Ch. 1: Aku Beruntung
Wordcount: 1.448 words
Embusan angin tak cukup kuat untuk menerbangkan rasa sedih. Hamparan rumput hijau di depan kelihatan suram. Sapi-sapi yang tengah menikmati makan sarapan mereka kelihatan letoi seperti diriku saat ini.
Pagi ini aku akan berangkat ke kota besar bersama keluargaku. Kemarin-kemarin rasanya tidak sabar karena sejak dulu aku sangat mendambakan kehidupan di kota. Namun ... sekarang rasanya berbeda. Ada yang mengganjal.
Dia bakal datang atau nggak, ya?
Meresahkan. Harusnya aku beri tahu dari jauh-jauh hari saja daripada berharap dia peka terus buru-buru menghampiriku di sini.
"Aaaaa! Bodoh!" seruku frustrasi menjambak rambut sendiri.
"Siapa yang bodoh, hmn?"
"Eh, copot!" Hampir aku terjungkal ketika orang yang kutunggu-tunggu muncul tanpa peringatan. Cepat-cepat membenarkan posisi, aku pun berceletuk, "Jangan ngagetin gitu dong, Vin. Nanti aku kena serangan jantung gimana?"
Raut wajah Arvin kusut. Tidak ada cerah-cerahnya seperti biasa. Dia menatapku seperti seorang ayah yang sedang menunggu anaknya mengakui kesalahan yang diperbuat. "Yang sebenernya ngagetin siapa?"
Aku tahu maksudnya. Aku tidak bodoh. Segera aku menyatukan kedua telapak tangan terus berkata, "Maaf, Vin, aku gak bilang apa-apa soalnya aku sendiri dikagetin. Baru dikasih tahu kemarin."
"Kalo gitu, kenapa gak ngabarin kemarin?" Arvin mengubah gaya dari bersedekap jadi berkacak pinggang. "Jangan bilang baru dikasih kabar malem-malem. Karna kalo emang gitu, gak mungkin kalian berangkat pagi ini."
"Oh, itu ... anu." Tanganku bergerak kaku, menolak diam. "Kemarin aku ... terlalu kaget?"
Tatapannya makin tajam untuk beberapa detik, lantas kembali santai. "Bisa-bisanya," ujarnya terus memalingkan wajah. Lambat laun ekspresinya jadi kusut, kali ini kelihatan seperti anak kecil yang merajuk.
Arvin menurunkan tangan dari pinggang dan mulai mengoceh sementara menghindari kontak mata denganku. "Aku gak nyiapin apa-apa buat perpisahan. Setidaknya aku pengen kita makan es krim bareng buat yang terakhir kalinya di depan warung Om Riko. Kita juga udah lama gak main parkour bareng."
"Kenapa bicaramu kayak ngelantur sih ...." Terheran-heran aku dengan tingkah manusia satu ini. Ya, Arvin memang begitu, sih.
Aku berdeham pun berkacak pinggang, memandang jauh ke depan, bertukar pandang dengan seekor sapi yang kebetulan menoleh padaku. "Lagian, Vin. Ini bukan perpisahan. Aku bakal balik ke sini tiap libur naik kelas."
Hanya satu detik wajah Arvin berubah cerah. "Serius? Lama banget."
Spontan aku berdecak, "Ish! Biar momennya kerasa lebih spesial. Kalo setahun dua kali, rasa spesialnya berkurang."
"Ya, ya, terserahmu." Jeda sebentar kala ia menoleh ke belakang. "Ngomong-ngomong, kamu tadi dicari-cari. Cepet balik sana. Nanti ditinggalin," cibir Arvin sambil mengibas-ngibaskan tangan—gestur mengusir.
"Kurang asem nih anak." Kusikut lengannya sebelum membalikkan badan. Kakiku terasa berat saat hendak melangkah. Akhirnya aku menoleh pada Arvin lagi. "Gak mau nganter nih? Liatin aku berangkat kayak di film-film gitu."
"Gak." Arvin membuang muka sambil bersedekap. "Mending aku liatin sapi makan daripada nganter orang yang katanya shock seharian sampe lupa ngabarin bakal berangkat pagi ini."
Kaki kusentakkan kala menggerutu, "Ih, jadi orang kok gitu amat."
Kulihat bahunya bergetar. Arvin pun berbalik, kelihatan sedang menahan tawa. "Bercanda, tahu—tapi serius. Aku masih kesel karna gak dikasih tahu dari kemarin."
Dia benaran kesal. Tidak bosan-bosan menyindir sepanjang jalan kembali ke rumahku. Lama-lama aku kebal dengan segala macam sindirannya.
Dari kejauhan kulihat mobil keluargaku sudah siap di depan rumah. Mobil pengangkut barang mungkin sudah lebih dulu berangkat. Ayah asyik bercakap dengan orang-orang yang kebetulan lewat. Lalu, yang sudah duduk manis di dalam mobil pasti Theo—adikku. Sementara itu, Ibu tampak kelimpungan dengan ponselnya, mondar-mandir di depan rumah yang sudah dikosongkan.
Aku mematung sejenak. "Mampus," gumamku yang dibalas dengan kekehan dari Arvin.
Ponselku disetel dalam mode diam sejak kemarin malam. Pasti Ibu terus-terusan berusaha menghubungiku yang tahu-tahu menghilang tadi.
Begitu bertemu pandangan denganku, Ibu langsung berderap menghampiri. "Kemarin udah disuruh ngabarin Arvin, kamu malah ngapain?" Ibu bersedekap di hadapanku yang tengah menunduk. Tatapan garangnya persis seperti saat aku ketahuan tidak mencuci piringku sendiri sehabis makan.
Ibu kembali membuka ponsel. "Lagian, kamu ngapain ke padang rumput?" tanyanya sambil mengetik sesuatu.
Baru mau kujawab saat Arvin menyahut, "Feli tadi ngasih pelukan perpisahan ke sapi-sapi di sana, Tan. Sampe nangis-nangis."
"Heh, mana ada!" seruku seraya menampar bahunya.
Ibu tertawa kecil, sudah terbiasa dengan candaan receh Arvin. "Udah selesai kan perpisahannya? Kita udah harus berangkat," ujarnya terus berbalik menghampiri Ayah.
Aku dan Arvin mematung dalam kecanggungan, sesekali bertukar pandang tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut. Anak ini pasti masih kesal.
"Maaf ... lagi," ujarku sambil mengelus tengkuk. Kulirik dia sebentar. "Harusnya aku kabarin dari kemarin, tapi kemarin ya ... gitu. Kayak yang kubilang tadi."
Untuk sesaat Arvin hanya memberikan lirikan sinis. Ia pun mengembuskan napas kasar. "Nggak apa-apa. Udah lewat juga."
Canggung lagi sampai klakson mobil dibunyikan oleh Ayah. Hanya satu kali dan itu membuat jantungku hampir loncat keluar dari rongga dada. "Iya! Sebentar!" teriakku kesal.
Menoleh pada Arvin, aku tersenyum kaku. Dia balas memandangku, tetapi kelihatan seperti sedang melamun.
"Jadi ... sampai jumpa?"
Bodoh! Itu malah kedengaran kayak kalimat tanya.
"Ya, sampai jumpa." Arvin balas tersenyum, lantas mendorongku pelan. "Sudah. Pergi sana."
"Hei! Awas kamu pas kita ketemu lagi!" Aku berseru sembari melangkah menuju mobil dengan enggan.
Setelah aku masuk ke dalam mobil, kulihat Arvin melempar senyum sambil melambai pelan. Ia terus melambai sampai mobilku sudah cukup jauh baru beranjak dari situ.
Ya, seperti itulah perpisahan kami, dihiasi kecanggungan.
Kini aku termenung, bertopang dagu sambil melihat ke luar jendela mobil. Melihat pepohonan hijau di pinggir jalan mengingatkanku akan momen-momen indah yang mungkin tidak akan terulang kembali. Aku ingin main parkour lagi di hutan. Bersama Arvin dan beberapa anak lain.
"Uuugh ...." Baru belum sepuluh menit berlalu, aku sudah merindukannya. Apa yang terjadi berbeda dengan apa yang kupikirkan.
Kupikir, kami akan terus bersama, tumbuh bersama hingga tiba saatnya salah satu dari kami menyatakan perasaan. Sekarang aku merasa bodoh sudah berpikir seperti itu. Mungkin aku membaca terlalu banyak kisah cinta picisan.
Bosan memandangi pepohonan yang biasa saja, aku mengalihkan pandangan ke samping kanan. Theo sibuk memainkan ponselnya seperti Ibu. Bedanya, pandangan anak itu dari tadi tidak pernah teralihkan dari layar. Ibu sesekali bercakap dengan Ayah.
Aku beringsut mendekat, berusaha mengintip layar ponselnya yang lebih menarik dari keadaan sekitar. Theo mematikan layarnya saat aku baru melihat homescreen default ponsel itu.
Kutarik badanku menjauh sambil menggerutu, "Liatin apa sih dari tadi? Kayak asik banget."
"Bukan apa-apa," jawabnya seraya menyelipkan ponsel ke dalam saku celana.
Kami saudara sedarah, tetapi bertingkah seperti orang asing. Aneh sekali, padahal sudah sepuluh tahun kami tinggal di bawah atap yang sama. Waktu kecil kami lumayan akrab.
Anak itu mulai berubah sejak menginjak usia enam tahun. Waktu itu, Theo mulai menjaga jarak dengan semuanya, bahkan Ayah dan Ibu.
Theo tidak pernah bermain di luar lagi. Ajakanku selalu ditolak sampai aku merasa mengajaknya bermain adalah tindakan yang sia-sia. Theo sepenuhnya menjadi anak rumahan sementara aku hobi keluyuran.
Tentu aku masih mencoba memperbaiki hubungan kami. Contohnya yang barusan. Ya, gagal lagi. Theo bersikap sedingin es yang menurutku tidak wajar bagi anak-anak seusianya.
Ah, sudahlah. Lebih baik aku tidur daripada membiarkan pikiranku berkeliaran tidak jelas.
"Bangunin aku kalo udah deket kota," ucapku menoleh pada Theo sebentar. Dia hanya mengangguk tanpa mengubah arah pandangan. Dengan begitu, aku memutuskan untuk berlabuh ke alam mimpi.
Seperti biasa, semuanya gelap kala aku terlelap. Namun, kali ini aku tidak sempat bermimpi seperti yang selalu terjadi. Kesadaranku kembali terhubung dengan dunia nyata.
Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh, dari puncak kepala sampai ujung jari kaki. Bukan main. Bergerak sedikit saja aku tidak bisa. Segalanya tampak buram ketika aku membuka mata. Sudah buram, ditambah silau cahaya mentari.
Ah, aku hampir melupakan sesuatu.
Sebelum ini ... aku tidur karena bosan. Lalu, aku bangun dan Theo ... dia mendorongku keluar dari mobil.
Anak itu mendorongku keluar dari mobil yang sedang melaju!
"Argh!" Dorongan adrenalin tidak cukup untuk membuatku bangkit duduk. Badanku masih menempel pada permukaan tanah berkerikil.
Penglihatan sudah jelas kembali. Sekarang giliran ingatanku yang buram. Aku yakin ada lagi selain itu. Theo tidak mendorongku begitu saja. Sepertinya dia mengatakan sesuatu.
Aku tidak bisa mengingatnya.
Sekarang telingaku menangkap suara bising dari kejauhan. Sirene ambulans dan suara orang-orang yang tumpang-tindih. Selain itu, aku mendengar suara alas kaki bergesekan dengan tanah berkerikil. Makin lama makin dekat.
"Ada anak perempuan di sini! Dia masih hidup!"
Sakit sekali rasanya saat orang-orang yang baru datang memindahkanku ke atas tandu. Aku tak berhenti meringis sampai dimasukkan ke dalam ambulans.
Kupikir aku akan melihat Ayah, Ibu, dan Theo atau setidaknya satu dari mereka di dalam sini. Namun, tidak ada siapa-siapa selain aku dan seorang perawat ... mungkin. Ingin bertanya, tetapi lidahku kelu, hanya bisa meringis kesakitan.
Tadi aku sempat melihat ada satu lagi mobil ambulans. Mungkin mereka bertiga ada di sana. Mungkin aku ada di sini karena ambulans sebelah sudah penuh.
Mereka pasti baik-baik saja. Lebih baik aku melanjutkan tidur daripada harus terjaga dan menahan rasa sakit.
Saat bangun nanti, akan kuomeli habis-habisan si Theo. Beraninya dia mendorongku keluar dari mobil yang sedang melaju. Aku bisa mati.
.
A R C 1
Misi Penyelamatan
.
.
Telah dimulai
10-08-2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro