゛seven.〃
Badan toples terpantul jelas dalam sebuah manik bersih. Memandanginya lama, bagai terus mengelupaskan tubuh toples itu untuk mencari jawaban dalam benaknya. [Full name] mengingat kembali. Bagaimana anehnya Miya Osamu kala melakukan penawaran tersebut.
Pertama, pemuda itu bilang harus menyerah. Tanpa alasan yang jelas. [Name] dibuat menggariskan kalimat tersebut dalam otaknya. Tanpa menunggu kelarnya tanda tanya pertama, Osamu kembali membuat yang lain.
Apakah Osamu selabil itu? Menyuruh dirinya menjauh, namun ujungnya malah ditawari bantuan.
Lalu, apa pula perjanjian toples ini?
'Kalo kamu ngerasa suka sama aku, tulis alasannya di bangau kertas dan masukin ke toples ini...'
[Name] merasa geli. Padahal Osamu sudah tahu jelas hatinya ini untuk siapa.
Membentuk sebuah burung pada kertas origami tersebut, [full name] lalu memasukannya ke toples di sana.
-; ebb and flow ;-
Tangan kecilnya mengapak di tanah dengan balutan sarung tangan. Menarik kayu yang telah dililit dengan tali, [name] menancapkannya di tempat tadi. Dengan sehati-hati mungkin memukulnya dengan palu.
Kemudian jadi mendesah kala kayu tersebut terlepas.
Ayolah, membangun tenda dekat dengan kawasan laut malah akan jadi hal tersebut tambah sulit. Angin pasti iseng, membuat tenda terus berkibar.
Iya. Mereka kini tengah melaksanakan jadwal pelatihan kepemimpinan. Tak jauh dari sekolah. Mengingat lokasi hidup mereka pun cukup strategis untuk jadi objek latihan. Seperti ini misalnya. Sabar menghadapi cobaan.
"Sudah menancapkannya?"
Salah satu rekan tim [name] bertanya. Gelengan dibalasnya dengan perasaan tak enak.
"Biar aku yang menancapkannya. Kamu pegangin bagianku aja," ucap perempuan itu. Pelan-pelan mereka berganti alih. [Name] kini memegangi kayu yang lain. Kuat. Agar tak lagi tertepa angin.
Kala tangan bergerak menepikan anak rambut yang menghalangi wajahnya tepat saat angin kembali berhembus, [full name] terkaget sendiri. Pegangannya tertarik, dan lepas begitu saja.
Bukan hanya itu saja. [Name] lebih kaget pada sebuah telapak tangan yang menggenggam bahunya begitu tiba-tiba.
"Astaga, anginnya kuat sekali. Guru-guru itu jelek memilih tempat, ya. Semua tenda bisa kebawa angin kalo gini," ucap Atsumu. Tiba-tiba berada di sisi [name] dengan tangannya yang di bahu gadis tersebut berpindah, kini menggenggam kayu dengan erat. Menggantikan [name].
"Atsumu? Kamu udah selesai sama tendanya?" [name] bertanya. Kemudian dicelingukkannya kepala ke arah samping. Tepat di mana tenda Atsumu telah berdiri tak jauh dari mereka.
"Beres. Hebatkan? Padahal hanya dua orang, tapi selesai lebih cepat dari kalian," laki-laki itu tertawa ringan. [Name] meringis.
Kala angin kembali berembus. [Full name] rasakan sebuah tangan melingkari pinggangnya. Menahan rok agar tidak berkibar di sana.
"Ganti baju olahraganya sekarang sana. Anginnya kencang, nanti kamu masuk angin duluan," ucap Atsumu pelan. Tangan satunya masih memegangi kayu. Sementara tangan yang melingkar itu lepas perlahan seiring damainya angin.
Atsumu kemudian melambai tangan, "sini, biar aku bantu." Ucapnya pada perempuan yang tadi bergantian alih dengan [name].
Mengambil palu yang diberikan perempuan tersebut, Atsumu kembali berbicara, "kalian ganti baju duluan aja. Biar aku yang selesain ini."
"Benar, nih? Ya sudah, tolong ya kapten. Ayo [name]."
Iris Atsumu beradu dengan [name]. Disunggikannya senyuman dari cowok tersebut, "awas terbang lagi."
Ringan. Namun mampu memberikan efek untuk [name].
------------
Seorang pemuda muncul di hadapan. [Full name] bergerak bingung kala mulut sosok tersebut terlihat ragu bergerak.
"[Name]... bisa ikut aku sebentar? Ada yang mau aku omongin."
Terdiam untuk berpikir sejenak. [Name] akhirnya mengiyakan saja. Pamit dululah ia kepada rekan timnya yang sedang berganti baju di toilet umum. Iya. Dirinya sedang menunggu rekan timnya. Sementara [name] sendiri kini sudah rapi dengan seragam olahraga yang terlihat hangat.
Langsung dibawa oleh sosok tersebut ke suatu tempat, [name] hanya mengatupkan bibirnya. Canggung pula pada laki-laki tak dikenalinya ini.
"[Name]... Maaf membawamu tiba-tiba," pemuda itu memecah keheningan. Sepertinya tampak tak enak pula dengan suasana sebelumnya. "Sebelumnya aku Kinoshita Hisashi dari kelas 2-4."
"Kamu mungkin gak kenal aku, dan kita memang tidak pernah sekelas. Tapi, sudah dari kelas sepuluh aku memerhatikanmu."
"Kau tau Ennoshita? Dia temanku, dan dia jugalah yang saat ini jadi bantuanku untuk mencari tahu tentangmu di kelas. Dia juga mengatakan kalau aku juga harus bisa menyampaikannya padamu," Kinoshita itu berbalik. Memberanikan diri untuk mengahadapi [name] di sana. "[Full name] aku menyukaimu. Karena ini memang seperti tiba-tiba, jadi maukah kamu berkencan denganku beberapa hari ini agar kita saling mengenal lebih?"
[Name] memang terlihat bungkam sejak tadi. Namun salah jika berpikir bahwa ia sebenarnya bingung, atau bimbang. Tidak sama sekali.
Karena dari awal pembicaraan ini telihat menjurus, pun, [name] sudah punya sebuah jawaban.
"Maaf,"
Seperti itulah.
"Kita bisa menghabiskan waktu seperti teman. Tapi tidak untuk hal seperti itu."
Kinoshita itu terlihat kecewa. Dia sudah dapat menebak samar. Tapi ia tidak menyangka bahwa dugaan Ennoshita bisa seakurat ini. "Baiklah, terimakasih. Setidaknya aku bisa jadi temanmu sekarang." Ujarnya seraya membentuk senyum.
"Maaf..."
Menjatuhkan tangannya ke ubun-ubun sang gadis, Kinoshita menepuknya pelan, "tidak apa. Kamu punya hak untuk menolak atau menerima, kok. Dan kamu juga punya hak untuk memperjuangkan perasaanmu."
"Huh?"
Menarik tangannya dari kepala [name], Kinoshita berucap lagi, "sebenarnya Ennoshita juga bilang, tampaknya kamu sedang dekat dengan teman sekelas kalian. Atsumu kalau gak salah. Hm, dia emang terkenal..."
[Name] kaget. Ennoshita, cowok kalem-kalem itu ternyata adalah seorang mata-mata yang tampak handal?
"Kalian pacaran?"
Mata [name] membulat, "h-hah enggak!"
Bahkan si Ennoshita itu sampai berspekulasi ngawur seperti ini?
"Lalu? Ennoshita bilang kau menolak beberapa cowok sampai sekarang. Apa itu berarti kau sedang menjaga perasaanmu untuk seseorang?"
Astaga Ennoshita itu stalker!
"Uh..." [name] tak tahu harus menjawab seperti apa. Dengan pengertiannya Kinoshita itu tertawa ringan.
"Ya sudah, gak apa-apa. Kau juga berhak mencari mana yang pantas untukmu, kok," katanya menepuk lagi kepala [name]. Di akhir, Kinoshita tersenyum samar, "perasaanmu untuknya pasti kuat sampai bisa menepis perasaan lain yang datang."
[Full name] terdiam.
Begitu juga dengan sosok lain yang bersembunyi di balik pohon.
.
.
.
↓continue↓
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro