DYEZRA 44 - Run and Escape
•
•
•
Narega merasa sangat frustasi karena tidak bisa melacak keberadaan adik sepupunya. Berkali-kali pemuda itu mengumpat dan menjambak rambutnya sendiri sebagai pelampiasan. Hari sudah malam saat terakhir kali mereka menemukan Nindi di ruangan bawah tanah itu.
Mereka juga sudah mengetahui siapa dalangnya dari kesaksian Nindi dan pengakuan Aretta sendiri. Namun sampai sekarang, mereka belum juga menemukan keberadaan Dyezra yang disembunyikan oleh dua bersaudara Devano dan Devina itu.
Viona dan Mira begitu syok saat mengetahui bahwa Devina adalah salah satu dalang yang terlibat dalam penculikan tersebut. Mereka benar-benar tidak menyangka dan tidak percaya terhadap fakta yang baru mereka ketahui itu.
Bagaimana tidak? Selama ini Devina terlihat begitu menyayangi Dyezra sebagai sahabatnya, dia juga akan memukul Devano jika cowok itu berani mengganggu Dyezra.
Lantas kenapa?
Kenapa harus Devina?
Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh sahabatnya itu?
"Jadi gimana, Bang?" tanya Viona yang sedari tadi memang duduk di samping Bang Ega sembari memerhatikannya mengutak-atik laptop.
Narega menggeleng.
Viona menghela napasnya. "Ternyata belum ada hasil, ya." Netra Viona kembali berkaca-kaca, rasa sesak kembali menyerang dadanya bertubi-tubi. Devina dan Dyezra, sungguh mereka berdua membuat Viona benar-benar tidak habis pikir dan merasa sedih seperti sekarang.
Terutama Devina.
"Aku udah sahabatan sama mereka sejak lama, tapi Devina emang nggak seterbuka itu sama kita berdua, Bang. Kadang dia juga curhat dikit-dikit soal kehidupannya sehari-hari di rumah, selebihnya gaada, dia selalu jadi pendengar."
Narega terdiam mendengarkan curahan hati Viona. Ya, setahu dia Devina memang yang paling pendiam di antara ketiganya, tapi Narega tahu kalau Devina juga yang paling cerdas dan paling dewasa di antara mereka bertiga. Rasanya tidak mungkin kalau Devina ikut andil dalam penculikan jika tidak ada hasutan atau ancaman dari orang lain.
"Mungkin ada yang mengancamnya, Viona. Siapapun kalau merasa terancam pasti akan melakukan apapun yang disuruh tanpa pikir panjang selain keselamatan dirinya sendiri," papar Narega.
Viona ber-oh ria, Bang Ega ada benarnya juga. "Mungkin nggak, kalau Devano mengancam Devina?"
Narega mengangkat kedua bahunya. "Mungkin aja, apapun bisa terjadi, 'kan?" Viona mengangguk-angguk setuju. Kemudian Narega kembali fokus dengan laptopnya, dan sesekali akan menyahuti perkataan Viona yang menemaninya.
Sementara itu, Arkabima, Diorza, dan Fero tengah berada di rumah Keluarga Blanc sekarang. Sudah sekitar setengah jam ketiganya berdiri di luar gerbang hitam yang tinggi menjulang itu, tapi tidak ada yang membukanya sama sekali.
Suasana di sekitar sana sangat sepi, sementara letak rumah Keluarga Blanc memang agak jauh dari tetangga-tetangga sekompleknya. Yang Diorza ketahui, keluarga dari sahabat kakaknya itu memang tidak suka berbaur dengan khalayak ramai. Jadilah rumahnya dibuat dengan jarak yang sedikit jauh dari para tetangga komplek.
"Gimana ini, Pa? Bang Ega juga belum ngasih kabar," celetuk Diorza yang masih terduduk di atas motornya tersebut.
Arkabima sendiri masih sibuk dengan ponselnya, pria paruh baya tersebut tengah meminta bantuan pada salah satu temannya yang ahli dalam bidang cari mencari dan melacak. "Papa sudah menghubungi Om Harvey, dia akan membantu kita."
"Siapa Om Harvey?" tanya Fero yang memang tidak tahu menahu tentang keluarga Dyezra itu.
"Om Harvey itu seorang black hat hacker, Bang, dia salah satu sahabat Papa semasa kuliah," jawab Diorza.
Fero makin berdecak kagum. Sungguh, ia baru mengetahui kalau Om Bima ternyata punya koneksi dengan para penjelajah program seperti Om Harvey. Lain kali Fero harus berhati-hati jika berbicara dengan papa dari kekasihnya itu.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
"Ah, ini ..."
"Kenapa, Bang?" Viona yang mendengar suara terkejut dari Narega sontak bertanya dengan ekspresi panik.
Narega menggeleng, jari-jarinya semakin lincah menari di atas laptopnya. "Om Harvey, tiba-tiba ngirim pesan. Entah apa isinya," jawab Narega dengan mata yang masih terfokus pada layar.
Viona membulatkan kedua netranya. "Om Harvey yang duda keren itu?!" serunya heboh. "Wahh! Cepetan buka Bang, Vio penasaran!"
Narega mengangguk singkat. Ia langsung membuka pesan dari Om Harvey yang ternyata berisi sebuah tautan. Dengan cepat Narega membukanya dan dirinya kini dibuat terperangah saat melihat isinya. Tidak jauh berbeda dengan Narega, Viona pun dibuat terperangah dengan mulut terbuka lebar.
Isinya adalah sebuah lokasi disertai beberapa foto Dyezra yang terikat di atas ranjang. Namun bukan itu yang membuat Narega dan Viona terperangah. Melainkan sebuah catatan yang ditulis dengan tinta merah di bawahnya.
Masa mencari ini saja kau tidak bisa? Bersiap-siaplah, Om akan mengajarimu langsung Narega. Tentunya tidak akan ada keringanan untukmu.
Viona dan Bang Ega saling pandang, Narega meneguk ludahnya susah payah. Ancaman Om Harvey tidak pernah main-main. Tamatlah sudah riwayatnya.
"Hayolohh, turut berduka cita ya Bang."
Narega berdecak. Ia segera memberitahu Om Bima tentang lokasi dan keberadaan Dyezra. Setelahnya, ia dan Viona bersiap-siap untuk pergi ke sebuah tempat. Di mana ia membutuhkan bantuan beberapa orang karena tempat Dyezra disekap dijaga oleh puluhan orang terlatih.
Narega tahu Om Bima tidak membutuhkan banyak orang, mungkin hanya lima orang dan ditambah mereka saja sudah cukup untuk mengalahkan puluhan anak buah Keluarga Blanc itu.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Setelah berjam-jam tidur dalam keadaan mata sembab, Dyezra kembali membuka kedua matanya. Gadis itu mengernyit saat tidak mendapati dirinya terikat lagi. Entah siapa yang membebaskan ikatannya.
Dengan sedikit tergesa Dyezra berlari menuju pintu dan mencoba membukanya. Namun nihil, pintu itu masih terkunci rapat. Gadis itu mendengkus kesal karena tidak bisa kabur dari kamar tersebut. Dengan langkah kaki yang dihentak-hentakkan, Dyezra kembali mendudukkan dirinya di ranjang.
Dyezra penasaran, tempat apa ini sebenarnya? Tempat itu terasa sangat asing baginya. Lagi pula, tempat ini terletak di belahan bumi sebelah mana? Sangat misterius sekali.
Dyezra dan rasa penasarannya memang tak dapat dipisahkan, kakinya kembali melangkah ke arah jendela yang tertutup gorden berwarna hitam itu. Dibukanya gorden itu dan seketika terpampanglah pemandangan laut malam di depannya yang begitu luas.
Dyezra tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya akan keindahan alam semesta ciptaan-Nya itu. Dibukanya slot jendela yang memang hanya ada satu di sana, seketika angin segar dari luar masuk memenuhi kamar yang awalnya memang terasa pengap itu.
Dyezra melongokkan kepalanya ke bawah, ia baru sadar kalau kamar yang ditempatinya berada di lantai paling atas. Devano pasti tahu kalau dirinya akan kabur, makanya dia meletakkannya di lantai teratas. Karena jika ia melompat pun tidak akan mungkin, ia masih sayang nyawa.
Oh, atau ...
Dyezra buru-buru membuka lemari pakaian yang ada di kamar tersebut, namun dirinya kembali mendesah kecewa. Tidak ada satupun pakaian di sana. Padahal ia berencana kabur dengan menyatukan pakaian-pakaian itu agar memanjang sampai bawah. Ia teringat itu di film-film kerajaan saat seorang putri dikurung di menara tertinggi, putri tersebut berusaha kabur dengan menyatukan pakaian-pakaian yang ada di lemari agar bisa sampai ke dasar menara dan bisa bebas.
"Bodoh, itu cuma film Dyezra!"
Gerutuan Dyezra tidak berhenti sampai di situ saja. Ia kembali menggerutu saat perutnya terasa sangat lapar, tapi ia sama sekali tidak melihat adanya makanan di kamar itu. Apa Devano berniat membunuhnya secara perlahan? Tanpa makanan dan minuman, ia bisa mati.
Dyezra menggelengkan kepalanya untuk mengusir pikiran buruknya itu. Netra kecoklatannya kembali menatap pemandangan laut malam itu. Ya, dirinya sendiri tidak tahu sudah berapa lama ia berapa di sana.
Ceklek!
Dyezra langsung menoleh ke sumber suara, dia menghela napas lega. Ternyata yang datang adalah Devina, dengan senampan makanan yang dibawanya. Ya, dia memang mengharapkan sahabatnya itu yang datang, ada hal yang harus Dyezra bicarakan pada sahabatnya tersebut.
"Gue bawain makanan buat lo, Ra. Lo pasti lapar, 'kan?"
Dyezra hanya menjawab dengan anggukan singkat. Jujur saja, ia masih merasa waswas dengan Devina. Sikap sahabatnya itu benar-benar tidak bisa ditebak. Devina meletakkan nampan itu di atas nakas, sementara Dyezra masih terus memerhatikan gerak-gerik Devina.
"Lo yang ngelepas ikatan gue?" tanya Dyezra.
Devina mengangguk, mengiyakan. "Dimakan dulu Ra," ujar Devina kemudian.
Dyezra hanya mengangguk patuh, gadis itu langsung duduk di atas kasur dan mengambil nampan berisi sepiring nasi goreng dan satu gelas jus tomat kesukaannya. Dyezra memakannya dengan lahap, karena jujur saja terakhir kali dia makan adalah kemarin malam. Dia sama sekali tidak sempat makan setelah apa yang menimpa Nindi dan dirinya sejak semalam.
Devina hanya memerhatikan Dyezra yang makan tanpa melakukan apapun. Dyezra sesekali melirik ke arah Devina yang menatapnya. Tidak ada ekspresi yang berarti di wajah sahabatnya itu. Membuat Dyezra benar-benar merasa sangat heran dengan perubahan Devina yang tidak pernah dilihatnya itu.
"Vin, lo sebenarnya kenapa?" tanya Dyezra membuka percakapan.
"Apanya? Baik-baik aja gue," balas Devina.
Dyezra menghela napas, tatapannya menyendu. "Gue mau pulang."
"Apa?"
"Gue mau pulang, Devina."
"Lo harus tetap di sini, Dyezra!"
Prang!
Dyezra sampai terkejut, nampan makanan yang tengah dimakannya jadi jatuh dan berserakan di lantai. Gadis itu berdiri dengan amarahnya yang membara. "Gue punya kehidupan lain, Vina! Lo mau ngurung gue selamanya di sini, hah?!"
"Kalo itu bisa bikin lo tetap ada di sini, maka jawabannya adalah iya!"
"LO GILA!"
Devina memungut nampan yang terjatuh di lantai dan berniat membawanya keluar, mengabaikan seruan Dyezra yang meminta dibebaskan. Dyezra sendiri pun tak sempat menahan pintu itu karena kalah cepat dengan Devina.
Tubuh Dyezra merosot ke lantai, air matanya kembali luruh. "Hiks, gue harus gimana?"
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Malam sudah semakin larut, tubuh Dyezra semakin melemah karena terus-terusan menangis. Tenggorokannya pun terasa begitu kering. Devina tidak kembali lagi saat terakhir dia bertengkar dengan sahabatnya itu. Devano pun juga tidak terlihat sama sekali.
"Nggak, gue nggak bisa terus kayak gini. Gue harus kabur!"
Ya, Dyezra bertekad untuk kabur saat ini. Cara apapun akan dia lakukan untuk itu. Tidak peduli akan risiko yang mungkin akan ia dapatkan jika ketahuan atau tertangkap. Ia tidak peduli lagi akan konsekuensinya.
Dengan cepat ia membuka laci-laci yang berada di kamar itu, mencari sesuatu yang sekiranya bisa membantunya kabur.
"Ah, ketemu!"
Dyezra menemukan sebuah pisau di laci nakas paling bawah, ia melirik ke arah tali-tali yang sempat mengikatnya itu, lalu mengaitkan ujung talinya pada pegangan pisau. Setelah memastikan kalau ikatannya sudah kuat, Dyezra beralih membuka jendela dan mencari spot yang tepat untuk melemparkan pisau itu dan menancapkannya.
Ujung tali yang lain, ia ikatkan pada ujung tiang kasur di belakangnya. Ya, sebagai penahan nanti. Ia akan mencoba cara ini terlebih dahulu. Jika tidak berhasil, ia akan mencoba cara lain.
"Huft, okeh. Bismillah."
Sret!
Prang!
"Akh! Kok nggak nancap, sih?!"
Dyezra kembali menarik pisau itu karena tidak berhasil dia tancapkan pada salah satu pohon di bawah sana. "Bener sih, orang nggak tajem gini. Buluk ah, nih pisau."
Ceklek!
"Lo mau ngapain?"
Tubuh Dyezra menegang saat mendengar suara Devano menggema di seluruh ruangan. Ia berbalik dan menatap pemuda tersebut lamat-lamat. Dyezra menyembunyikan pisau itu di belakang punggungnya.
"Nggak ngapa-ngapain, kok."
Jujur saja, Dyezra merasa gugup sekarang. Apalagi tatapan Devano yang seolah bisa membunuhnya kapan saja. Pemuda itu berjalan mendekat dengan tatapan yang tak lepas dari Dyezra.
Dyezra sampai harus menahan napasnya saat Devano sudah berjarak beberapa senti darinya. Hingga dengan cepat dan tanpa disadarinya, pisau yang semula berada di tangannya kini sudah berada di tangan Devano.
Pemuda itu menyeringai.
"Apa ini, Ra? Mencoba kabur, eh?"
Devano menatap ujung pisau yang terikat pada tali, pemuda itu menariknya dengan kuat hingga tali yang juga terikat pada ujung tiang kasur itu terputus.
"Lo tau nggak, apa hukuman buat tahanan yang mencoba kabur?"
Dyezra terdiam kaku, tenggorokannya tercekat saat Devano mengarahkan pisau itu pada lehernya. Pemuda itu menekannya hingga ujung pisau itu berhasil menggores leher mulus Dyezra. Darah segar langsung mengalir dari sana, Dyezra menangis tanpa suara.
Setelah puas melihat wajah ketakutan Dyezra, Devano menjauhkan pisau tersebut dan menatap luka yang dia torehkan pada leher orang yang dicintainya itu. Tanpa jijik, Devano menjilat darah yang merembes di kulit leher itu hingga Dyezra terpekik kaget.
Devano tersenyum. "Darah lo manis."
Usai itu Devano meninggalkannya begitu saja, tentunya setelah mengunci kembali pintu kamar. Dyezra kembali merosot ke lantai dengan tubuh yang gemetar hebat. Tangannya meraba area lehernya dan seketika ia harus meringis karena rasa perih yang dia rasakan di sana.
Gadis itu kembali menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya yang menyedihkan.
•
•
•
Devano udah kayak psikopat, sementara Devina udah kayak orang yang kehilangan akal sehat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro