" Ia mendengkus kesal terus mengamatiku serta Aiden dari atas sampai bawah. "Apa kau nggak tahu seberapa bahayanya tempat ini? Aku yakin kalian baru aja melewati sesuatu."
Aku baru berniat meninggikan suara, tetapi cowok di sampingku lebih dulu bicara. "Kami gak bakal pergi sebelum tujuan kami tercapai," katanya bersedekap.
Mendengar Hana menggeram, Aiden melanjutkan bicaranya. "Kalau kaumau pergi, silakan. Ada lebih banyak petugas keamanan di jalan keluar."
"Ugh! Itu pasti ulah kalian!" Hana bangkit berdiri dengan tangan terkepal erat. Hidungnya kembang-kempis kala ia bernapas. "Kalian bikin mereka ngumpul di situ, padahal aku udah susah-susah mancing mereka menjauh supaya bisa kabur."
Julian yang sudah selesai memeriksa gua tadi melangkah keluar sementara cewek ini mencak-mencak. "Di dalam aman. Kita bisa istirahat—"
Ucapan Julian terhenti ketika dirinya dan Hana bertemu pandang. Mereka saling tatap sejenak seakan-akan sedang memastikan apa yang terlihat itu sungguhan atau hanya khayalan belaka.
"Argh! Sudah kuduga!" Hana menyentakkan kaki.
"Apa-apaan—ah, lupakan." Julian menggeleng-gelengkan kepala sambil memijit pangkal hidung. "Mana Rylo? Waktu itu kalian menghilang barengan."
Hana memalingkan wajah. "Kutinggal karena dia ngotot jagain bocah yang namanya Theo."
Sontak aku bangkit berdiri. "Di mana mereka?!"
Aiden menarik jaketku, menyadarkan bahwa seharusnya aku tidak meninggikan suara. Aku menggerutu kesal, kembali bertanya, "Mereka ada di mana?"
"Oh, jadi kau kakaknya." Hana melirikku sinis, lantas menaik-turunkan bahu. "Nggak tahu. Mungkin udah ketangkap karena adikmu yang kakinya keseleo malah jadi beban."
"Berani-beraninya kaubilang adikku itu beban! Pengecut!"
"Feli!" Aiden berseru seraya beranjak menahanku. Kalau dia terlambat bergerak, aku pasti sudah menampar pipi cewek ini sampai merah.
Hana berdecak. Dia sebelas dua belas dengan Julian. "Emangnya kenapa kalau aku pengecut? Daripada nekat sok pahlawan terus malah celaka. Kayak kalian."
Aku dan Aiden bungkam, begitu juga dengan Julian.
Kenapa orang-orang di sekitarku tidak berhenti mengatakan fakta pahit? Sialan.
"Kayaknya kita semua perlu istirahat sebentar," ujar Aiden yang kemudian menuntunku memasuki gua.
Hana mengikuti kami dengan mulut tertutup rapat. Kelihatannya dia sangat kesal.
Asal kalian tahu, aku juga kesal. Sangat kesal malah. Sepertinya aku dan Hana memang tidak cocok untuk berteman.
Saat aku dan dua lainnya sudah duduk santai di dalam, Julian masih berdiam diri di luar. Cukup lama ia mengamati keadaan sebelum bergabung dengan kami. Mungkin Julian berpikir apa yang terjadi di lorong tadi sebenarnya salahnya.
Aku masih penasaran bagaimana alarm itu bisa berbunyi. Saat turun, aku dan Aiden tidak banyak bergerak, pun tak kelihatan ada jebakan yang memicunya. Di tangga atau pintu masuk lebih tak masuk akal.
Perasaanku tidak enak. Aku curiga pada Hana. Kata-kata Julian tadi kemungkinan menyiratkan kalau Hana dan orang yang bernama Rylo itu adalah dua dari sekian anak yang menghilang dulu. Ya, itu kejadian yang membuat Julian curiga dan hampir menghabisiku.
Dari apa yang kudengar, Hana sempat mengecoh para petugas untuk melarikan diri. Aku tidak heran kalau dia dan temannya ingin melarikan diri dari tempat ini. Akan tetapi, kenapa bersikeras membawa Theo?
Aku masih kekurangan petunjuk untuk menarik kesimpulan. Tidak mungkin mereka berbaik hati membawa serta bocah yang baru dikenal dalam pelarian yang berisiko.
Derap langkah nan menggema terdengar. Julian sudah puas mengamati sekitar. Dihampirinya kami bertiga yang sudah duduk dengan posisi paling nyaman. Hana duduk bersimpuh; aku duduk memeluk kedua kaki; Aiden bersandar pada dinding gua dengan kaki diluruskan ke depan.
Julian ikut duduk di antara kami. Kepalan tangannya dilahap api, menghangatkan kami semua sekaligus menjadi sumber cahaya.
Sudahlah. Aku harus istirahat. Setelah ini pasti akan lebih gila.
.
.
.
Clou's corner:
Hari ini gak telat apdetnya, yey
Dan dan dan, muncul tokoh baru
<( ̄︶ ̄)> Suka atau gak suka sama si Hana ini? Aku sih nggak
20-08-2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro