Chapter 35: Beyond The Sky
Yukina takkan pernah lupa malam natal di bulan Desember yang telah berlalu. Salju turun lebat kemudian jatuh lemah, mengendap menutupi jejak langkah terseok-seoknya yang kian berat. Seakan ada rantai pembeban yang mengikat kakinya hingga tak mampu berjalan lagi.
Putih bersih seperti salju pada normalnya adalah warna yang Yukina harapkan untuk dilihat. Namun sayang, matanya yang tidak buta warna justru menangkap cairan merah meresap ke gundukan salju di tanah. Semua berasal dari tubuh tiga orang yang terbujur kaku dengan luka menganga lebar nan mengerikan.
"Jadilah hero dalam kisah hidupmu sendiri, Yukina."
Kalimat bernada parau itu tertangkap telinga Yukina saat duduk bersimpuh di dekat sang pembicara. Pipinya tersentuh tangan kekar, dingin dan berdarah. Terasa sebuah ibu jari menyapu lembut setitik air yang mengalir di sana.
Sejenak Yukina merasa dunianya berhenti berputar. Dalam keheningan yang pilu itu, kepalanya menelungkup ke dada lawan bicara. Butiran salju tertahan melayang di udara, berhenti sepenuhnya. Sama seperti detak jantung orang itu yang tak berdenyut lagi.
"Maaf."
Mata Yukina refleks terbuka penuh keterkejutan. Hal pertama yang dia lihat adalah tetesan air mata bertitik di meja biru semikeabu-abuan yang berjarak kurang dari satu jengkal darinya. Kedua tangannya terlipat, menahan kepalanya yang menelungkup di meja.
'Lagi-lagi mimpi buruk....'
Yukina tertidur di kelas. Lagi.
"WAKE UP YOU, LAZYUKINA! YEAAAAAH~!!!"
Teriakan Present Mic yang dibantu quirk Voice-nya menghempaskan Yukina kembali ke dunia nyata. Bisa-bisanya Yukina tertidur pada jam pelajaran Bahasa Inggris yang diampu sensei paling gembredek alias berisik seU.A.. Nahasnya, dia tidak membawa penyumbat telinga hari ini.
Satu kelas menutup telinga, tidak ingin tuli di usia muda. Sementara Yukina yang terbangun mengucek matanya, seolah-olah masih mengantuk padahal sebenarnya menutupi matanya yang berair.
"Apa sudah waktunya pulang?" tanya Yukina polos. Semua orang terkejut mendengarnya. Sudah molor di kelas, bukannya minta maaf malah tanya jam pulang. Murid greget.
"Hey! Sekarang pukul 08.45, kelas baru dimulai lima menit lalu!" jawab Present Mic kesal. Jarinya menunjuk Yukina yang berwajah datar tanpa dosa. "Ya ampun. Kalau kau tidak niat sekolah, pulang saja sana!"
Begitu Present Mic selesai berucap, Yukina langsung bangkit dan menyelempangkan tas sekolahnya. Tanpa berkata sepatah kata pun, dia berjalan santai keluar kelas. Yukina tidak peduli semua orang syok dengan mulut menganga lebar, bahkan Present Mic sampai jatuh menggubrak.
"ASTAGHFIRULLAH! DIA BENERAN PULANG, WOI!"
Usai bel pergantian jam berbunyi, Present Mic langsung mengacir ke ruang guru. Tekadnya sudah bulat, dia akan mengadukan tindakan tidak senonoh Yukina kepada 'bapak'nya. Dengan dramatis, Present Mic mendobrak pintu kantor guru ala-ala penggerebekan FBI.
"MAYDAY, MAYDAY, ERASER! YUKINA MBEDAL LAGI!" teriak Present Mic, mengagetkan semua guru di kantor. Bahkan All Might sampai menggigit lidahnya sendiri saking terkejutnya.
[A/N: Mbedal berasal dari Bahasa Jawa, bedal, yang artinya lepas dan lari. Lazimnya digunakan pada kuda atau hewan lain yang susah dijinakkan. Namun kemudian, kata tersebut menjadi idiom gaul di sekolah Author yang berarti bolos atau pulang tanpa izin. Terdengar lebih barbar karena para pembolos disamakan kayak kuda liar, awkoawkoak... :v]
"Dia selalu mbedal, Mic," sahut Aizawa santai tanpa menoleh ke sumber keributan. Tinggal bersama Yukina lebih dari dua bulan membuatnya sudah tidak kaget dengan tindakan YOLO putri AFO tersebut.
"Maksudmu Nak Yukina bolos kelas? Berani sekali dia," All Might geleng-geleng kepala.
"Jangankan bolos kelas, minggat dari League of Villain saja dia berani," tambah Aizawa datar. Perhatiannya masih terfokus pada berkas kesiswaan milik Yukina yang dipenuhi data statistik.
"Eraser, sebenarnya tuh anak kau pungut di mana, sih?" heran Present Mic. "Akhlaknya pasti ketinggalan di sana!"
"Aku akan pergi mengawasinya sebentar," Aizawa menutup map berisi berkas kesiswaan kemudian memasukkannya ke wadah buku. "Kalau tidak ingin kota ini hancur, orang macam dia tidak boleh dibiarkan berkeliaran sendirian."
All Might dan Present Mic terdiam melongo melihat Aizawa berjalan keluar dari ruang guru. Setelah wali kelas 1-A tersebut menutup pintu, All Might baru membuka suara.
"Dia sudah kayak ayah kandungnya Nak Yukina saja, ya."
"Tuh, 'kan? Sudah kubilang, Eraser memang cocok jadi ayahnya," tegas Present Mic. "Mereka sama-sama tukang molor yang tidak punya gairah hidup."
"Kalian bilang sesuatu?" Aizawa melongok dari luar pintu kantor dengan mata merah berkilat tajam. All Might menelan ludah sementara Present Mic membiru ketakutan.
"N-NOTHING, SIR!"
Awalnya, Yukina berencana pulang cepat hari ini lalu rebahan di rumah. Namun kemudian, dia teringat sesuatu yang menghanguskan niat bermalas-malasannya tersebut. Ujian Akhir Semester, tes untuk menguji pengetahuan serta kemampuan siswa. Atau versi singkatnya, sebuah cobaan hidup bagi murid macam Kaminari dan Ashido.
Namun, Author yakin, tidak ada seorang pun siswa di dunia ini yang menyukai kegiatan memusingkan tersebut. Jikalau memang ada, itu pasti orangnya yang bermasalah. Contohnya saja—
"Akhirnya acara yang kusukai di sekolah tiba juga ..." Yukina memperhatikan kalendar di ponselnya yang tertulis event berjudul Last Exam. "... Ujian akhir, aku tidak sabar menantikannya."
—Tokoh utama cerita ini.
"Sou ya ... Selain ujian tertulis, Shota-san bilang juga ada ujian praktik, ya."
Yukina memegangi dagunya layaknya detektif sedang berpikir keras. Ingatannya memutar hari kemarin, tepatnya saat Midoriya mendapat informasi bahwa ujian akhir hanya melawan robot. Yukina takkan lupa sorakan kebahagiaan Kaminari dan Ashido yang terdengar dungu di telinganya.
"Setelah semua yang terjadi selama ini, apa benar ujiannya cuma melawan besi rongsokan? Jika iya, lebih baik aku izin saja daripada meratakan tempat ujian," Yukina bergumam sendiri. Napas kasar yang dia hembuskan singkat menyatakan ketidakpercayaannya.
"Maa ikka," Yukina mengangkat bahu cuek. Dia menggulir layar ponselnya dan membuka GMaps, "Untuk sekarang, aku harus memanaskan tubuhku pascarehabilitasi."
Setelah mengingat rute latihan di peta daring, Yukina menyimpan ponselnya di saku jas. Dia melepas kancingan jas almameter U.A. dan melonggarkan dasi merahnya. Tak lupa dia memasang headphone di telinga untuk mendengarkan musik.
"Here we go again."
Yukina berlari di trotoar yang sepi, meninggalkan U.A. dengan cepat. Kali ini dia tidak langsung berparkour ria seperti biasa. Dirinya sadar, melakukan gerakan ekstrem secara mendadak hanya akan membuat otot kaget dan memperburuk keadaannya.
'Meski belum sembuh total, aku merasa lebih baik dari sebelumnya.'
Lorong gelap di sebuah jalan kecil menemani Yukina yang mempercepat larinya. Terlihat secercah cahaya menerangi ujung lorong yang simpang empat. Yukina segera berbelok ke kanan, mengambil jalan menuju rumah Aizawa.
'Dengan ini, aku bisa kembali berlatih untuk ujian—'
Baru saja berbelok di tikungan gang, Yukina mendapati dua orang datang dari arah berlawanan. Terkejut, matanya pun membulat sempurna. Dalam waktu sepersekian detik, otaknya menganalisa situasi. Jika tidak menghentikan larinya, tabrakan hebat akan terjadi –yang tentu saja dapat melukai mereka. Namun, mana mungkin bisa berhenti tiba-tiba padahal sedang berlari dengan kecepatan tinggi?
"Awas!"
Teriakan salah satu pemuda menyadarkan Yukina kembali. Dia lantas mengubah arah. Kaki kiri sebagai poros dia tolakkan dari tanah menuju dinding di sampingnya. Begitu kaki kanannya telah berpijak pada dinding, Yukina melompat tinggi melewati atas kepala dua pemuda tersebut.
Mereka yang menyaksikan lompatan presisi Yukina terdiam takjub. Secara alamiah mata mereka mengikuti setiap pergerakannya dari awal hingga akhir.
Tap! Yukina mendarat sempurna dalam posisi berjongkok. Headphone yang awalnya terpasang di telinga kini merosot turun ke leher. Napasnya terengah-engah. Bukan karena lelah melainkan karena hampir menabrak orang dengan kecepatan tinggi. Bahkan trotoar dan dinding tempat dia berpijak tadi sedikit retak akibat tolakan energinya.
"Butuh bantuan, Nona Hero?"
Yukina melirik tajam dua orang misterius di belakangnya. Seorang pemuda berambut spiky hitam dengan luka bakar ekstrem mengulurkan tangannya, berniat membantu berdiri. Di sebelahnya, cowok berambut hitam berantakan dengan beberapa helai warna oranye hanya menyeringai kecil. Luka goresan di pipinya sedikit tertarik akibat seringaian tersebut.
Mereka adalah Dabi dan Hayato. Penjahat rekrutan League of Villain yang baru.
Ziiing~! Wajah Yukina menggelap. Naluri berkata bahwa dirinya berada dalam bahaya. Kewaspadaannya meningkat drastis. Sekalipun tidak tahu kalau Dabi dan Hayato adalah villain, instingnya aktif secara sempurna. Dia bisa merasakan aura tidak mengenakkan dari dua pemuda tampan tersebut.
"Tidak," Yukina menjawab dingin kemudian bangkit. Dia membenarkan selempangan tas sekolahnya, berusaha bersikap biasa saja meski diam-diam menaruh kecurigaan.
"Sugee~ Itu tadi tic-tac yang hebat, lo, ojou-chan!" puji Hayato. Senyum simpulnya mengembang, matanya berbinar-binar penuh kekaguman. "Baru kali ini aku melihat gadis bisa parkour dengan sempurna!"
"Yah, aku memang punya respon bagus ketika menghadapi ancaman," sahut Yukina. Nada bicaranya datar namun terselip kesarkasan di sana.
Dabi menyadarinya, dibuktikan dengan kedua alisnya yang sedikit terangkat. Hayato? Dia masih takjub seperti anak kecil dibelikan mainan baru.
"Akan lebih bagus lagi jika kau tidak melompat setinggi tadi ketika mengenakan rok, Nona," celetuk Dabi. Dia menyeringai kecil, "Kau tahu itu tidak bagus bagi kesehatan jantung para pria yang melihatnya, bukan?"
"Daijobu. Sejak ada dua makhluk mesum di kelas, aku selalu memakai celana pendek di balik rokku," jawab Yukina polos sambil sedikit mengangkat roknya. Tidak sampai memperlihatkan celana pendek yang dimaksud, namun setidaknya paha putih nan mulusnya terekspos. Dabi dan Hayato kompak ber-wow ria.
'Dia tidak melakukannya dengan sengaja, 'kan?!' batin Hayato melongo. Sementara Dabi terkekeh dalam hati, geli melihat kepolosan Yukina yang tak tertolong.
Yukina tersentak, merasa ada sesuatu yang hilang. Dia merogoh saku jas, memastikan bahwa ponselnya masih tersimpan di sana. Namun ternyata, tidak. Tangannya tidak meraih apa pun. Sakunya kosong.
"Mencari ini?" Hayato mengulurkan ponsel hitam dengan gantungan kucing berwarna hitam-putih. "Tadi terjatuh saat kau melompat."
Yukina menoleh. Matanya sedikit terbelalak mengetahui barang pribadinya berada di tangan orang asing. Apalagi ada gantungan kunci imut yang terkait di sana. Dia mengambil ponselnya dari Hayato kemudian mencoba menyalakannya. Syukurlah, ponsel itu tidak rusak.
"Arigatou," ucap Yukina datar. Hayato yang tersenyum simpul mengangguk-angguk sebagai jawaban. Dabi menghela napas, entah kenapa dia merasa terabaikan di sini.
"Kurasa ... aku harus pergi sekarang," Yukina memasukkan ponselnya ke tas. Dia sedikit membalik tubuhnya, "Maaf hampir menabrak kalian tadi."
"Tidak masalah~" balas Hayato santai sembari melambaikan tangan. "Hati-hati di jalan, ya!~"
Yukina tidak menjawab dan langsung berbalik begitu saja. Rasanya semakin lama dia bersama mereka, semakin besar pula ketidaknyamanannya.
Meskipun Hayato terlihat friendly dan Dabi lebih banyak diam, Yukina tidak percaya pada first impression itu. Dia lebih percaya pada instingnya yang terlatih, yang mengatakan bahwa mereka berbahaya. Sekalipun tidak menoleh ke belakang, Yukina yakin dua pasang mata terus menatapnya intens. Terutama iris turquoise Dabi yang menggelap.
"Mata aou ze."
Meski beberapa menit usai bertemu Dabi dan Hayato telah berlalu, prasangka buruk Yukina mengenai mereka tidak kunjung hilang. Dia diliputi perasaan seperti diincar hewan buas yang membuatnya tidak tenang.
Meskipun demikian, Yukina tidak bisa seenaknya melaporkan mereka sebagai villain hanya berdasar perasaan emosional saja. Jikalau masih ngotot membuktikan syak wasangka tersebut, dia harus menyelidikinya sendiri, yang mana membutuhkan waktu lama dan usaha lebih.
Namun, seperti yang dikatakan Aizawa saat insiden USJ—
"Jangan bodoh, Yukina. Statusmu di sini adalah murid. Ingatlah itu."
(Chapter 6)
—Pada akhirnya, Yukina memilih menyingkirkan kecurigaannya sejenak dan fokus pada urusan sekolah.
'Ujian tulis berdasarkan pembelajaran di kelas. Karena aku sudah khatam materinya jauh-jauh hari, itu bukan masalah bagiku.'
Yukina terus berpikir sembari melangkahkan kakinya ke rumah. Dia menaikkan maskernya hingga menutupi setengah wajahnya, berharap tidak dikenali orang-orang di sepanjang perjalanan.
'Sementara ujian praktik adalah ujian menyeluruh dari semua yang dipelajari pada semester pertama. Itu artinya latihan dasar, latihan bertarung dan penyelamatan—'
Bruk! Seseorang yang berlari dari arah belakang menabrak Yukina secara tiba-tiba. Pundaknya terdorong keras, membuatnya oleng ke depan karena tidak dapat menyeimbangkan diri. Sebelum Yukina jatuh tersungkur ke tanah, tubuhnya lebih dulu didekap seseorang.
"Otto~ Hampir saja. Kau tidak apa-apa?"
Yukina mendongak, bertemu pandang dengan iris cokelat keemasan. Di balik kacamata kuning itu, netranya begitu eksentrik dengan dua segitiga kecil yang menyerupai mata burung. Rambut blondenya yang berantakan tersibak ke belakang namun masih menyisakan beberapa jumbai depan yang mencuat ke atas. Dan tentu sajaa, yang paling menarik perhatian Yukina adalah sayap merahnya yang memanjang ke bawah.
'Ayam?' Yukina berkedip sekali, memastikan kalau matanya tidak lamur. 'Bukan ... burung berkepala manusia?'
Yukina tidak tahu bahwa pria di hadapannya, yang memeluknya saat ini adalah Pahlawan Nomor 3, Hawks.
"Oh, bukankah ini Aizawa Yukina, juara satu Festival Olahraga U.A.? Sepertinya aku mendapat tangkapan bagus hari ini~" celetuk Hawks, membuat Yukina langsung melepaskan diri dari dekapannya.
"Aku bukan ikan pancingan," balas Yukina dingin seraya merapikan kembali seragamnya yang tertekuk. Dia sedikit menurunkan maskernya, "Selain itu, bagaimana kau bisa tahu namaku?"
"Tentu saja aku tahu. Setelah festival olahraga, aku mengirim undangan magang kepadamu tapi kau tidak datang," jelas Hawks. Nadanya terdengar santai padahal ucapannya bernuansa sedih.
"Magang?” Yukina sedikit memiringkan kepala. Dengan polosnya dia bertanya, "Itu artinya ... kau Pro Hero? Siapa, ya?"
"Oi ... I-Itu 'kan ...."
"Wah, hebat! Baru kali ini aku melihatnya secara langsung!"
"Bukankah agensinya di Kyushu? Kenapa jauh-jauh datang ke sini?"
Terdengar suara orang-orang sekitar yang bersahut-sahutan. Mereka melempar pandangan pada Hawks yang berdiri santai meski menjadi pusat perhatian. Yukina celingak-celinguk penuh kebingungan.
'Apa hanya aku yang tidak kenal Pria Burung ini?' batin Yukina dengan bodohnya.
"Pahlawan Nomor 3, Wing Hero: Hawks!"
"Domo~" sapa Hawks santai.
'N-Nomor 3?!' Yukina mengerjap tidak percaya. Meskipun di luar stay-cool dengan wajah datar, sesungguhnya dalam hati dia menjerit kaget. 'Jadi, dia pahlawan terkuat setelah All Might dan Ende—'
"Seseorang tolong hentikan pencuri itu!"
Yukina dan Hawks menoleh ke sumber suara. Seorang wanita menunjuk pencuri yang dimaksud, yaitu penabrak Yukina tadi. Dia berlari menjauh, masuk ke gang sempit yang terhindar dari keramaian.
"Ya ampun. Tidak hanya menabrak gadis SMA, dia juga mencuri tas emak-emak pula," Hawks bergumam heran.
Yukina tersentak. Beberapa bulu sayap Hawks bergerak dengan sendirinya menerjang pencuri. Begitu tertancap di punggungnya, pencuri pun tumbang ke tanah. Tas yang tercuri dibawa terbang oleh bulu tersebut, dikembalikan kepada pemiliknya.
Aksi itu menarik perhatian orang-orang sekitar. Mereka yang awalnya hanya berbisik-bisik dan melihat dari kejauhan kini langsung mengerubungi Hawks. Bahkan Yukina yang berdiri paling dekat dengannya sampai tergusur ke belakang.
'Apa itu? Tidak sampai lima detik, dia bisa melumpuhkannya tanpa berusaha,' batin Yukina takjub. 'Selain itu—'
"Hawks! Hawks!"
Beberapa gadis menghampiri Hawks sambil membawa ponsel. Mereka mengajak sang hero berfoto dengan kamera depan. Hawks pun mengangkat dua jarinya yang membentuk tanda peace dan ber-yay santai. Di belakangnya, banyak wanita yang blushing berjemaah sambil berfangirling ria.
'—Dia populer sekali. Bagaimana mungkin aku tidak mengenalnya? Apa aku terlalu lama hidup di neraka?' lanjut Yukina suram. Dia menggeleng cepat, menyingkirkan pikiran absurdnya.
Yukina memperhatikan Hawks dengan saksama, 'Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan Pahlawan Nomor 1 dan 2, dia sangat berbeda, ya.'
Terlintas bayangan nista dalam benak Yukina. All Might dan Endeavor terlihat gagah dengan otot kekar mereka, sedangkan Hawks seperti ... tek kotek kotek kotek, anak ayam turun berkotek ♪
'Apa benar itu Pahlawan No. 3?' Yukina sweatdrop dengan hasil pemikirannya sendiri.
"Sore jaa, aku harus pergi sekarang," Hawks mengembangkan sayapnya. Dia melambaikan tangan pada semua orang, terutama Yukina. "Mata nee, Yuki-chan!"
"Dare ga 'Yuki-chan' da?" Yukina memutih suram. Akibat panggilan tersebut, kini semua pasang mata tertuju pada Yukina yang menaikkan maskernya dan mengalihkan pandangan. Sementara Hawks sudah terbang meninggalkan TKP begitu saja.
"Oh! Bukankah dia Aizawa Yukina dari U.A.?"
"Sang juara satu festival olahraga?!"
'Shimatta. Aku ketahuan,' batin Yukina yang kehilangan cahaya hidup.
"Penampilanmu di festival olahraga hebat sekali, lo!"
"Ternyata dia lebih cantik dari yang terlihat di TV, ya~"
"Minta tanda tangannya, dong!"
Yukina terdiam. Ujaran serta pujian dari orang-orang sekitarnya tidak dia dengarkan. Perlahan dia mendongak, pandangannya terkunci pada Hawks dengan mata yang berkilat tajam.
Hawks terbang menyusuri kota Musutafu, melewati atas gedung-gedung bertingkat yang menjulang tinggi. Kedamaian penerbangannya mulai terganggu oleh perasaan sedang diikuti seseorang. Sekelebat bayangan melintas jauh di belakangnya, membuat Hawks refleks menoleh.
'Apa tadi cuma perasaanku saja?'
Hawks tidak melihat siapapun di belakang. Matanya melirik kiri-kanan, waspada sekitar. Sedetik kemudian, dia tersentak. 'Tidak—'
BRUAGH! Hawks terdorong dengan keras, tubuhnya jatuh terhempas ke lantai atas sebuah gedung. Dentuman terdengar menggelegar seperti tembakan meriam. Perlahan asap yang mengepul dari sumber kerusakan mulai menghilang. Tampaklah pemandangan apa yang sebenarnya terjadi.
Hawks terbaring dengan Yukina yang menduduki perutnya. Sehelai bulu merahnya yang dia acungkan mendatar tertahan satu senti dari leher sang gadis. Itu adalah gerakan refleksnya yang menyangka Yukina adalah musuh. Di sisi lain, Yukina sama sekali tidak menunjukkan ekspresi ketakutan sekalipun lehernya hampir tergores atau lebih parahnya terpenggal. Raut mukanya masih sama, dingin dengan bayangan hitam yang menggelapkan wajah atasnya.
'Dia ini?! Bagaimana bisa dia mengejarku?' Hawks terbelalak kaget. Ketimbang memikirkan posisi mereka sekarang, dia justru dilanda kebingungan akibat kedatangan Yukina yang spektakuler.
"Itte~ Oi, oi, bukankah ini terlalu kasar?" Hawks menurunkan pedang bulunya. "Tiba-tiba menerjangku lalu memojokkanku ke lan—"
"Bertarunglah denganku, Hooks-san," pinta Yukina datar.
"Ha?" Hawks melongo tak paham. "Siapa yang kau panggil Ho—"
"Aku ada ujian praktik minggu depan. Entah apa yang akan diujikan tapi pertarungan pasti takkan terhindarkan. Bertarung denganmu tentu menjadi latihan yang bermanfaat bagiku," jelas Yukina dalam sekali tarikan napas. "Dakara onegaishimasu."
"Kau tidak mendengarkanku, ya?" Hawks sweatdrop karena pertanyaannya terabaikan. Sehelai bulu sayapnya menarik kerah belakang seragam Yukina, membuat gadis itu menyingkir dari atas perutnya. Yukina terkejut, bagaimana mungkin dirinya mampu diangkat sehelai bulu?
"Aku tidak punya alasan untuk bertarung denganmu sekarang," Hawks bangkit, mengelus kepala belakangnya yang tadi membentur lantai. Matanya melirik Yukina sekilas, "Lagipula, ada saat tersendiri kita akan bertarung nantinya. Sebagai musuh, tentu saja," gumamnya.
Yukina mengernyit bingung, "Apa kata—"
"Selain itu, Yuki-chan, karena kau sudah lama belajar di U.A., seharusnya kau sudah mengerti tentang Pro Hero, bukan?"
Mata Hawks memicing tajam pada Yukina yang diam, entah diam karena tidak mengerti atau sedang memikirkan maksud ucapannya. Hawks menyejajarkan tubuhnya, lurus menghadap ke Yukina.
"Ada perbedaan kekuatan yang sangat besar antara pro hero dan murid kelas satu," ucap Hawks dengan nada rendah.
Yukina membisu. Ekspresi datarnya masih bertahan, menandakan sama sekali tidak terintimidasi dengan ujaran Hawks yang terkesan merendahkan dirinya.
"Memang benar kemampuanmu itu hebat, jauh lebih hebat dari murid lain. Ini bukan pujian tanpa dasar, karena nyatanya kau berhasil memenangkan festival olahraga," Hawks berjalan mendekati Yukina. Tangannya dimasukkan ke saku celana. Begitu santai sikapnya, berkebalikan dengan ucapannya.
"Tapi, pertarungan sesungguhnya tidak sama dengan babak final festival olahraga, dimana adu quirk saja tidak cukup," lanjut Hawks. "Tidak ada wasit yang menghentikan lawan jika kau sekarat, tidak ada garis putih yang membatasi medan pertempuran, yang ada hanyalah menang dan kalah dalam arti tertentu."
"Tanpa kau jelaskan pun, aku sudah tahu," balas Yukina dingin. "Jika ada yang ingin kau sampaikan padaku, katakan langsung. Tidak usah bertele-tele."
"Dengan kemampuan dan gaya bertarungmu itu, kau tidak bisa mengalahkanku," simpul Hawks pada akhirnya. "Kau belum layak untuk melawanku. Jika kau bersikeras meneruskannya, itu hanya akan melukai dirimu sendiri."
Yukina menunduk, setengah wajahnya tertutup bayangan hitam. Dia tidak bisa menyangkal perkataan Hawks. Semua yang Hawks katakan adalah sebuah kebenaran. Namun, bukannya merasa frustrasi atau kesal, Yukina malah tersenyum tipis.
"Padahal kau seorang hero, tapi ucapanmu menyakitkan sekali, ya, Number Three-san. Maa, kenyataannya memang begitu, sih. Aku tidak bisa mengelak," kata Yukina tenang. "Di mata pro hero top three sepertimu, aku pasti tidak ada apa-apanya."
Hawks tersenyum, "Kau cepat tanggap juga, ya—"
"Tapi, bukankah itu tidak sepenuhnya benar?" potong Yukina tegas. "Mungkin aku yang sekarang belum bisa menandingimu dan Pro Hero lain, tapi bukan berarti aku tidak bisa mengalahkan kalian di masa depan, 'kan?"
Hawks tersentak, senyumnya memudar berganti ekspresi serius.
"Aku masih akan mempelajari dunia kepahlawanan lebih dalam. Melawan berbagai tipe musuh, mencoba teknik baru, dan mendapat pengalaman untuk mengasah kemampuanku. Aku ingin menjadi lebih kuat."
Yukina menengadah. Matanya yang berkilat penuh keseriusan kini bertemu pandang dengan iris emas Hawks. "Saat itu tiba, akan kubuat kau menarik kata-katamu barusan, Number Three-san."
Hawks tertegun. Matanya sejenak terbelalak, berkilap takjub. Salah satu sudut bibirnya naik. "Ho~ Boleh juga."
"Selain itu, aku belajar banyak saat magang," Yukina menatap kedua tangannya. "Apa yang kupelajari dari Endeavor, semua itu akan kugunakan untuk menciptakan gaya bertarung yang sesuai dengan—"
"Kau magang di agensinya Endeavor-san?!" Hawks menyahut cepat usai nama idolanya disebut. Yukina yang tersentak pun mengangguk. Melihat itu, Hawks langsung menepuk-nepuk kepala Yukina dengan akrab.
"Sou ka~ Kenapa tidak bilang sejak awal? Pantas saja kalian sama-sama berambisi sekali. Dia pasti mengajarimu dengan baik, 'kan? Maa, aku takjub kau tidak hangus sampai sekarang, padahal sudah menghajar putranya saat festival olahraga. Ngahahahaha!" Hawks mencerocos sendiri sambil terus mempat-pat Yukina yang terdiam suram.
"Itu bukan hal yang patut ditertawakan," timpal Yukina sweatdrop. Image Hawks yang serius dan badass di benaknya seketika hangus. Ternyata Pahlawan No.3 juga bisa cengengesan seperti Present Mic.
"Ah, gomen, gomen!" Tepukan Hawks berhenti namun tangannya masih bertahan di kepala Yukina. Perlahan Hawks mendongakkan Yukina, membuat mereka bertatapan muka dalam jarak dekat.
"Meski aku tidak bisa menerima tantanganmu tadi, setidaknya berjuanglah untuk ujianmu."
Yukina terdiam membeku. Seharusnya dia berterima kasih pada Hawks, namun bibirnya kelu untuk berucap. Dia membisu, mengalihkan pandangannya. Disemangati Pahlawan No. 3 membuatnya bingung harus bereaksi seperti apa.
Yukina menggigit bibir bawahnya, sebisa mungkin memelankan suara. "Ariga—"
"Maa, setelah mengatakan semua hal sekeren tadi, pasti memalukan jika kau gagal ujian, 'kan? Bwahahahaha!" Hawks tertawa ngakak tidak elit.
Yukina langsung menjadi patung Buddha yang retak dipenuhi aura kesuraman. Entah niat Hawks tadi serius menyemangatinya atau serius menertawakannya.
"Jadi, begitulah. Karena kau sudah mengerti, aku harus pergi sekarang," Hawks berjalan meninggalkan Yukina. Dia melompat ke pagar pembatas. Sayapnya mengembang, siap terbang.
"Ano!"
Hawks menoleh ketika Yukina setengah berteriak mencegah kepergiannya. "Ada apa lagi?"
"Jika aku bisa lulus ujian akhir, apa kau mau menerima tantanganku?" tanya Yukina serius.
Hawks terdiam beberapa detik kemudian tersenyum. "Saa naa~" jawabnya enteng.
Setelah itu, Hawks langsung pergi, terbang menjauh. Angin berembus kencang usai sayapnya mengepak. Yukina refleks memejamkan mata dan menutupi wajah dengan lengannya. Begitu matanya terbuka, dia memandangi punggung Hawks yang semakin menjauh.
"Kok kesal, ya ...." Yukina bergumam datar.
"Burung terlahir dengan sayap, sebuah simbol kebebasan," Yukina mengulurkan tangannya, seolah-olah meraih punggung Hawks. Sedetik kemudian, dia menutup telapak tangannya sendiri, menggepal erat. "Tapi, burung yang terlahir dalam sangkar berpikir kebebasan adalah kejahatan."
Yukina mengambil tas sekolahnya yang tadi terjatuh tak jauh darinya. Dia kembali berbalik ke belakang, namun sosok Hawks sudah menghilang dari pandangannya.
"Tunggu saja. Aku pasti akan melampauimu," tegas Yukina. "Tapi, sebelum itu aku harus—"
"—lulus ujian akhir, bukan?" sambung Aizawa yang sudah berdiri di belakang Yukina. Tangannya terlipat di depan dada dan aura gelapnya menyebar keluar.
"Sou, sou," Yukina mengangguk-angguk sendiri dengan polosnya. Masih belum sadar bahwa Aizawa datang entah dari mana. Lima detik kemudian, dia baru sadar seseorang menyahut ucapannya. Dia kenal suara itu. Suara 'ayahanda'-nya.
Krik ... Krik .... Keheningan yang canggung terjadi. Yukina masih berwajah datar, namun titik-titik keringat mulai bermunculan di kepala belakangnya. Mau papa yang lama atau yang baru, sama saja mengerikan baginya.
Dash! Yukina langsung melompat dari lantai atas gedung. Namun sebelum berhasil kabur, Aizawa dengan sigap mengikat tubuh Yukina menggunakan senjatanya yang mirip syal. Tak lupa juga dia menghapus quirk Yukina. Selain agar tidak melawan balik, setidaknya mata merahnya yang berkilat tajam dapat mengintimidasi Yukina.
"Geh, Shota-san ...." Yukina terkejut dengan nada monoton.
"Apa maksudmu 'geh'?" tanya Aizawa kesal. Dia menatap tajam Yukina, "Bolos kelas, pergi seenaknya, lalu aku mendapatimu berduaan dengan Pahlawan No. 3. Kuharap kau punya penjelasan atas situasi membingungkan ini," ancamnya dengan nada rendah.
"Aku mendorong dia ke lantai kemudian menantangnya gelud," jelas Yukina tanpa dosa. Sontak saja Aizawa langsung mengulek kedua pelipis Yukina dengan kepalan tangannya. Meskipun rasanya sakit, Yukina ber-ittai-ittai datar seperti tidak niat mengerang.
'Memang tidak ada akhlak nih anak,' batin Aizawa sweatdrop sekaligus kesal. Dia menghela napas, "Kau ini dalam pengawasanku, jadi jangan seenaknya membuat masalah. Kau harus belajar pengendalian diri dan memperbaiki sikap burukmu."
"Maaf," ucap Yukina datar. Sedetik kemudian, dia menyeringai semangat dan berwajah seperti pembunuh. "Melihat orang yang lebih kuat dariku membuatku tidak tahan ingin menghajar mereka."
"Dakara yamero. Wajah dan kepribadianmu mengerikan," Aizawa menabok kepala Yukina dengan gestur robot ala Iida. Setelah mendapat tabokan maut itu, Yukina kembali datar dengan benjolan merah di kepala.
"Astaga. Kurasa aku harus minta maaf pada Hawks-san nanti," Aizawa berkeluh dan menghela napas panjang. "Tentu saja kau juga harus minta maaf padanya secara sopan. Ini semua gara-gara ulahmu."
"Shota-san, makan malam nanti kau mau apa?" tanya Yukina tiba-tiba.
"Jangan mengalihkan pembicaraan serius dengan makanan!" seru Aizawa kesal. Empat siku-siku muncul di pelipisnya, menunjukkan kejengkelan terhadap sikap terlalu santai Yukina.
Yukina mengangguk, "Yosh, kimatta. Ayam goreng."
Aizawa menepuk jidat keras-keras. Dalam hatinya terus berdoa pada Kami-sama agar diberi kesabaran yang Plus Ultra untuk menghadapi ke-YOLO-an Yukina. Inilah yang terjadi jika anak salah didikan. Sungguh akhlakless.
Yukina mengerjapkan mata. Dia baru sadar lengan baju Aizawa sedikit robek. "Shota-san, itu kenapa? Apa kau terluka?" tanyanya seraya menunjuk obyek yang dimaksud.
Aizawa tersentak. Dia ikut melihat lengan bajunya sendiri, "Aku baik-baik saja. Maa, tidak usah dipikirkan," jawabnya enteng. Dia menatap Yukina, aura gelapnya kembali keluar, "Yang penting sekarang ... aku harus membawamu kembali ke kelas dan belajar etika kepahlawanan."
"Kotowaru," tolak Yukina cepat. Dia langsung terjun dari atas gedung dan melarikan diri. Aizawa yang terkejut pun bergegas menyusulnya. Mereka berlari di atas atap seperti kucing-kucingan antara hero dan villain. Aizawa mengejar sedangkan Yukina kabur.
"Saa tte, Shota-san! Yang terakhir sampai rumah, harus membersihkan toilet seminggu," kata Yukina di tengah-tengah pengejaran.
"Jangan menentukan seenaknya! Selain itu, tuan rumahnya adalah aku. Kau mau kuusir keluar, ha?!" sahut Aizawa dongkol.
Yukina menyeringai, "Sebulan? Baiklah, deal!" serunya mengabaikan protes Aizawa dan mengenakan headphone yang semula terkalung di leher. Dengan lihai dia berparkour ria melompati satu gedung ke gedung lain. Gerakannya semakin cepat, meninggalkan Aizawa di belakang.
"Oi!" Aizawa berdecak kesal. Tidak punya pilihan lain, dia pun ikut mempercepat larinya untuk mengejar Yukina.
'Ujian akhir tinggal enam hari lagi. Akan kumanfaatkan waktuku untuk belajar dan berlatih,' Yukina meloncat turun dari atap tempatnya berpijak. Sebelum mencapai tanah, dia bergelantung pada besi papan toko yang memalang kemudian berayun menuju gedung di depannya.
'Tidak peduli pahlawan atau penjahat nomor berapa, siapapun lawannya aku pasti akan melampaui mereka.'
Yukina menghempaskan diri ke langit. Saat melayang di udara, tangannya merentang ke atas, ke arah matahari yang bersinar terang.
"Lalu, akan kutemukan cahaya baru untuk mengasah kemampuanku!"
#35
Birds are born with wings, the symbols of freedom. But birds born in cages think freedom is a crime.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Halo! Author Vanilla yang comeback from hiatus di sini! ヾ( ̄▽ ̄)
Ada yang kangen dengan cerita ini? Maaf telah membuat reader-tachi menunggu. Jika kesibukan dunia nyata sudah melonggar, Vanilla akan berusaha update rutin ke depannya.
Anyways, bagaimana tanggapan kalian tentang chapter usai hiatus panjang ini? Selain menghadirkan karakter cogan yang tak terduga –Hawks, Dabi, serta Hayato, ada banyak misteri di sini yang belum terungkap. Penasaran? Tunggu saja kelanjutannya, hohoho. (*•̀ᴗ•́*)
Dan juga, terima kasih banyak untuk WhiteLancelot yang telah mengedit background dari foto cover pada chapter ini. Amazing edit! Fotonya jadi terlihat lebih epic dan dramatic dari versi original di bawah ini (* ≧▽≦) ว
(Untuk gambar Hawks, Vanilla menggunakan referensi dari artist maromi100)
Cr: https://mobile.twitter.com/moromi100
Jujur saja, Vanilla kurang jago dalam membuat background... =͟͟͞͞(꒪⌓꒪*) *pundung*
Karena masih dalam tahap belajar, jangan ragu untuk memberi komentar. Kritik dan saran dari kalian sangat Vanilla nantikan. (✿╹◡╹)ノ
Oh iya, adakah yang punya akun instagram? Sebenarnya Vanilla punya IG yang follower-nya teman-teman real life, namun masih kosong karena bingung mau post apa. Rencana akan diisi fanart, BNHA, OC, short amv, atau hal-hal lain yang berbau anime.
Jadi, lebih baik dipost di IG yang sudah ada atau malah bikin IG baru yang khusus anime? Tolong tulis saran kalian di sini, ya! ( ノ╹ヮ╹)ノ
Sekian catatan di chapter ini. Arc Last Exam akan segera dipublikasikan. Tunggu kelanjutan ceritanya, ya!
See you next chapter!
—Vanillavoid
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro