Chapter 36: Study Date
Pukul sembilan pagi di kelas 1-A, pelajaran matematika yang diampu oleh Ectoplasm-sensei begitu sepi. Hanya ada suara kapur yang menggores papan tulis. Bagaimana tidak? Subjek matematika saja sudah menakutkan bagi para siswa, ditambah lagi penampilan guru mereka seperti itu. Kengeriannya double kill.
"Ini adalah salah satu tipe soal yang akan muncul di ujian," Ectoplasm yang selesai menulis pun berbalik, memperlihatkan soal yang membuat iritasi mata.
『 Jika cos (x+10) = a dengan 0° < x < 30°, maka nilai cos (2x+65°) adalah .... 』
"Bagi yang tahu jawabannya, silakan angkat tangan."
'Kalau tidak tahu jawabannya, berarti boleh angkat kaki, dong?' pikir Kaminari yang otaknya sudah konslet duluan sebelum mengerjakan soal.
Semua siswa berusaha mencari jawaban dari soal di papan tulis. Semuanya, kecuali satu makhluk bernama Yukina. Di saat yang lain memperhatikan pelajaran memusingkan kepala itu, dia asyik menggambar. Namun jangan salah, gambarannya bukan dua gunung dengan matahari di tengah dan jalan raya dari pojok. Bukan, bukan gambar legend itu.
Yukina sedang meneliti pahlawan yang dia temui kemarin. Bukunya dipenuhi sketsa pria bersayap yang dilengkapi deskripsi juga panah penunjuk. Dengan lincah, tangan kirinya menggoreskan pensil untuk melukis setiap detil sosok Hawks. Dan begitulah, saat Ectoplasm sedang mengajar, Yukina malah sibuk menganalisis titisan ayam kaepsi.
'Jadi, hanya sejauh ini yang dapat kuanalisis, ya?' Yukina melihat hasil pekerjaannya sendiri. Berkat pengalamannya sebagai villain yang suka pilih-pilih mangsa, dia dapat menarik informasi target meski baru sekali bertemu. Terkadang, Yukina bersyukur otak pembunuhnya berguna di saat-saat seperti ini.
'Padahal aku sudah menggambarnya sekeren mungkin, tapi-' Yukina menatap suram potret Hawks. 'Astaga, dia terlihat seperti sesuatu yang lezat.'
Setiap kali melihat Pahlawan No.3, selalu terlintas ayam goreng dalam benak Yukina. Tak peduli Hawks mau seikemen apa, pokoknya Yukina melihatnya sebagai makanan, yakni ayam goreng yang nikmat. Iya, nikmat.
"Aizawa Yukina?" panggil Ectoplasm, membuat Yukina mendongakkan wajah. "Tampaknya sedari tadi kau tidak fokus pada pelajaran. Jangan bilang kau melakukan hal lain selama aku mengajar?"
Semua sensei yang mengajar 1-A sudah hafal dengan kebiasaan Yukina di kelas. Kalau tidak tidur, ya coret-coret tidak jelas.
Midnight-lah yang pertama kali menciduk Yukina menggambar figur dirinya sendiri versi laki-laki ketika jam Sejarah Seni Modern. Dan bukannya memarahi, Midnight malah menyuruh Yukina menggambar yang versi tanpa baju dan beryaoi ria bersama Todoroki. Astagfirullah.
Yukina membalik buku analisisnya, menutupi gambar Hawks. Dengan nada datar, dia mengelak, "Aku tidak mengerti hal lain yang kau maksud, Cementoss-sensei."
"Namaku Ectoplasm," koreksi Ectoplasm sweatdrop. Kini dia paham kenapa Present Mic selalu membawa sebotol air garam sebelum masuk kelas 1-A.
Ectoplasm menunjuk soal di papan tulis, "Jika memang kau memperhatikan pelajaran, cobalah jawab soal ini."
Yukina berkedip, menatap soal dengan mata kosongnya yang selalu bosan. Siswa lain ikut melempar pandangan. Mereka ragu Yukina dapat menjawabnya karena tidak memperhatikan penjelasan Ectoplasm. Yah, mereka yang memperhatikan sejak tadi saja kesulitan, apalagi yang tidak-?
"½√2((2a²-1)-2a√(1-a²))," jawab Yukina spontan.
Ectoplasm mengangguk, "Tepat sekali."
'USO DAROU?!! Dan juga, itu jawaban atau mantra pemanggil setan?! Panjang amat!'
Satu kelas melongo takjub, terutama Kaminari dan Ashido yang merupakan peringkat dua terbawah. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa menjawab soal secepat itu padahal tidak memperhatikan pelajaran? Makanya belajar, dung.
Waktunya istirahat makan siang. Sebelum keluar kelas, Ectoplasm menyampaikan pesan dari Present Mic kepada Yukina. Katanya, Yukina mendapat tugas tambahan sebagai hukuman karena mbedal kelas kemarin. Yukina yang tidak terkejut hanya mengangguk. Dengan malas dia bangkit dari kursinya dan berjalan keluar kelas.
Kaminari yang sedang mengobrol bersama Sero, Jiro, dan Yaoyorozu refleks menoleh usai Yukina lewat di belakangnya. Saat Kaminari bermaksud ingin menyapa, niatnya langsung sirna begitu melihat Yukina berwajah gelap yang mengintimidasi.
'U-Uwah... Menakutkan sekali. Sebenarnya ada apa dengannya?' Kaminari menelan ludah. Dia tersentak, menyentuh dagunya sendiri dan berpikir, 'Sou ya, meski sudah tiga bulan sekelas, aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Yukina. Selain misterius, dia juga tidak banyak bicara tentang dirinya atau hal lain.'
Kaminari adalah seorang social butterfly. Dia mudah bergaul dengan orang-orang di sekitarnya dan berteman tanpa kesulitan. Kemampuan membaur dan bersosialisasinya adalah nomor satu di kelas -bersama Kirishima juga. Namun, bakat alaminya itu tidak berlaku pada Yukina. Setiap kali Kaminari berusaha PDKT, dia selalu berakhir diabaikan sepenuhnya.
Kaminari dan Yukina sangat bertolak belakang secara sifat. The social butterfly and the awkward.
Kaminari juga menyadari bahwa bukan salah Yukina juga. Gadis itu dikenal penyendiri dan menutup diri. Semua orang di kelas sudah paham sifat dinginnya dan mereka -kecuali Bakugo- tetap bersikap baik padanya. Sekalipun menyandang status teman, mereka tidak bisa memungkiri fakta bahwa Yukina terasa seperti orang asing.
Itu membuat Kaminari yang friendly tidak nyaman. Berawal dari ketertarikannya sejak pandangan pertama, kini dia ingin mengenal Yukina lebih jauh. Tidak hanya karena kecantikannya saja, Kaminari ingin tahu motif Yukina sebagai pahlawan atau apa pun itu yang membuat mereka lebih dekat. "Tak kenal maka tak sayang" adalah prinsip yang dia dijunjung tinggi.
"Kaminari," Jiro memanggil tiba-tiba, menyadarkan Kaminari dari pemikirannya. "Yaomomo mengadakan belajar bareng di rumahnya akhir pekan ini. Mau ikut?" ajaknya. "Kau peringkat terakhir saat UTS, 'kan?"
"Belajar bareng?" ulang Kaminari. Dia menjentikkan jari, "Benar juga! Belajar bareng!"
"Ha?" Jiro melongo tak paham. "Kau jadi ikut tidak?"
"Oh, warui! Aku sudah punya guru privat. Jaa!" Kaminari melambaikan tangan pada Jiro kemudian berlari keluar kelas. Jiro hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan temannya.
Bel pulang telah berbunyi lima belas menit yang lalu, tetapi Kaminari masih berdiri menyandar pada dinding dekat loker penyimpanan sepatu. Begitu terdengar langkah kaki yang mendekat, kepalanya pun menoleh. Wajahnya berseri-seri semangat ketika mendapati orang yang dia tunggu akhirnya muncul juga.
"Yo, Yukina!" Kaminari menyapa dengan (sok) akrab. Dia mengangkat tangan seraya berjalan mendekati Yukina yang membuka lokernya.
Yukina menoleh, "Kamikaze Dankou?"
"Kaminari Denki da yo!" koreksi Kaminari yang menangis bombay. Tidak tersisa satu kata pun dari namanya yang benar saat dipanggil Yukina. Mana nyaris menyeret merk susu pula.
"Ada apa?" tanya Yukina to-the-point. Dia memakai sepatu sekolahnya yang diambil dari dalam loker. "Jika kau ingin mengajak kencan atau semacamnya, aku tidak mau."
'AKU SUDAH DITOLAK SEBELUM NEMBAK!' Kaminari menganga syok. Dia menggeleng cepat-cepat. Tangannya disatukan ke atas sembari menunduk, membuat gestur memohon. "Yukina! Maukah kau mengajariku belajar?"
"Iia da."
"Kumohon, Yukina! Aku sangat bodoh dan banyak yang tidak kumengerti. Kalau begini terus, aku takkan bisa ikut ke pusat pelatihan!"
"Aku tidak punya waktu untuk mengajarimu," tutur Yukina. "Aku harus membagi waktu antara belajar dan latihan. Ditambah lagi mengerjakan tugas tambahan Noise-sensei yang menggunung."
"Kalau begitu, kita bisa mengerjakannya bersama-sama, 'kan? Dengan mengajariku, kau juga mengingat kembali materi pelajaran. Dakara-" Kaminari membungkukkan badannya 90°, "-benkyou oshiete kudasai, Yukina!"
'Mendokusai,' Yukina menghela napas panjang. Matanya melirik Kaminari sekilas kemudian kembali menatap loker yang dia tutup. "Ano sa ... Apa aku terlihat seperti orang baik di matamu?"
"He?" Kaminari berkedip bingung.
"Apatis, sarkastis, dan individualis," Yukina berbalik menghadap Kaminari seraya menunjuk wajah datarnya sendiri. "Menurutmu, apa sosiopat sepertiku terlihat seperti guru yang baik?"
"Tentu saja!" Kaminari menyahut cepat. "Karena itulah aku memintamu untuk mengajariku belajar!"
'Sepertinya aku mulai paham kenapa dia mendapat peringkat terakhir,' batin Yukina sweatdrop. "Bukankah Ekor Kuda itu sudah koar-koar mau mengajari belajar untuk UAS? Kenapa tidak bersamanya saja?"
"Sudah banyak yang ingin belajar dengan Yaomomo. Aku nanti tidak bisa fokus. Makanya, aku ingin belajar berdua saja denganmu," Kaminari mencari alasan. Dia menggaruk pipinya yang memerah dengan gugup. 'Demi susu yogurt Kageyama! Ketidakpekaannya Yukina keterlaluan!'
"Begitu, ya. Aku mengerti tujuanmu," ucap Yukina serius. Kepalanya mengangguk-angguk paham.
'Akhirnya, Yukina peka jug-'
"Kau menjadikanku pelarian?" tanya Yukina blak-blakan.
"Tidak! Bukan begitu!" sangkal Kaminari cepat. 'Duh, aku 'kan mau lebih dekat denganmu, Yukina! Peka dikit, kek!'
"Asal kau tahu saja ... Jika belajar dengan Ekor Kuda, kau pasti akan dijamu baik-baik. Sedangkan jika belajar bersamaku, kau akan mendapat tamparan keras setiap kali salah menjawab. Kau yakin tidak salah minta tolong orang?"
"Machigainaku, hatiku sudah memutuskannya!" seru Kaminari yakin, membulatkan tekad.
Yukina menutup mata kemudian menghela napas. Telunjuknya yang sedikit tertekuk menyentuh dagu, otaknya memikirkan keuntungan apa yang didapat jika mengajari Kaminari.
'Tampaknya dia ini tipe orang yang kakinya gatal ingin jalan-jalan terus. Pergi bersamanya adalah kesempatanku menjelajahi dunia luar,' pikir Yukina. 'Dia juga pandai bersosialisasi. Berguna sekali sebagai pelindung dari keramaian atau tumbal jika menjadi pusat perhatian.'
"Jadi, bagaimana, Yukina? Kau mau, 'kan?" tanya Kaminari berharap.
"Baiklah," kata Yukina pada akhirnya. "Besok di stasiun X. Pukul sembilan."
"E-E-Eh?!" Kaminari tersentak. Dia tidak percaya atas apa yang telinganya dengar. Wajahnya langsung sumringah. "Kau mau mengajariku?! Hontou ni?!"
"Jangan membuatku menunggu, Kaminari Denki," ucap Yukina dingin.
Pesan tersebut sontak membuat Kaminari merinding di sekujur tubuhnya. Setelah itu, Yukina berjalan pulang, meninggalkan Kaminari yang terdiam tidak bisa berkata-kata. Beberapa detik kemudian, Kaminari baru sadar kalau-
"AAAAAA!! UNTUK PERTAMA KALINYA YUKINA MEMANGGIL NAMAKU! KENAPA AKU TADI TIDAK MEREKAMNYA?!" teriak Kaminari histeris, menyesal namun juga senang. Dia mengepalkan tangan kuat-kuat, setitik air mata kebahagian di pelupuk matanya terlihat menyilaukan.
"Yoshaaa! Aku akan berjuang!" tegas Kaminari yang membara. "Dengan study-date ini, aku pasti bisa lulus ujian sekaligus lebih dekat dengan Yukina!"
Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Selagi bisa, kenapa tidak? Kecerdasan meningkat, hubungan dengan doi makin dekat. Nurufufufu~
Hari yang dinantikan Kaminari pun tiba. Dia sengaja berangkat lima belas menit lebih awal dari waktu yang ditetapkan Yukina. Selain karena tidak ingin membuat sang pujaan hati menunggu, dia tidak sabar ingin segera memulai study-datenya.
Kaminari berusaha terlihat keren hari ini. Dia memakai kemeja keungu-unguan berkerah tegak yang tidak dikancingkan, memperlihatkan kaos biru dongker polosnya. Untuk bawahan, dia mengenakan celana jeans yang dilipat setinggi atas mata kaki dan sepatu sneaker biru. Semua barang-barang untuk belajar disimpan dalam tas pinggang kuning yang trendi.
"Yosh! Pasti Yukina akan terpesona kepadaku," Kaminari bermonolog sembari mengambil ponselnya, bermaksud mengabari Yukina kalau dia sudah sampai di stasiun. Baru saja membuka kunci layar, telinganya mendengar desas-desus yang kian mengeras. Kaminari pun menoleh. Betapa terkejutnya dia melihat Yukina yang merupakan pusat perhatian sedang berjalan mendekatinya.
Yukina mengenakan turtleneck sweater berlengan panjang. Rok mini berlapis yang memiliki banyak lipatan di dalamnya dikebat pita pink sebagai ikat pinggang. Untuk menutupi kulit kakinya agar tidak terlalu terekspos, dia memakai stoking gelap dan sepatu boots tinggi. Kalung bersimbol salju yang melingkar sebagai aksesoris semakin mempercantik penampilannya.
Yukina juga mengubah gaya rambutnya menjadi dutch braid yang kasual. Jika saat sekolah dia hanya mengepang sisi kiri, sekarang kedua sisi saling disilangkan sehingga terlihat warna rambutnya bertolak belakang. Dua pita merah yang selalu dia kenakan kini mengikat kepangannya agar tidak terurai.
'Ya Tuhan! Dia cantik sekali! Seseorang tolong katakan padaku kalau ini bukan genjutsu!' Kaminari menampar pipinya sendiri keras-keras. Rasa sakit membuktikan bahwa matanya tidak berbohong. Rona merah di wajahnya semakin meluas ketika Yukina berdiri di depannya.
"W-Wow... Y-Yukina, kau terlihat sangat cantik," puji Kaminari malu-malu.
Seketika Kaminari menyesali ucapannya dulu yang bilang bahwa Yukina tidak ada kawaii-kawaiinya saat pertama kali bertemu (Chapter 5). Mineta benar, Yukina punya cool-beauty yang membuat Kaminari makin kepincut.
"Tentu saja aku cantik. Aku 'kan perempuan," balas Yukina dengan polosnya.
"M-Maksudku bukan sekadar cantik sebagai perempuan! Etto, cantikmu lebih dari itu," Kaminari kesusahan menjelaskan pujiannya. "Wajahmu rupawan, tubuhmu indah, dan baju yang kau kenakan sekarang sangat cocok. Kurasa kata 'cantik' terlalu jelek untuk mendeskripsikan dirimu."
Yukina memiringkan kepalanya, "Apa itu pujian?"
"Tentu saja!" Kaminari menangis dalam hati karena Yukina tidak peka dengan kode sejelas itu.
"Kalau begitu, arigatou," balas Yukina datar.
Bagi kalian yang bingung kenapa Yukina si nolep yang selalu memakai baju kebangsaannya -jaket hitam, celana training, dan sendal swalo- sekarang berpenampilan ala model majalah fashion, biar Author jelaskan.
Ingat saat Yukina 'kencan' dengan Todoroki? Midnight berperan besar dalam mendandaninya, termasuk juga pemilihan baju. Entah karena prihatin dengan Yukina yang tidak punya baju perempuan atau ingin Yukina menjadi honey trap penerusnya, Midnight pun memberikan baju-bajunya saat usia muda. Meski sebagian besar adalah baju haram, mengingat sifat Midnight yang you-know-lah, Yukina tetap menerimanya. Kenapa? Karena ada beberapa baju yang desainnya kawaii dan imut, seperti yang dia kenakan sekarang.
"Tak kusangka kau sangat cantik jika berpenampilan feminim, Yukina," puji Kaminari -lagi. Dia menyentuh dagunya dan berpikir, 'Kalau Bakugo melihat ini, sainganku bakal nambah tidak, ya?'
"Terserah apa katamu. Lebih baik kita langsung berangkat saja," ajak Yukina datar.
"Memangnya kita akan belajar di mana?"
"Perpustakaan Metropolitan Tokyo."
"T-Tokyo?!" Kaminari tersentak. "Kenapa sampai jauh-jauh ke sana?"
"Salah satu perpustakaan terbesar di Jepang, sejak dulu aku ingin ke sana. Selain gratis dan terbuka untuk umum, ada lebih dari 2 juta buku yang tersimpan di sana. Banyak referensi dan sumber pengetahuan yang tidak bisa dilewatkan begitu saja," jawab Yukina. "Bukankah itu tempat yang cocok untuk belajar?"
Kaminari terdiam. Kalau doi sudah menjelaskan panjang lebar begitu, dia hanya bisa menurut. Yah ... Baginya, belajar di mana pun tak masalah asal bersama Yukina.
Kaminari tersenyum simpul, "Baiklah. Aku nurut saja, deh!"
"Jaa, sassoku," Yukina menunjuk kereta yang berhenti dengan pintu terbuka. Setelah kerumunan orang keluar dari sana, dia bersama Kaminari berjalan masuk.
Kereta yang awalnya kosong kini langsung penuh dalam sekejap. Banyaknya orang berjejal membuat Yukina dan Kaminari terdesak hingga ke pinggir dekat pintu. Yukina terkejut, mulutnya sedikit menganga tak percaya. Sebagai orang yang baru naik kereta api dua kali (saat magang adalah yang pertama), tentu pemandangan tersebut mengejutkannya.
"Ada apa, Yukina?" tanya Kaminari.
"Aku tidak menyangka akan seramai ini," Yukina melirik sekitar sambil menutupi mulutnya dengan tangan. Wajahnya membiru pucat, keringat dingin menetes di pipinya. "Ini membuatku mual."
"E-Eh?! Yukina, kau ... mabuk darat, ya?" Kaminari tidak percaya meski Yukina telah mengangguk. Dia tak menyangka orang sekuat Yukina, yang bisa menghajar siapa pun dengan mudah, ternyata mabuk darat. Yah, itulah akibatnya jika seseorang kebanyakan nge-nolep.
[Kelemahan Yukina No. 21: Mabuk darat.]
'Karena itulah, aku selalu berusaha tidur ketika naik kendaraan umum, seperti saat pergi ke USJ dulu,' batin Yukina. Dia takkan pernah lupa momen tertidur di pundak Todoroki yang hangatnya mengalahkan termos. Sudah hangat, nyaman pula. Siapa sih yang tidak betah tidur di sana? Uwu.
Yukina membuka tasnya, mencari obat antimabuk dan aroma terapi untuk meredakan mual. Dia terlalu sibuk mencari barang hingga tidak sadar seorang pria di belakangnya terus memandang sejak tadi. Tanda-tanda chikan (pelecehan seksual atau tindakan cabul di angkutan umum) mulai terdeteksi.
Kaminari yang mengetahui gerak-gerik aneh pria tersebut pun bertindak sigap. Dia mendapati sebuah tangan bergerak mendekati tubuh Yukina, hendak merabanya dengan penuh nafsu. Kaminari langsung mencengkeram tangan tersebut kuat-kuat, menahannya agar tidak menyentuh Yukina. Dia juga menyetrum si chikan dengan voltase rendah, menggertaknya tanpa ucapan supaya tidak macam-macam lagi.
Kaminari menatap tajam si chikan. Jarinya menunjuk Yukina kemudian dirinya sendiri. Sebuah gestur yang menandakan bahwa "dia gadisku". Melihat hal tersebut, chikan mendecih dan membuang muka. Pastinya dia kesal karena tindakannya digagalkan, berkebalikan dengan Kaminari yang senang karena berhasil melindungi Yukina.
Meskipun Kaminari itu mesumnya satu tingkat di bawah Mineta, dia tidak ingin orang yang disukainya dilecehkan begitu saja.
"Na, Yukina?" Kaminari berbisik seraya menepuk pundak Yukina lembut.
"Hm?"
Kaminari menarik tubuh Yukina agar berganti posisi dengannya. Sekarang Yukina berdiri di dekat pintu sedangkan Kaminari di depannya untuk melindunginya dari chikan-chikan yang tidak beradab. Namun sayang, Yukina tidak menangkap maksud tindakan Kaminari.
"Kenapa bertukar tempat denganku?"
Kaminari tersenyum lebar, "Pemandangannya bagus, lo! Siapa tahu mualmu bisa berkurang jika melihatnya."
Mana mungkin Kaminari mengungkapkan alasan sebenarnya pada Yukina yang polos itu?
"Sou?" Yukina melirik pintu berkaca bening di belakangnya. Terhampar pemandangan gedung bertingkat yang mewah.
Tiba-tiba Kaminari terdesak kerumunan penumpang. Dia sontak meletakkan tangannya pada pintu untuk menahan tubuhnya yang terdorong menuju Yukina. Jarak keduanya semakin terpangkas. Hembusan napas Kaminari terasa menerpa wajah Yukina yang tetap datar-datar saja.
'C-Chikai! Kami terlalu dekat!' Kaminari berusaha menenangkan diri di tengah debaran dalam hatinya. Namun, dia malah semakin salah tingkah karena Yukina menatapnya dengan polos.
"G-Gomen, Yukina. Aku tahu posisi ini sangat canggung, tapi-" Kaminari mengalihkan pandangan. Tangannya masih menempel di pintu, memenjarakan Yukina yang terpojok. "-aku tidak bisa bergerak karena keramaian ini."
Tidak ada respon dari Yukina. Kaminari pun melirik. Yukina ikut memalingkan muka, seperti menyembunyikan sesuatu. Punggung tangannya menutupi bibir juga setengah wajahnya.
'Masaka ... Yukina tersipu malu karena kabedon ini?' Kaminari tersentak. Wajahnya memerah sempurna. Sebagai seorang playboy berlisensi PLN, dia sangat peka kalau menyangkut wanita.
Kaminari tersenyum gugup, "Apa kau merasa doki-doki, Yukina?"
"Tidak, aku merasa mual," jawab Yukina datar.
JDERR! Kaminari bagaikan disambar geledek saking terkejutnya. Bayangan Yukina yang blushing dan moe langsung runtuh. Rupanya Yukina memalingkan muka supaya tidak memuntahi Kaminari.
'KUKIRA DIA MALU-MALU, TERNYATA MENAHAN MUNTAH, YA!?'
Ekspetasi tidak seindah realita.
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya Kaminari dan Yukina sampai di tempat tujuan. Perpustakaan Metropolitan Tokyo, sebuah perpustakaan umum yang terletak di bagian Minami-Azabu di Minato, prefektur Tokyo. Berlokasi di taman memorial Arisugawanomiya, perpustakaan tersebut menghadirkan pemandangan yang menyegarkan mata.
Kaminari dan Yukina bergegas masuk dan mencari tempat untuk belajar. Mereka duduk di kursi dekat jendela. Tak jauh dari mereka, banyak rak buku yang berjejer rapi, membuat mata Yukina berbintang-bintang semangat ingin membaca. Sementara Kaminari malah menutup mulutnya, mual karena berada di markas orang-orang intelek. Sepertinya dia alergi ilmu dan pengetahuan.
"Jaa, perlihatkan hasil UTSmu," perintah Yukina. "Aku harus tahu mapel yang kaukuasai dan yang tidak. Dengan begitu, aku bisa menentukan teknik pengajaran yang sesuai dengan kebodohanmu."
"Kebodohan, ya...." Kaminari menyerahkan hasil ujiannya dengan ekspresi patung Buddha. Yukina mengabaikan wajah memelas Kaminari dan fokus memeriksa hasil UTSnya. Baru lima detik melihat, Yukina perlahan meletakkan lembar ujian dan menutup mata.
"D-Doushita no, Yukina?"
"Aku punya dua pilihan untukmu," Yukina mengacungkan dua jarinya, "Menyerah sekarang atau menyerah setelah belajar mati-matian, mana yang kau pilih?"
"Setidaknya berikan pilihan yang berharapan dikit, dong!" Kaminari menangis dengan air mata rumus yang mengalir deras.
"Kau bahkan tidak bisa menjawab soal setingkat catatan. Kebodohanmu tidak tertolong lagi."
Jleb! Hati Kaminari tertusuk panah vektor.
"Bukankah matematika hanya rumus dan angka? Anak SD juga bisa."
Jleb! Jleb! Dua critical hit untuk Kaminari.
"Mapel lainnya juga, semua materi ada di buku. Kau tidak bisa membaca, ya?"
Jleb! Jleb! Jleb! Kaminari terjungkal dari kursi dengan hati yang banjir darah. Sudah tahu mulut Yukina berbisa, masih saja nekat minta diajari olehnya. Tidak apa-apa! Meski bego, Kaminari strong, kok. Stres tak tertolong.
"Tapi, aku bersyukur kau bodoh."
Kaminari menoleh dengan wajah memprihatikan. Tampak Yukina sedang mengeluarkan buku dan alat tulisnya. Kaminari kembali duduk, ekspresinya dipenuhi kebingungan. "B-Bersyukur? Memangnya kebodohan patut disyukuri?"
"Faktanya, ubur-ubur dapat bertahan hidup selama 650 juta tahun meski tidak punya otak," jelas Yukina datar. "Itu berita bagus untukmu, bukan?"
Doeng! Kaminari kembali pundung di pojokan. "Yukina, hidoii.... Aku tahu kau genius sejak lahir, tapi jangan mengataiku bodoh, dong! Meski aku beneran bodoh, sih, tapi aku juga mau lulus ujian!"
"Maaf, aku bercanda soal terakhir," kata Yukina enteng tanpa dosa. Dia menepuk-nepuk Kaminari, "Tidak ada seorang pun yang terlahir genius. Itu tergantung seberapa ingin kau menjadi genius. Dan juga, orang bodoh pun sebenarnya tidak ada. Setiap orang genius di bidang masing-masing, hanya saja terkadang dia malas mengasahnya."
Yukina menunjuk Kaminari yang mendongakkan wajah. "Akan kubuat mereka yang menganggapmu bodoh berbalik merasa bodoh," tegasnya. "Melihat ekspresi kebodohan orang-orang sok pintar adalah hal yang menyenangkan."
"Yukina ...." Kaminari berkaca-kaca.
"Maa, setelah mendengar komentar sarkas tadi, kau masih mau belajar denganku. Kuakui, mentalmu kuat juga," Yukina mengulurkan tangannya, "Jadi, aku akan mengajarimu. Meski pengajaranku lumayan keras, tapi berjuanglah. Kau pria, bukan?"
"Yukinaaa~" Kaminari menangis terharu. Dia menghela ingusnya yang nyaris meler kemudian menggenggam uluran Yukina dengan kedua tangannya. "Kau memang malaikatku!~"
"Sudahlah, kita langsung belajar saja."
"Haik, Yukina-sensei!"
Les privat Kaminari dimulai. Yukina mengajarinya dengan metode yang efektif serta efisien. Soal yang menurut Kaminari sulit dan rumit sebisa mungkin disederhanakan Yukina agar dapat dipahami. Yukina juga memberikan cara cepat atau tips dalam mengerjakan soal.
Baru lima menit belajar, kepala Kaminari sudah beruap panas seperti teko mendidih. Tak terhitung berapa kali Yukina menjitak jidatnya atau mengetuk kepalanya dengan gulungan buku. Kalau di anime, kepala Kaminari banyak benjolan merah dan mukanya diperban luka. Pokoknya sungguh amburadul emeseyu.
"Hasil kali akar X1 dan X2 adalah C dibagi A, bukan -B dibagi A. Itu rumus penjumlahan akar," koreksi Yukina. Dia melingkari kesalahan pada proses pengerjaan Kaminari. "Untuk tipe soal seperti ini, kau harus menghafal sifat operasi akar persamaan kuadratnya. Lagipula, cuma lima rumus, kok."
"Jangankan menghafal rumus, makan malam kemarin saja aku tidak ingat," sahut Kaminari suram.
Bletak! Yukina kembali menampol dengan buku, menyebabkan Kaminari langsung serius belajar. Meskipun awalnya sempat kesusahan karena kecerdasan otaknya tidak sampai, Kaminari mulai terbiasa sekarang. Kesalahan menjawab latihan soal perlahan berkurang.
'Meski pengajarannya cukup keras, Yukina benar-benar guru yang hebat. Dia bisa membuat soal sulit jadi mudah,' pikir Kaminari.
Kaminari terus menatap Yukina yang menjelaskan materi di buku, mengamati detil keindahan wajahnya dengan saksama. Mata hitamnya bersorot dingin. Kulitnya seputih salju, tak perlu diragukan lagi kemulusannya. Bibir kecil yang pink merona itu tampak seksi setiap kali berucap. Kaminari berusaha mati-matian menahan sifat kelaki-lakiannya dari godaan depan mata.
"... Syarat agar persamaan kuadrat tidak memiliki akar real adalah D kurang dari 0, jadi-" Yukina menghentikan penjelasannya dan berbalik menatap Kaminari. "Kenapa plonga-plongo? Kau mendengarkanku tidak?"
"O-Oh, warui!" Kaminari tersentak. Dia menggaruk kepala belakangnya, gugup karena kedapatan lebih memperhatikan Yukina daripada penjelasannya. "Aku cuma ... takjub padamu. Padahal kita sebaya, tapi perbedaan nilai kita sangat besar. Apa kau sangat suka belajar sejak kecil?"
"Maa ... nee," jawab Yukina, sempat terjeda karena ragu. Dia mengalihkan pandangannya. "Jika anak kecil pada umumnya menghafal lirik 'Balonku', aku saat kecil lebih berfokus meneliti kenapa balon hijau yang meletus duluan."
"Eh? Memangnya kenapa?" tanya Kaminari penasaran. "Apa karena penciptanya tidak suka sayur?"
"Jawabannya adalah emisivitas warna."
"Emisili ... Emisifilis ...." ulang Kaminari dengan begonya. "Em- apa?"
"Emisivitas warna, kemampuan benda untuk meradiasikan energi yang diserapnya," jelas Yukina. "Semakin gelap warnanya, maka semakin tinggi nilai emisivitasnya sehingga penyerapan dan pengumpulan kalornya lebih cepat. Dari kelima warna balon yang ada, hijaulah yang paling gelap. Itu menyebabkannya menyerap panas lebih banyak dan pemuaiannya lebih cepat, makanya meletus duluan."
"PADAHAL CUMA LAGU ANAK-ANAK, TAPI KAU SAMPAI BERPIKIR SEJAUH ITU?!" jerit Kaminari syok. Semua orang langsung menoleh. Petugas perpustakaan sampai berdeham keras untuk menegurnya. Kaminari pun menutup mulutnya dan meminta maaf.
"Hal sepele sekalipun bisa jadi berguna jika ditinjau dari segi ilmu," terang Yukina. "Kostum heroku didominasi warna hitam bertujuan untuk menyerap cahaya matahari sehingga aku bisa menyimpannya jika mengaktifkan quirk cahaya di malam hari. Tanpa pengetahuan soal emisivitas warna, kostumku tidak bisa maksimal."
"Sugoii naa! Padahal quirk cahayamu saja sudah kuat, ditambah lagi desain kostummu sangat mendukung," puji Kaminari. Dia menyentuh dagunya sendiri, 'Apa aku harus mengubah kostumku juga, ya?' pikirnya.
"Percayalah, quirk cahaya ini awalnya tidak berguna dan penuh risiko," Yukina mengibas-ngibaskan tangan kanannya. Dia menunduk, mengingat latihan nerakanya bersama AFO.
"Pertama kali mendapatkannya, aku hanya bisa mengeluarkan seberkas cahaya. Sejak saat itu, aku berlatih keras hingga dapat menembakkan foton. Selanjutnya, aku mengonversi energi cahaya menjadi kinetik dalam tubuhku. Itu perjuangan yang melelahkan."
Kaminari terdiam, menatap Yukina takjub. "Kukira quirkmu overpower, tapi ternyata kaulah yang membuatnya overpower, ya?"
Yukina mengangguk dan melihat kedua tangannya sendiri. "Selain itu, quirk cahayaku sangat berkaitan erat dengan fisika. Jika aku tidak mempelajarinya, aku hanya akan menjadi senter berjalan yang tidak berguna saat bertarung."
"Quirk-ku sebenarnya cukup kuat, tapi aku selalu berakhir bodoh setiap kali menggunakannya," Kaminari sweatdrop. Dia tersenyum pada Yukina, "Maa, setelah mendengar ceritamu tadi, aku jadi bersemangat melatih quirk-ku lagi. Sankyuu, Yukina! Sudah kuduga, kau memang hebat!" pujinya sambil mengacungkan jempol.
"Aku tidak sehebat itu," sangkal Yukina lirih. "Lagipula, semua ini berasal dari pemaksaan sepihak saja."
"Kau bilang sesuatu?"
"Iie, nandemonai," Yukina bangkit dan menunjuk buku paket matematika. "Kerjakan nomor 25 sampai 40. Aku mau mencari buku referensi," ucapnya kemudian pergi mencari buku di rak.
Kaminari mengangguk dan kembali mengerjakan soal. Yukina yang memilih buku di rak sedikit meliriknya dari kejauhan.
'Justru akulah yang takjub padamu, Kaminari Denki. Kau menyadari kekuranganmu sendiri dan berusaha mengatasinya. Selain itu, meskipun aku mengajarimu dengan keras, kau tetap mau belajar bersamaku dan malah memujiku.'
Yukina mengambil beberapa buku di rak. Matanya menyipit kemudian menutup perlahan.
'Jika saja saat itu aku bisa sepertimu, mungkin kebencianku pada ayahku akan sedikit berkurang.'
Hari telah sore. Usai belajar bersama, Kaminari dan Yukina bergegas kembali ke Musutafu. Kaminari mengantar Yukina pulang sampai depan rumah Aizawa. Meskipun Yukina sempat menolaknya karena bisa pulang sendiri, Kaminari tetap bersikeras. Selain karena ingin menjadi pria yang bertanggung jawab, dia masih ingin berlama-lama dengan Yukina.
"Terima kasih telah mengajariku, Yukina! Takkan kusia-siakan kebaikanmu ini. Aku pasti bisa lulus ujian akhir dan ikut pusat pelatihan!" tegas Kaminari penuh keyakinan.
"Ganbatte," Yukina menyemangati dengan nada datar.
"Oh, iya!" Kaminari mengambil sesuatu di tasnya. Sebuah boneka plushie karakter Pikachu yang berada di atas gundukan salju. Yukina tersentak, radarnya mendapati keimutan yang memancar kuat.
"Untukmu, anggap saja sebagai ucapan terima kasih untuk hari ini," Kaminari menyodorkan plushie Pikachu tersebut pada Yukina. "Kudengar dari Midoriya, kau suka sesuatu yang imut-imut, 'kan?"
"Tidak juga," sangkal Yukina cepat-cepat. Dalam hatinya terus menjeritkan nama Midoriya, bertanya-tanya kenapa dia bisa tahu soal itu. Untung Midoriya imut, jadi Yukina memaafkannya kali ini. Kalau tidak, jangan ditanya nasibnya.
Midoriya yang tengah belajar di kamarnya sontak merinding hebat.
"E-E-Entah kenapa aku merasa seperti akan dibunuh seseorang..." gumamnya ketakutan.
"Eh? Jadi, kau tidak suka, ya?" tanya Kaminari. Dia menatap sedih boneka pikachunya, "Padahal kukira kau akan menyukainya karena ini imut. Jangan-jangan kau membencinya?"
"Aku tidak ... membenci sesuatu yang ... imut," jawab Yukina selirih mungkin. Sedikit terbata-bata karena mencoba tenang dan tidak OOC. Dengan malu-malu, jarinya menunjuk boneka yang disodorkan Kaminari. "Jadi, kurasa aku ... bisa menerima itu."
"Yukina, kukira kau sangat dingin, tapi ternyata punya sisi kawaii juga, ya!" celetuk Kaminari setelah memberikan bonekanya. Yukina sontak tertegun dengan ekspresi terkejut. Namun hanya berlangsung dua detik, setelah itu raut datarnya kembali normal.
"Tch, mendokusai," Yukina mendecih pelan sambil memalingkan wajahnya yang sedikit memerah. Tangannya memeluk erat boneka Pikachu di depan dada. Kaminari ikut merona karena menyadari Yukina sedang blushing.
'COOL BUT KAWAII! PENGIN NGARUNGIN, WOI!' jerit Kaminari dalam hati. Dia langsung membelakangi Yukina, mengacak-acak rambutnya sendiri karena gemas melihat ke-moe-an Yukina. Kaminari tidak bisa mengendalikan kejonesannya yang terpendam.
"Ada apa, Kaminari? Apa otakmu mengalami peradangan setelah belajar hingga menjadi gila?" tanya Yukina polos.
"Tidak. Aku hanya menyadari sesuatu."
Kaminari berbalik. Dia meraih tangan kanan Yukina, mendekatkannya ke bibir. Kecupan singkat Kaminari mendarat di punggung tangan Yukina. Bibir Kaminari bersentuhan dengan permukaan lembut kulit seorang gadis, menimbulkan sensasi tersendiri di hatinya.
"Sama seperti salju, kau cantik tapi dingin," lanjut Kaminari seraya tersenyum.
Yukina berkedip sesekali, mencoba memahami ucapan Kaminari. "Apa maksudnya itu?"
"Maksudku adalah-" Kaminari mengepalkan tangan ambisius. Hidungnya mengeluarkan darah karena mimisan. Backsound "haaaa~" ala-ala seriosa yang suci berkumandang. Wajahnya disinari cahaya dewa. Dengan nada serius Kaminari berkata, "Kurasa, akulah pria paling beruntung di dunia karena menyaksikanmu blushing."
"Shine."
Musik langsung berhenti mendadak usai Yukina mengutuk dengan nada dingin. Suara pintu yang tertutup kasar menyadarkan Kaminari dari dialog bodohnya. Yukina telah masuk rumah, meninggalkan Kaminari yang melongo di tempatnya.
[Extra]:
Yukina merebahkan diri di kasur. Boneka Pikachu yang imut masih setia didekap di depan dada. Dia mengangkat tangannya sendiri, memandangi lokasi mendaratnya bibir Kaminari.
"Kenapa dia salim kepadaku? Aku 'kan bukan ibunya."
#36
No one is genius by birth, its depend how much you want to be.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro