Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 13: Courage

Yukina menatap bosan layar televisi di hadapannya yang menampilkan berita penyerangan U.A. Sudah berkali-kali dia mengganti channel tetapi hanya itu saja yang dibahas.

Mendokusai,” Yukina langsung mematikan televisi menggunakan remote.

“Di saat seperti ini, harusnya mereka menayangkan acara yang menghibur seperti anime atau semacamnya. Bukan malah berita picisan begini,” gerutunya.

Yukina bangkit dari sofa dan berjalan ke dapur. Dia membuka kulkas, hendak mengambil makanan ringan untuk menemani waktu senggangnya. Namun sayang, kulkas ternyata kosong tanpa ada makanan satupun.

“Yang benar saja.. Apa ini artinya, aku harus keluar?” tanya Yukina pada diri sendiri.

Dia menutup kulkas sambil menghela napas panjang, “Yah, mau bagaimana lagi. Sudah saatnya aku berhenti menjadi hikkikomori dan menghadapi dunia nyata.”

Yukina menyambar jaket hitamnya dan bersiap untuk berbelanja.

Lima menit kemudian..

“Aku ingin pulang,” kata Yukina penuh keputusasaan. “Ini terlalu berat bagi orang yang terlalu lama hidup dalam kegelapan..”

Di bawah terik matahari, Yukina berjalan layaknya zombi. Sedari tadi dia terus memegangi perut juga mulutnya menggunakan tangan. Sejak keluar rumah, aura suram keluar darinya tanpa henti.

[Kelemahan Yukina No. 13: Tidak tahan matahari.]

“Aku takjub All Might bisa bertarung di siang bolong begini,” puji Yukina yang duduk di kursi panjang untuk berteduh sekaligus beristirahat sejenak. Matanya mengedar melihat orang-orang tersenyum dan tertawa bahagia bersama teman atau keluarga mereka.

‘Entah kenapa aku seperti hidup di dunia yang berbeda..’ batin Yukina prihatin pada diri sendiri. Dia merogoh ponselnya di saku jaket, ‘Meski merepotkan, aku harus beradaptasi secepatnya.’

“Banyak juga yang harus kubeli. Pasti merepotkan kalau aku langsung membawa semuanya dalam sekali belanja,” keluh Yukina.

“Seandainya ada orang yang baik hati serta pandai bersosialisasi-“

“Yo, Yukina! Tidak kusangka bertemu denganmu di sini!”

Yukina menoleh ke sumber suara. Terlihat Kirishima berjalan menghampirinya sambil melambaikan tangan. Senyum simpul terukir di wajahnya yang tampan.

Yukina seketika mengheningkan cipta, ‘Ternyata ada juga, ya..’ batinnya sweatdropped.

“Kau.. Gigi Hiu, ya?” tanya Yukna saat Kirishima sudah berada di hadapannya.

Kirishima syok di tempat, “Jangan memanggilku begitu, dong! Namaku Kirishima Eijiro!” jelasnya. “Lalu, apa yang kau lakukan di sini, Yukina? Kukira kau masih dirawat Recovery Girl.”

“Lukaku hanya luka ringan, jadi tidak perlu perawatan intensif,” sahut Yukina datar, meski sebenarnya pukulan Nomu masih membekas.

Yukina bangkit dari posisi duduknya, “Yang lebih penting lagi, aku harus pergi berbelanja sekarang.”

“Oh! Kebetulan sekali, aku juga mau membeli sesuatu. Jika tidak keberatan, kau bisa pergi bersamaku,” ajak Kirishima. “Aku tahu tempat yang tepat untuk belanja,” tambahnya.

Mata Yukina bersinar-sinar semangat meski wajahnya masih datar. Tanpa ba-bi-bu lagi, Yukina langsung menerima ajakan tersebut. Kirishima tersenyum senang melihat respon Yukina. Mereka pun berangkat berbelanja bersama.

Sepanjang perjalanan, Kirishima terus mencairkan suasana canggung di antara dirinya dengan Yukina. Tentu obrolan itu didominasi oleh Kirishima karena Yukina hanya menjawab satu-dua patah kata dengan singkat.

Perhatian Yukina fokus pada pemandangan di depannya. Nampak pasutri bersama anak mereka yang terlihat bahagia. Sebuah keluarga yang sangat Yukina inginkan.

“-na? Yukina!” Kirishima menyadarkan Yukina yang melamun.

Yukina tersentak dan langsung menoleh, “Ya?”

Kirishima menunjuk pusat perbelanjaan di seberang jalan, “Kita akan menyeberang jalan. Jadi, jangan melamun begitu,” katanya mengingatkan. Yukina hanya mengangguk.

Lampu lalu lintas berubah merah, memberikan kesempatan bagi pejalan kaki untuk menyeberang. Kirishima dan Yukina berjalan di zebra cross bersama pejalan yang lain. Tiba-tiba Yukina berhenti. Kirishima menoleh bingung, “Ada apa?”

“Ada yang datang. 500 meter dari arah utara..” gumam Yukina.

Tiba-tiba datang truk dari arah utara yang melaju cepat. Jauh di belakangnya terlihat beberapa mobil polisi yang mengejar. Meski lampu lalu lintas masih merah, truk itu nekat menyelonong sambil terus-menerus membunyikan klakson.

“Minggir, kalian semua!” teriak sopir truk penuh emosi. Dia adalah penjahat yang berusaha melarikan diri dari kejaran polisi.

Sontak semua orang menoleh ke sumber suara. Mereka panik dan takut ketika truk itu melaju ke arah pejalan kaki yang sedang menyeberang, termasuk Kirishima dan Yukina.

‘Gawat! Kalau truk itu tidak berhenti, habislah kita semua!’ batin Kirishima panik. Keringat dingin menetes di pelipisnya. Kirishima merasa seluruh tubuhnya seakan lumpuh meskipun otaknya menyuruh bergerak.

Di saat Kirishima dan pejalan kaki lain sibuk bergulat dengan rasa takut mereka, Yukina berlari ke arah utara untuk menghadang truk. Semua orang terkejut melihat aksi nekat Yukina itu.

“Hei, Bocah! Minggirlah atau kau akan mati!” seru penjahat. Namun, peringatan itu tidak diindahkan oleh Yukina. Dia malah berdiri tegap seakan menanti truk yang lajunya semakin cepat itu.

“Seharusnya akulah yang berkata begitu,” sahut Yukina dingin.

Dengan tangan kosong, Yukina menahan truk agar tidak menabrak orang-orang di belakangnya. Seketika truk terhenti hingga sedikit terangkat dari permukaan jalan. Bagian depan truk langsung penyok dan pijakan Yukina ikut retak.

“M-Mustahil..!!” gumam penjahat tidak percaya. Dia menginjak pedal gas lebih keras tetapi truknya sama sekali tidak bergeming. Itu karena kegelapan yang merambat dari kaki Yukina sudah mengikat bagian bawah truk.

Mendokusai.. Baru keluar rumah sekali nyaris ditabrak truk,” gerutu Yukina dengan nada malas. Dia mengentakkan kaki kirinya ke tanah. Sontak truk langsung terhempas ke udara dan jatuh dengan keras. Semua orang yang melihat itu melongo berjamaah.

“Kau lihat itu? Dia menghentikannya dengan tangan kosong!”

“Kuat sekali! Truknya sampai terhempas begitu!”

‘Gawat, aku terlalu berlebihan. Dia mati tidak, ya?’ batin Yukina sweatdropped. Semua pejalan langsung berterima kasih pada Yukina yang telah menyelamatkan mereka. 

“H-Hebat..” puji Kirishima yang kehabisan kata-kata. Yukina menghampirinya, “Ayo pergi sebelum polisi dan wartawan datang. Aku tidak mau berurusan dengan mereka.”

Kirishima hendak protes tetapi Yukina langsung menyeretnya menjauh dari TKP. Mereka berdua melarikan diri ke pusat perbelanjaan yang menjadi tujuan utama.

“Kau hebat sekali, Yukina! Truknya sampai terhempas, duaar! Lalu saat jatuh, kaboom!” puji Kirishima. Setelah keluar dari pusat perbelanjaan, dia terus memuji kehebatan Yukina, sampai-sampai mengundang perhatian orang-orang sekitar.

“Aku mengerti, terima kasih. Jadi, tenanglah sedikit,” ucap Yukina menenangkan Kirishima. Dia kini dalam perjalanan pulang bersama Kirishima yang menenteng belanjaan mereka.

Sebenarnya Yukina bisa membawanya sendiri tetapi Kirishima terus memaksa, dia pun menyerah. Lelaki macam apa yang membiarkan perempuan membawa belanjaan berat sendirian? Sungguh tidak jantan, begitulah yang Kirishima pikirkan.

Kirishima menggaruk pipinya gugup, “Anu.. Yukina? Ada yang ingin kutanyakan padamu,” katanya pelan. Yukina menoleh, tanda menantikan pertanyaan dari Kirishima.

“Apa kau tidak merasa takut ketika terlibat dalam bahaya? Bagaimana kau bisa seberani itu?” tanya Kirishima sambil menghindari kontak mata.

Yukina memperhatikan perubahan ekspresi Kirishima. Dia terlihat seperti merasa bersalah, menyesal karena dikuasai rasa takut sehingga tidak dapat bergerak sedikitpun. Yukina sangat mengerti perasaan itu. Sorot mata dinginnya mulai melembut.

“Berani bukan berarti kau tidak takut. Berani artinya kau tidak membiarkan rasa takut itu menghentikanmu. Jika kau bertanya aku takut atau tidak, tentu aku takut. Setiap manusia punya ketakutan tersendiri terhadap sesuatu,” jawab Yukina.

Kirishima terdiam mendengar jawaban tersebut. Dia merasa jawaban Yukina begitu merasuk ke hatinya.

“Kau sepertinya memikirkan banyak hal. Ada banyak perasaan yang berputar-putar dalam dirimu.. Seperti orkestra sebelum tunning,” komentar Yukina.

Kirishima tersentak, “E-Eh?! A-Apa maksudmu?” tanyanya gugup.

“Jika ada yang mengganggumu, katakan saja,” sahut Yukina.

Kirishima menelan ludah. Dia mengusap tengkuknya gugup, “Setahun lalu, seorang penjahat mengancam temanku. Aku melihatnya dan ingin menyelamatkan mereka. Tapi nyatanya.. aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Rasanya-“

“-Tubuhmu seakan lumpuh karena dikuasai rasa takut. Meski kepalamu menyuruh bergerak, kau hanya bisa berdiri mematung,” potong Yukina cepat. “Apa aku benar?”

Kirishima tertegun, ucapan Yukina persis seperti yang dia rasakan saat itu. “B-Bagaimana.. kau tahu?” tanyanya terbata-bata.

“Tebakan yang beruntung. Temanku pernah dibully sebelumnya. Kurasa situasinya sama dengan apa yang kau ceritakan,” jawab Yukina sekenanya. Dia menatap lurus ke depan, “Lalu, apa temanmu selamat?”

Kirishima mengangguk, “Ya, berkat Ashido.”

“Baguslah,” sahut Yukina datar, meski dia tidak tahu siapa ‘Ashido’ itu.

“Lalu temanmu itu bagaimana? Apa dia baik-baik saja?” tanya Kirishima.

Seketika Yukina tertegun hingga berhenti melangkah. Matanya berubah kosong dengan manik yang mengecil. Pertanyaan Kirishima itu memanggil memori yang tidak ingin ia ingat. Yukina merasa dunianya runtuh saat itu juga.

“Yukina? Kau terlihat pucat. Apa kau baik-baik saja?” tanya Kirishima cemas.

Yukina tidak menjawab dan malah melihat tangan kanannya yang gemetaran. Di mata Yukina sekarang, tangannya terlihat kotor oleh darah. Tubuh seseorang -yang ia anggap teman, terbujur kaku bersimbah darah.

Kirishima yang sadar bahwa Yukina ‘tidak baik-baik saja’ itu segera minta maaf. “M-Maaf! L-Lupakan saja pertanyaanku tadi!” katanya gugup karena merasa bersalah.

Yukina tersadar dan kembali normal dengan ekspresi datar. “Tak apa,” jawabnya singkat. “Seandainya saat itu.. tanganku bisa menggapainya, mungkin dia masih hidup sekarang.”

Kirishima tertegun. Meski bernada datar, Kirishima merasakan penyesalan yang mendalam pada ucapan tersebut. Yukina membuatnya terdengar enteng tetapi sebenarnya itu sangat berat bagi dirinya sendiri. Melihat hal itu, Kirishima semakin merasa bersalah.

“Meski begitu, memikirkan yang sudah berlalu sama sekali tidak ada artinya,” kata Yukina.
“Yang ada hanyalah sekarang. Aku harus melangkah maju dan berjuang saat ini juga. Dengan begitu, aku bisa hidup tanpa penyesalan,” tambahnya.

Kirishima menatap takjub Yukina. Raut wajahnya berubah cerah setelah mendengar perkataan Yukina. Dia tersenyum simpul, “Kau benar. Mari berjuang, Yukina! Dan suatu saat nanti, kita berdua akan menjadi pahlawan hebat!”

Yukina mengangguk yakin. Tidak sadar mereka harus berpisah karena rumah keduanya berbeda arah.

Yukina mengambil belanjaannya dari tangan Kirishima, “Terima kasih sudah membantuku hari ini.”

“Tidak masalah! Kita ‘kan teman,” sahut Kirishima semangat. Dia mengusap hidungnya gugup dengan jari telunjuk, “Aku juga, berterima kasih padamu.”

“Sama-sama,” jawab Yukina datar. Dia berbalik meninggalkan Kirishima, “Sampai jumpa di sekolah, Eiji.”

Kirishima tersentak. Apa telinganya tidak salah dengar? Baru saja Yukina memanggilnya Eiji?

Tanpa sadar, Kirishima menahan tangan Yukina, seakan mencegahnya pergi. Yukina refleks menoleh, ekspresi datarnya masih bertahan. Iris hitamnya menatap mata merah Kirishima dalam-dalam.

“Apa lagi?” tanya Yukina datar.

Seketika Kirishima tersadar dan langsung melepaskan tangannya dari Yukina. Dia mengusap tengkuknya gugup. “S-Sampai jumpa di sekolah..” ucapnya pelan sambil mengalihkan pandangan.

Tiba-tiba Yukina menyodorkan secarik kertas ke dada Kirishima. Setelah itu, dia berbalik pulang, meninggalkan Kirishima yang mematung kebingungan karena kertas itu kosong tanpa tulisan apapun.

“Eiji,” panggil Yukina sebelum pulang. Kirishima menoleh, terlihat Yukina yang menempelkan jari telunjuknya di bibir. Sebuah isyarat untuk merahasiakan sesuatu. Pipi Kirishima seketika memanas dan memerah seperti rambutnya.

“Soal hari ini, jangan bilang ke yang lain,” ucap Yukina.

Kirishima terdiam, ‘Soal hari ini? Soal kita yang berbelanja bersama, kah?’ batinnya salah tingkah.

‘Bisa gawat jika teman-teman tahu kalau aku yang menghentikan truk tadi,’ lanjut Yukina dalam hati –yang rupanya tidak sesuai pikiran Kirishima. Yukina langsung berlari pulang tanpa menunggu jawaban dari Kirishima.

Beberapa detik kemudian, Kirishima tersadar Yukina sudah menghilang dari pandangannya. Dia melihat kertas kosong di tangannya, “Apa maksudnya ini?” tanyanya bingung.

Kirishima membalik kertas itu. Ternyata di baliknya tertulis nomor telepon milik Yukina. Seketika Kirishima bersorak senang seperti mendapat lotre ratusan juta. Orang-orang di sekitarnya mendelik kaget tetapi Kirishima tidak peduli. Dia langsung bergegas pulang, tidak sabar menghubungi nomor yang baru saja dia dapatkan.

Malamnya..

Kirishima mencoba mengirim pesan kepada Yukina. Jarinya dengan lincah mengetik huruf-huruf di keyboard ponselnya.

[Kirishima Eijiro]:
Hei, Yukina!

[Aizawa Yukina]:
?

[Kirishima Eijiro]:
Aku tidak bisa tidur..

[Aizawa Yukina]:
Aku bisa.
Selamat malam.

Kirishima auto mengheningkan cipta. Rupanya tidak hanya di dunia nyata saja, sifat irit kata Yukina juga terbawa sampai ke dunia maya.

#13
Courage doesn’t mean you don’t get afraid.
Courage means you don’t let fear stop you.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro