Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DYEZRA 41 - Obsession



Mentari pagi yang biasanya membawa keceriaan, kini justru membawa kesedihan. Suasana di area camp terasa suram karena ada dua orang teman mereka yang tidak ada di sana.

"Bangsat, lepasin gue! Gue mau cari Dyezra!"

Fero meronta-ronta di dalam cekalan Deon dan Fikri. Pemuda itu benar-benar marah karena gadisnya tidak ada. Sementara Viona tengah menenangkan Mira yang menangis karena Nindi juga ikutan hilang.

"Fero! Tenangin diri lo! Para panitia lagi nyari mereka berdua sekarang, lo jangan memperkeruh keadaan!" cecar Devina yang jadi ikutan emosi.

"Terus apa kita harus diem aja gitu, hah?! Pokoknya gue bakal ikut nyari!" Fero dengan kekeraskepalaannya memang tidak bagus. Pemuda itu melepas paksa cekalan tangan Deon dan Fikri pada lengannya. Lalu berlari ke dalam hutan untuk ikut mencari Dyezra dan Nindi.

Ya, mereka mendapat laporan dari salah satu kelompok kalau dua anggota mereka hilang saat jurit malam. Ternyata yang dimaksud adalah Dyezra dan juga Nindi. Siapa yang tidak khawatir kalau sahabatnya dinyatakan hilang?

"Hiks, kalo mereka kenapa-napa gimana?" Mira terus saja menangis, ia begitu mengkhawatirkan kedua sahabatnya itu, terutama Nindi yang lebih sering bersamanya.

Viona memeluk Mira dan menepuk-nepuk punggung gadis itu. "Hush! Jangan ngomong gitu, ah!"

"Mendingan kita susulin Fero deh," celetuk Deon tiba-tiba.

Fikri pun mengangguk menyetujui saran Deon tersebut. "Iya, lebih banyak yang nyari kan lebih cepet ketemunya."

Setelah perdebatan singkat, akhirnya mereka setuju untuk ikut mencari kedua sahabat mereka. Devina meminta izin pada salah satu guru untuk ikut dalam pencarian, dan beruntungnya mereka mendapatkan izin untuk itu.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

Dyezra mengerjapkan kelopak matanya, berusaha menghalau sinar matahari yang berlomba-lomba memasuki pupil matanya. Gadis itu meringis sembari memegang kepalanya yang terasa berdenyut hebat.

Dyezra mengedarkan pandangannya ke segala arah, ia masih di hutan ternyata. Dengan mengandalkan kekuatan kakinya yang tersisa, Dyezra berusaha berdiri dan kembali berjalan menelusuri hutan. Sungguh, ia tidak tahu ia berada di mana sekarang. Ia kembali teringat akan Nindi yang diculik, Dyezra kembali menangis tanpa suara.

Ditatapnya ponsel milik Nindi yang masih berada di tangannya. Dengan tangan gemetar ia mencoba menyalakan ponsel tersebut. Dyezra sedikit bersyukur karena Nindi tidak mengunci layarnya. Jadi ia bisa menghubungi Mira sekarang.

"Hiks, Mira. Ini Dyezra." Dyezra tidak bisa menahan tangisnya saat suara Mira dan yang lainnya menyapa pendengarannya.

"Lohh Dyezra, lo di mana? Nindi juga baik-baik aja, 'kan? Kita semua khawatir nyariin lo berdua."

Dyezra dapat mengenali jikalau itu suara Devina yang berbicara di seberang sana.

"Hiks, Nindi ... Nindi diculik, salah gue, d-dia semalem, hiks ... huaaa ... Pokoknya Nindi diculik! Gue udah, hiks ... ngejar penculiknya, t-tapi larinya cepet banget."

Dyezra berbicara sambil sesenggukan, sehingga omongannya tidak terlalu jelas. Namun Devina dapat memahami maksud perkataan sahabatnya tersebut. Intinya, Nindi diculik dan Dyezra masih di dalam hutan.

"Oke, sekarang lo tenang dulu, kirim lokasi lo ke kita ya. Kita bakal samperin lo di situ, okeh?"

Dyezra mengangguk meskipun Devina tidak akan bisa melihatnya. Gadis itu langsung menutup teleponnya dan mengirim lokasinya sekarang pada nomor Mira. Dyezra memilih bersandar pada sebuah pohon sembari menunggu teman-temannya. Perlahan-lahan kedua netranya kembali tertutup.

Sementara itu di sudut hutan yang lain, Fero sudah seperti orang gila sekarang. Rambutnya acak-acakan karena terus dia jambak. Dahi yang penuh keringat dan kaki yang kotor karena tanah yang dipijaknya.

"Lo ke mana sih, Ra?"

Drtt, drtt!

Fero langsung menghentikan langkahnya saat ponselnya terasa bergetar dalam saku celananya. Dengan sedikit tergesa ia langsung membuka pesan yang ternyata dari Devina itu.

Dahinya mengerut bingung karena Devina mengirimnya sebuah lokasi padanya, tapi pesan selanjutnya yang masuk membuatnya langsung berlari mengikuti arah lokasi tersebut.

Fero tidak peduli lagi dengan keadaan dirinya sendiri yang sudah sangat kelehahan dan penampilan yang berantakan. Yang pemuda itu inginkan hanyalah menemukan gadisnya sekarang.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

Menit demi menit berlalu, waktu terasa berjalan begitu lama untuk Nindi saat ini. Ia sudah berada di tempat kumuh ini sejak semalam. Bahkan air matanya sudah mengering karena terus-terusan menangis, matanya sendiri sudah sangat bengkak.

Ia lelah, bahkan belum ada orang sama sekali yang datang ke ruangan tempatnya disekap sekarang ini. Apakah teman-temannya mencarinya? Apakah Dyezra ikut mencarinya? Bagaimana keadaan gadis itu?

Ceklek!

Nindi mengalihkan pandangannya saat mendengar suara pintu dibuka. Netranya seketika membulat sempurna saat melihat Aretta berdiri di sana. "Aretta, ja-jadi kamu yang-"

"Iya, dan itu semua karena lo! Gue dimaki habis-habisan sama Devano, bangsat! Anak buah gue malah salah nyulik orang. Harusnya yang ada di sini sekarang itu Dyezra, bukan lo!"

Nindi menatap Aretta tidak percaya. "Apa? Karena alasan apa semua ini? Kenapa kamu melakukannya? Kamu tadi juga bilang Devano, apa ada hubungannya sama Devano?"

Aretta mengatupkan bibirnya. "Lo udah tau terlalu banyak Nin, gue nggak bisa biarin lo lepas meskipun lo nggak ada hubungannya sama semua ini." Aretta terdiam cukup lama, tapi kemudian seringai licik terbit di bibir tipisnya. "Ohh, atau gue jadiin lo umpan aja ya? Buat mancing Dyezra ke sini, sepertinya itu ide bagus."

Tawa Aretta meledak saat ide tersebut melintas di otaknya. Ya, ia bisa menjadikan Nindi sebagai umpannya. "Nindi yang malang, sayang banget lo bukan tokoh utamanya. HAHAHA!"

Nindi menatap Aretta dengan air mata yang sudah mengalir dari kedua netranya. Gadis itu sangat ketakutan sekarang, terlebih dirinya akan dijadikan umpan. Semoga saja Dyezra tidak termakan jebakannya Aretta. Karena entah kenapa dia punya firasat yang buruk soal ini.

"Winata Eska Anindita. Lo tuh cantik sih Nin, cantik banget malah. Sayangnya lo itu bego, lo terlalu baik jadi orang. Bisa-bisanya lo mau-mau aja jadi yang kedua terus. Di mata orang-orang, Dyezra lebih unggul dari lo. Di mata bokap lo, Arkabima Wijaya. Dyezra tetap putri kesayangannya. Bahkan di mata orang yang lo suka, Deon Putra Alaska. Dyezra masih yang nomor satu di hatinya. Hahaha, miris banget ya hidup lo."

Nindi mengepalkan tangannya.

Perkataan Aretta memang benar, dan itu semua begitu menohok hatinya. Dia memang tidak akan pernah bisa menang dari Dyezra, tidak akan pernah bisa jadi yang pertama, tapi dia tidak ingin semua itu. Dia menyayangi Dyezra sebagai saudaranya. Dia tidak pernah serius menganggap Dyezra musuhnya.

Aretta berjalan menghampiri Nindi yang masih terdiam sembari menunduk itu. Dengan kasar Aretta menarik dagu Nindi agar gadis itu menatapnya. Senyuman licik kembali terpatri di bibir Aretta. "Gimana kalo lo kerja sama aja sama gue?"

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

Fero semakin memacu kecepatan berlari kakinya saat sudah dekat dengan lokasi Dyezra. Bisa dilihat dari kejauhan kalau gadis itu tengah bersandar di bawah pohon besar sembari menutup matanya.

Dengan langkah kaki yang sudah melambat, Fero menghampiri gadis itu. Tatapannya menyendu saat lagi-lagi dirinya menemukan Dyezra dalam keadaan seperti ini. Fero berjongkok tepat di depan Dyezra yang sama sekali tidak terusik dari tidurnya.

"Kenapa lo selalu bikin gue khawatir? Gue nggak sanggup lihat lo kayak gini Ra," lirihnya sembari mengelus jejak air mata di pipi Dyezra. Luka-luka di wajah dan badan gadis itu belum sembuh, tapi lihat sekarang, terdapat beberapa luka baru di lengan dan kakinya.

"Eungh ..."

Suara lenguhan itu membuat Fero langsung mengalihkan perhatiannya pada sang gadis. Kelopak mata indah itu mengerjap-ngerjap dengan pelan. Fero tersenyum saat Dyezra sudah mulai membuka matanya dan menampakkan manik kecoklatan yang berkilauan di baliknya.

"Udah bangun?"

Dyezra baru menyadari kehadiran Fero di depannya, netranya kembali berkaca-kaca. Sontak saja Dyezra langsung menubruk Fero dengan pelukannya. Tangis gadis itu kembali pecah di pelukan kekasihnya.

"Hiks, Fero ... Takut, gue takut."

"Cup cup cup, udah nggak usah takut. Lo aman sama gue sekarang, hm?" Fero mengeratkan pelukannya saat menyadari kalau badan Dyezra gemetar hebat. Hatinya serasa tercubit saat mendengar tangisan pilu dari gadisnya.

Bukannya berhenti, tangis Dyezra malah semakin kencang. Fero sampai kelabakan sendiri menenangkannya. "Udah sayang, kok makin kenceng nangisnya?" ujar Fero disertai tawa gelinya.

Dyezra mengerucutkan bibirnya.

Fero melepaskan pelukannya dan menangkup pipi Dyezra, tangannya dengan perlahan mengusap air mata di pipi gadis itu. "Lo tenang aja, yang lainnya lagi nyari Nindi sekarang."

Kalimat Fero membuat Dyezra kembali menatap pemuda itu dengan sendu. "Salah gue, ini salah gue," lirihnya.

Fero menggeleng cepat. "Ini bukan salah lo, jangan salahin diri lo sendiri kayak gitu."

"Tapi gue semalem ninggalin dia sendiri, gue nggak ada di dekatnya pas kejadian itu. Gue udah coba ngejar, tapi tuh penculiknya lari cepet banget."

"Sstt, yang penting lo sekarang gapapa. Nanti kita ikut nyari Nindi sama-sama, jangan khawatir okey?"

Dyezra mengangguk pelan. Gadis itu kembali menyenderkan kepalanya pada batang pohon di belakangnya. Kesedihan masih terpancar di netra kecoklatan itu. Fero menghela napasnya, dadanya terasa sesak.

"Ayo kita balik ke basecamp, masih kuat jalan nggak?"

Dyezra menggeleng tanpa minat, gadis itu masih sibuk menatap ke arah depan dengan pandangan kosong. Fero pun berinisiatif menggendong gadisnya dengan gaya bridal style. Sewajarnya Dyezra akan protes karena digendong sembarangan. Namun kini, gadis itu hanya diam saat Fero meletakkan tangannya di bawah lutut dan punggungnya, kemudian menggendongnya.

"Kita kembali ke basecamp, ya?"

Suara Fero kembali terdengar di telinga Dyezra, gadis itu hanya mengangguk pelan kemudian melingkarkan tangannya pada leher sang pemuda, lalu menenggelamkan wajahnya pada perpotongan leher Fero.

Helaan napas kembali terdengar dari bibir Fero, pemuda itupun langsung membawa Dyezra dalam gendongannya dan pergi dari sana menuju basecamp.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

"DYEZRAAA, LO GAPAPA KAN?"

Teriakan Viona itulah yang pertama kali menyambutnya saat Dyezra baru saja tiba di basecamp. Fero menurunkan gadis itu dari gendongannya dan langsung mendapat pelukan erat dari Viona. "Gue khawatir banget sama lo," ujar Viona.

Devina buru-buru mendekati keduanya dan ikut memeluk sahabatnya tersebut. "Syukur lo gapapa Ra," ujarnya.

Namun Dyezra hanya diam, gadis itu tidak sanggup berkata-kata saat ini. Batinnya cukup terguncang saat mengingat Nindi diculik di depan matanya dan ia tidak bisa menyelamatkan saudara tirinya itu.

"Kita udah telepon Papa lo, dan Diorza sama Mira lagi ikut nyari Nindi bareng anak buahnya Om Bima. Lo tenang aja, okey? Gue yakin Nindi pasti baik-baik aja," papar Devina sembari mengusap rambut panjang Dyezra.

"Mending sekarang lo istirahat dulu di basecamp Ra, atau mau mandi dulu? Lo berantakan sumpah," timpal Viona yang membuat Fero ikut terkekeh.

Memang benar, penampilan Dyezra sudah macam anak jalanan yang lama nggak pulang-pulang sampai kotor dan kumal.

Bertepatan dengan itu, sebuah mobil Porsche berwarna hitam datang dan sang pemilik langsung keluar dan menunjukkan atensinya. Winata Malaya dan Arkabima Wijaya. Tante Mala yang keluar lebih dulu langsung berjalan cepat ke arah Dyezra dan menarik gadis itu dengan kasar dari pelukan Viona.

Plak!

Semua yang berada di sana terkejut saat Tante Mala memberikan tamparan pada Dyezra.

"Mala! Kamu apa-apaan, sih?!" Arkabima langsung menyeruak dan menjauhkan Malaya dari putrinya.

"Pasti kamu kan yang menyebabkan Nindi sampai diculik?! Jawab saya, Dyezra!"

"Tante! Tante kalo gatau apa-apa nggak usah nuduh-nuduh gitu, deh!" seru Devina yang tidak terima jika sahabatnya dituduh sembarangan seperti itu.

"Diam kamu! Tante nggak punya urusan sama kamu!" tekan Tante Mala, wanita paruh baya itu tengah dilanda amarah saat ini.

Sementara Dyezra sedari tadi hanya terdiam, gadis itu tidak berniat buka suara atau membela diri sama sekali. Yang dikatakan Tante Mala benar, ini semua karena keteledorannya.

"Cukup! Kamu jangan menyalahkan putri saya! Pasti ada dalang di balik semua ini," sela Arkabima. Pria paruh baya tersebut mendekat ke arah Dyezra dan memeluk putrinya itu. "Sayang, boleh Papa bertanya?" ujar Arkabima sembari mengelus rambut Dyezra dengan sayang. Gadis tersebut mengangguk pelan, Arkabima mengajak Dyezra duduk.

"Mungkin kamu tau siapa yang sekiranya bisa melakukan hal ini? Orang yang tidak suka dengan Nindi misal, atau-"

"Tunggu," sela Dyezra. "Sepertinya aku tau orangnya, Pa." Arkabima tersenyum, ia tahu putrinya bisa diandalkan.

Dyezra berdiri dan berlari ke arah para guru yang saat ini tampak sedang mendiskusikan sesuatu. "Permisi! Saya mau tanya Pak, Bu. Apakah Devano Blanc ada di tempat sekarang?" tanya Dyezra dengan ekspresi panik yang terpampang jelas pada wajahnya.

Para guru tampak kebingungan karena pertanyaan Dyezra. "Maksud kamu apa, Dyezra?" tanya Pak Abdu. "Devano memang jarang kelihatan, pemuda itu lebih suka menyendiri jika di basecamp. Ohh ya, saya pengurus basecamp cowok untuk kelas tiga."

"Bisa tolong antar saya ke sana? Saya mohon, ini penting. Terkait pencarian Nindi," pinta Dyezra. Pak Abdu mengangguk, ia berjalan di depan, menuntun Dyezra ke basecamp anak cowok kelas tiga.

Sesampainya di sana, Dyezra tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia langsung menerobos masuk dan mencari keberadaan Devano.

"Devano mana?"



Hayoloh, Devano. Kamu dituduh jadi tersangka utamanya, tuh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro