Chapter 21: Final Round
[Yukina POV]
Einstein menyatakan bahwa kegelapan itu sesungguhnya tidak ada. Kata 'gelap' hanyalah istilah yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya, lawan dari terang. Entah ada ataupun tidak, realita yang kujumpai mengatakan bahwa gelap memang ada.
Mungkin jika opiniku ini kukatakan di depan seorang ahli fisika, aku langsung didupak keluar saat itu juga.
Namun percayalah, kata 'gelap' yang merupakan penilaian subyektif manusia ini memang nyata adanya. Setidaknya di dunia ini, yang dipenuhi kekuatan super misterius dimana logika manusia tak mampu mencapainya.
"Quirk kegelapan memiliki jurus rahasia terkuat, Dark Abyss," ucap iblis perwujudan kegelapan yang bersemayam dalam diriku -Kurogami.
Dedemit berwujud pemuda rupawan bertaring tajam seperti vampir itu sedang duduk di singgasananya yang berupa tumpukan tengkorak. Dia menatapku rendah, dan aku sadar itu bukan hanya karena kursinya yang ketinggian.
"Namun, kau yang sekarang belum bisa menggunakannya."
Bibirku memang tak bertanya kenapa, namun mataku seolah menggantikan tugasnya untuk menuntut penjelasan. Dan benar saja, dedemit itu menyadarinya. Terbukti dengan seringaian licik yang mengembang di wajah kejamnya.
"Kalau ingin memakai Dark Abyss ini, kau harus membuang sifat manusiawimu."
Memuakkan. Pikiran kami yang terhubung oleh ikatan quirk terasa menyebalkan.
...
.
.
.
.
.
.
I'm not looking to escape my darkness. I'm learning to love myself there.
.
.
.
.
.
.
...
[Normal POV]
[Present Mic]: "Hey, guys! Are you ready?! Meski banyak hal yang terjadi, tapi akhirnya inilah pertandingan serius yang paling dinanti! Yang dapat diandalkan hanyalah diri sendiri!"
Tiba saatnya untuk babak final, pertarungan satu lawan satu. Cementoss menyiapkan arena pertandingan menggunakan quirknya.
Yukina berjalan menyusuri lorong yang gelap dengan mata yang masih mengantuk. Dia hendak menyemangati Midoriya yang mendapat giliran pertama untuk bertanding, namun sosok All Might menghentikan langkahnya. Secara refleks, Yukina bersembunyi di sisi lorong yang tak jauh dari mereka.
"Kau sudah paham soal One For All, bukan?"
Terdengar suara All Might yang bertanya pada Midoriya. Yukina langsung menyipitkan mata dan memasang telinga lebih jeli. Pembicaraan seperti inilah yang membuatnya tertarik.
"Aku masih khawatir. Meski sudah membayangkannya, tapi belum stabil. Saat ini pun rasanya berbahaya seperti akan hancur," jawab Midoriya.
Yukina menyentuh dagunya sendiri. Otaknya berpikir keras menangkap maksud dari pembicaraan mereka. Ingatannya melayang ke masa lalu saat insiden USJ terjadi. Yukina ingat bahwa Midoriya hampir kelepasan bicara mengenai One For All.
'Begitu, ya. Firasatku saat pemilihan ketua kelas ternyata tidak salah,' pikir Yukina (Chapter 4). Dia berjalan meninggalkan posisi awalnya secara diam-diam agar mereka tidak menyadari keberadaan dirinya.
'Izuku, entah ini kebetulan atau takdir. Mungkin suatu saat nanti, kita akan terlibat sesuatu yang merepotkan.'
[Present Mic]: "Pertandingan pertama... Meski penampilannya bagus, apa-apaan wajahnya itu?! Dari prodi pahlawan, Midoriya Izuku! Melawan... Maaf! Dia belum menunjukkan kebolehannya. Dari prodi umum, Shinso Hitoshi!"
Yukina bersandar pada dinding stadion, melihat Midoriya memasuki arena dengan tersenyum gugup. Dia sengaja tidak menonton di kursi penonton kelas A.
Bukan karena sombong atau semacamnya, Yukina tidak ingin teman-temannya melihat sisi psikopatnya. Terkadang hanya dengan menyaksikan pertarungan saja dapat membuat sifat yanderenya kumat.
[Present Mic]: "Peraturannya simpel! Buatlah lawanmu keluar arena atau melumpuhkannya! Dan juga, kalian dapat menang dengan membuat musuh mengatakan 'Aku menyerah!'. Jangan takut terluka karena kami punya Recovery Girl yang siap merawat kalian! Buang sejenak moral dan etika kalian!"
Begitu Present Mic menjelaskan peraturannya, ekspresi Yukina yang semula datar berubah seperti yandere yang siap membunuh targetnya.
Astaga Yukina, sifat anti-heroinemu masih saja melekat meski sudah masuk Prodi Pahlawan. Yah, mau bagaimana lagi? Mari kita salahkan All For One yang telah membuatnya menjadi senjata pembunuh.
[Present Mic]: "Tapi ya, tentu saja, hal yang mengancam nyawa itu berlebihan! Out! Pahlawan menggunakan tinjunya untuk menangkap penjahat!"
Yukina rasanya ingin menggubrak setelah mendengar penjelasan lanjutan dari Present Mic.
"Kalau sampai berlebihan, aku akan menghentikan kalian, ya," ucap Cementoss yang duduk di dekat arena pertandingan.
[Present Mic]: "Ready?! Start!"
Shinso melancarkan provokasinya untuk memancing Midoriya bicara. Mendengar ucapan tajam dari Shinso, Midoriya pun berlari ke arahnya.
"Apa katamu?!"
Begitu menjawab ucapan Shinso, pergerakan Midoriya sepenuhnya berhenti dan tatapan matanya menjadi kosong karena quirk Shinso.
"What an annoying quirk," gumam Yukina yang kini mengerti cara kerja brainwashing-nya Shinso.
[Present Mic]: "Oi, oi, oi! Ada apa?! Ini pertandingan pertama yang penting! Jadi meriahkan, dong! Pertandingan baru saja dimulai tapi Midoriya sama sekali tidak bergerak?!"
"Jika ini pertarungan fisik, kuyakin Izuku dapat menang, tapi..." Yukina menatap Midoriya yang berjalan keluar arena, sepenuhnya mengikuti perintah Shinso.
"...Untuk memenangkan pertarungan, tidak selalu menggunakan kekuatan fisik semata, Izuku."
Tiba-tiba angin berhembus kencang dari arah Midoriya. Pergerakannya terhenti tepat sebelum menyentuh garis putih.
[Present Mic]: "I-ini...!!? Midoriya terhenti!"
Penonton bersorak. Kelas A menatap takjub Midoriya. Yukina melihat jari Midoriya yang terluka, 'Dia dapat menggunakan One For All saat dicuci otak?'
Shinso berusaha membuat Midoriya membuka suara dengan melancarkan provokasi. Midoriya yang sudah tahu trik tersebut segera menutup mulutnya dengan tangan.
"Orang yang diberkahi mana bisa mengerti! Mereka yang terlahir dengan bakat ideal, pasti dapat menggapai tempat sesuai impiannya!" teriak Shinso. Ucapan itu membuat Yukina tertegun.
Midoriya mendorong tubuh Shinso agar keluar arena. Shinso memukulnya dan berbalik mendorong Midoriya. Namun, Midoriya lebih kuat. Dia menarik tangan Shinso lalu mengangkat tubuhnya. Lemparan bahu itu sukses membuat Shinso terbanting keluar garis. Semua orang yang melihat serangan itu terkejut -terutama Bakugo.
"Shinso keluar arena! Midoriya maju ke babak kedua!" ucap Midnight mengumumkan pertandingan.
[Present Mic]: "Yahoo! Meski pertandingan pertama membosankan, tapi mari kita apresiasi pertandingan mereka! Clap your hands!"
"Ucapannya membuatku muak," Yukina mendecih kesal. Dia menatap tajam Shinso yang berjalan meninggalkan arena.
"Bukan bakat yang membuahkan prestasi, bodoh. Melainkan imajinasi dan usaha."
[Present Mic]: "Baiklah, inilah pertandingan kedua di babak final! Yang akan bertarung adalah mereka!"
Yukina melihat layar yang menampilkan Todoroki vs Sero. Sambil bersandar di dinding, dia menggelembungkan permen karet dalam mulutnya dengan santai, "Oh. Ini pasti menarik."
[Present Mic]: "Padahal tampil bagus, tapi apa-apaan wajah membosankannya itu?! Dari prodi pahlawan, Sero Hanta! Melawan... Juara dua dan tiga di babak penyisihan! Dari prodi pahlawan juga, Todoroki Shoto!"
Wajah Todoroki menggelap. Tanpa melihat tatapan matanya pun, Yukina tahu bahwa Todoroki sangat marah saat ini. Namun, itu tak membuat Yukina menyesali ucapannya. Justru sebaliknya, Yukina lega telah mengatakan hal yang selama ini ia pendam.
'Mari kita lihat seberapa kuat kau, Todoroki..'
[Present Mic]: "Ready?! Start!"
Setelah aba-aba selesai terucap, Sero langsung mengikat tubuh Todoroki menggunakan selotip dari kedua sikunya. Ia memotong salah satu selotip kemudian mengayunkan tubuh Todoroki keluar arena dengan cepat. Todoroki tampak pasrah, belum mengeluarkan serangannya.
[Present Mic]: "Serangan mendadak mengincar keluar arena! Bukankah ini pilihan terbaik?! Bagus, keluarkan dia, Sero!"
Todoroki menatap tajam, "Maaf saja."
Es merambat dengan cepat menuju Sero kemudian membekukannya. Todoroki menciptakan dinding es raksasa hingga hampir membekukan sisi stadion di hadapannya. Bahkan orang di luar stadion dapat melihat dinding es yang meruncing itu.
Bunyi meletusnya gelembung permen karet Yukina menjadi satu-satunya suara dalam stadion yang hening karena penonton takjub menyaksikan serangan Todoroki yang luar biasa.
Todoroki menghembuskan napas dinginnya melalui mulut. Tangannya dengan mudah menghancurkan selotip Sero yang telah membeku.
"K-kau... berlebihan, tahu..." ujar Sero kedinginan.
"Sero, kau bisa bergerak?" Midnight ikut menggigil kedinginan karena setengah tubuhnya telah membeku.
"M-mana mungkin aku bisa bergerak..." jawab Sero kesakitan.
"Sero tidak dapat bergerak! Todoroki maju ke babak kedua!"
Satu stadion terdiam, masih terkejut melihat kejadian tersebut. Sorakan "Don't mind!" dari penonton mengiringi langkah Todoroki yang berjalan mendekati Sero. Dia menggunakan tangan kirinya untuk mencairkan es.
"Maaf, aku berlebihan," kata Todoroki merasa bersalah. "Dia membuatku emosi."
Sementara itu, Yukina terdiam sambil menatap takjub Todoroki. Sorot mata bosannya yang seperti ikan mati kini perlahan berbinar-binar semangat. Bibirnya yang terbuka sedikit berubah menjadi seringaian kecil.
"Boleh juga," gumam Yukina puas.
Pertandingan ketiga antara Kaminari melawan Shiozaki berakhir dalam sekejap dengan Shiozaki yang menjadi pemenangnya. Karena kerusakan arena tak begitu parah, perbaikannya tidak memakan banyak waktu sehingga pertandingan keempat dapat langsung dimulai.
[Present Mic]: "Saa! Waktunya pertandingan keempat! Lanjut terus! Melaju kencang meraih puncak!"
"Sepertinya ini akan menarik, ya, Deku-kun!" celutuk Uraraka. Dia menoleh ke Midoriya yang siap menganalisa alur pertandingan di buku catatannya, "Bagaimana menurutmu?"
"Quirk Yukina memang hebat, tapi dia bilang pada siang hari seperti ini kekuatannya akan melemah. Selain itu, engine Iida juga tidak dapat dinetralisir olehnya. Pertandingan ini pasti merugikan Yukina, jadi kemungkinan menangnya lebih tinggi Iida," jelas Midoriya.
'Bagian mananya yang melemah, Deku teme!?' geram Bakugo dalam hati.
[Present Mic]: "Mirip peserta veteran, ya? Dari prodi pahlawan, Iida Tenya! Melawan... Meski meraih juara satu berturut-turut di babak penyisihan, hatinya tetap sedingin salju! Dari prodi pahlawan, Aizawa Yukina!"
Yukina dan Iida memasuki arena dari kedua sisi yang berbeda. Mereka saling berhadapan ditemani obor api yang berkobar di masing-masing sudut arena. Iida dengan ekspresi seriusnya sementara Yukina menunduk hingga wajahnya tertutupi bayangan rambut.
[Present Mic]: "Kita langsung mulai saja! STA— Lah?"
Satu stadion melongo. Midoriya dan Uraraka sweatdropped. Bakugo menatap suram. Iida menganga speechless. Aizawa menepuk jidatnya sendiri. Pandangan mereka tertuju pada Yukina yang menunduk.
Betapa terkejutnya mereka mengetahui mata Yukina tertutup dengan huruf 'Zzz' yang berbaris keluar dari kepalanya. Dengan kata lain...
'DIA TIDUR DALAM POSISI BERDIRI?!'
"Masaka... Dia beneran putrimu, ya, Eraser?" bisik Present Mic pada Aizawa.
"Diam," sahut Aizawa ketus.
[Present Mic]: "KORA, KORA, YUKINA! Aku tahu kau tukang molor, tapi tak kusangka akan separah ini! Bagaimana bisa kau tidur di medan perang?! YOLO sekali dirimu!"
Kluk! Yukina terbangun dan mengucek matanya, sementara Iida sudah berceramah dengan kecepatan emak-emak ngebut.
Penonton langsung bersorak "Huuu" kepada Yukina yang menguap kecil. Atmosfer stadion berubah menjadi mendukung Iida sepenuhnya dan menganggap Yukina sebagai sang antagonis.
Ya iyalah... Saat Iida sudah membara penuh semangat sportivitas, eh lawannya malah ketiduran.
"Maaf, bukan bermaksud meremehkanmu, tapi inilah efek samping quirk-ku jika digunakan pada siang hari," jelas Yukina datar tanpa dosa, mengabaikan cemoohan penonton yang terus bergema.
"Yukina, kau masih bisa bertarung?" tanya Midnight. Yukina hanya mengangguk sebagai jawabannya. Midnight pun memberikan kode pada Present Mic untuk melanjutkan pertandingan.
[Present Mic]: "Po-pokoknya, START!"
"Reciproburst!" Iida melaju dengan cepat menuju Yukina yang masih berdiam diri. Yukina mengambil ancang-ancang. Detik berikutnya, dia pun melesat ke arah Iida.
Keduanya berlari pada kecepatan yang terkira dan saling menerjang. Iida sempat terkejut, tak menyangka Yukina juga akan menerobos dari depan seperti dirinya.
[Present Mic]: "Iida dan Yukina, keduanya merangsek maju satu sama lain! Apa ini akan menjadi pertarungan jarak dekat yang brutal?!"
"Teknikmu bagus dan kau kuat, tapi seranganmu membuat tubuhmu terlalu banyak bergerak," analisis Yukina. Dia dan Iida saling mendekat. Hampir. Sesaat kemudian, Iida mengayunkan kakinya, bermaksud menendang kepala Yukina sekuat tenaga.
Namun secara mengejutkan Yukina malah melompat ke atas, melewati Iida untuk menghindari tendangan mematikannya. Tubuhnya berputar di udara, bagaikan gerakan salto ke belakang yang sempurna. Semua itu dia lakukan dalam waktu sepersekian detik di tengah keterkejutannya Iida.
"Dan juga, gerakanmu terlalu melebar," lanjut Yukina.
Tangan kirinya yang dibalut perban memancarkan cahaya hitam keunguan. Bulatan gelap serukuran bola basket yang tercipta langsung dia lontarkan tepat ke Iida, mengenai punggungnya secara telak.
Namun bukan itu saja yang membuat semua orang syok. Entakan energi dari bola kegelapan Yukina tak disangka-sangka terlalu kuat hingga nyaris menghempaskan Iida keluar arena.
[Present Mic]: "COUNTER!! Lagi-lagi Yukina menunjukkan refleksnya yang luar biasa! Mungkin inilah yang disebut punya koordinasi tubuh yang sempurna! Bagaimana bisa dia melompat di udara dalam sudut setajam itu?!"
"Eh? Memangnya sehebat itu, ya?" tanya Kaminari sambil menoleh pada Bakugo. "Dari apa yang kulihat, gerakan Yukina hanya seperti salto biasa, tuh."
"Bodoh, lihatlah lebih jeli," sahut Bakugo ketus. "Dia baru saja mengubah arah dengan cekatan. Apalagi dalam kecepatan seperti itu. Kalau tubuhnya tidak lentur, dia pasti akan langsung terkilir."
"Selain itu, Yukina dapat memanfaatkan momentum dengan sempurna untuk menyerang balik. Hebat sekali..." tambah Midoriya sambil mencatat alur pertandingan di buku catatannya.
Tokoyami mengangguk, "Ya. Yukina seperti singa. Dia pemburu yang sabar, mengatur tempo untuk menyerang di saat yang tepat."
Aizawa menatap Yukina yang mendarat dengan sempurna, "Kita bisa dengan mudah melihatnya dari atas sini. Namun jika berada di arena, itu pasti sulit dilakukan."
"Aku takjub Nak Yukina bisa setenang itu di tengah atmosfer stadion yang kontra terhadapnya," puji All Might. 'Mentalnya hebat sekali. Seakan-akan dia sudah siap mati saja.'
Yukina menatap tajam Iida yang tersungkur. Perlahan tubuh Iida yang gemetar mulai bangkit. Melihat hal itu, Yukina pun menyeringai, "Benar, seperti itu. Tak ada artinya kalau cuma memenangkan pertarungan yang membosankan."
[Present Mic]: "Whoaa! Iida tetap bangkit walau telah menerima serangan telak! Inilah semangat masa muda! Make some noise, guys!"
Penonton bersorak-sorai, bukan pada Yukina melainkan untuk menyemangati Iida. Bangkit dari keterpurukan itu sungguh heroisme sekali, bukan? Ditambah lagi, Iida berasal dari keluarga pahlawan. Tak perlu diragukan lagi keheroikannya.
Sementara lihatlah Yukina yang masih berdiri penuh kesantaian, sama sekali tak terpancar aura hero darinya. Sifatnya yang terlalu santuy dan terkesan mempermainkan lawan, membuat penonton semakin menghujat Yukina.
"Kenapa aku seperti tokoh antagonis di sini? Mendokusai..." gerutu Yukina.
"Torque Over.. Reciproburst!" Iida meningkatkan torsi dan rotasi pada enginenya untuk menciptakan ledakan. Itu adalah teknik yang dia tunjukkan ketika adu kavaleri. Kecepatannya jauh lebih tinggi dibandingkan Reciproburst sebelumnya.
Mungkin mata manusia biasa tak mampu mengikuti gerakannya, tetapi Yukina dapat melihatnya dengan jelas. Malahan gerakan Iida seperti slow-motion dalam pandangannya. Itu karena Yukina pernah berhadapan dengan Nomu yang berkali-kali lipat lebih cepat dari Iida.
Yukina langsung serius, fokus pada Iida yang menerjang. Dia meletakkan tangan kirinya ke tanah, "Tidak secepat itu."
Begitu tangannya bersentuhan dengan tanah, kegelapan Yukina melimpah keluar hingga menutupi seluruh permukaan stadion. Getaran terasa akibat pergerakan tanah. Guncangan semakin menguat, membuat Midnight dan Iida sempat kehilangan keseimbangan.
Penonton yang awalnya heboh bersorak menyemangati kini berubah panik dan berpegangan pada kursi, dinding, tiang, atau apapun itu yang menurut mereka kokoh.
KRAAAK!! Puluhan duri raksasa menyembul dari tanah. Iida terkejut, pergerakannya terhenti karena ia terjepit puluhan duri kegelapan. Beruntung saja dia hanya terjepit, bukan tertusuk duri raksasa. Yukina sengaja tidak mengenai tubuh Iida. Bisa tewas di tempat Iida jika duri raksasa melubangi tubuhnya.
Tidak hanya Iida saja, Midnight dan Cementoss yang menjadi wasit pun ikut terkena imbasnya. Tubuh mereka terperangkap dalam belenggu duri raksasa hingga tak bisa bergerak.
Duri yang semula berwarna merah lava itu mulai menghitam, guncangannya pun terhenti. Menandakan pertumbuhan duri raksasa Yukina telah selesai, berakhir mencuat tajam tinggi ke atas. Bahkan orang-orang di luar stadion yang melihatnya sampai menganga takjub.
Penonton tak bisa berkata apa-apa lagi menyaksikan pemandangan di stadion. Mereka seperti kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan kekuatan Yukina. Skala serangannya jauh lebih besar daripada Todoroki. Hanya zona milik Yukina saja yang tak tergores sedikitpun di stadion, sementara yang lain telah porak-poranda.
"Serangan yang seakan membungkam mereka semua, ya.." gumam Aizawa.
[Present Mic]: "A-A-APA YANG TERJADI DI SINI?! Kekuatan macam apa itu?! Dalam sekejap, stadion dipenuhi duri raksasa hingga luluh lantak tak berbentuk! Yukina, apa kau benar-benar manusia atau bukan, sih?!"
Kelas A mengheningkan cipta di tempat. Terkejut, takjub, dan syok bercampur menjadi satu. Tak disangka sosok Yukina yang mereka kenal, yang selalu molor di kelas ternyata sekuat itu.
"MIDORIYA! Bagian mananya yang kau bilang melemah?!" tanya Kaminari syok sambil menggoyang-goyangkan pundak Midoriya dengan brutal. "Jelas-jelas overpower begitu! Dia hampir saja melongsorkan stadion ini, tahu!"
"B-B-B-Bukan aku yang bilang! Aku hanya mengulang apa yang Yukina katakan padaku sebelum adu kavaleri!" jelas Midoriya panik.
"Astogeh! Rencanaku 'mengajak-Yukina-kencan-setelah-berhasil-mengalahkannya' telah hancur berantakan.. Tak kusangka aku kalah duluan," ucap Kaminari kecewa. Dia menghela napas, "Namun untuk sesaat, aku bersyukur kalah di babak pertama."
"Eh? Kenapa?" tanya Kirishima penasaran.
"Pasti bisa gila jika menerima serangan sebesar itu secara telak," jawab Kaminari serius. Sedetik kemudian, dia berubah suram, "Dan juga, aku tak mau mati muda sebelum punya pacar..." lanjutnya sambil menangis bombay.
"Jadi, itu yang kau ratapi selama ini?" ucap Kirishima sweatdropped.
Bakugo terdiam. Pupil merahnya yang mengecil menatap Yukina, menolak percaya fakta bahwa Yukina jauh lebih kuat darinya. Sementara Todoroki yang melihat pertandingan dari sisi stadion yang lain hanya diam dengan bibir yang sedikit terbuka.
Yukina berdiri dan menghela napas panjang. Dia memutar pergelangan tangan kirinya yang sedikit gemetaran. Wajahnya tertutupi bayangan rambut, menyebabkan semua orang tak bisa melihat ekspresi apa yang dia tunjukkan.
Yukina mengarahkan tangan kirinya ke Iida. Kilatan listrik berwarna ungu mengalir keluar. Kegelapannya membentuk bola yang siap dilontarkan kapanpun. Angin yang berhembus akibat entakan energi kegelapan menyebabkan rambut Yukina berkibar luwes.
[Present Mic]: "Oi, oi, oi! Meski lawannya sudah tidak mampu bergerak, Yukina masih ingin melancarkan serangannya?! Aku tidak tahu lagi, dia ini sebenarnya perfeksionis atau bengis, sih!?"
"Cukup sampai di situ, Yukina!" Midnight selaku wasit langsung menghentikan Yukina sebelum serangannya terlepas. Yukina melirik sekilas, bola kegelapannya lenyap seiring dia memasukkan tangan ke dalam saku jaket.
Midnight mengangkat tangannya, "Iida tidak bisa bergerak! Dengan ini, Yukina maju ke babak kedua!"
Meski pemenang sudah diputuskan, tak ada sorak-sorai dari penonton yang berbahagia. Mulut mereka kaku seperti terkena lem hingga tak mampu berbicara. Mungkin kekagetan masih membanjiri tubuh mereka sampai-sampai menyebabkan lumpuh.
Ini mirip seperti pertandingan Todoroki, hanya saja kali ini penonton tak langsung tersadar. Mereka malah terpaku pada Yukina yang melenyapkan duri-duri raksasanya, seperti lilin yang meleleh kemudian sisanya menguap menjadi gas.
Setelah duri menghilang, Midnight dan Cementoss pun bernapas lega. Iida yang jatuh tergeletak langsung dibawa menggunakan tandu oleh robot kesehatan menuju UKS. Yukina menghela napas berat. Dia memakai tudung jaketnya dan berjalan meninggalkan arena dengan santai, seakan-akan tidak terjadi kekacauan apapun.
"Jangan menganggap sifat santaiku sebagai kelemahanku," gumam Yukina kesal.
"Monster dalam diriku hanya tertidur, bukan mati."
Sementara itu, di tempat lain...
"Putrimu memang hebat, Sensei. Aku takjub dia dapat menahan diri hingga lawannya tak terbunuh. Mungkin dia benar-benar sudah menikmati perannya sebagai pahlawan..."
Tomura menyaksikan siaran festival olahraga melalui komputernya. Kamera menyorot Yukina yang berjalan memasuki lorong stadion dengan hoodie yang terpasang di kepalanya.
"Tentu saja. Kekuatan, bakat, dan kecerdasannya itu luar biasa," sahut All For One tenang. Dia ikut menyaksikan penampilan putrinya sambil menopang dagu. "Bagi Yukina, U.A hanyalah taman bermain yang sempurna untuknya."
"Dia seperti kuda liar yang terlepas setelah susah payah kau kekang, Sensei..." celutuk Tomura sambil menggaruk lehernya yang gatal. Sungguh kebiasaan yang aneh sekaligus mengerikan.
"Jadi, apa kita akan mengambilnya lagi?" tanya Tomura.
"Jika seekor anak domba tersesat, tentu sudah tugas majikannya untuk mencari dan membawanya kembali pulang," jawab All For One.
"Namun karena dia sudah berhubungan dengan All Might dan para pahlawan, kita perlu dedikasi lebih untuk itu."
"...Kau benar."
Babak final dilanjutkan setelah kerusakan akibat serangan Yukina selesai diperbaiki. Pertandingan kelima dimenangkan oleh Ashido dan pertandingan keenam dimenangkan oleh Tokoyami. Saat ini, Tetsutetsu dan Kirishima sedang bertarung untuk memperebutkan tiket masuk babak kedua.
Yukina berjalan santai menyusuri lorong stadion sambil mengingat-ingat bagan pertandingan. Dia menyentuh dagunya sendiri, "Oh, iya. Ochachan akan melawan teroris itu di pertandingan kedelapan, ya?"
Yukina melangkahkan kakinya menuju ruang tunggu, bermaksud melihat keadaan Uraraka. Dia membuka pintu, "Ocha- Oh."
Seketika Yukina suram. Bukannya Uraraka yang dia temui, eh malah si cowok dinamit yang sedang melakukan pemanasan di pojokan. Suasana hening, hanya empat mata yang saling menatap satu sama lain.
Yukina sweatdropped, 'Apa-apaan situasi mendokusai ini...'
Bakugo langsung menatap tajam Yukina, cewek menyebalkan yang telah mengganggu pemanasannya. Padahal sebenarnya Bakugo sudah panas hanya dengan melihat wajah nolepnya Yukina. Melihat keadaan tidak baik untuk kesehatan jiwa dan raga, Yukina memilih mundur teratur seraya menutup pintu.
"Maaf mengganggu—"
"Oi! Tunggu sebentar, Cewek Sialan!"
Bakugo langsung menahan pintu sebelum tertutup sepenuhnya. Yukina kaget karena Bakugo malah membukanya lebar-lebar. Kini mereka berhadapan tanpa penghalang apapun.
"Aku ingin membalaskan dendamku atas latihan bertarung dulu. Jadi, pastikan kau menghadapiku di final, ya, sialan!" seru Bakugo di depan wajah Yukina.
Sementara yang diteriaki masih sedatar tripleks. Dalam hati Yukina gagal paham kenapa Bakugo begitu dendam padanya.
Bakugo menarik kasar kerah baju Yukina, "Karena akulah yang akan mengalahkanmu sampai bertekuk lutut, aku takkan memaafkanmu kalau kau sampai kalah duluan! Apalagi dengan si Hanbun Yaro atau Deku itu!!"
Yukina terdiam. Ekspresi datarnya berubah menjadi keterkejutan, namun perubahannya tak begitu signifikan. Karena tidak ada respon apapun dari Yukina, Bakugo semakin mencengkeram kuat kerah bajunya, "Oi! Kau dengar tidak?! Katakan sesuatu, bodoh!"
"Terima kasih... telah menyemangatiku..." kata Yukina polos.
"HAH?! SIAPA YANG MENYEMANGATIMU, SIALAN!?"
"Kau?" sahut Yukina sambil menaikkan salah satu alis.
"AKU TIDAK MENYEMANGATIMU, BODOH!"
Dan Yukina pun dihadiahi Bakugo sebuah teriakan membahana yang membuat telinganya berdengung. Sepertinya Yukina terlalu positive thinking sehingga tak menangkap maksud Bakugo sebenarnya, bahwa Bakugo secara terang-terangan telah menantangnya.
Bakugo melepaskan cengkeramannya di kerah Yukina dengan kasar, "Aku bilang begitu bukan berarti aku peduli padamu! A-aku hanya... tak ingin mereka merusak acara balas dendamku! Itu saja!" koreksinya cepat-cepat.
Hei, apa tidak ada alasan yang lebih elit lagi, Bakugo?
Namun percayalah, diam-diam Bakugo juga tak bisa menepis fakta bahwa dia sebenarnya mendukung Yukina. Terbukti semburat merah di kedua pipinya yang semakin terlihat jelas. Dan bodohnya Yukina tak menyadari hal tersebut. Dia malah mengajukan pertanyaan konyol.
"Kau ini... Tsundora, ya?" celutuk Yukina.
Bakugo triggered, "YANG BENAR ITU TSUNDE— AARGHH!! DIAMLAH, SIALAN!!"
Tanpa sadar Bakugo hampir saja mengakui dirinya seorang tsundere. Dia langsung berteriak kesal dan menjambak rambutnya frustrasi. Ledakan-ledakan kecil terlihat di kedua pipinya yang memerah.
'Siapapun tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi di sini...' batin Yukina suram. Matanya yang menatap Bakugo sudah berubah seperti ikan mati, tanpa cahaya sedikitpun.
Masih sebuah misteri kenapa Yukina yang peka terhadap serangan musuh langsung jadi tumpul jika menyangkut soal beginian.
Yukina menunjuk pipi Bakugo, "Hei, wajahmu memerah. Apa kau—"
"D-Diam!! Aku tidak blushing, bodoh!" jawab Bakugo ketus sambil menutupi mulutnya dengan punggung tangan. Rona merah di pipinya malah semakin terlihat jelas. Bakugo berusaha menghindari kontak mata dengan Yukina. Dia tak tahan ditatap polos dengan sorot mata dingin itu.
'Padahal aku mau tanya dia demam atau tidak...' batin Yukina sweatdropped. Secara tidak langsung, Bakugo malah menjelaskan dirinya sedang blushing sekarang.
'Lagipula, blushing itu apaan?' lanjut Yukina dalam hati.
"ARGHH! Sudahlah! Berada di dekatmu membuat emosiku memuncak saja! Minggir, Cewek Sialan!" geram Bakugo sambil berjalan keluar ruang tunggu. Dengan sengaja Bakugo menabrakkan bahunya hingga menyebabkan Yukina sedikit terdorong ke belakang.
"Kau tunggu saja, sialan! Akan kuhabisi kau di final nanti! Dan setelah itu, akulah yang akan berdiri di puncak!"
Tanpa menoleh sedikitpun, Bakugo terus berjalan dengan gusar. Yukina sweatdropped melihat Bakugo yang jalannya seperti robot dengan langkah lebar-lebar itu.
"Ya. Berjuanglah," sahut Yukina datar.
"J-J-JANGAN MENYEMANGATIKU SEPERTI ANAK KECIL! KULEDAKKAN KAU!!" teriak Bakugo yang semakin uring-uringan.
Yukina kembali speechless. Rasanya serba salah setiap kali berhadapan dengan Raja Ledakan Pembunuh itu. Detik berikutnya, Bakugo menghilang dari pandangan karena berbelok menuruni tangga untuk menuju arena.
"Gezz.. Dia itu kenapa, sih?" tanya Yukina tak paham sambil mengusap kepala belakangnya yang tidak gatal.
"Padahal... aku tadi tulus mengatakannya."
[Extra]:
Yukina berjalan mencari tempat untuk menyaksikan pertandingan kedelapan. Terbesit ide untuk menuju kursi penonton 1-A. Sepertinya akan menarik jika mendiskusikan alur pertandingan dengan Midoriya yang kutu buku itu, pikirnya.
"Eh, tunggu dulu.."
Sedetik kemudian, Yukina baru menyadari sesuatu yang penting. Wajahnya mulai membiru suram.
'AKU MALAH MENYEMANGATI LAWANNYA OCHACHAN...'
#21
Don't consider my laidback nature as my weakness.
The beast in me is sleeping, not dead.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro