Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 32: The Aftermath

“Apa? Kenapa kau di sini?”

Telinga Midoriya mendengar suara yang tidak asing dari seberang jalan. Gran Torino, kakek tua perkasa itu mengajukan pertanyaan pada pemagangnya, namun semua orang juga menoleh secara refleks.

“Gran Tori—“

“Sudah kubilang agar tetap duduk di kereta cepat, ‘kan?!” Gran Torino menendang wajah Midoriya tanpa memberinya kesempatan untuk menjawab.

Untung saja Yukina masih pingsan sehingga tidak menyaksikan adegan cute-crusher tersebut. Mau monster dalam diri Yukina bangkit lagi?

“Siapa dia?” tanya Todoroki.

Gran Torino menoleh. Matanya terbelalak kaget melihat gadis dalam gendongan Todoroki. ‘Dia ini... anak All For One yang Toshinori ceritakan. Apa yang sebenarnya dia lakukan di sini?’ batinnya bertanya-tanya.

“Gran Torino, pahlawan pro di tempatku magang. Tapi kenapa?” Midoriya yang membuka suara menyadarkan Gran Torino dari persoalan dalam kepalanya.

“Tiba-tiba aku disuruh ke sini,” jawab Gran Torino bersungut-sungut. “Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi syukurlah kau baik-baik saja. Yang penting sekarang cepat obati luka mereka, terutama gadis itu,” lanjutnya menunjuk Yukina.

“Pendarahannya parah sekali. Apa itu karena bertarung melawan Pembunuh Pahlawan?” tanya salah satu pro hero.

Todoroki mengangguk singkat seraya membawa Yukina masuk ke mobil ambulans. Iida dan Midoriya juga mengikutinya dari belakang.

Tiba-tiba Nomu bersayap terbang menukik menuju gerombolan manusia tersebut. Gran Torino-lah orang pertama yang menyadari kedatangannya. “Merunduk!” serunya memperingatkan yang lain.

Angin berhembus kencang ketika Nomu berhasil merebut Yukina dari gendongan Todoroki. Semua orang terkejut, meneriakkan nama orang yang terculik dan menyuruh penculik untuk berhenti. Namun sayangnya, penjahat tersebut tidak berotak sehingga dia hanya mengikuti instingnya untuk terbang tinggi.

“Darah? Apa dia kabur setelah dikalahkan?” tanya seorang pahlawan wanita yang terciprat darah Nomu.

‘Gawat! Jika dia terbang terlalu tinggi, aku takkan bisa meraihnya!’ pikir Gran Torino. Dia sadar bahwa Yukina adalah orang penting di sini. Tentu putri tidur itu tidak boleh dibiarkan terculik begitu saja.

Di tengah kemelut kekacauan tersebut, Stain diam-diam mengeluarkan pisau yang tersembunyi di balik wristband hitamnya. Lidahnya menjulur keluar, menjilat percikan darah di pahlawan wanita itu. Sontak saja pergerakan Nomu terhenti, tubuhnya jatuh tertarik gravitasi bumi.

“Dunia yang tumbuh dengan pahlawan palsu ini dan para kriminal yang sembrono memakai kekuatannya...”

Stain berlari ke arah Nomu sembari memotong tali yang mengikat erat tubuhnya. Dia menusuk Nomu hingga tumbang ke trotoar sementara tangannya yang lain mencengkeram tudung Yukina.

“...Semuanya harus dibersihkan. Demi menciptakan dunia yang lebih adil,” lanjut Stain. Dia melirik tajam Yukina yang belum sadarkan diri. Teringat dengan kata-kata ambius sang lawan sebelumnya.

“Jadi, aku akan berjuang menjadi hero dalam kisahku sendiri!”

‘Kuharap itu bukan sekadar omong kosong belaka.’

“Oi, oi, oi. Jangan bercanda!” seru Tomura yang mengeker adegan tersebut dari kejauhan. “Kenapa Nomu itu terbunuh? Kenapa Yukina ada di sana? Banyak sekali yang ingin kutanyakan! Semua berantakan!” geramnya.

Semua orang mematung di tempat. Kebingungan namun juga was-was. Apakah Stain bermaksud menyelamatkan Yukina? Atau malah menyanderanya? Berbagai persepsi bermunculan di benak masing-masing tanpa ada yang tahu jawaban pastinya.

“Kenapa kalian bergerombol di sana?” tanya Endeavor yang datang tiba-tiba, mengalihkan perhatian semua orang untuk menoleh ke arahnya. Salah satu alis pahlawan api itu naik, melihat Stain yang melepaskan cengkeramannya dari tudung Yukina.

“Endeavor. Kau palsu...” Stain menyipitkan mata penuh kebencian. Endeavor menyalakan apinya dan bersiap menyerang tetapi dicegah Gran Torino.

“Aku harus meluruskan semuanya...” Stain menatap tajam orang-orang di hadapannya. Perlahan namun pasti, aura mencekam keluar dari Stain yang bergerak maju dan semakin menguat seiring langkahnya.

“Harus ada darah seseorang yang tertumpah. Aku harus mengembalikan arti sesungguhnya dari pahlawan!”

Semua orang membeku ketakutan, merinding hebat akibat intimidasi Stain. Bahkan Endeavor dan Gran Torino juga merasakannya. Di mata mereka Stain terlihat seperti bayangan hitam dengan aura membunuh yang kuat. Pemandangan sekitar mulai mengabur, digantikan dominasi warna hitam dan merah yang mengerikan.

“Ayo! Datang dan tangkaplah aku, kalian para palsu!” tantang Stain tanpa rasa takut. “Satu-satunya orang yang kuizinkan untuk membunuhku adalah pahlawan sejati, All Might!”

Ketakutan memuncak. Tekanan yang dirasakan semua orang menguat. Tubuh mereka bergetar takut, bahkan sampai ada yang terduduk lemas.

Bruk! Stain yang berdiri membungkuk tiba-tiba roboh. Dirinya jatuh ke trotoar bersamaan dengan pisau yang terlepas dari genggamannya. Semua orang seakan tertampar kembali ke alam nyata. Kengerian yang menyelimuti mereka hilang begitu saja.

Gocha-gocha, urusai naa...” gumam Yukina malas. Kepalanya tertunduk. Tangannya yang terangkat setinggi kepala perlahan turun. Dilihat dari gesturnya, dapat dipastikan dia baru saja melayangkan pukulan tepat di tengkuk Stain hingga pingsan.

“All Might sedang sibuk bersiap menghadapi Last Boss. Lawan yang pantas dan jauh lebih kuat darimu,” lirih Yukina dingin. Mata merahnya berkilat tajam menatap Stain yang terkapar di trotoar.

Lihatlah, semua langsung terduduk lemas kecuali Endeavor dan Gran Torino yang notabenenya pro hero senior. Mereka menganga tidak percaya. Bagaimana mungkin Yukina mampu bergerak di tengah intimidasi Stain yang menakutkan tadi?

“Kenapa kalian malah plonga-plongo saja dan tidak segera meringkusnya?” tanya Yukina tiba-tiba. Dia meraih syal merah Stain, menyeretnya santai sambil menghampiri gerombolan orang yang kicep akibat tindakan di luar nalar manusia tersebut.

‘A-A-apa-apaan dia itu?! Dengan santainya menarik Pembunuh Pahlawan seperti menyeret kantong sampah!’ pikir semua orang.

“Y-Y-Yukina-kun... Apa yang.. kau lakukan?” tanya Iida terbata-bata saking syoknya.

“Membungkamnya dengan tinjuku,” jawab Yukina polos tanpa dosa.

“Night Nova, lagi-lagi kau bersikap seenaknya! Aku menuntut penjelasanmu setelah ini,” seru Endeavor kesal.

Baru bangun dimarahin. Ngajak berantem?

Yukina mengabaikan Endeavor yang hendak menyemprotnya dan malah memegangi kepalanya sendiri yang pusing hebat. Dia mulai oleng dan nyaris terjatuh jika saja Midoriya tidak sigap menyangganya. Gran Torino yang sadar bahwa Yukina tengah menahan sakit itu pun angkat bicara untuk menengahi.

Maa, maa. Untuk sekarang, cepat bawa dia beserta teman-temannya ke rumah sakit dulu. Luka mereka harus segera dirawat sebelum memburuk,” kata Gran Torino bijak. “Sementara itu, kita harus menghubungi polisi dan mengamankan Pembunuh Pahlawan.”

Setelah insiden Pembunuh Pahlawan berakhir, Midoriya, Todoroki, Iida, serta Yukina dilarikan ke rumah sakit Hosu. Ketiga laki-laki tersebut dirawat dalam ruangan yang sama sementara Yukina berada di kamar khusus untuk mendapat perawatan intensif.

Pukul sepuluh pagi, Yukina membuka mata setelah tidur malam yang panjang. Biasanya dia bangun pukul tiga dini hari, namun kali ini sangat terlambat. Wajar saja, kemarin dia bertarung antara hidup dan mati melawan Stain.

Yukina melihat sekitar. Kasur yang terasa asing, dinding warna hijau menenangkan, bau obat yang menyengat.

‘Aku benci tempat ini.’

Yukina berusaha duduk. Dia sungguh tidak nyaman dengan keadaannya sendiri sekarang. Apalagi merasa ada banyak perban yang membalut tangan juga kepalanya. Saat hendak berdiri, pintu kamar terbukanya, menampakkan dokter dan suster yang melangkah masuk.

“Aizawa-san, syukurlah Anda sudah sadar.”

“Kau berkata seolah-olah aku koma beberapa bulan, Dokter,” sahut Yukina datar namun sarkas.

“Tidak, tidak. Saya benar-benar bersyukur Anda sudah sadar. Saat Anda pingsan, kami melakukan pemulihan besar-besaran, mengingat luka Anda-lah yang paling parah dibandingkan yang lain,” jelas dokter.

“Bagaimana keadaan teman-temanku?” tanya Yukina.

“Mereka sudah kami rawat secara maksimal, jadi tidak perlu cemas. Selain itu, lebih baik Anda mengkhawatirkan diri sendiri,” kata dokter seraya menunjukkan berkas pemeriksaan yang dibawanya.

“Kami telah melakukan pemeriksaan dan hasilnya cukup mengejutkan untuk anak seusia Anda. Kami menemukan adanya fraktur stres di kaki kanan Anda. Retakan tulang di sana cukup serius akibat gerakan yang berulang atau tekanan yang berlebihan,” jelas dokter panjang lebar.

Yukina tertegun. Teringat saat magang dia menggunakan kaki kanannya untuk menendang Marionet. Apalagi dengan kecepatan yang nyaris setara dengan cahaya.  Jelas itu sangat membebani kakinya hingga menyebabkan keretakan tulang. Bahkan Yukina sampai tidak sadarkan diri usai mengaktifkan quirknya. (Chapter 29)

“Tulang terus-menerus berusaha mengubah bentuk dan memperbaiki diri mereka sendiri, terutama selama olahraga di mana tekanan luar biasa diterapkan pada tulang. Dilihat dari keadaan tulang Anda, itu adalah hasil dari akumulasi cedera yang sudah lama. Apa Anda sering berolahraga tanpa henti? Seperti lari jarak jauh, terus-terusan melompat, atau semacamnya?”

Sial.

Setitik keringat mengalir dari pelipis Yukina. Terbongkar sudah kebiasaan buruknya sejak kecil, latihan volume tinggi. Meski sadar porsi latihannya memang tidak manusiawi, dia tidak menyangka lukanya akan separah ini.

“Begitulah,” jawab Yukina pelan. ‘Karena.... Sejak bisa berjalan, aku sudah dilatih membunuh.’

“Rasa sakit yang timbul bisa lebih buruk ketika mencoba melakukan aktivitas yang menyebabkan cedera ini. Kerenanya, Anda dianjurkan untuk beristirahat selama enam sampai delapan minggu. Jika tidak, kerusakannya bisa lebih serius dan tentu saja semakin sulit untuk pulih.”

“E-Enam sampai delapan minggu?” Yukina terbelalak tak percaya. Dia sontak bangkit dari kasurnya dan menghadap sang dokter.

“Yang benar saja... Jika aku beristirahat selama itu, seluruh tubuh dan ototku pasti sudah berlumut karena tidak dilatih. Selain itu, aku ingin menjadi hero! Aku harus berlatih agar lebih kuat dan—“

“Tolong tenangkan diri Anda, Aizawa-san. Saya belum selesai,” Dokter menepuk pundak Yukina lembut kemudian mendudukkannya kembali.

“Kami juga menemukan adanya robekan kecil di tendon Anda yang menyatukan otot ke tulang di lengan. Saat tendon meradang, akan terasa nyeri ketika menggerakkan otot. Jika ini berlangsung beberapa minggu atau beberapa bulan, Anda akan mengalami tendinosis, yaitu—“

“Perubahan degeneratif kondisi tendon dan diikuti terbentuknya pembuluh darah tidak normal,” potong Yukina cepat. “Bagian terburuknya adalah meningkatkan risiko tendon putus sehingga perlu dilakukan tindakan bedah.”

“Benar. Namun bersyukurlah, Anda tidak sampai pada bagian terburuknya,” hibur sang dokter. “Kami akan memberikan obat pereda rasa sakit, seperti paracetamol atau ibuprofen. Dan yang terpenting tentu saja Anda harus beristirahat juga tidak melakukan aktivitas yang membebani tubuh.”

Yukina hanya diam. Tangannya mencengkeram selimut putih kuat-kuat. Dia tahu, semua luka itu bukan berasal dari Stain atau musuh yang dia lawan selama ini. Itu akibat sejak kecil berlatih keras tanpa henti juga efek samping quirknya sendiri. Dalam hati Yukina merutuki betapa lemahnya dia yang tidak sanggup menahan beban tersebut.

‘I’m really my own enemy.’

Setelah merawat dan mengganti perban luka Yukina, dokter beserta suster keluar dari kamarnya. Mereka bermaksud mempersilakan Yukina untuk istirahat, namun faktanya sang pasien sama sekali tidak bisa melakukannya.

Yukina kembali berbaring di ranjang rumah sakit, memaksakan diri untuk tidur lagi. Saat hendak menutup mata, pintu kamarnya terbuka dengan keras. Disusul teriakan jantan yang memanggil namanya.

“Yukina!” / “Yukina-kun!”

Yukina menghela napas dan kembali duduk. Tampak tiga teman senasibnya, Midoriya, Todoroki, dan Iida yang masuk dengan tergesa-gesa. Tampang mereka menggambarkan sebuah kekhawatiran meskipun tubuh mereka sendiri juga mengkhawatirkan dengan banyaknya perban di sana-sini.

“Kami lihat dokter baru saja keluar dari kamarmu,” kata Todoroki mengawali pembicaraan.

“Bagaimana keadaanmu, Yukina-kun?” tanya Iida to the point.

“Yukina... K-Kau baik-baik saja ‘kan?” Midoriya yang cemas berusaha memastikan.

Melihat pure-boy yang imut itu (juga wajah memelas Todoroki dan Iida), Yukina jadi tidak tega menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Pasti Iida akan semakin merasa bersalah dan Todoroki-Midoriya semakin cemas.

Daijobu. Aku baik-baik saja, hanya luka kecil di lengan,” jelas Yukina seraya menunjuk lengan kirinya. Iya, memang luka kecil tetapi sampai harus istirahat delapan minggu.

“Benarkah?” Todoroki yang tidak percaya begitu saja kembali bertanya.

Dakara, daijobu datte. Jika tidak percaya, kita bisa adu panco untuk membuktikannya,” celutuk Yukina seraya mengangkat lengan kirinya. Sontak saja dia merasa ada bunyi krak dari dalam sana yang membuatnya harus mati-matian menahan jeritan. Untung saja poker-face Yukina berhasil menutupi internal screamingnya.

Kalau dibikin anime crack, pasti sekarang sudah mengalun lagunya Dewi Persik yang berjudul “Indah Pada Waktunya” untuk mewakili perasaan Yukina.
Ingin kuteriak~ ♪
Ingin kumenangis~ ♪
Tapi air mataku sudah tiada lagi~ ♪
Walau lelah hatiku takkan aku mengeluh~ ♪
Biarlah hanya Tuhan yang tahu~ ♪

Oke, kembali ke cerita.

Iida menatap Yukina iba. Dia sadar bahwa gadis itu berusaha terlihat kuat di depan mereka. Aneh memang... Manusia teracuh di kelas bersikap tegar agar tidak dicemaskan teman-temannya, padahal dia juga tidak peduli dengan pandangan mereka.

Sebenarnya Yukina cuma tidak ingin dikasihani orang lain dan mendapat perhatian berlebih dari mereka. Dia tidak suka mendramatisasi keadaan. Dia sangat benci drama.

Iida membungkukkan badannya kepada Yukina, “Aku benar-benar minta maaf, Yukina-kun. Karena diriku, kau jadi terluka. Aku dibutakan oleh amarahku hingga tidak bisa berpikir jernih.”

“Iida-kun...” Midoriya ikut iba. Todoroki hanya diam seperti Yukina, namun ekspresi mereka tidak sedingin biasanya. Di saat-saat seperti ini, pasti akan timbul rasa empati sekalipun itu manusia dingin macam mereka.

Yukina menghela napas, “Angkat kepalamu, Iida. Tidak perlu minta maaf,” katanya datar. Sungguh, dia tidak ingin berlarut-larut dalam adegan haru ini.

Iida berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh, namun sia-sia. Perasaan hatinya lebih kuat dibandingkan otak yang memberi perintah. Melihat hal ini, Yukina mulai kebingungan.

‘Astaga, dia menangis. Apa yang harus kulakukan? Memberinya permen?’ pikir Yukina absurd. Memangnya Iida itu bayi yang kalau dikasih permen langsung tertawa ehehe?

Yukina bangkit, menepuk pundak Iida pelan. “Dengar. Saat teman-temanmu berjuang untukmu, itu karena keinginan mereka. Jadi, berhentilah menyalahkan dirimu. Itu hanya akan menyakiti perasaan kami juga dirimu sendiri.”

“Dia benar, Iida...” sahut Todoroki setuju, disusul anggukan dari Midoriya.

Iida mendongak. Dia sungguh tidak percaya dengan apa yang telinganya dengar. Yukina si antisosial itu baru saja bilang ‘teman’? Dokter tidak salah memberinya obat, ‘kan?

“Yukina-kun... Kukira kau itu orangnya egois dan seenaknya sendiri, tapi ternyata kau baik juga,” kata Iida tanpa penyaringan kata-kata.

Yukina mengalihkan pandangan seraya membuang napas sebal, “Kalau begitu, akan kukatakan bahwa aku melawan Stainless Steel bukan untukmu, melainkan untuk diriku sendiri. Dia sangat menyebalkan hingga aku tidak tahan ingin menghajarnya.”

Midoriya dan Todoroki berusaha menahan tawa karena Yukina yang baru saja bijak langsung berubah egois lagi. Sementara itu, Iida tersenyum sambil menundukkan kepalanya.

“Terima kasih, Yukina-kun,” ucap Iida tulus.

Mendokusai,” sahut Yukina cuek. Sifat sarkasnya kumat namun Iida sudah khatam dalam menghadapinya.

Tak lama setelah suasana haru-biru itu, pintu kamar Yukina digeser dari luar. Tampak Gran Torino dan Manual -pro hero di tempat magangnya Iida- yang berjalan masuk.

“Oh, anak-anak yang terluka sudah bangun ya?” tanya Gran Torino. “Kami datang ke kamar kalian tapi tidak ada siapapun di sana. Sudah kuduga kalian langsung ke kamar gadis ini.”

“Gran Torino!” / “Manual-san...”

Midoriya dan Iida kompak mengucapkan nama mentor masing-masing ketika mengetahui kedatangan mereka. Sementara Yukina dan Todoroki hanya diam. Mungkin Endeavor sedang sibuk melayani wartawan atau menyate Pembunuh Pahlawan.

“Langsung saja, ada seseorang yang mau menjenguk kalian,” kata Gran Torino sambil berbalik menatap pintu. Masuklah seorang atau seekor (?) anjing yang berjalan menghampiri keempat murid U.A itu.

“Kepala Polisi Kota Hosu, Tsuragamae Kenji,” ucap Gran Torino memperkenalkan orang penting tersebut.

‘Ada apa ini? Sepertinya keadaan semakin merepotkan saja,’ batin Yukina sweatdropped.

“Kalian pasti murid U.A yang mengalahkan Pembunuh Pahlawan, ‘kan?” tanya Tsuragamae.

“S-Sebenarnya Yukina-lah yang mengalahkan Pembunuh Pahlawan. Kami sempat bertarung sebentar kemudian mundur untuk mencari bantuan,” jelas Midoriya.

Tsuragamae langsung menoleh pada Yukina yang berwajah datar namun dipenuhi aura kesuraman.

‘Terima kasih telah menaikkan tanggung jawabku, Izuku...’

Untung imut, jadi Midoriya selamat dari tabokan maut Yukina.

“Pembunuh Pahlawan yang kami tangkap mengalami luka dalam serius dan patah tulang yang parah. Saat ini dia dalam penanganan khusus yang ketat, wan...” jelas Tsuragamae.

Midoriya, Todoroki, dan Iida terkejut mendengar penjelasan tersebut. Sementara Yukina malah terkejut mendengar cara bicara Tsuragamae yang imut. ‘W-Wan? Dia benar-benar anjing, ya?!’ batinnya salah fokus.

“Karena kalian adalah murid U.A., kurasa kalian sudah mengerti...”

“Aku tidak mengerti. Jadi, intinya apa, Inu-san?” tanya Yukina polos. Semua orang menoleh sambil sweatdropped berjamaah. Sudah tidak mengerti, lupa namanya siapa pula.

“Penggunaan quirk untuk melukai tanpa instruksi dari pembimbing atau pengawas adalah pelanggaran hukum yang jelas, sekalipun lawannya adalah Pembunuh Pahlawan. Kalian berempat beserta pro hero Endeavor, Manual, dan Gran Torino harus menerima hukuman yang sepadan,” simpul Tsuragamae pada akhirnya.

‘Hm. Sudah kuduga,’ batin Yukina nge-meme.

“Tunggu sebentar,” Todoroki menyela dengan geram. “Jika Iida tidak melakukan apa-apa, Native-san pasti akan terbunuh. Jika Midoriya tidak datang, mereka berdua akan terbunuh. Jika Yukina tidak bertarung melawan Pembunuh Pahlawan, kami pasti terlambat memanggil bantuan dan luka mereka akan memburuk. Jadi, kita harus mengikuti aturan dan melihat orang lain terbunuh begitu saja, atas nama hukum yang kausebutkan tadi?!”

Yukina tertegun. Terutama pada kalimat terakhir dari ucapan Todoroki.

“Todoroki-kun...” Midoriya dan Iida bergumam tak percaya. Todoroki yang dingin itu mulai emosional dan peduli teman-temannya. Mana bicaranya panjang sekali dalam satu tarikan napas.

“Maksudmu jika semua berakhir baik-baik saja, pelanggaran hukum jadi boleh dilakukan?” tanya Tsuragamae tajam.

Todoroki tertegun. “Menyelamatkan orang itu... pekerjaan pahlawan, bukan?!” tanyanya setengah berteriak.

Tsuragamae menghela napas seraya menutup mata, “Karena itu, kalian masih benih. Ya ampun, sebenarnya apa yang U.A dan Endeavor ajarkan pada kalian?” tanyanya heran.

“Anjing ini!” Todoroki menggeram emosi. Yukina be like... ‘Lah, dia kan memang anjing,’ pikirnya polos.

Todoroki berjalan mendekat, hendak mendamprat kepala polisi kota Hosu itu. Namun langkahnya dihentikan oleh Yukina yang menahan lengannya.

“Tenangkan dirimu, Shoto. Biarkan beliau bicara sampai selesai dulu, baru kita bisa menghajarnya jika tidak sesuai harapan,” ucap Yukina blak-blakan.

‘JANGAN BERKATA MENGHAJAR PADA KEPALA POLISI, YUKINA-KUN!’ jerit Iida dalam hati.

‘Y-Yukina... Apa kau tidak sadar ucapanmu barusan bisa menambah hukumanmu juga kami?!’ batin Midoriya cemas maksimal.

Gran Torino speechless. ‘Tidak perlu diragukan lagi. Dia benar-benar anaknya All For One,  bahkan sifat buruk dan jahatnya sudah menurun...’

“Itu tadi pendapat resmi dari pihak kepolisian,” Tsuragamae kembali membuka suara, mengabaikan ucapan Yukina soal menghajarnya tadi. Dia menggaruk hidungnya yang tidak gatal, “Lalu, hukuman hanya akan berlaku jika dipublikasikan, wan.”

“Dipublikasikan? Maksudnya, kami akan muncul dalam berita begitu?” tanya Yukina memastikan.

Tsuragamae mengangguk, “Jika ini dipublikasikan, maka kalian akan dipuji masyarakat tetapi hukumannya tidak dapat dihindari. Di sisi lain, walau agak curang, jika ini tidak dipublikasikan, luka bakar Pembunuh Pahlawan akan mendukung Endeavor menjadi pahlawan yang berjasa. Mana yang kalian pilih?”

Keempat murid U.A. itu saling berpandangan. Lebih tepatnya, mereka menatap Yukina yang berpoker-face.

Yukina menghela napas malas, “Jika ini dipublikasikan, aku pasti berangkat sekolah bukan pakai helm lagi, melainkan baju zirah.”

Kalau tidak ada Tsuragamae, Midoriya, Todoroki, dan Iida pasti tertawa sekarang. Ketiganya setuju dengan Yukina, memilih untuk tidak dipublikasikan. Mereka membungkukkan badan kepada Tsuragamae dengan hormat, termasuk Yukina. Namun tentu saja, Yukina tidak membungkuk terlalu ke bawah seperti yang lain. Mager soalnya.

“Kami benar-benar minta maaf,” ucap Iida dan Midoriya sopan.

“Mohon kerja samanya,” kata Todoroki setengah ikhlas. Masih terdengar nada kekesalan di sana.

“Karena ketidakadilan orang dewasa, kalian takkan mendapat pujian yang seharusnya kalian terima. Tapi, setidaknya...” Tsuragamae membungkukkan badannya empat puluh lima derajat, “...sebagai orang yang juga melindungi kedamaian, aku ucapkan terima kasih.”

Midoriya, Todoroki, Iida, dan Yukina tersentak. Kepala polisi itu benar-benar berterima kasih dan menaruh hormat pada mereka.

“Bilang dari awal, dong...” gerutu Todoroki sambil mengalihkan pandangan. Iida dan Midoriya tersenyum geli melihatnya. Sementara Yukina tersenyum kecil dan menghela napas lega.

“Hontou ni... Mendokusai naa.”

Yukina beristirahat di ruangannya. Ketiga temannya sudah kembali ke kamar masing-masing untuk diperiksa dokter. Yukina merebahkan diri, berharap dapat tertidur seperti di kelas. Sayangnya, rasa kantuk tidak datang semudah itu. Yukina pun mengerucutkan bibirnya, “Lain kali, aku akan mendesain kamarku seperti ruang kelas agar bisa tidur.”

Ide bagus untuk kalian yang insomnia. Faktanya, ruang kelas memang tempat tidur terbaik di mana rasa kantuk datang dengan mudah. Right?

Ponsel Yukina bergetar lama, menandakan ada panggilan masuk. Sang pemilik segera meraihnya meski dengan malas-malasan. Begitu melihat ada nama Dadzawa di sana, Yukina langsung terduduk kaget.

Moshi-moshi? A-Ada apa, Shota-san?” tanya Yukina sedatar mungkin. Bau-bau bakal diomelin bokap tercium.

“Bagaimana kabarmu? Kudengar Endeavor menangkap Pembunuh Pahlawan di kota Hosu. Kau tidak terlibat masalah, bukan?”

“Aku berada di bawah pengawasan Pahlawan No.2, mana mungkin bisa membuat masalah,” jelas Yukina, berusaha meyakinkan. Kalau Aizawa tahu kondisi sesungguhnya, pasti Yukina sudah disuruh tidur di teras –tidak, mungkin malah di halaman atau di genting.

Maa, ii. Kita bisa bahas itu setelah kau pulang.”

JDER! Yukina tersambar petir saking syoknya. Seluruh tubuhnya langsung memutih kayak mayat hidup.
‘Masih mau dibahas juga?!’

“Ngomong-ngomong, kau sudah melihat berita hari ini?”

“Soal Pembunuh Pahlawan?”

“Sou ka. Ternyata kau belum tahu, ya... Kalau begitu, lihat saja sendiri.”

Yukina menurunkan ponselnya usai telepon dimatikan sepihak. Kebingungan menyelimuti dirinya. Namun, semua itu berubah menjadi keterkejutan yang luar biasa begitu membuka link dari Aizawa. Sebuah situs berita online dengan header bertuliskan...

“Black Death telah kembali! Apakah kita akan melihat aksinya lagi?”

Sementara itu,
di markas League Of Villain...

Tomura membaca koran yang dipegangnya. Masyarakat dijejali berita Pembunuh Pahlawan dan kembalinya Black Death yang meramaikan kemelut aksi kejahatan. Tomura mendecih, “Berita apa ini? Jadi, Nomu hanya sisipan?!”

Tomura membuang koran ke sembarang sudut. Tangannya yang mengepal menonjok meja bar keras. “Dan apa maksudnya Black Death kembali? Jelas-jelas Yukina ada saat insiden Hosu berlangsung. Mana mungkin dia bisa membunuh orang di tempat yang berbeda?!”

“Ambil sisi positifnya, Shigaraki Tomura,” Kurogiri menanggapi dengan bijak. “Nama Black Death dan Hero Killer diasosiasikan dengan League of Villain. Aku yakin, ada banyak orang yang terpengaruh ideologi mereka dan bergabung dengan kita.”

“Benar. Oleh karena itu, mereka ada di sini.”

Tomura dan Kurogiri menoleh ke sumber suara. Tampak Giran yang berdiri santai di ambang pintu sambil mengisap rokok. Dia menyeringai kecil, “Shigaraki-san... Kudengar kau memulai sesuatu yang besar.”

“Lalu? Siapa mereka?” tanya Tomura cepat. Giran berbalik dan mempersilakan manusia-manusia di belakangnya untuk masuk. Seorang gadis berseragam SMA yang imut dan dua orang pria berambut hitam.

“Kau rupanya. Aku sudah melihat fotomu, tapi ternyata lebih menjijikkan kalau dilihat langsung,” komentar pria berambut spiky hitam. Omongannya setajam rambutnya. Selain itu, terdapat banyak luka bakar ekstrem pada beberapa bagian tubuhnya.

“Hontou da! Apa tidak ada cewek cantik di sini? Anggotamu bisa jadi gay kalau begini terus,” celutuk cowok berambut hitam yang lain dengan bekas luka di pipinya. Dia memakai jaket hitam dengan simbol lambda di dada kiri. Dengan santainya dia memakan karaage tusuk yang dibawanya, entah dari mana.

“Wah~ Pria Tangan! Kau berteman dengan Stain-sama, kan?” tanya gadis SMA yang super excited. “Izinkan aku bergabung juga! League of Villain!”

“Kurogiri, cepat hempaskan mereka jauh-jauh!” suruh Tomura kesal. “Mereka adalah tipe orang yang paling kubenci. Seorang bocah dan orang tidak tahu sopan santun,” jelasnya seraya menunjuk gadis SMA dan pria spiky hitam.

“Tapi bagian terburuknya, apa yang kubenci menjadi satu paket dalam cowok ini!” seru Tomura yang menunjuk cowok pemakan karaage. Yang ditunjuk sama sekali tidak menunjukkan kepedulian dan kembali makan karaagenya. Mana makannya lahap banget pula.

“Oi, oi! Kenapa kau makan karaage sekarang? Setidaknya bersikaplah sopan sebelum bergabu—“

“Aku makan apapun yang kumau dan kapanpun kumau,” potong cowok itu cepat.

Oke, ini sangat mengingatkan Tomura pada Yukina. Tomura mencoba bersabar sebelum stroke di usia muda.

“Maa, maa... Mereka sudah jauh-jauh datang ke sini. Setidaknya, dengarkan mereka dulu, Shigaraki Tomura,” kata Kurogiri menenangkan. Dia menoleh pada Giran, “Selain itu, broker besar itulah yang membawa mereka. Pasti mereka adalah aset berharga.”

“Aku tidak peduli mau kalian apakan mereka ini, tapi pastikan aku mendapat komisiku, Kurogiri-san,” sahut Giran santai. Dia mendekati tiga orang yang dibawanya, “Setidaknya, dengarkan aku yang akan memperkenalkan mereka.”

Giran menunjuk satu-satunya perempuan di ruangan itu. “Pertama, gadis SMA manis ini. Nama dan wajahnya disembunyikan dari media, tapi dia sedang diburu sebagai tersangka atas serangkaian kematian karena kehabisan darah.”

“Toga desu! Toga Himiko!” seru Toga memperkenalkan diri. “Hidup itu susah! Aku ingin dunia ini jadi tempat yang mudah untuk hidup! Aku ingin menjadi Stain-sama! Aku ingin membunuh Stain-sama! Jadi, izinkan aku bergabung League of Villain, ya, Tomura-kun!”

“Aku tidak mengerti. Dia gila, ya?” Tomura sweatdropped melihat kelakukan overexcited Toga.

“Dia mudah diajak komunikasi, kok. Kuyakin dia berguna,” jawab Giran. Dia menunjuk pria berambut spiky hitam di sebelahnya, “Selanjutnya, dia. Memang belum melakukan kejahatan besar, tapi dia menjunjung tinggi ideologi Pembunuh Pahlawan.”

“Aku tidak yakin. Apa organisasi ini benar-benar punya standar?” tanya pria itu. “Jangan-jangan kalian akan membiarkan wanita gila dan tukang makan ini masuk?”

Toga ber-eh terkejut sementara si tukang makan tidak peduli. Dia tetap mengunyah karaage dengan damai.

“Oi, oi. Setidaknya cewek gila itu bisa menyebutkan namanya. Jika kau pria dewasa, kenapa tidak memperkenalkan diri dulu?” tanya Tomura sarkas.

“Sekarang namaku Dabi.”

“Bukan itu. Aku ingin tahu nama aslimu,” desak Tomura.

“Kau akan tahu jika sudah waktunya,” balas Dabi cuek. “Pokoknya, aku akan memegang tekad Pembunuh Pahlawan dan membuatnya menjadi kenyataan,” lanjutnya ambisius.

“Jadi, begitulah. Dia sangat ambisius terhadap ideologi Pembunuh Pahlawan,” simpul Giran. Dia menunjuk si tukang makan, “Dan terakhir, orang ini. Dia baru memulai debutnya sebagai penjahat satu bulan terakhir. Namun, wajah dan namanya tidak diketahui oleh media juga masyarakat. Saat ini dia sedang diburu atas kasus pembunuhan berantai.”

“Hayato.”

Semua orang sweatdropped. Hayato memperkenalkan diri dengan singkat. Mana cuma nama doang pula.

“Oi, apa hanya itu saja yang bisa kau ucapkan?” tanya Tomura kesal. “Jelaskan dirimu dan alasanmu ke sini.”

“Aku bergabung ke sini untuk membunuh orang, bukan membuat KTP,” balas Hayato. “Berbeda dengan dua orang ini yang terobsesi pada Pembunuh Pahlawan, aku lebih tertarik pada Black Death. Kudengar dia sudah kembali, aku ingin bertemu dengannya.”

“Tidak usah menjelaskan apa yang tidak kutanya,” Tomura bangkit dari duduknya. Emosi yang dia tahan sejak tadi sudah meluap. “Ya ampun, semuanya Stain dan Black Death melulu. Aku tidak menyukainya.”

Deg! Toga, Dabi, dan Hayato tertegun.

“Kalian semua tidak berguna!”
Tomura berlari ke arah tiga calon anggotanya. Tangannya berusaha meraih mereka, siap menghancurkan apa yang tersentuh. Di sisi lain, Toga, Dabi, dan Hayato tidak tinggal diam.

Toga mengeluarkan pisaunya. Dabi mengulurkan tangannya. Hayato langsung menghabiskan karaage-nya dan menggunakan tusuknya untuk menyerang Tomura.

SRAT! SRAT! SRAT!

Kurogiri membuka portal untuk memindahkan serangan empat orang tersebut. Tangan Tomura dan Dabi terulur ke sisi kosong ruangan. Pisau Toga terhujam ke lantai. Tusuk karaage Hayato tertancap ke dinding dekat poster All Might yang sobek.

“Tenangkan dirimu, Shigaraki Tomura. Jika kau ingin kemauanmu terwujud, kita harus menambah anggota baru. Ini kesempatan yang bagus,” ucap Kurogiri seraya mendekatkan kepalanya kepada Tomura. “Kita harus memanfaatkan semuanya. Dan semua ideologi yang dia tinggalkan,” bisiknya.

Urusai...” Tomura menarik kembali tangannya dan berjalan keluar ruangan. Saat ditanya Giran mau kemana, dia menjawabnya dengan kata yang sama. Merajuk seperti anak kecil.

“Kupikir dia mau membunuh kami,” celutuk Toga.

“Dia membuatku muak,” sinis Dabi.

“Apa kalian tidak keberatan jika jawabannya agak lama?” tanya Kurogiri sesopan mungkin.

“Sial, aku masih lapar,” keluh Hayato sambil mengusap perutnya. Dia menoleh pada Kurogiri, “Nee, apa di sini tidak ada makanan? Kalau begini, aku bisa mati kelaparan sebelum dia mengizinkanku bergabung.”

“Apa kepalamu itu isinya makanan dan wanita saja?” tanya Dabi sarkas.

“Hei, itu lebih baik daripada otak gay-mu yang terobsesi pada Pembunuh Pahlawan,” sahut Hayato tidak kalah tajam.

“Bocah berengsek!”

“Kau sudah tua, jauh lebih berengsek pula!”

“Kyaaa~!! Pertarungan antarpria! Kalian mau saling membunuh, ‘kan?! ‘Kan?!” seru Toga kegirangan.

Kurogiri menghela napas. Apa jadinya League of Villain jika tiga orang abnormal itu bergabung? Apakah akan menjadi organisasi kriminal terkeji? Atau kumpulan bocah pemenang lomba debat nasional? Entahlah. Masa depan tidak ada yang tahu.

#32
Should we have let people die, all in the name of “law”?
Isn’t it a hero’s job to save people?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Halo, Author Vanilla di sini! Vanilla mencoba update cepat karena tidak sabar memperkenalkan OC baru kepada reader. (≧∇≦*)

Oh iya, komik di atas adalah buatan Vanilla sendiri. Jadi, harap maklum jika artstylenya berbeda dengan Horikoshi-sensei dan jauh lebih burik.... o(;△;)o *crying*

By the way, let's meet the new OC here. Meskipun nama lengkap dan quirknya masih misterius, mari kita sambut dia!

Bagaimana? Apa reader-tachi menyukainya? Vanilla berniat menggambarnya se-ikemen mungkin karena dia punya bibit playboy dalam dirinya. Apa dia sudah terlihat cukup ikemen dengan karakter BNHA yang lain? I hope so... (つ﹏<)・゚。

Karakter ini akan dijelaskan lebih dalam seiring cerita. Termasuk quirk dan latar belakangnya. Jadi terus ikuti cerita ini, ya! (。•̀ᴗ-)✧

(Kalau dibuat anime, menurut Vanilla seiyuu yang cocok untuk menyuarakannya adalah Ryouhei Kimura, seiyuunya Kise Ryota, Bokuto Kotaro, dll)

Easter egg:

• Simbol lambda di dada kiri Hayato jika dibalik 180° akan membentuk huruf "Y".
Apakah itu ada hubungannya dengan Yukina atau quirknya? Atau mungkin hanya kebetulan semata? Make your own theory!

See you next chapter!
Vanillavoid

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro