Chapter 37: Last Exam
Kamar gelap berukuran tiga kali tiga meter itu menjadi saksi bisu asal mula kecerdasan Yukina. Ditemani lilin yang meredup serta tumpukan buku tebal, AFO memulai pendidikan rasionalnya. Dia menepuk kepala Yukina, membisikkan sugesti pada putrinya yang duduk manis di kursi.
“Ketakutan berasal dari ketidaktahuan. Pengetahuan adalah senjata untuk melawannya.”
AFO menepuk kepala Yukina, mencengkeram erat helaian rambut putih yang merasuk di jari-jarinya. Perlahan kepala putrinya yang berusia lima tahun tersebut dia tundukkan, menghadap buku setebal tiga sentimeter di meja.
“Ayah, sakit! Sakit sekali!” Yukina merintih, erangannya terdengar memilukan. Otaknya nyaris meledak karena dijejali sesuatu yang tidak pantas untuk usianya. Ditambah lagi cengkeraman erat ayahnya yang dapat memecahkan kepalanya kapan saja. Menangis takkan mengubah apapun. Yukina sudah lelah hingga tidak sanggup menangis lagi.
“Apapun bentuknya, pengetahuan bisa jadi seefektif senjata. Di saat-saat tertentu, itu bahkan lebih berguna daripada sebilah pedang. Pastikan kau mempersenjatai dirimu dengan baik sebelum bertarung.”
AFO menyelipkan sebuah pensil ke sela ibu jari dan telunjuk Yukina. Banyak memar merah dan biru gelap di sepanjang kedua lengannya. Goresan benda tajam juga ikut menghiasi, mewarnai kulit putih pucatnya dengan darah. Dilihat dari tanda luka yang tertinggal, itu bukanlah tindakan self-harm, tetapi child abuse.
“Dan bunuh mereka dengan itu,” tegas AFO.
“Pengetahuan ... Bunuh ....” Yukina bergumam lirih. Matanya berubah kosong, tersugesti. Otaknya telah tercuci oleh didikan AFO. Obsesi ayahnya membuatnya merasa dirantai. Dia tidak bisa menjalani hidupnya sendiri. Jangankan bermain bebas seperti anak-anak seumurannya, berdiri satu meter dari pintu keluar saja langsung diseret ke ruang penyiksaan.
“Jangan khawatir,” AFO menepuk pundak Yukina, mendekatkan bibir ke telinganya. “Mulai sekarang, aku akan mengajarimu segalanya agar bakatmu bisa dipergunakan dengan baik.”
Sebagai putri yang menyandang nama Shigaraki, Yukina merasa itu adalah takdir yang harus diterima dan dia jalani seumur hidupnya. Kebeliaan membuat Yukina tak dapat menentang itu semua. Kalimat ‘apa boleh buat’ selalu dia bisikkan dalam hati.
“Kau mengerti, Yukina?”
“... Baik, Ayah.”
AFO mengangkat tangannya. Mata refleks Yukina tertutup takut. Dalam ingatannya selama ini, setiap kali tangan ayahnya terangkat, selalu berakhir sebuah pukulan yang menghempaskannya. Itu meninggalkan trauma yang sulit disembuhkan pada dirinya.
Namun kali ini berbeda. Yukina tak merasakan adanya tindakan kekerasan. Sebaliknya, tepukan tangan yang mengenai kepalanya justru terasa lembut, penuh kasih sayang. Sesuatu yang aneh karena tak pernah terjadi sebelumnya. Yukina tahu, lemah lembut bukanlah sifat ayahnya. Penasaran, Yukina pun perlahan membuka mata.
“Bangunlah, Yukina. Sampai kapan mau tidur terus, ha?”
Yukina memfokuskan mata. Pandangannya yang semula kabur mulai jelas. Sekarang tampak sosok Aizawa yang duduk di pinggir kasur, sedang mengusap kepala Yukina untuk membangunkannya. Yukina terbangun dengan ekspresi bodohnya yang datar. Ternyata itu tadi hanya mimpi. Ralat, kepingan memorinya dari masa lalu yang datang kembali melalui mimpi.
“Kenapa diam saja? Cepatlah bangun dan ayo sarapan,” kata Aizawa pada Yukina yang melongo menatapnya. Yukina sedang berjuang membedakan dunia nyata dan dunia mimpi.
“Shota-san, kau membangunkanku?” tanya Yukina polos.
“Kau lupa hari ini ada ujian akhir? Kalau tidak kubangunkan, kau bisa terlambat,” jawab Aizawa dengan nada monoton. Dia bangkit dari kasur Yukina, melirik tumpukan buku dan lembaran materi yang berserakan di sana-sini. “Rajin belajar memang bagus, tapi pastikan tubuh dan otakmu beristirahat juga.”
Yukina tertegun. Dia melihat kasurnya yang dipenuhi buku dan lembaran ringkasan materi. Sungguh berantakan bagaikan kapal pecah. Dapat ditebak kalau Yukina belajar sampai ketiduran tadi malam. Bahkan tangan kirinya masih setia memegangi pensil.
“Itu ...” Yukina merasa bersalah karena telah merepotkan Aizawa yang membangunkannya. “Gomena—“
I keep my ideals sorezore no tenmei wo ooo~
What’s going through?
Aizawa terkejut karena musik bervolume keras tiba-tiba terdengar. Yukina yang ucapannya terpotong pun bergegas mencari ponselnya. Dirinya sangat hafal itu adalah nada dering alarm yang dia pasang tadi malam. Benar saja, begitu dia menemukan ponselnya, sumber kebisingan pagi itu dapat dihentikan.
“Apa itu?” tanya Aizawa.
“Alarm pintar,” jawab Yukina singkat sembari menunjukkan ponselnya. “Hanya dapat dihentikan jika berhasil menjawab soal yang muncul di sini.”
Q: Jika cosx=2sinx, maka nilai sinxcosx adalah....
Your Answer: 2/5
“Kau suka merepotkan dirimu sendiri, ya?” Aizawa sweatdrop. Baru bangun tidur, sudah disuguhi soal matematika yang harus dikerjakan supaya alarm tidak menggila. Auto blur, saudara-saudara.
“Maa, terserahlah,” Aizawa menghela napas. “Karena sudah bangun, ayo sarapan dan segera bersiap-siap. Kau tidak ingin terlambat di hari pertama ujian, ‘kan?”
Yukina mengangguk dan bangkit dari kasurnya. Dia berjalan keluar kamar, mengikuti Aizawa dari belakang. Baru lima langkah Aizawa berjalan, bajunya ditarik sejimpit dari belakang. Dia menoleh, mendapati Yukina yang menahan langkahnya.
“Ada apa lagi?” tanya Aizawa heran.
“Ano ... Terima kasih karena telah membangunkanku,” ucap Yukina seraya menunduk, menyembunyikan wajahnya. “Sejak kecil, aku selalu ingin dibangunkan seperti itu,” lanjutnya lirih.
Aizawa tertegun. Meski tidak tahu raut muka Yukina, dia menangkap suatu kesedihan pada kalimat terakhir. Di balik wajah datar Aizawa, hatinya merasa sangat iba. Setelah ini, dia bertekad menitipkan sebuah tampolan pada All Might untuk dikirim ke AFO jika mereka bertarung suatu hari nanti.
“Jika kau ingin berterima kasih, lain kali jangan tidur di meja belajar,” Aizawa yang menghela napas mengusap tengkuknya. “Aku lelah memindahkanmu ke kasur setiap malam.”
“Tapi Shota-san, aku ‘kan tidak memintamu untuk memindahkanku,” jawab Yukina polos. “Kau suka merepotkan dirimu sendiri, ya?”
Aizawa langsung menghadiahi ulekan di kedua pelipis Yukina. Entah karena gemas atau kesal, yang jelas Aizawa memang suka mengulek Yukina kalau bertingkah menyebalkan. Dan seperti biasa, Yukina ber-ittai-ittai datar seperti tak niat mengerang. Yah, setidaknya tindakan Aizawa tidak termasuk kekerasan pada anak seperti yang AFO lakukan, ‘kan?
Sepuluh menit lagi bel berbunyi, tetapi siswa 1-A sudah duduk di tempat masing-masing, kecuali ketua kelas dan wakilnya. Iida membuka pintu kemudian masuk kelas, disusul Yukina yang menguap kecil di belakangnya.
“Baiklah, minna! Letakkan tas di depan kelas, matikan ponsel, dan duduk sesuai nomor absen!” kata Iida mengarahkan teman-temannya. “Sebentar lagi ujian tulis akan dimulai. Dan yang paling penting—”
“Harap senang. Ada ujian,” potong Yukina datar.
“Mana bisa kami senang?!” teriak Ashido tidak terima.
“Bukankah yang benar ‘harap tenang, ada ujian’?” tanya Kirishima.
“Cewek sialan itu memang bermasalah. Tidak usah heran kalau ucapannya nyeleneh,” sinis Bakugo.
Yukina menghela napas panjang. Decihannya sengaja dikeras-keraskan saat berjalan melewati Bakugo. “Kenapa ranking empat sok mengomentari ranking satu? Padahal otak duriannya lebih bodoh begitu.”
“NANDATO, TEME?!!” Bakugo yang triggered langsung bangkit dari kursinya. “Kenapa kau tiba-tiba mengaitkan masalah ini dengan peringkat UTS?! Peringkat pertamamu pasti karena beruntung saja! Jangan sombong kau, ya, kuso onna!” teriaknya kesal.
“Warukatta na ... ” Yukina menyahut cuek tanpa menoleh. “.... Yon-ban,” ejeknya dengan nada datar namun penuh penekanan.
Bakugo hendak meledakkan Yukina namun ditahan oleh Kirishima dan Sero. Keduanya berusaha menenangkan Bakugo yang mencak-mencak. Satu kelas bergidik ngeri sekaligus sweatdrop. Sementara itu, Yukina mengabaikan Bakugo dan berjalan santai ke kursinya like a boss. Dia mendecih pelan sembari menunduk.
“Aku bukan orang yang beruntung,” desis Yukina.
Todoroki yang mendengar bisikan tersebut langsung menoleh. Matanya memandangi Yukina yang menarik kursi kemudian duduk bertopang pipi, memalingkan wajahnya ke arah lain. Bayangan rambut Yukina yang menutupi wajah atasnya membuat Todoroki tidak dapat melihat ekspresi apa di sana.
‘Yukina, kenapa aku selalu merasa kau seperti menyembunyikan sesuatu di balik wajahmu?’ Todoroki menyipit, sorot dinginnya melembut. Entah dia sadar atau tidak, tatapannya pada Yukina sungguh berbeda dengan yang lain.
“Kaminari, tumben kau tidak sambat ketika mau ujian begini?” Ashido tiba-tiba bertanya pada Kaminari di sebelahnya. “Kau juga tampak percaya diri, seperti bisa mengerjakan soal saja.”
Kaminari yang mempersiapkan alat tulisnya pun menoleh. “Jelas, dong! Aku sudah privat bersama seseorang!” jawabnya semangat.
“Hee~ Sou ka? Siapa?”
“Ada deh,” Kaminari tersenyum simpul.
Tak lama kemudian, bel berbunyi. Aizawa masuk kelas dengan membawa amplop besar yang masih tersegel. Setelah mengabsen semua murid, dia membuka amplop tersebut. Di dalamnya berisi kertas soal dan lembar jawaban yang dibagikan kepada para pejuang UAS. Secara berurutan, mereka menyalurkan lembaran tersebut ke belakang dalam posisi terbalik. Masing-masing orang mendapat satu paket soal dan lembar jawaban.
‘Mereka terlihat tegang sekali,’ komentar Yukina dalam hati. Karena berada di kursi pojok paling belakang, dia dapat melihat teman-temannya tanpa halangan. Setelah menerima kertas pemberian Yaoyorozu yang duduk di depannya, Yukina mengambil pulpen bertinta hitam, memutar-mutarnya di tangan kiri dengan lihai.
‘Memang aku tidak pernah menempuh pendidikan formal sebelumnya, tapi—‘
“Baiklah, kalian bisa mulai mengerjakan,” kata Aizawa mempersilakan.
Yukina membalik lembar soal. Pulpen yang semula berputar 360° tiba-tiba berhenti dengan ujung mengarah pada kertas. Seketika alat tulis yang dia pegang berubah menjadi pisau bermata ganda yang tajam. Sorot matanya berkilat, menatap soal ujian layaknya target yang harus dibunuh.
‘—Jika telah mempersiapkan diri matang-matang, ujian ataupun pertarungan terasa seperti permainan anak-anak.’
Tirai merah tersingkap. Cahaya terang menyilaukan mata siapapun yang melihatnya. Perlahan cahaya meredup, membuat pandangan semua orang kembali jelas. Tampak sebuah pulau menyerupai huruf C, berkeluk dan dikelilingi laut biru yang jernih. Bila dilihat dari langit, warna hijaulah yang mendominasi. Alamnya sangat asri tanpa polusi. Tidak terlihat tanda-tanda campur tangan manusia yang merusak ekosistem. Benar-benar sebuah pulau fantasi.
“Jadi, di sinilah kita akan bertarung, ya?” Iida, seorang kesatria berzirah, berdiri di sebuah bukit kecil. Dia melihat dataran di bawahnya, padang rumput dengan berbagai batuan besar yang berlekuk-lekuk.
“Minna!” Iida berbalik, menghadap teman-temannya di belakang. “Meski ujian ini dilakukan secara individu, kita tetap bertarung di medan yang sama. Seperti sebuah guild. Mari kita selesaikan ini semua dan pergi ke pusat pelatihan bersama-sama!”
“OSUUU!” jawab 1-A kompak, kecuali tiga orang pemenang festival olahraga.
“Aikawarazu Iida-kun selalu memotivasi kita sebelum bertarung, ya!” puji Uraraka, penyihir bertudung pink yang membawa tongkat sihir.
“Itu bisa membakar semangat, tahu!” Kirishima sang weapon master ikut menyahut.
“Kudaranai,” sinis Bakugo, dragon master berjubah bulu dengan banyak kalung yang melingkar di lehernya. Dia melirik tajam Yukina yang berdiri di dekat Todoroki, “Terserah apa kata kalian, aku akan mengalahkan siapapun di sini.”
“Musuhmu bukan di sini, bodoh,” Yukina, gadis assassin bertudung hitam, membalas sarkas tanpa menoleh. Angin berhembus kencang, menurunkan tudungnya yang menutupi kepala.
“Mereka datang,” ucap Todoroki, pangeran sekaligus putra mahkota di kerajaan Endeavor.
Padang rumput yang tadinya kosong, kini dipenuhi monster yang keluar dari portal hitam. Mapel Bahasa Inggris digambarkan sebagai goblin mengerikan yang harus dihadapi para siswa.
“A-A-Apa itu? Kita harus bertarung melawan mereka?!” tanya Ashido tak percaya.
“Tidak hanya berjumlah banyak, mereka juga kelihatan kuat, gero,” tambah Asui.
Yukina melirik Kaminari yang terdiam di tempat. Wajahnya membiru pucat, tubuhnya bergetar hebat. Kegugupannya menghadapi soal monster di bawah tak kunjung hilang.
Puk! Yukina menepuk punggung Kaminari, membuat musketeer itu tersentak kembali ke alam nyata. Kaminari menoleh pada Yukina yang menatap lurus ke depan. Matahari siang menyinari wajah cantik tanpa ekspresinya.
“Daijobu,” Yukina berucap datar. “Aku sudah mengajarimu semuanya. Kau juga belajar dengan giat. Percaya dirilah.”
“Yukina ...” Kaminari berkaca-kaca terharu sambil menutup mulutnya tidak percaya. Dia tak menyangka doi yang seperti kulkas berjalan itu menyemangatinya.
“Kau hanya butuh sedikit dorongan,” Yukina menoleh. “Dakara—“
DUAGH! Yukina menendang bokong Kaminari keras-keras. Kaminari pun terjatuh dari bukit, terjun bebas dengan posisi menyungkur tidak elit. Jeritan “AAAA uwo uwo~” bergema di bawah sana. Semua yang melihat adegan pendupakan tersebut melongo suram. Mata mereka tertuju pada Yukina yang berdiri dengan watados (wajah tanpa dosa).
Yukina menoleh ke arah kamera, menatap para reader yang ngakak membaca paragraf di atas. “Teman yang baik selalu memberi dorongan saat dibutuhkan,” ucapnya seraya mengacungkan jempol. Muncul bintang-bintang bersinar di dekat wajah datarnya.
“Kenapa kau malah membanggakannya, Yukina-kun?!” Iida masuk mode berceramah.
“Teman kampret!” hujat Bakugo.
‘Syukurlah, mereka cuma berteman,’ Dengan polosnya, Todoroki malah berbahagia di atas penderitaan orang lain.
“K-Kurasa bukan dorongan seperti itu yang dia butuhkan,” timpal Midoriya sang knight-in-training penuh kecemasan.
“Daijobu. Bukit ini tingginya cuma 50 meter. Kalau mendarat kepala duluan pasti mati, kok,” ucap Yukina tenang.
“JANGAN BILANG SESUATU YANG MENGERIKAN!”
Yukina langsung melompat turun dari bukit, mengabaikan teriakan teman-temannya. Bakugo yang terkejut pun ikut melompat sambil memarahinya karena mencuri start. Iida sang leader segera mengajak yang lain untuk menyusul mereka.
Bel pertempuran telah berbunyi. Hari pertama ujian tulis, kelas 1-A digempur habis-habisan oleh mapel Bahasa Inggris. Berbekal pengetahuan yang dimanifestasikan sebagai senjata pada genggaman masing-masing, mereka melawan soal monster yang berdatangan.
Pertarungan terus berlangsung sampai akhirnya King Goblin datang. Tubuhnya jauh lebih besar dibandingkan para goblin kroco yang dilawan 1-A sejak tadi. Matanya membulat merah dengan tanduk iblis runcing di kepala. Sayap raksasanya terkepak, cakar tajamnya siap mencabik-cabik siapapun yang berani melawan. Sambutlah, soal terakhir Bahasa Inggris.
“Uso! Kenapa soal terakhir sudah muncul?!” tanya Uraraka tak percaya. “Kita baru mulai sepuluh menit yang lalu, ‘kan?”
Midoriya mengangguk, “Jika soal terakhir telah muncul, itu artinya ada seseorang yang telah mengalahkan pasukan goblin ini sehingga bisa menantangnya.”
“He? Dare da?” Ashido melihat Yaoyorozu, “Yaomomo, kau yang melakukannya?”
Yaoyorozu mengayunkan pedang panjangnya, menebas goblin kroco bernomor 20. “Iie, aku baru saja selesai di sini,” balasnya.
“Siapa pun itu tidak penting! Awas! Dia mulai menyerang!” Sero memperingatkan teman-temannya untuk mewaspadai serangan yang datang.
“Choose the one word or phrase which would not be appropriate in standard written English and explain your reason clearly!” ucap King Goblin dengan nada rendah. Dia membuka kepalan tangannya ke atas. Muncul sihir ilusi yang menampilkan sebuah kalimat.
It was her (A) who (B) suggested that the drama Kaguyahime should be changed (C) into The Tale of Hanabata so that she could (D) get a role for herself.
Kaminari menelan ludah. “O-Oi ... maji ka yo?”
“Ini seperti mencari jarum di tumpukan jerami,” komentar Tokoyami.
“Minna, tenanglah! Present Mic-sensei telah mengajarkan ini di kelas. Jika fokus, kita bisa menemukan jawabannya!” kata Iida.
King Goblin melayangkan cakarannya kepada 1-A, menciptakan hembusan angin kencang di sekitar mereka. Selain menghindar, kelas A juga berusaha menahan diri agar tidak terbawa hempasan angin. Mereka menatap nanar. Soal HOTS yang merupakan mimpi buruk kini menjadi kenyataan.
Di tengah-tengah penyerangan King Goblin yang tak berhenti, Yukina berlari mendekat dengan pisau di kedua tangannya. Saat yang lain menghindar, dia justru menantang bos terakhir itu. Meski tampak seperti semut di mata King Goblin, Yukina begitu gesit mengelak cakarannya yang menghancurkan tanah.
“Yukina ... D-Dia langsung menerobos dari depan?!” Kirishima mengepalkan tangannya dan menangis terharu. “Kkhh! Manly sekali!”
“Si bodoh itu ...” Bakugo berdecak kesal, “Sejak tadi tidak kelihatan, sekali datang malah membawa masalah saja!”
Todoroki tersentak, ‘Jadi, Yukina-lah yang men-summon soal terakhir, ya?’
“As I expected from that noisy teacher. This question all boils down to language register and the language appropriacy,” Yukina menyeringai kecil. “But don’t looking down on me.”
King Goblin menghantamkan tangannya ke arah Yukina, bermaksud meratakannya dengan tanah. Sia-sia, Yukina sudah lebih dulu melompat tinggi. Dia melayang di udara, kedua pisaunya menyilang di depan dada. Hembusan angin menyingkap tudung hitamnya, membuat semua orang dapat melihat mata merah Yukina yang berkilat tajam.
“Subject + Linking Verb + Subject Complement = He/She/They/We + is/are/was/were + he/she/they/we.”
Yukina meluncur ke bawah dengan cepat. Sambil bergerak zig-zag, kedua pisaunya menyayati sepanjang lengan King Goblin yang berusaha meraihnya. Gerakannya sangat cepat, Yukina hanya butuh satu detik untuk sampai di pangkal lengan.
“So, the answer of the question is—“ Yukina mengeratkan genggamannya. Pisau tajam itu berkilat saat diterpa sinar matahari. Yukina memutar tubuhnya, menerjang dengan rotasi penuh menuju King Gobin dan—
Slash! Warna dunia berubah. Langit merah menyala. Tampak siluet leher King Goblin yang terpenggal, bersamaan dengan tangannya yang terpotong sempurna mengikuti goresan pisau Yukina sebelumnya. Darah menyembur deras ke segala arah layaknya hujan lokal.
“—A,” Yukina yang mendarat mulus di tanah berbisik pelan. “Kalimat yang benar seharusnya ‘it was she’, bukan ‘it was her’.”
Tubuh King Goblin yang setinggi lima meter itu pun tumbang, menyebabkan tanah berguncang. Semua orang yang melihatnya tercengang dalam diam, kecuali Yaoyorozu yang justru membuka suara.
“Matte kudasai, Yukina-san! Bukankah ‘it was her’ itu sudah benar?” tanya Yaoyorozu. “Dalam kebanyakan register dan dialek bahasa Inggris, ‘it was her’ lebih dapat diterima dibandingkan ‘it was she’. Soal ini seharusnya dianulir karena tidak ada jawabannya.”
“Baka ka? Noise-sensei tidak mungkin seceroboh itu dalam membuat soal,” Yukina berbalik menghadap Yaoyorozu. “Memang pada tingkat informal, ‘it was her’ sangat diterima dalam bahasa Inggris lisan dan tulisan, seperti pada novel atau cerpen. Itu dilakukan untuk membangun hubungan dengan pembaca dan membuat karakter terdengar lebih alami.”
“Kalian ngomongin apaan, sih?” celetuk Kirishima tidak paham.
“Tapi, pada tataran formal, nominative case of a pronoun, he/she/they/we, digunakan sebagai pelengkap subjek atau predikat nominatif,” Yukina terus menjelaskan tanpa memedulikan Kirishima. Kakinya menginjak kepala King Goblin tanpa belas kasihan, “Perintah soal adalah memilih kata yang tidak sesuai dengan standar penulisan bahasa Inggris, dengan kata lain pada tingkat formal. Makanya, ‘it was she’ lebih tepat dan sesuai konteks kalimat.”
TING! Simbol hanamaru (bunga spiral) muncul di tubuh King Goblin sebelum akhirnya berubah menjadi butiran debu yang lenyap diterpa angin.
“JAWABAN SEMPURNA?!” syok 1-A.
Yukina memutar-mutar pisau kemudian menyimpannya di sarung senjata. Dia kembali memasang tudungnya dan berjalan keluar arena. “Akhirnya selesai juga. Sekarang, aku bisa tidur dengan damai,” ujarnya malas seraya menutupi mulutnya yang menguap kecil.
“Jadi, motivasimu menyelesaikan ujian cepat-cepat adalah supaya bisa tidur?!” seru Iida tidak percaya.
“Sekalipun di tengah ujian, aku akan tetap tidur karena itu adalah prioritas,” Yukina menyatukan tangan di belakang kepala kemudian pergi.
“Cih! Aikawarazu sifatnya membuatku muak,” kesal Bakugo.
Todoroki menatap kepergian Yukina tanpa berkedip selama beberapa detik. Midoriya yang berdiri di dekatnya pun keheranan. “Ada apa, Todoroki-kun?” tanyanya.
“Midoriya, apa kau menyadarinya?” Todoroki berbalik tanya tanpa menoleh. “Soal terakhir itu adalah Error Recognition. Present Mic-sensei mengajarkannya pada kita saat awal masuk, tapi ... Yukina tidak mendapatkannya karena belum masuk U.A..”
Midoriya dan Bakugo tertegun. Mereka baru ingat bahwa Yukina masuk U.A. sebelum insiden USJ dan tidak mengikuti pelajaran umum sebelumnya.
(Lihat eps 6 di anime, sementara Yukina baru masuk U.A. di eps 9)
“Meskipun begitu, Yukina dapat menjawabnya dengan sempurna,” Todoroki melanjutkan. “Tanpa pemahaman yang baik, itu tidak mungkin bisa dilakukan. Mungkinkah dia punya guru privat yang mengajarinya?”
“M-Mungkin? K-Kurasa dia punya guru privat yang hebat, mungkin,” jawab Midoriya tidak yakin. Secara tidak langsung dia memuji AFO tanpa sadar. Bakugo dan Todoroki menatapnya curiga, namun kemudian Todoroki beralih memandangi Yukina yang jauh di depan.
‘Tapi ekspresinya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia diajari secara baik-baik,’ pikir Todoroki. ‘Dia seperti dipaksa, dituntut untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi.’
Yukina berhenti melangkah, menoleh sekilas. Matanya bertemu pandang dengan iris heterochromia Todoroki. Begitu sayu dan kosong. Saat itu juga, Todoroki merasakan sesuatu yang membuat dadanya sesak.
‘Dia ... mirip sepertiku?’
Ujian tulis dilaksanakan selama tiga hari. Hari kedua telah berlalu dengan cepat dan sekarang waktunya ujian penutup, Matematika. Pelajaran yang menjadi momok bagi kebanyakan siswa itu adalah pilihan yang greget untuk mengakhiri ujian tulis ini.
Bukan hal yang mengejutkan kalau matematika adalah salah satu mapel tersulit di bangku sekolah. Buktinya saja ujian baru dimulai beberapa menit lalu, tetapi banyak murid yang terengah-engah karena diserbu soal monster. Khususnya bagi sepuluh peringkat terbawah, merasa merasakan tekanan yang luar biasa berat karena tertinggal dari peringkat sepuluh teratas.
Yukina menerjang lima soal sekaligus. Kedua pisaunya yang berukir rumus matematika menebas titik vital masing-masing monster dengan cepat dan akurat. Lagi-lagi tanda hanamaru muncul usai musuhnya tumbang. Namun, dia tidak berhenti sampai di sana saja. Yukina terus maju, membunuh semua monster yang menghadangnya tanpa menoleh ke belakang. Di hatinya tidak ada rasa kepedulian sedikitpun terhadap mereka.
“Yare-yare, aku ini assassin spesialis stealth dan surprise-attack. Serangan membabi buta di tempat terbuka begini bukan gayaku, tahu,” Yukina menghela napas panjang. Dia melirik Kaminari. “Saa tte, bagaimana nasib—”
“Uso! Kaminari—!?” Ashido berseru kaget. Semua ikut menoleh pada orang disebut.
Kaminari menebas para monster dengan dua pisau tipisnya. Itu adalah teknik penyerangan yang sama seperti Yukina. Sulit dipercaya tetapi nyata, Kaminari berhasil mengalahkan soal monster yang mustahil bisa dia selesaikan sebelumnya. Secara mengejutkan, Kaminari keluar dari zona peringkat terbawah dan menyusul top ten.
“Kau beneran Kaminari yang bodoh itu, ‘kan?!” tanya Sero kaget. “Kaminari yang kukenal itu 3+4 dijawab 25!”
“Lancang sekali, sih! Tentu saja ini aku!” sahut Kaminari tersinggung. Dia menunjuk dirinya sendiri dengan sombong, “Akan kubuat kalian yang menganggapku bodoh berbalik merasa bodoh!” ucapnya bangga.
“Ternyata strategi PDKT yang kuajarkan kemarin sangat cocok untuk otak udang sepertimu, ya,” celetuk Yukina datar namun penuh penekanan. “Warukunai, Kaminari Denki.”
“Hehehe, aku hebat, ya?” Kaminari mengusap kepala belakangnya dengan malu-malu. Hatinya senang karena dipuji sang doi, setidaknya begitulah yang dia rasakan (secara sepihak).
“Yukina tadi bilang otak udang, ‘kan?” Kirishima sweatdrop.
“Etdah, giliran dikatai sama cewek cantik langsung menerima begitu saja,” Sero ikut sweatdrop.
Bakugo mendecih, “Orang bodoh memang cocoknya dengan orang bodoh ju—“
“Yukina, apa maksudmu strategi PDKT yang kau ajarkan kepadanya?” tanya Todoroki tiba-tiba, memotong kalimat Bakugo sekaligus mengagetkan semua orang karena sudah berdiri di samping Yukina.
“Hanbun yaro teme! Jangan memotong ucapanku dan jangan dekat-dekat dengan—!“
“Sesuai namanya, strategi mencari jawaban dengan memilih opsi yang mendekati benar,” jawab Yukina datar.
“JANGAN MENGABAIKANKU!” Bakugo menjadi obat nyamuk –lagi.
“Dalam ilmu matematika, ada cara kotor untuk menjawab soal tanpa perlu mengerjakannya. Namun, ini hanya berlaku untuk soal bertipe pilgan,” Yukina menunjuk monster yang datang menghampirinya. Monster tersebut memiliki banyak titik penyerangan yang dapat dipilih siswa, seperti pada tangan, kepala, dan kaki yang tidak tertutup armor.
“Jika penyelesaian persamaan x²+px+q=0 adalah pangkat tiga dari penyelesaian persamaan x²+mx+n=0, maka pq= ...”
A. m^3n^3+3mn^4
B. m^3n^3-mn^4
C. m^3n^3+n^6
D. m^3n^3-n^6
E. mn^3+3mn^4
“Dimulai dari proses seleksi, buang pilihan yang paling berbeda karena besar kemungkinan itu adalah jawaban yang sengaja disalahkan,” Yukina melemparkan pisaunya ke kaki monster dan menancap sempurna pada pilihan E. Sekarang gerakan monster tersebut melambat.
“Selanjutnya, kenali karakteristik opsi jawaban dan simpan yang paling banyak memiliki kesamaan. Dari kelima opsi, sebagian besar adalah m^3n^3 dan pangkat terakhirnya adalah 4,” Yukina sambil melempar dua pisau ke tangan monster. “Itu artinya, C dan D salah karena berpangkat 6.”
“Sekarang tinggal tersisa opsi A dan B yang berbeda tanda + dan – saja. Bagaimana caramu menentukan jawaban yang benar?” tanya Todoroki.
“Sama seperti cara sebelumnya, pilih tanda yang paling banyak muncul dan ...” Yukina berganti ekspresi psikopat, “Bunuhdiasampaimatitanpaampun.”
“Jangan berekspresi begitu, Yukina-kun! Itu kejam seperti villain!” seru Iida mengingatkan.
Sementara kepala monster sudah terpenggal oleh Yukina yang menoleh dengan polos meski pipinya terciprat darah. Ekspresi datarnya seakan berkata, ‘Lah-gue-kan-emang-villain’. Beberapa detik kemudian, muncul hanamaru yang menandakan bahwa jawaban Yukina benar.
“Sugoii! Kau bisa menemukan trik seperti itu, hebat sekali!” puji Midoriya. Dia selalu melihat Yukina dari sisi yang positif padahal akhlaknya sungguh minus. Yukina yang dipuji cowok terimut di kelasnya pun berusaha mempertahankan wajah datarnya, menahan diri agar tidak OOC. Perlahan dia mengambil langkah mundur, siap kabur kalau cute-freaknya meledak.
“Dan hebatnya, trik itu sangat cocok untukku! Aku memang jagonya PDKT, terutama pada cewek,” tambah Kaminari. Dia menoleh ke Yukina, “Benar ‘kan, Yuki—”
Krik... Krik... Yukina sudah pergi. Kalau di anime, cuma menyisakan outline putus-putus di sepanjang posisinya semula.
Kaminari langsung berwajah patung buddha. ‘Doi memang suka hilang pas aku lagi sayang-sayangnya, ya ....’
Soal terakhir ujian tulis matematika berada di dalam sebuah kastil tua. Sebagian besar siswa 1-A tidak bisa mencapainya karena telah kehabisan tenaga juga waktu akibat gerombolan monster di luar kastil. Hanya ada dua orang yang sanggup menginjakkan kakinya di pintu masuk.
“Jadi, kaulah yang akan menjadi rivalku dalam mendapatkan nilai sempurna, ya?” Yukina melirik tajam orang di sebelahnya. “Yaoyorozu Momo.”
“Aku sama sekali tidak menganggapmu sebagai rival, Yukina-san,” jawab Yaoyorozu. “Mari kita lakukan yang terbaik untuk meraih hasil maksimal.”
Yukina diam, enggan menjawab. Kakinya menendang pintu kastil hingga terbuka kemudian masuk, disusul Yaoyorozu di belakang. Mereka menuruni tangga dengan lilin sebagai penerangan satu-satunya.
“Di sini gelap sekali,” komentar Yaoyorozu.
“Biasakanlah dirimu,” balas Yukina datar. Sebagai orang yang pernah membusuk dalam kurungan AFO, lorong ini tidak ada apa-apanya.
Mereka sampai di pusat dungeon yang luas namun kosong tak berisi. Belum sempat keduanya berucap sesuatu, lantai dungeon bergetar dan bergeser beberapa meter saling menjauhi. Muncul kubus raksasa semitransparan dari sihir, masing-masing mengurung mereka dari dalam.
“Ini ‘kan ... kubus?” gumam Yaoyorozu. “Jadi, soal terakhir adalah bab dimensi tiga, ya?”
“Ini bukan kubus biasa,” Yukina mendongak, “Ada garis perpanjang di luar sana.”
Yukina benar. Ada garis yang memanjang secara mendatar dari titik sudut atas. Terlihat huruf ABCD di setiap titik sudut alas dan EFGH di sisi penutup atas. Sementara itu, perpanjangan garis berhenti di titik R, membentuk segitiga yang beralas P pada sisi FG dan Q pada sisi FB.
Setelah bangun ruang terealisasikan, pertanyaan terakhir pun muncul.
“Pada kubus ABCD.EFGH, titik P terletak pada FG dengan FP : PG = 1 : 2 dan titik Q terletak pada FB dengan FQ : QB = 1 : 2. Perpanjangan HP dan AQ berpotongan di perpanjangan EF pada titik R. Jika panjang rusuk kubus adalah 6, maka volume EAH.FPQ adalah ...”
Sudah pusing?
Berbeda dengan kita yang sariawan otak, perut mules, badan meriang atau terkena serangan jantung dadakan usai membaca soal matematika, Yukina dan Yaoyorozu malah bersemangat ingin bisa menyelesaikannya. Bayangkan, betapa majunya negara ini jika semua muridnya seperti mereka.
Bola mata Yukina bergerak linear dari kiri ke kanan, membaca deretan kalimat soal yang membingungkan. Bibirnya terangkat miring, tersenyum sinis. “Soal ini memaksa muridnya menemukan cara cepat dalam waktu singkat, ya?”
“Begitu, ya ...” Yaoyorozu mencabut pedang dari sarungnya. “Volume EAH.FPQ didapat dari hasil pengurangan volume R.EAH dan volume R.FPQ. Dengan kata lain, aku harus mencarinya satu per satu dalam waktu yang tersisa.”
Time remaining:
5 minutes
Yaoyorozu-lah yang pertama kali beraksi. Dengan menggunakan perbandingan yang diketahui, dia mencari setiap elemen dalam mencari volume R.EAH serta R.FPQ. dia menyerang sisi tersebut dan mengeklaim volume wilayahnya. Di tengah-tengah waktu yang semakin berkurang, dia melirik Yukina yang duduk bersila sedang berdiam diri.
“... Yukina-san?”
Yukina mendongak. Detikan waktu terus bergerak mundur terabaikan olehnya. Dia malah berfokus pada kubus yang mengurung dirinya. Dalam pandangan Yukina sekarang, kubus tersebut berganti wujud kamar lamanya, tempat AFO mengajarinya dulu.
‘Kubus ini mengibaratkan bahwa ... Selama ini, aku terkurung dalam dunia kecilku sendiri. Limas di luar sana adalah diriku yang memimpikan kebebasan.’
Yukina merebahkan diri di titik pusat alas kubus. Meski waktunya hampir habis, dia masih bisa tenang di detik-detik terakhir. Dia memperhatikan sisi EAH dan FPQ yang berseberangan.
‘Sisi EAH.FPQ adalah bagian dalam diriku, EAH untuk masa laluku sedangkan RQP adalah masa depanku. Masalahnya adalah seperti yang ditanyakan di soal, apa yang harus kulakukan terhadap keduanya?’
Yukina memejamkan mata, membayangkan kubus jika dilihat dari luar. Baru saja membayangkannya, Yukina tersentak hingga bangun dari rebahannya. Dia menyadari sesuatu dengan ekspresi setengah terkejut. “Tunggu, ternyata soal ini tidak sesulit bayanganku.”
Yukina bangkit dan berdiri tegap. “Masa lalu dan masa depan. R.EAH dan R.FPQ. Aku tidak perlu memikirkan keduanya. Aku hanya perlu memikirkan apa yang kulakukan sekarang juga.”
Yukina menurunkan tudung hitamnya, menampakkan wajahnya yang menengadah. “Bangun R.EAH dan R.FQP adalah sebangun, dengan panjang rusuk 1:3. Perbandingan volume adalah pangkat tiga dari perbandingan panjang. Maka, perbandingan volume R.EAH dan R.FQP adalah 1:27.”
Yukina mengulurkan tangan ke depan, bergerak menulis deretan angka dengan sihir di ujung telunjuknya. “Dengan begitu, volume EAH.FPQ pasti 26 kali volume bangun R.FPQ, yaitu—”
26.[1/3(1/2.2.2).3]
=52
“Kukira bakal sulit, tapi—“ Yukina terkikik geli dan tersenyum kecil, “Setelah tahu caranya, ternyata ini seperti soal anak SD saja.”
Dinding kubus perlahan runtuh usai Yukina menuliskan jawaban. Yaoyorozu yang masih berjuang mencari volume R.FQP pun berhenti dan menoleh. Pintu besar di ujung dungeon terbuka. Cahaya terang masuk ke kastil, membuat Yukina menghalangi matanya dengan tangan. Begitu dia membuka mata kembali, muncul tulisan besar yang menyambutnya.
EXAM COMPLETED!
Yukina terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas lega. Dia melangkahkan kakinya keluar dungeon yang diterangi cahaya terang. Awalnya hanya berjalan biasa, namun kemudian dia berlari. Cepat dan semakin cepat. Jubah hitamnya dia lepas dan ditinggalkan begitu saja. Pada akhirnya, Yukina menghilang ditelan cahaya putih yang menyilaukan.
“Waktunya habis! Semuanya, berhenti menulis!” Aizawa mengumumkan seraya mengangkat tangan. “Orang terakhir di setiap baris, kumpulkan jawaban dan bawa ke depan.”
Semua murid mendesah kecewa. Helaan napas panjang terdengar keras karena dihembuskan banyak orang. Ujian matematika kali ini sangat sulit, bahkan ada yang tak sanggup menyelesaikan soal terakhir karena kehabisan waktu. Pasti Ectoplasm-sensei sengaja menaikkan tingkat kesulitan ujian di tengah peningkatan kriminalitas saat ini.
Yukina yang duduk di barisan belakang segera bangkit dan mengumpulkan jawaban teman-temannya. Mulai dari Yaoyorozu yang berwajah kecewa, Mineta yang bernafsu-ingin-anu-tetapi-ditatap-tajam-oleh-Yukina-jadi-dia-mundur-teratur, Midoriya yang gugup tetapi malah terlihat makin imut, Bakugo yang bikin Yukina malas melihatnya, dan terakhir Hagakure yang tetap ceria meski ujiannya ambyar.
“Baiklah, ujian tulis sudah selesai tapi masih ada ujian praktik besok. Segeralah pulang dan persiapkan diri kalian.”
“Baik!”
Bel tanda pulang telah berbunyi. Yukina menyelempangkan tas di pundaknya seraya menatap layar ponsel dengan serius. Keributan kelas pasca ujian tulis matematika yang sulitnya Plus Ultra tak membuatnya terganggu. Yukina tetap menggulir galerinya yang menampakkan foto ayam ganteng. Siapa lagi sih kalau bukan Hawks?
Semenjak bertemu dengan Pahlawan No.3, Yukina begitu terobsesi mengumpulkan informasi tentangnya. Tindakan tersebut bukan tanpa alasan, dia sudah bertekad untuk mengalahkan Hawks sejak pertama kali bertemu. Yukina adalah seorang thrill-seeker, penggila pertarungan. Terima kasih untuk All For One yang menanamkan sifat itu sedari kecil. Akibatnya seperti yang terlihat sekarang, Yukina sangat bernafsu untuk menghajar orang lain sekalipun itu lebih kuat darinya.
‘Mou sukoshi ...’ Yukina menghentikan guliran ibu jarinya. Matanya masih setia melihat foto Hawks. ‘Tinggal sedikit lagi dan aku bisa menantangnya kembali.’
Bahkan Kaminari yang terus bercerita betapa bahagianya dia karena dapat mengerjakan 95% soal yang mustahil terselesaikan sebelumnya pun hanya didiamkan oleh Yukina.
“-Pokoknya, aku benar-benar berterima kasih padamu, Yukina! Berkatmu, aku jadi bisa mengerjakan tes tadi. Arigatou naa!“ kata Kaminari mengakhiri ocehannya. Dia melambaikan tangan pada Yukina yang setia dengan ponselnya. “Halo?~ Apa kau dengar—“
“Apa kau sudah selesai berterima kasih?”
“Um ... ya—”
“Doumo.”
Setelah menjawab demikian, Yukina bergegas keluar kelas, meninggalkan Kaminari yang berwajah konslet putih suram. Sero menepuk-nepuk pundaknya, menghibur dengan kata-kata “Sabar, bro. Paling tidak, doi sudah tahu kalau kau itu hidup. Maa, meski kau tidak dianggap dalam hidupnya, sih.”
“Kau niat menghiburku atau menjatuhkanku, sih?!”
Todoroki mengabaikan keluh kesah teman-temannya usai ujian dan langsung pulang begitu Yukina keluar kelas. Matanya menangkap sosok Yukina berjalan beberapa meter di depan. Ada yang aneh dari gadis itu. Biasanya dia langsung menuruni tangga untuk pulang, namun kali ini dia malah naik ke atap U.A.. Karena penasaran, Todoroki pun diam-diam mengikutinya.
Todoroki memutar knop pintu dan mendorongnya hingga terbuka. Hatinya berharap menemukan sosok Yukina di atap. Sayang, mata dwiwarnanya disambut angin yang bertiup kencang dari depan. Todoroki menyipitkan mata, pandangannya fokus pada lantai atas atap yang luas. Begitu luang tanpa kehadiran seorang pun manusia selain dirinya.
Todoroki menoleh ke kanan-kiri, mencari figur gadis berambut hitam putih yang sejak awal menjadi tujuannya kemari. Tidak ditemukan. Todoroki berjalan mendekati tepi atap, melongok ke bawah. Dia memastikan kebenaran prasangkanya yang menduga Yukina terjun dari lantai teratas.
Todoroki salah.
Yukina tidak ada di bawah.
#37
Fear comes from ignorance.
Knowledge is a weapon against it.
.
.
.
.
.
.
.
Halo! Author Vanilla di sini!~
Pertama, maafkan Vanilla yang tidak update cerita ini selama dua bulan. Vanilla baru saja memasuki dunia perkuliahan yang mana kesibukan datang tiada henti, mulai dari PKKMB, osjur, kegiatan UKM, dan tentu saja TUGAS! Pada akhirnya, Vanilla tidak punya waktu bahkan untuk sekadar melakukan hobi. Aaaaaaaasdfghjkl!!! *inhuman screaming*
Kedua, mohon maaf sebesar-besarnya karena chapter kali ini tidak ada art yang mendukung cerita. Padahal Vanilla sudah mendesain kostum Yukina versi Fantasy AU, namun sayang tidak kunjung selesai karena ada banyak tugas lain yang harus dikerjakan. Mungkin artnya bakal Vanilla post di IG saja nantinya. Sekali lagi, maafkan author yang penuh kekurangan ini *bungkuk 90°*
Sedikit curhatan dari author:
Alasan molornya update tidak hanya karena kesibukan Vanilla di dunia nyata, tetapi juga karena banyaknya laporan adanya cerita yang mirip atau bahkan sama dengan Dark Light. Mulai dari OC, latar belakang karakter, dan ada beberapa scene yang mirip.
Well, I would say it’s not a plagiarism.
Mungkin saja ada beberapa orang yang terinspirasi dari Dark Light kemudian membuat cerita mereka sendiri. Karena otak manusia secara refleks dapat terinspirasi dari sesuatu yang mereka lihat atau dengar, dan memang itu selalu terjadi.
Sounds good, right?
But it’s easy to tell the difference between a coincidence, inspiration, and plagiarism.
Tentu ada beberapa scene di cerita ini yang referensinya dari anime lain. Misalnya pada chapter 34:
***
“Teriak-teriak tidak akan menyelesaikan masalah. Aku punya rencana,” Yukina membuang kawatnya sembarang arah,“... Janken. Ini pasti bisa menyelesaikan masalah kita.”
Bakugo mengernyit heran, “Apa hubungannya dengan janken?”
Yukina menoleh. Setengah wajahnya diliputi bayangan hitam, menunjukkan keseriusan yang tidak main-main. Dengan nada datar, Yukina berkata, “Yang kalah ... tangannya harus dipotong.”
DOENG! Bakugo seperti dijatuhi batu besar dari langit saking syoknya. “BAGAIMANA KAU BISA MEMIKIRKAN RENCANA SEKEJI ITU!?” teriaknya dengan volume maksimal.
***
Chapter 34 ini terinspirasi dari One Piece episode 289. Itu adalah sedikit easter egg yang Vanilla selipkan di cerita ini.
Kemudian pada chapter 37 ini -scene ujian tulisnya diibaratkan melawan monster- terinspirasi dari Ansatsu Kyoushitsu episode 11-12 season 2. Puncaknya adalah Yukina vs Yaoyorozu yang mana terinspirasi dari Karma vs Asano.
Beberapa dari kalian ada yang menyadarinya? Good job! That makes me happy cause we watch the same series.
Well, back to first topic.
Terlepas dari referensi, inspirasi, atau kebetulan yang sengaja atau tidak, jujur saja itu membuat Vanilla sedih karena ide cerita yang selama ini Vanilla bangun terasa begitu mainstream dan tidak fresh lagi, terbukti ada beberapa orang dengan karya yang ‘mirip’. Pada akhirnya, itu membuat Vanilla malas update dan ingin unpublish saja cerita ini.
But anyways, Vanilla berterima kasih pada pembaca Dark Light yang telah mendukung cerita ini sampai sekarang. Tetaplah menjadi pembaca yang bijak. Periksa tanggal publish dan cari informasi sebanyak-banyaknya sebelum menilai originalitas sebuah cerita.
Karena ada beberapa DM yang menuduh Vanilla sebagai plagiator. OMG, please. They really need to make up their damn mind cause I'm so done with that.
See you next chapter!
—Vanillavoid
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro