
゛nine.〃
osamu view;
Aku berjalan menyisiri pantai dengan canggung. Tidak tidak. Aku hanya tidak tau harus berbicara apa. Benar. Aku tidak sendiri. Di sampingku kini ada sosok lain. Sedari tadi ikut terdiam membisukan mulut.
Mungkin itu yang membuatku juga tak berani berucap.
Katakan, aku harus apa kalau aku juga jadi salah satu yang secara tidak langsung membuat hatinya mungkin hancur seperti ini?
"...dia udah punya pacar?"
Dalam derungan ombak yang saling bersahut, aku dengar jelas suaranya. Terdengar tenang. Atau mungkin getarannya yang tak sempat kudengar.
Tak menjawab pertanyaannya, aku tundukan atensi ke bawah. Kakinya terterjang ombak tanpa ragu, tanpa getar. Aku tak mengerti kini, dia rapuh ataukah sedang mencoba tegar?
"Osamu katakan, dia sudah punya pacar?"
Sungguh. Aku diam bukan karena tak mendengar. Tak tahukah bahwa aku sedang kesulitan merangkai kata?
"Belum," aku jawab seadanya. Dan ya, itu terdengar buruk.
Makhluk tersialan memang Atsumu. Aku sedang bersikap baik untuknya, namun dia malah sengaja memperburuk dirinya sendiri. Ayolah, aku ingin mencekiknya saat itu juga kalau bisa.
Melihat [full name] terhenti di pinggiran, aku juga menghentikan langkah di belakangnya. Dia jeda sejenak di posisi itu, lalu berbalik. Menghadap kebiruan yang semakin mencerah seiring menaiknya matahari.
Agak melenceng dari dugaanku, ekspresinya dari samping sini terlihat tenang. Sejujurnya aku tak pernah bisa mengerti dirinya, maka dari itu aku terbiasa menebak seluruh kemungkinan yang ada. Dan apa yang dipilihnya, selalu membuatku terkejut walau sudah mendapat gambaran.
"Osamu..." dia memanggil, namun tak menolehkan kepalanya padaku yang sedari tadi lurus menatapnya.
"Kamu bilang, kamu ingin membantuku untuk dekat dengan Atsumu, kan?"
Ya, aku bilang begitu. Terlihat bodoh sekali, kan?
Kami terdiam. Aku masih lurus menatapnya. Seperti biasa, mencoba menebak semua kemungkinan.
"...kenapa, kamu membantuku?"
Aku menarik nafas.
Alasan yang aku punya kuat, [name]. Namun mungkin terbilang bodoh. Jadi aku tidak dapat mengatakannya. Bukan.
Belum bisa mengatakannya.
"Hanya ingin membantu, kupikir hal seperti inilah yang dibutuhkan oleh wanita?"
"Kau membantu setiap wanita?"
"Tidak? Sudah kubilang aku hanya menawarimu."
"Kenapa hanya aku?"
"Karena hanya terbesit saat itu?"
Dia terdiam. Kupikir dia makin menganggapku bodoh. Biarlah.
"Sebenarnya kamu gak seserius yang aku pikir, kan?"
Dia menoleh, kini menatapku. Tadinya aku ingin berpaling, namun keadaan saat ini akan lebih baik kalau aku tetap menatapnya seperti ini.
"Tidak."
Kala aku menjawab seperti itu, raut mukanya agak berubah.
"Memang seberapa serius yang kamu kira? Kupikir aku lebih serius dari dugaanmu,"
Dan rautnya kembali berubah saat aku menambahkannya.
Dia terdiam, kutebak kini dia tidak mau membalas lagi.
Sampai suaranya kembali menyahut, "...aku pikir, aku bisa melakukannya sendiri. Bahkan tanpa bantuan siapapun, mengingat sudah hampir satu tahun aku menyimpan perasaan ini."
Ah, benar. Jadi itu komitmenmu selama ini. Tak mengejutkan.
"Tapi... Semakin aku dekat dengannya, ternyata ada banyak hal yang aku tidak ketahui tentang Atsumu,"
Kubiarkan dia membeberkan apa yang ia ingin katakan. Mungkin itu kesempatan yang bagus untuk mencari tau juga tentang dirinya selama ini.
Tapi, hei. Hanya perasaanku saja, atau dia tidak terlihat tengah patah hati saat ini? Aku yakin dia melihat Atsumu brengsek itu dengan mata melebar tadi.
"Dan kupikir aku tidak bisa mencaritahu beberapa hal dengan sendirian..."
"Osamu, tolong ceritakan padaku hal tentang Atsumu yang belum kuketahui."
Wah, benar-benar.
[Name], tahu tentang Atsumu sebenarnya itu sama dengan menyakiti dirimu sendiri.
Sebesar itukah kau mencintainya?
Mengembuskan nafas, aku lebih mendekatkan diri ke arahnya. Kami berdiri bersampingan. Memandang hamparan laut.
Ini konsekuensiku, kan?
Menawarkannya bantuan. Secara tak sengaja membuatnya hancur. Lalu kini, dengan memberitahunya beberapa hal ini, aku mungkin makin sengaja membuatnya hancur.
[Name], apakah aku benar kalau kau sedang menahan perasaan?
"Aku sudah mengatakannya waktu lalu sebagai awalan kisah. Atsumu, itu tidak baik,"
Apakah kau sudah mengerti kenapa aku mengatakan hal itu?
"Aku juga sudah bilang, dia bisa mengabaikanmu kalau bosan. Dan kau menerimanya begitu saja,"
Aku pikir dia juga paham tentang hal ini.
"Secara kasar, Atsumu adalah orang yang seperti itu."
"Seperti memainkan wanita maksudnya?"
"...sialnya iya."
Dia terdiam. Aku melanjutkan. Bagaimanapun, Atsumu tetap kembaranku.
"Tapi, dia tidak dalam artian sebenarnya seperti itu."
Aku terdiam sebentar. Memilih kata yang bagus, namun selalu berakhir dengan rangkian kalimat konyol, "dia... Hanya ingin disayangi?"
Oke, [name]. Aku mengerti kau juga berpikiran yang sama denganku. Jangan tatap aku dengan ekspresi itu. Aku jadi ingin mengubur hidup-hidup si brengsek Atsumu.
Tapi kupikir dia mengerti. Ya, dia pasti mengerti kini.
Dia berhenti menatapku. Dan kini aku yang menatapnya.
"Sesimpel itu Atsumu?"
...astaga, aku tau itu simpel, [name]. Tapi tidak bisakah kau ambil persepsi dari sudut pandangmu sendiri?
"Kupikir seperti itu..."
Sesungguhnya tidak.
"Jadi dia melakukan hal seperti itu untuk mencari kasih sayang?"
"Kau tau, kan, Atsumu dikenali banyak orang,"
"Ya..."
"Dan kau bisa saja menyebutnya maruk akan perhatian dan kasih sayang."
Dia terdiam.
"...kalau begitu haruskah aku juga serakah?"
Hah?
"--berusaha untuk memberinya semua kasih sayang yang ia inginkan hanya dariku?"
Astaga.
Aku mengusap belakang leher.
Kenaifannya, terduga-tidak-terduga untukku. Namun, pilihanku ini rasanya tepat.
Maaf, [name]. Kalau kau sebut aku jahat, aku tentu akan bela diriku sendiri dan mengatakan bahwa ini baik. Dan kalaupun kau sebut aku baik, aku tidak akan terima karena aku juga menganggap diriku jahat. Entahlah. Aku sendiri tidak tahu sedang bermain jahat atau baik untukmu.
Tapi tenang saja, aku pasti akan siap bertanggung jawab kalau kamu jatuh. Lagi.
.
.
.
↓continue↓
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro