DYEZRA 40 - No Longer
•
•
•
Pagi berganti siang, siang berganti malam. Para siswa saat ini tengah duduk melingkari api unggun yang mereka buat karena inisiatif sendiri. Agenda perkemahan selanjutnya adalah jurit malam, namun pelaksanaannya masih nanti, tepat saat tengah malam.
Hal yang sangat dibenci Dyezra karena harus berhubungan dengan hal yang tak kasat mata. Lagipula, apa para panitia tidak ada agenda lain yang lebih bermanfaat daripada sekadar jurit malam?!
"Gue gamau ikut pokoknya kalo jurit malam."
Ya, siapa lagi yang akan merengek seperti itu kalau bukan Dyezra. Ketakutannya pada hal mistis sudah mendarah daging, tidak bisa diganggu gugat apalagi disunat. Dyezra dengan sikap bak anak kecil yang sedang merajuk itu terus saja meminta tolong pada kedua sahabatnya agar mau mengarang cerita tentang dirinya yang sakit agar dia tidak perlu ikut jurit malam.
"Ayolah, masa kalian tega sama gue? Nanti kalo gue diculik sama setan gimana?!"
Devina memutar bola matanya malas. "Nggak bakal elah," ucapnya.
"Yang ada setannya bakal frustasi kalo bawa lo sebagai tahanannya," timpal Viona.
Dyezra mengerutkan keningnya tidak mengerti. "Kok bisa? Kenapa?"
"Lo bandel, gaada akhlak."
"Porsi makannya juga banyak."
"Hooh, bisa bangkrut ntar tuh setan."
Dyezra menatap kedua sahabatnya tidak percaya. "Kok kalian gitu, sih?!"
Nindi yang mendengar dari kejauhan jadi terkikik geli saat mendengar interaksi ketiganya. Ada-ada saja, pikirnya. Namun tiba-tiba Nindi harus dikejutkan karena tepukan seseorang pada bahunya, dan orang itu adalah Deon. Gadis itu langsung merasa gugup sembari meremas ujung baju yang dikenakannya. Untuk apa Deon menemuinya?
"Sorry karena gue tiba-tiba nyamperin lo kek gini Nin, padahal kita hampir nggak pernah tegur sapa selama ini. Gue cuma minta tolong soal Dyezra, lo saudara tirinya kan?"
Nindi mengangguk kaku. Ia tidak menyangka Deon mengajaknya berbicara karena ada hubungannya dengan Dyezra. Padahal ia sudah sedikit berharap tadi.
"Gue cuma minta tolong awasin dia selama jurit malam nanti, Dyezra takut banget sama hal mistis. Inget terakhir kali kita jurit malam di gedung sekolah lama dan Dyezra sempat menghilang? Dia ketakutan banget waktu gue berhasil nemuin dia malam itu. Makanya gue mau minta tolong lo jagain dia. Lo bisa kan?"
Nindi tak sanggup menolak permintaan Deon, makanya ia hanya mengiyakannya saja.
Setelah itu Deon kembali ke tempat teman-temannya lagi, terutama Fikri yang terus saja memanggilnya sedari tadi. Nindi memandang punggung Deon dengan tatapan sendu.
Kapan kamu akan melihat ke arahku, Yon?
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Saat ini jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, para siswa sudah kembali ke basecamp masing-masing untuk beristirahat. Karena jurit malam dilaksanakan pada tengah malam, jadilah mereka diwajibkan untuk tidur terlebih dahulu. Namun berbeda dengan tokoh utama kita yang tidak bisa memejamkan matanya barang sebentar. Bayangan menyeramkan terus mengganggu pikirannya sejak tadi. Dyezra benar-benar tidak tenang saat memikirkan jurit malam nanti.
Gadis itu mengambil ponselnya di tas, ia baru sadar kalau kondisi ponselnya sangat memprihatinkan. Kacanya pecah, beruntungnya masih bisa menyala. Dyezra meraih powerbank miliknya dan menancapkan kabelnya pada ponselnya. Ia ingin menghubungi sang ibunda, sudah lama ia tidak menghubungi ibu kandungnya tersebut.
"Halo anaknya Bunda."
Dyezra menahan tangisnya saat suara lembut ibundanya menyapa pendengarannya.
"Sayang?"
"Hiks, Bunda."
"Lohh, kok kamu nangis?"
Dyezra menahan tangisnya yang semakin menjadi-jadi, ia tidak ingin isakannya keluar dan membuat teman-temannya terbangun. "Dyezra kangen Bunda," lirihnya. Kemudian Dyezra dapat mendengar ibundanya terkekeh di seberang sana.
"Bunda juga kangen sama kamu sayang. Ohh iya, kamu lagi camping kan ya? Bunda tau dari adik kamu."
"Iya, sekolah aku lagi ngadain camp selama seminggu. Bunda kok belum tidur? Udah malem loh ini."
"Bunda abis nemenin Fisika sama Faskal jalan-jalan. Mumpung mereka lagi dititipin sama Bunda nih."
"Hah, Dyezra jadi kangen sama mereka. Nanti sepulang camp Dyezra langsung main ke rumah Bunda deh."
"Ya udah, Bunda tunggu kedatangan kamu. Sekarang tidur ya, udah malem sayang."
Dyezra mengangguk meskipun bundanya tidak bisa melihat dari seberang sana. "Iya Bunda, see you." Dyezra langsung mematikan ponselnya dan meletakkan benda itu ke dalam tas. Rasa kantuk mulai menyerangnya, ia pun memutuskan untuk tidur sejenak.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Tengah malam pun sudah tiba, suasana sekitar sangatlah gelap, yang terdengar hanyalah suara jangkrik dan binatang malam yang saling bersahutan. Tanah dan rerumputan menjadi basah karena dinginnya udara menciptakan tetesan air yang berembun.
Para anak OSIS sudah siap membangunkan para peserta camp untuk jurit malam kali ini. Mereka membangunkan satu per satu anak tanpa adanya suara. Yang lagi enak-enak tidur jelas saja terkejut karena mereka dibangunkan dengan cara dibekap. Seolah-olah seperti salah satu adegan penculikan.
Begitu juga dengan Dyezra yang hampir saja melayangkan tinjuannya pada orang yang berani-beraninya membekapnya, beruntung orang tersebut berhasil menghindar.
"Ya ampun, Kak Vita! Aku kira siapa."
"Sstt! Jangan berisik! Nanti teman-teman kamu bangun," desisnya sembari kembali membekap mulut Dyezra.
Dyezra sendiri hanya menurut saat Kak Vita─salah satu pengurus OSIS─membawanya keluar basecamp. Di sana dapat Dyezra lihat ada sepuluh anak termasuk Nindi dan dirinya tengah berbaris sembari membawa senter dan lilin. Kak Vita memberikan satu senter dan satu batang lilin yang sudah dinyalakan itu ke tangannya.
"Kalian adalah satu regu, misi kalian adalah jaga lilin itu jangan sampai padam selama perjalanan. Kalau padam, kalian akan tau sendiri konsekuensinya. Nanti kalian akan melewati 3 pos yang di sana sudah dijaga oleh para anggota OSIS. Kalian juga harus menyelesaikan misi yang mereka berikan. Mengerti?"
"Mengerti, Kak!"
"Bagus, kalian boleh mulai sekarang."
Dyezra dan kelompoknya pun mulai berjalan ke arah hutan dengan lilin dan senter sebagai penerangnya. Nindi sendiri langsung berinisiatif menghampiri saudara tirinya itu.
"Dyezra, aku senang kita bisa satu regu," ungkap Nindi dengan senyuman antusiasnya.
Dyezra hanya membalasnya dengan senyuman tipis tanpa minat. Ia masih tidak bisa membuka hatinya untuk Nindi, sudut hatinya yang terdalam masih tidak terima akan kedatangan Nindi dan mamanya dalam keluarganya.
"Ra, maafin Mama ya? Maafin aku juga," ujar Nindi tiba-tiba. Bibir Dyezra terkatup rapat tanpa berniat membalas permintaan maaf Nindi barusan. "Ohh ya, tadi Deon nyamperin aku loh. Dia bilang ke aku buat jagain kamu, karena dia tau kamu takut sama hal mistis, hehe. Eh ternyata kita beneran satu regu pas jurit malam," ujar Nindi kemudian dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya.
"Deon?" tanya Dyezra yang sepertinya mulai tertarik dengan pembahasan dari saudara tirinya itu.
Nindi mengangguk semangat. "Iya Deon, dia peduli banget loh sama kamu."
Dyezra merasa hatinya sedikit tercubit saat mendengar perkataan terakhir Nindi. "Kenapa dia repot-repot segala, sih? Gue bisa jaga diri sendiri kali," gerutunya.
Nindi tersenyum penuh arti. Gadis itu menatap langit malam yang begitu indah di atasnya. "Kamu beruntung ya, Ra. Banyak orang yang suka sama kamu, peduli sama kamu, bahkan rela sakit hati demi lihat kamu bahagia sama orang yang kamu sukai."
"Apa maksud lo?" tanya Dyezra tidak suka. Pembicaraan Nindi mulai melantur, dan ia tidak suka itu.
"Kamu tau kan kalo Deon suka sama kamu?"
Dyezra mengangguk ragu.
"Terus kenapa kamu biarin dia sakit hati, Ra? Kenapa kamu lebih milih Fero?"
Dyezra membulatkan netranya tidak percaya. Ia menghentikan langkah kakinya dan beralih menghadap Nindi sepenuhnya. "Nin, gue nggak ngerti arah pembicaraan lo ke mana. Yang jelas, gue berhak nentuin pilihan gue sendiri. Deon pun juga berhak nentuin perasaannya sendiri. Kenapa jadi lo yang ngatur?"
"Aku cuma-"
"Denger ya Nindi, kalo lo emang suka sama Deon ya deketin dia lah. Bukan malah ngatur-ngatur gue yang udah jelas-jelas nggak punya perasaan yang sama ke cowok yang lo sukai itu. Kalo pun dia bakal sakit hati, ya itu risiko dia karena suka sama gue. Gue nggak pernah tuh minta dia buat suka sama gue."
Nindi terdiam mendengar kata-kata Dyezra. Namun bukan itu yang dia inginkan, dia ingin Dyezra setidaknya menghargai perasaan Deon. Ah tidak, menghargai perasaannya. Dia yang sakit hati karena Deon lebih memilih Dyezra daripada dirinya.
"Ra, aku cuma iri karena kamu bisa dapat perhatian Deon. Sementara aku, dia bahkan sama sekali nggak melirik ke arahku. Kamu udah ada Fero, tapi kenapa Deon masih suka kamu, bahkan masih peduli sama kamu." Netra Nindi mulai berkaca-kaca saat mengeluarkan kalimat tersebut.
Dyezra menatap gadis di depannya ini dengan mulut yang sudah terbuka lebar, bahkan matanya sudah melotot karena sangat tidak percaya dengan kalimat blak-blakan yang terlontar dari bibir Nindi barusan.
"Tunggu-tunggu, jadi lo berharap Deon suka sama lo, peduli sama lo kayak dia peduli sama gue, gitu?" tanya Dyezra. Nindi mengangguk sembari mengusap lelehan air matanya.
Dyezra menepuk keningnya dengan keras. "Kalo lo emang maunya gitu ya deketin Deon, bego. Buat dia suka sama lo, beres."
Sungguh, Dyezra tidak habis pikir dengan jalan pikiran Nindi. Entah saudara tirinya itu terlalu polos atau memang bodoh, dia tidak tahu. Coba pikir, bagaimana Deon bisa tahu kalau Nindi suka sama dia kalau Nindinya tidak bilang? Kenapa pula Nindi memintanya memilih Deon hanya agar pemuda tersebut tidak sakit hati.
Ini sebenarnya yang bego siapa?
"Woy, lo berdua! Buruan jalannya, jangan lelet!"
Teriakan tersebut menyadarkan keduanya bahwa mereka saat ini masih dalam perjalanan menuju pos pertama. Dyezra bergegas lari ke arah teman sekelompoknya, begitupun Nindi yang ikut berlari di belakangnya.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Sementara itu di kelompok anak cowok, terlihat Deon dan Fero yang berjalan berdampingan, tapi keduanya saling mengeluarkan aura permusuhan.
"Intinya kalo lo nggak bisa jagain Dyezra, gue bakal ambil dia dari lo."
Fero menyeringai. "Silakan, itupun kalo dia mau sama lo, haha."
"Bangsat," Deon mengumpati Fero yang masih saja tertawa penuh kemenangan itu.
"Gue nggak akan pernah nyakitin orang yang gue sayangi," ujar Fero tiba-tiba. Deon melirik Fero dari ekor matanya, ekspresi pemuda itu tampak sangat serius. Diam-diam Deon menarik sudut bibirnya, merasa lega karena Fero memang orang yang tepat untuk Dyezra. "Lo juga cepetan move on dari pacar gue!" lanjut Fero setelahnya.
Deon tersenyum tipis. "Gue masih berusaha. Ya secara, Dyezra tuh tipe cewek idaman gue banget." Deon tergelak saat mendapati Fero melotot padanya. "Bercanda anjir, serem amat tatapan lo."
"Awas kalo lo macem-macem," ancam Fero. Deon mengangguk-angguk mengerti, kemudian terkekeh geli karena Fero ternyata begitu mudah dipancing.
Keduanya kembali berbincang ringan layaknya orang yang sudah akrab sembari mengawasi lilin yang mereka bawa. Kelompok mereka telah melewati pos pertama sebelumnya, sekarang tengah menuju pos kedua.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
"Mana janji lo, Aretta? Besok udah hari keempat dan lo masih belum jalanin rencananya?!"
Suara di seberang sana membuat Aretta bergidik takut. "Gue belum nemuin waktu yang pas," balasnya mencoba memberi alasan.
"Gue nggak mau tau ya, malam ini tuh rencana harus selesai atau aib keluarga lo gue sebar sekarang juga."
Aretta mengiyakan dengan cepat.
Setelahnya, dengan panik ia langsung menghubungi orang suruhannya untuk menjalankan perintahnya. Ia tidak punya banyak waktu untuk memikirkan ide lain lagi. Ia masih sayang dengan nasib keluarganya yang sekarang berada di tangan orang itu.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
"Ra, temenin aku pipis dong."
Dyezra mendelik. "Lo mau pipis di mana, anjir? Di tengah hutan kek gini gaada toilet!"
Nindi mengedarkan pandangannya dan menemukan semak-semak yang cukup tinggi dari tempat mereka berdiri. "Aku bisa pipis di situ," tuturnya.
Dyezra mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Nindi. "Ya udah, jangan lama-lama tapi ya, ntar kita ketinggalan." Nindi mengangguk cepat. Gadis itu langsung memberikan lilinnya pada Dyezra dan hanya menggunakan senter sebagai penerangnya.
Kemudian Nindi masuk ke dalam semak-semak itu, sementara Dyezra menunggu agah jauh darinya. Beberapa menit setelahnya, Nindi pun selesai melaksanakan panggilan alamnya. Namun sayang seribu sayang, mereka ketinggalan rombongan. Lagi.
"Tuhkan, ketinggalan lagi! Mana gue nggak bawa HP lagi."
Dyezra menjambak rambutnya frustasi, Nindi menunduk karena merasa bersalah. "Maaf ya Ra, ta-tapi aku bawa HP kok."
"Ya udah buruan telepon ketua kelompok kita tadi," ujar Dyezra.
Ya, mereka memang sempat bertukar telepon, untuk berjaga-jaga. Karena akan sangat berguna di saat-saat seperti ini memang. Nindi pun langsung menghubungi nomor dengan nama 'Bella' tersebut.
"Diangkat nggak?" tanya Dyezra.
Nindi menggeleng. "Nggak bisa telepon, sinyalnya jelek."
Dyezra memijit pelipisnya yang terasa pusing. "Ya udah, lo tunggu di sini bentar. Biar gue jalan sedikit ke sana, siapa tau dapet sinyal."
Nindi mengangguk setuju. Ia pun memilih duduk di sebuah batu yang cukup besar sembari menatap punggung Dyezra yang berdiri tidak jauh darinya.
Bug!
Nindi tidak sempat berteriak karena pukulan pada tengkuknya begitu keras dan yang dia ingat sebelum pandangannya langsung menggelap adalah teriakan Dyezra yang memanggil namanya.
"NINDII!"
Dyezra memacu kedua kakinya mengejar orang yang menculik Nindi itu, lilinnya yang terjatuh pun ia abaikan. Ini salahnya, seandainya saja ia tidak sibuk dengan ponsel gadis itu tadi. Seandainya saja Nindi tadi masih bersamanya, mungkin dia bisa cepat menolong saudara tirinya itu.
Air mata Dyezra bercucuran, berikut napasnya yang ngos-ngosan karena terus saja berlari. Nindi berada di gendongan orang itu.
Siapa?
Siapa yang merencanakan semua ini?
Apa motif orang itu sehingga menculik Nindi?
Dyezra merasakan kepalanya pusing, hingga tiba-tiba pandangannya menggelap.
•
•
•
Duh, ada aja masalahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro