Chapter 34: Get Along and Gear Up
🎵 : Hirari Hirari - Hatsune Miku (Instrumental ver.)
Listen to music while reading!
Sama seperti bulan,
dia punya sisi begitu gelap,
yang bahkan bintang-bintang tak mampu menyinarinya.
Dia punya sisi begitu dingin,
yang bahkan matahari tak mampu menghangatkannya.
Midoriya masih tidak percaya, atau malah tidak ingin percaya. Fakta bahwa Yukina adalah anak dari All For One, musuh bebuyutan All Might yang menjadi dalang kejahatan di Jepang, begitu mengejutkan. Midoriya menolak kenyataan kejam tersebut dalam benaknya.
“... Um, Yukina? K-Kau ... baik-baik saja?” Midoriya takut-takut bertanya.
Yukina berhenti melangkah, membuat Midoriya melakukan hal yang sama. Matanya menatap kosong ke depan, bayangan hitam menggelapkan wajahnya. Dia depresi berat.
“Seumur hidupku, kupikir aku memperjuangkan hal yang benar. Namun ternyata, aku hanyalah pemudi yang terlalu optimis,” Yukina mendongak, menatap langit senja yang bahkan lebih cerah dari hidupnya.
“... Yukina?”
“Ayahku selalu meyakinkanku kalau apa yang kami lakukan akan membuat dunia ini lebih baik. Namun tentu saja, gagasan idealisnya ... tidak ideal bagi semua orang, termasuk diriku. Jadi, aku pun meninggalkannya –tidak, aku kabur darinya.”
Midoriya meneguk ludah. Ucapan Yukina itu hanyalah pernyataan halusnya. Apa yang dia alami pasti lebih berat dan kejam dari yang terdengar.
‘Begitu, ya. Pantas saja aku merasa ada yang aneh saat itu,’ batin Midoriya mengingat kejadian sebelum festival olahraga (Chapter 15).
“Kemudian, aku mendedikasikan hidupku untuk menjadi pahlawan,” Yukina berjalan maju beberapa langkah, “Seorang anak villain terkejam berkedok calon hero, begitulah diriku ...”
Yukina perlahan membalik tubuhnya, berhadapan tepat dengan Midoriya. “... Shigaraki Yukina.”
Hening. Hanya terdengar desiran angin sore yang berhembus. Yukina menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan semua kata yang ingin terlontar keluar.
‘Maaf, Izuku. Aku tidak bisa memberitahumu semuanya tentangku ....’
Yukina menghela napas, “Dengar, aku sama sekali tidak bermaksud membohongimu, juga yang lain. Tapi untuk sekarang, aku ingin menghindari kekacauan dan anggapan yang tidak-tidak soal diriku. I want people see me for who I am, not what I am.”
Midoriya terdiam. Kini dia mengerti kenapa Yukina sangat menutup diri. Gadis itu bagaikan enigma, begitu misterius penuh teka-teki. Sekalipun sudah mendengar semuanya tadi, Midoriya merasa masih belum tahu apa-apa. Seakan itu semua hanyalah permukaan terluar dari web –surface web. Pasti Yukina masih banyak menyimpan sesuatu yang tak dapat dia bayangkan, layaknya deep web atau malah ... dark web.
“Selain itu, aku tidak ingin kau dan yang lain terlibat masalah gara-gara diriku. Jadi, Izuku ... bisakah kau merahasiakan ini?”
Tanpa berkata sepatah katapun, tiba-tiba Midoriya memeluk Yukina erat. Yukina membeku, terkejut dalam diam. Tas yang dia pegang seketika jatuh, di dekat tas Midoriya, namun mereka tidak peduli. Kebingungan memenuhi kepala Yukina tetapi tubuhnya diselimuti kenyamanan dari Midoriya.
“... Izuku?”
“Tentu saja aku akan merahasiakan ini, tapi ... Jangan memikul semua beban itu sendirian, Yukina!” tegas Midoriya. “Aku mungkin tidak bisa menyelesaikan semua masalahmu, tapi aku bisa berada di sisimu untuk menghadapinya. Kau tidak sendirian, aku di sini!”
Untuk pertama kalinya, hati Yukina tersentuh hanya dengan mendengar kata-kata sederhana itu. Dia pikir hatinya sudah mati, hancur berkeping-keping sejak kecil hingga tak dapat merasakan apapun. Namun sekarang, hatinya bisa kembali bekerja layaknya manusia.
‘Astaga, dia ini ... benar-benar hero, ya ...’ batin Yukina terharu. Dia menutup mata, menikmati sensasi nyaman yang diberikan Midoriya.
Beberapa detik bertahan dalam posisi berpelukan tanpa suara, Midoriya sadar situasi. “A-Ah! G-G-Gomen! A-Aku tidak bermaksud—“
Gyut! Midoriya merasa dua tangan terkalung di pundaknya, begitu erat tak mau lepas. Pipinya yang berfreckles empat titik langsung memerah padam. Ternyata Yukina membalas pelukannya. Sekarang gantian Midoriya yang kebingungan.
“Y-Y-Yuki—“
“Diam. Jangan bergerak.”
Mendengar perintah dingin penuh penekanan dari Yukina, Midoriya langsung mengkeret. Rasanya jika dia mengubah posisinya satu milimeter saja, dia terbang ke akhirat saat itu juga.
“Terima kasih, Izuku,” bisik Yukina lembut seraya mengeratkan pelukan. Mendengar ucapan tulus darinya, Midoriya ikut tersenyum dan mengangguk.
“Mari berjuang menjadi pahlawan hebat bersama-sama, Yukina.”
Keesokan harinya...
Pukul 8.25 AM, waktunya homeroom pagi oleh sang wali kelas, Aizawa Shota. Waktu liburan musim panas sudah dekat. Akan tetapi, U.A. bukanlah sekolah yang memberi libur panjang agar muridnya rebahan saja di rumah.
“Selama liburan musim panas, kita akan berlatih di hutan,” ungkap Aizawa sebagai simpulan akhir. Sontak satu kelas bersorak-sorai, penuh kebahagiaan menyambut acara tersebut.
“Uji nyali!” –Ashido
“Pemandian!” –Mineta
“Kembang api.” –Asui
“Pemandian terbuka!” –Mineta
“Kari.” –Iida
“PEMANDIAN AIR PANAS!” –Mineta
Pokoknya soal mandi, Mineta sangat menantikannya. Sungguh anak yang cinta kebersihan tetapi berotak kotor. Hah ... Andai saja mandi bisa membersihkan pikirannya, pasti tidak ada bau-bau hentai di kelas A.
“Akan tetapi ...” Aizawa langsung mengaktifkan quirknya, membungkam murid 1-A yang seperti penjual sayur rebutan pelanggan di pasar. Cara itu terbukti efektif, kelas langsung sunyi senyap karena semua terdiam.
“... Siapapun yang tidak lulus ujian akhir sebelum itu, akan ada di kelas neraka musim panas,” kata Aizawa menekankan.
“Minna, ayo berjuang!” seru Kirishima menyemangati yang lain.
“Gak guna banget,” sinis Bakugo.
‘Ujian akhir? Makanan apa itu?’ tanya Yukina polos. Maklumlah, dia tidak pernah sekolah sebelumnya.
Selama ini, Yukina belajar privat bersama ayahanda tercinta. AFO tidak ingin putrinya bodoh hanya karena tidak menempuh pendidikan formal. Jadi, dia pun mengajarinya semua pengetahuan seperti di sekolah kebanyakan.
Hanya saja, pengajarannya lebih brutal dan kejam. Bisakah kalian membayangkan anak usia lima tahun dicekoki kalkulus?
“Tinggal satu minggu lagi sebelum UAS dimulai. Kalian sudah serius belajar, ‘kan?” tanya Aizawa sembari merapikan berkas dokumen di meja. “Aku yakin kalian pasti sudah tahu bahwa bukan hanya ujian tulis, namun juga ada ujian praktik. Pastikan kalian melatih tubuh dan pikiran juga.”
Yukina menghela napas dan menopang pipinya bosan. “Ujian hidupku sudah berat, masih saja ketambahan ujian semester,” gumamnya datar padahal hatinya ambyar.
Aizawa berjalan keluar kelas, “Itu saja. Homeroom selesai,” ucapnya kemudian menutup pintu.
[A/N: Tanda # menunjukkan peringkat subjek saat UTS.]
“AKU BELUM BELAJAR SAMA SEKALI...!!!” seru Kaminari (#21) dan Ashido (#20) bersamaan. Ashido tertawa tanpa dosa sedangkan Kaminari meremas rambutnya frustrasi, “Saat festival olahraga dan magang, aku belum belajar sama sekali!”
Tokoyami (#15) menyahut setuju, “Memang benar kegiatan kita tidak ada habisnya, tapi ...”
“... Dengan kegiatan yang tiada hentinya, ujian akhir pasti terasa berbeda, ya,” ujar Sato (#13) pada Koda (#12) yang mengangguk-angguk.
Mineta (#10) duduk menyilangkan kaki dan menopang pipinya. “Apalagi ada ujian praktik, pasti tambah sulit, deh,” ucapnya sombong.
“Peringkat 10 saat UTS?!” seru Ashido dan Kaminari tidak percaya.
“Padahal kukira kau salah satu dari kami!” tunjuk Ashido.
Kaminari menggeram kesal, “Orang sepertimu itu seharusnya bego! Siapa yang benci hal ini?!”
“Seluruh dunia, mungkin,” balas Mineta (sok) cool.
“Ashido-san! Kaminari-kun! M-Mari berjuang!” seru Midoriya (#5) menyemangati. “Kita semua ingin ke pusat pelatihan, ‘kan?”
“Benar!” Iida (#3) mengangkat tangannya ala robot, “Sebagai ketua kelas, aku harap kalian belajar sungguh-sungguh!”
“Kalau kalian memperhatikan pelajaran, pasti kemungkinan tidak lolosnya kecil, bukan?” tambah Todoroki (#6) dengan nada datar.
“Jaga omongan kalian, dong!” Kaminari memegangi dadanya yang sakit gara-gara ucapan mereka. Tiga orang tadi pasti tidak tahu bagaimana perasaan murid yang rumus ABC saja kadang lupa.
“Mungkin aku bisa membantu kalian kalau masalah pelajaran,” Yaoyorozu (#2) menawarkan bantuan sambil tersenyum.
Tentu saja itu disambut baik oleh Ashido dan Kaminari. Bahkan Jiro (#8), Sero (#18), serta Ojiro (#9) juga mohon diajari olehnya.
Yaoyorozu berbinar-binar semangat. “Tentu saja!” soraknya sambil bangkit, menyebabkan kursinya terdorong ke belakang hingga mengenai meja Yukina.
“Urusai. Tak bisakah kalian tenang?” kesal Yukina (#1) yang merasa terganggu. “Teriak keras-keras begitu tidak akan membuat kalian lulus ujian,” lanjutnya sarkas.
Semua orang menoleh ke Yukina yang duduk di kursinya. Dia tengah membaca manga One Piece. Di mejanya terdapat buku catatan rumus yang menyebabkan iritasi mata, namun juga ada gambar kucing imut di bawahnya. Ketahuan kalau Yukina suka coret-coret kala bosan di kelas.
Namun yang mengejutkan adalah ... angka satu dari dua puluh satu yang terpanah kepadanya.
“P-PERINGKAT SATU SAAT UTS?!!”
Bukannya tenang, malah semakin heboh. Yukina menahan diri untuk tidak menghempaskan manusia-manusia di hadapannya. Dia hanya ingin ketenangan, tetapi kenapa rasanya sulit sekali?
Ashido menganga syok, “Padahal kau selalu tidur di kelas, tapi—”
“—Kok bisa jadi peringkat satu?!“ tanya Kaminari.
“Belajarlah,” jawab Yukina enteng. Jika dia menjawab jujur, pasti mereka ngeri mendengar kekejaman AFO yang mencuci otaknya sedari kecil.
Mata Kaminari bersinar-sinar takjub. ‘Wah, ternyata doi sangat genius! Bisa diajak belajar bareng sekalian PDKT, nih!’ pikirnya.
Kaminari mendeham, “Yu—“
“Tidak.”
“Hidoii! Aku bahkan belum bilang apapun!” seru Kaminari yang terpotek kokoronya. Belum juga selesai ngomong sudah ditolak Yukina. Kaminari langsung pundung di pojokan, diiringi backsound lagu Pernah dari Azmi untuk menambah kesan nelangsa.
Pernah sakit... tapi tak pernah sesakit ini~ ♪
Karena pernah cinta... tapi tak pernah sedalam ini~ ♪
Apakah Kaminari akan stay strong sampai cerita ini berakhir? Kirim dukungan kalian melalui vote agar dia ternotice Yukina dan tabah menghadapi penistaan Author.
Kirishima (#16) tersenyum melihat Yukina dari kejauhan. Dia melirik Bakugo, “Setelah ini, apa kau masih akan menyebut Yukina bodoh?” tanyanya meledek.
“Diam! Kau mau kuhajar sampai mampus, ya?!” geram Bakugo (#4). Dia kesal karena lagi-lagi Yukina mengalahkannya. Bukan soal kekuatan saja, tetapi juga secara akademik.
“Oh, kau mau mengajariku buat UAS? Jaa, yoroshiku, Bakugo!” sahut Kirishima malah salah paham. Dia terlalu berpikir positif terhadap orang senegatif Bakugo.
Bakugo menopang dagu, membuang muka sambil berdecih pelan. “Buat apa pintar kalau tidak peka?” gumamnya jengkel. Untung Kirishima tidak mendengarnya.
Waktunya istirahat. Para siswa langsung pergi ke kantin untuk makan siang. Namun tidak dengan Yukina. Daripada mengantre di kantin yang ramai, dia memilih menyantap bento buatan sendiri di kelas. Tentu saja, Yukina membuat bentonya seimut mungkin. Kepalan nasinya dibentuk kelinci lucu, dengan lauk karaage, sosis dipotong ala gurita, dan telur rebus. Tak lupa sayuran segar sebagai sumber gizi.
Sambil makan, Yukina membaca berita online di ponselnya. Apalagi kalau bukan soal Black Death. Seketika acara mengunyah Yukina terhenti begitu menemukan artikel yang menyulut emosinya.
“Satu keluarga hero tewas dengan tubuh bertuliskan ‘Kuroshi’.”
“Setelah lama menghilang, Black Death kembali dengan visi baru?”
“Diduga membunuh warga sipil, netizen: itu Black Death gadungan!”
“Black Death berubah, kritikus sebut ideologi Stain semakin meluas.”
Yukina memukul meja penuh emosi. Sumpit yang dia pegang langsung patah dalam genggamannya. “Apa-apaan ini? Dia semakin memburuk saja,” geramnya. “Apapun yang terjadi, aku harus menghentikannya.”
Yukina segera menghabiskan bentonya. Setelah itu, dia mengambil pulpen dan menulis di buku. Sebuah jadwal yang mengatur ulang kegiatannya, mulai dari sekolah, belajar, berlatih, mencari Black Death kw, serta istirahat. Dia harus pandai-pandai membagi waktu. Jika tidak, itu bisa menghancurkan tubuhnya dan mengacaukan pikirannya.
Kemudian...
“Hore! Kalau lawan robot sih gampang!”
“Benar, dah! Dengan begini, kita pasti bisa ke pusat pelatihan!”
Terdengar sorakan bahagia Kaminari dan Ashido. Midoriya Squad yang tadi makan di kantin mendapat informasi dari Kendo, ketua kelas 1-B, yang mengatakan bahwa ujian akhir hanya melawan robot.
Yukina mengabaikan itu semua dan mengemas barang-barangnya. Dia harus segera pulang, ada hal penting yang harus dilakukan. Yukina tidak peduli mau lawannya robot, hewan, manusia, amoeba, atau setan alas sekalipun, dia hanya perlu membunuhnya, ‘kan? Uh, ralat, mengalahkannya.
“Lawan manusia atau robot, sama saja kau harus mengalahkannya, ‘kan? Apa yang kalian remehkan, bodoh?” balas Bakugo yang satu sel otak dengan Yukina –kalau urusan bertarung.
“Siapa yang kau bilang bo—“
“BERISIK! Kalau kalian ingin mengontrol kekuatan, kontrol saja! Dasar bodoh!” Bakugo yang emosi memotong ucapan Kaminari. Menyadari Raja Peledak masuk mode PMS, Ashido dan Kaminari pun mundur ketakutan.
“Naa, Deku!” Bakugo memanggil Midoriya dengan nada rendah. Dia menyipitkan mata penuh kekesalan, “Aku tidak tahu kau sudah menemukan cara memakai quirkmu atau tidak, tapi ... Kau jangan coba macam-macam denganku.”
“Oh, pasti soal Deku-kun yang meniru gerakan Bakugo-kun saat balapan kemarin,” bisik Uraraka pada Ashido.
‘Makan malam nanti masak apa, ya?’ pikir Yukina dengan absurdnya. Dia sama sekali tidak sadar kalau sedang terjadi Civil War di 1-A. Entah karena overchill atau bagaimana, setiap kali berada di situasi mencekam, pasti ada saja pikiran nyeleneh yang terlintas di benak Yukina.
“Setelah hasil ujian akhir keluar, kita lihat siapa yang lebih hebat ...” Bakugo menunjuk Midoriya, “Aku akan mengalahkanmu dengan perbedaan yang mutlak. Aku akan membunuhmu!”
Tap... Tap... Tap...
Yukina menghampiri Bakugo yang menunjuk Midoriya. Dengan santainya, dia menyingkirkan tangan Bakugo yang teracung. “Minggir, aku mau lewat,” ucapnya datar sambil berjalan keluar kelas.
JDER! Satu kelas –kecuali Bakugo dan Yukina— tersambar petir kekagetan yang dahsyat. ‘Yukina malah masuk medan perang dengan santainya...!!!’
Wajah Bakugo menggelap. Ini bukan pertama kalinya Yukina menyulut emosi, membakar sumbu dalam dirinya. Bakugo kesal melihat wajah tanpa ekspresi itu, yang seolah menganggap dirinya tidak berkesan sedikitpun. Gelagatnya menunjukkan bahwa semua pencapaian itu mudah dilakukan, termasuk ketika mengalahkan Bakugo.
Bakugo mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia sangat benci jika seseorang meremehkannya. Rasanya menjengkelkan sekali hingga Bakugo ingin meledakkan apapun.
“Tunggu, sialan!” Bakugo mencengkeram pundak Yukina kuat-kuat, membalik paksa tubuhnya agar mereka bisa berhadapan. “Tentu saja ucapanku tadi juga berlaku padamu. Aku akan membunuh—“
BRUK! Belum sempat menyelesaikan umpatannya, Bakugo sudah jatuh ke lantai dengan keras. Satu kelas terdiam takut. Yukina membanting Bakugo dengan menyingkirkan tangannya dan menjegal kakinya di waktu yang bersamaan. Gerakan tersebut sangat cepat hingga Bakugo tak sempat bereaksi.
Bakugo mengerang pelan. Kepalanya membentur tanah hingga sakitnya berdenyut-denyut. Dia membuka mata, tampak Yukina yang berdiri menatapnya.
“Membunuh?” Yukina bertanya dengan nada rendah. Matanya berubah kosong seperti yandere. “Kau berkata begitu, seolah-olah pernah membunuh orang saja,” lanjutnya dingin.
Deg! Satu kelas tertegun hebat. Bukan hanya karena mendengar ucapan Yukina yang mengerikan, namun juga penekannya begitu terasa. Semua menelan ludah. Kaki mereka rasanya lemas karena Yukina sangat menakutkan ketika marah.
Yukina menyapu pundaknya yang tadi dicengkeram Bakugo, “Aku tidak punya waktu untuk meladeni orang yang saat magang hanya meluruskan rambut, bukan pola pikir.”
Kalau situasinya mendukung, Kirishima dan Sero akan tertawa ngakak sekarang juga. Namun karena masih sayang nyawa, mereka memilih diam dan menahan ledakan humor dalam relung jiwa.
Bakugo bangkit dengan gusar, “Apa katamu?!”
“Aku tidak menyangka kalau orang yang banyak bicara sepertimu, hanya sedikit bicara saat bertarung,” jawab Yukina sarkas.
“KAU—“
Bakugo juga Yukina kompak mengaktifkan quirk dan saling menerjang. Namun, gerakan mereka dihentikan oleh lilitan kain yang kuat. Quirk keduanya langsung nonaktif sebelum nanti menghancurkan kelas.
“Sudah cukup! Berhentilah, kalian berdua!”
Semua murid menoleh ke sumber suara. Sosok Aizawa berdiri dengan rambut melayang dan mata merah menyala. Dia menahan syalnya yang mengikat Bakugo serta Yukina.
“A-AIZAWA-SENSEI!” Satu kelas –kecuali Bakugo dan Yukina- bersyukur guru mereka tercinta datang menghentikan perang dunia ketiga. Sebaliknya, kedua petarung malah mendecih kesal.
Aizawa menatap tajam dua murid pembuat onar yang masih saja baku hantam padahal tubuh mereka telah terikat. “Bakugo, Yukina, ke ruanganku. Sekarang juga.”
Bakugo dan Yukina duduk bersebelahan dengan wajah yang memaling berlawanan arah. Mereka seperti murid bermasalah yang terciduk guru BK. Di hadapan mereka, Aizawa mengetukkan jarinya ke meja berulang kali. Saat ketukannya berhenti, dia baru mulai bicara.
“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Dia yang memulainya!” jawab Bakugo dan Yukina kompak. Mereka saling menunjuk satu sama lain.
Bakugo menoleh, “Kau membantingku duluan, sialan!” teriaknya tidak terima.
“Itu karena kau menyentuhku dan bersuara seperti sound kondangan,” balas Yukina tak mau kalah.
“Orang yang tidak bisa berteriak sepertimu, tidak berhak berkomentar soal suaraku, kampret!”
“Landak Jantan.”
“Zebra Betina!”
Aizawa mengelus dada, menabahkan diri dari cobaan karir gurunya. Dua muridnya yang akhlakless itu malah asyik beragumen sendiri seperti debat capres. Aizawa bangkit sembari membuka suara dengan tegas.
“Harus kukatakan, kemampuan kalian yang hebat hanya bisa ditandingi oleh perilaku kalian yang buruk.”
Bakugo dan Yukina tertegun. Mereka menoleh pada Aizawa dengan gerakan patah-patah. ‘Mampus gue,’ batin mereka sepemikiran. Pak Aizawa benar-benar geram sekarang.
“Kemampuan bisa dipelajari dan dikembangkan, tapi etika sulit diubah dan akhirnya menjadi tanggung jawab masing-masing orang.”
Aizawa mencengkeram tangan kanan Bakugo, “Tidak peduli seberapa hebatnya dirimu—“
Aizawa mencengkeram tangan kiri Yukina, “Tidak peduli berapa banyak kekuatan yang kau kerahkan dalam dirimu—“
Klik! Sebuah borgol terpasang di tangan Bakugo dan Yukina.
“Jika kalian tidak bisa menjaga sikap dan saling menghormati—”
Aizawa mencengkiwing kerah belakang Bakugo dan Yukina lalu melempar mereka keluar dari ruangan. Seperti membuang kucing saja. Bakugo langsung jatuh menungging tak elit sedangkan Yukina salto ria dulu sebelum akhirnya berdiri tegap.
“—Lebih baik kalian menyerah saja menjadi hero,” lanjut Aizawa tegas. “Kami di sini mendidik murid untuk menjadi hero, bukan petarung jalanan.”
Bakugo menoleh, “Tunggu, Sensei! Apa-apaan ini?! Kenapa tanganku diborgol?!”
“Tangan kami, baka,” koreksi Yukina.
“Urusai! Aku tidak bicara denganmu!” bentak Bakugo.
“Sampai kalian bisa memperbaiki sikap dan tidak membuat masalah seperti tadi, kalian tidak diizinkan mengikuti ujian akhir minggu depan,” kata Aizawa penuh penekanan.
SRAK! Pintu digeser menutup oleh Aizawa, meninggalkan Bakugo dan Yukina hening di depan kantor guru. Keduanya saling berpandangan seperti orang dungu. Sepuluh detik usai pintu ditutup, mereka baru sadar dan menjerit—
“NANI?!!”
Yukina berkeringat dingin dengan wajah membiru suram. Dia memegangi kepalanya sambil bergumam depresi, “T-Tidak bisa ikut ujian artinya gagal ... Gagal artinya tidak berguna ... Tidak berguna ...”
“Urusai! Damare, Zebra!” Bakugo bangkit dan melihat tangannya yang terborgol bersama Yukina. “Daripada ngoceh begitu, lebih baik urus ini dulu! Apa-apaan ini, sialan?!”
“Borgol tangan standar yang terbuat dari baja karbon,” jawab Yukina polos. Memang benar sih, tetapi bukan itu maksud Bakugo.
“Siapa yang peduli soal itu, bodoh?!” kesal Bakugo. Dia menunjuk borgol di tangannya, “Ini harus segera disingkirkan. Aku tidak mau berlama-lama dengan cewek menyebalkan sepertimu!”
“Kebetulan sekali, aku juga berpikir sama. Berlama-lama denganmu membuat telingaku berdarah. Dasar sound kondangan,” sahut Yukina sarkas.
“TEME!” Bakugo mengerang kesal, “Kenapa kau begitu memuakkan?!”
“Huh? What is that supposed to mean?!” tanya Yukina tersinggung. Sengaja memakai bahasa Inggris untuk menghindari kata-kata toxic.
“It means you’re Big. Stupid. B*tch! And I hate you!” jawab Bakugo dengan penekanan di setiap katanya. Malah Bakugo yang toxic.
“Beraninya kau bicara seperti itu!”
“Itu karena kau bertingkah sok sempurna!”
Yukina mengeraskan rahang dan menarik kasar kerah seragam Bakugo, “Aku. Tidak. Sempurna!” tegasnya menaikkan suara, membuat Bakugo tertegun. Mata mereka beradu dalam jarak dekat sebelum akhirnya Yukina mendorong Bakugo menjauh.
“Belum,” koreksi Yukina. “Tapi aku jauh lebih baik darimu.”
“Kau benar-benar ngajak berantem, ya?” Bakugo menggeram menahan marah. Belum juga lima menit terborgol dengan Yukina, dia nyaris stroke di usia muda.
Yukina memutar mata cuek, mengabaikan Bakugo. Dia melepas pitanya yang terpasang di sisi kiri kepala dan mengambil sesuatu di sana. Sebuah kawat mirip jepitan rambut.
“Mau apa kau?” tanya Bakugo.
“Aku mencoba melepas borgol tanpa menggunakan quirk,” jawab Yukina. “Cedera pada tangan kiriku belum sembuh. Quirk cahaya tidak terlalu kuat saat sore hari. Ledakanmu bisa melukai tanganku. Jadi, aku memakai cara manual.”
Yukina meluruskan kawat kemudian memasukkannya ke lubang kunci borgol. Dengan kawat yang sudah dimasukkan ke lubang kunci, dia membengkokkannya sekitar tujuh puluh derajat. Pada ujung kawat dia bengkokkan lagi hingga menghasilkan sudut seperti lingkaran kecil.
Bakugo mendelik menyaksikan hal tersebut. “Hei, kau terlihat sangat ahli soal ini. Apa kau mantan kriminal atau semacamnya?”
“Diamlah sebelum kawat ini kutusukkan ke tenggorokanmu,” ancam Yukina dingin. Dia memutar kawat, menggoyang-goyangkannya sehingga menghadap lengan yang terkunci.
Krak! Kawat patah dan tertinggal di lubang kunci. Bakugo dan Yukina langsung mengheningkan cipta. Ini semakin ruwet.
“LIHAT HASIL PERBUATANMU!” Bakugo ngegas bukan main.
“Aneh, biasanya tidak begini,” Yukina melihat kawatnya yang patah, “Pasti Prodi Pendukung sudah memodifikasi borgolnya.”
“KALAU BEGINI MANA BISA DIBUKA, BODOH?!”
“Teriak-teriak tidak akan menyelesaikan masalah. Aku punya rencana,” Yukina membuang kawatnya sembarang arah,“... Janken. Ini pasti bisa menyelesaikan masalah kita.”
Bakugo mengernyit heran, “Apa hubungannya dengan janken?”
Yukina menoleh. Setengah wajahnya diliputi bayangan hitam, menunjukkan keseriusan yang tidak main-main. Dengan nada datar, Yukina berkata, “Yang kalah ... tangannya harus dipotong.”
DOENG! Bakugo seperti dijatuhi batu besar dari langit saking syoknya. “BAGAIMANA KAU BISA MEMIKIRKAN RENCANA SEKEJI ITU!?” teriaknya dengan volume maksimal.
“Dengarkan rencanaku sampai selesai,” kata Yukina datar. “Jadi, yang tangannya dipotong, kita langsung membawanya ke Recovery Girl. Dia pasti bisa menyambungkannya kembali.”
“KAU PIKIR TUBUH MANUSIA KAYAK LEGO YANG BISA DIBONGKAR PASANG, HAH?!”
“Yosh. Jan-ken—“
“HENTIKAN, BODOH! SUDAH KUBILANG, AKU TIDAK MAU!” sembur Bakugo penuh emosi.
Yukina kembali berwajah serius, “Aku punya rencana lain.”
“AKU TIDAK INGIN MENDENGARNYA!”
Aizawa berjalan keluar dari kantor sembari memijit pelipisnya. Sejak tadi telinganya mendengar kebisingan di luar. Namun begitu dia keluar, sudah tidak ada orang. Aizawa tidak habis pikir. Entah apa yang direncanakan dua murid yang menguras kesabarannya itu.
“Eraser, kau yakin mereka tidak apa-apa?” tanya Present Mic yang berjalan di samping Aizawa. “Mereka seperti pasutri tua rebutan harta warisan saja.”
“Tidak biasanya, ya ... Bakugo yang masa bodoh dan Yukina yang apatis sampai berselisih gara-gara masalah kecil,” komentar Midnight yang ikut menyahut obrolan. “Apa perselisihan itu terjadi karena mereka semakin akrab?”
“Mereka punya cara aneh untuk menunjukkan keakraban. Hasrat mereka untuk menang sangat besar hingga menggebu-gebu. Itu memang motivasi yang baik, tapi—”
Aizawa menghela napas kemudian melanjutkan ucapannya, “—Saat dua orang yang tidak mau kalah bertemu, mereka seperti hewan buas yang saling memangsa.”
BLARR! Suara ledakan terdengar memekakkan telinga diikuti cahaya terang. Present Mic dan Midnight terlonjak kaget sedangkan Aizawa malah menoleh ke sumber kekacauan.
“A-Apa-apaan itu tadi? Villain, kah?!” tanya Present Mic panik.
“Sepertinya borgol saja tidak cukup untuk menghentikan mereka,” komentar Aizawa datar.
“Huh? Ada apa, sih?” Midnight dan Present Mic ikut melongok ke bawah dari lantai atas U.A. Di bawah sana terlihat Bakugo dan Yukina sedang berdiri berhadapan.
Clank! Borgol jatuh ke tanah, terlepas dari tangan Yukina dan Bakugo. Mereka memutar pergelangan tangan masing-masing yang telah terbebas dari belenggu gelang besi.
“Ketika persentase kandungan karbon meningkat, baja akan semakin keras hingga kawat tadi patah. Dan pada baja karbon, makin tinggi kandungan karbon, maka titik leburnya akan menurun,” Yukina menciptakan seberkas cahaya dari telunjuk kanannya, “Quirk cahayaku sangat sempurna untuk ini.”
“Diam kau, Shittyukinerd!” suruh Bakugo kesal, “Tanpa Stun Grenade-ku, kau tidak berguna.”
Yukina menunjuk Bakugo, “Dengar, aku tidak mau kehidupan sekolahku hancur gara-gara seonggok bom sepertimu. Jangan membuat masalah denganku atau kau akan menyesal.”
“Seharusnya aku yang bilang begitu, bodoh!” balas Bakugo sengit.
Yukina dan Bakugo mendecih bersamaan. Mereka berjalan keluar U.A. dan bergegas pulang. Langkah mereka berlawanan arah, saling memunggungi.
Bakugo mendengus sebal, ‘Tingkahnya menyebalkan, tatapan matanya menakutkan, dan suka menghajar seenaknya ...’
Yukina menghela napas berat, ‘Orangnya berisik, mulutnya sangat kasar, dan suka meledakkan semuanya ...’
‘Cewek itu...’
‘Cowok itu...’
Bakugo dan Yukina berhenti melangkah. Mereka menoleh ke belakang dan saling menatap tajam. Beradu pandangan sengit dalam jarak sepuluh meter. Satu hal yang terlintas dalam benak mereka adalah—
‘Kenapa orang seperti dia menjadi hero?!’
#34
Skill can be taught and developed, but attitudes are difficult to change and ultimately are the responsibility of each person.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro