DYEZRA 38 - Lagi Jadi Setan
•
•
•
Pagi kembali menyapa, sang fajar mulai menunjukkan atensinya. Dyezra bangun lebih awal dari teman-temannya, ia memutuskan untuk keluar basecamp. Padahal ini masih jam empat pagi, tentu saja di luar akan sangat gelap.
Namanya juga Dyezra, mana peduli dia meskipun jalanan gelap, berbatu, atau berkabut sekalipun. Memang dasarnya nekat, ya bakalan susah dicegah. Dengan bermodalkan ponsel sebagai senter, kakinya mulai menapaki tanah basah dan rumput yang sedikit berembun.
Dyezra tersenyum lebar saat bisa menikmati momen langka seperti ini. Melihat matahari yang mulai menampakkan diri sedikit demi sedikit di ufuk Timur adalah momen yang sulit didapatkan jika kalian merupakan salah satu spesies yang suka bangun kesiangan seperti Dyezra. Makanya gadis itu sekarang tidak bisa menyembunyikan ekspresi antusiasnya saat melihat sunrise.
"Seneng banget keknya."
Suara itu membuat Dyezra berjengit kaget hingga hampir jatuh terpeleset. Bersyukur ada sebuah lengan yang menahan pinggangnya. "Hati-hati Ra," ujarnya lagi dengan sirat nada akan kekhawatiran.
"Ck, lepas! Lo siapa deh?!" Dyezra tidak bisa melihatnya karena memang gelap, tidak mungkin juga ia akan menyalakan senternya di depan muka orang tersebut. Itu sangat tidak sopan.
"Gue Devano," ujarnya.
Suaranya terasa begitu dekat dengan Dyezra. Dapat Dyezra rasakan sapuan napas hangat dari lawan bicaranya di depan wajahnya. Dyezra otomatis memundurkan dirinya beberapa langkah. Ia mengarahkan senternya ke arah sang pemuda, dan benar saja, itu memang Devano yang tengah memancarkan senyum khasnya.
"Kok lo ada di sini, Dev?" heran Dyezra. Secara, ini masih sangat pagi dan Devano ternyata juga terbangun. Dari kemarin, Dyezra memang tidak melihat Devano sama sekali. Secara mereka memang beda angkatan, tapi biasanya Devano akan mendatangi sang adik, Devina.
"Kebetulan aja, tadi gue kebangun. Ya udah, keluar aja gue."
Dyezra hanya ber-oh ria dan mengangguk. Jawaban yang cukup logis dari Devano. Kurang lebih, sama seperti alasan Dyezra yang bangun lebih awal dan memutuskan keluar basecamp untuk membunuh waktu.
Hening. Keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing. Devano sesekali melirik Dyezra dengan tatapan yang sulit diartikan. Entah kenapa, Dyezra mulai tidak nyaman dengan tatapan Devano sekarang. Perasaan ini, tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Perasaan waswas, cemas dan takut di saat persamaan.
"Eum Dev, gue balik ke dalem dulu ya."
Grep!
Tidak, kenapa Devano memegang pergelangan tangannya?! Tunggu, cengkramannya semakin kuat.
"Mau ke mana?"
Suara Devano, terdengar begitu dekat. Dyezra menahan napas, tenggorokannya tercekat. "Dev, gue mau balik. Tolong lepas," lirih Dyezra sembari berusaha melepas cengkraman tangan Devano.
"Lo cantik, Ra."
Dyezra memejamkan matanya kuat-kuat saat tangan Devano mulai membelai lengan atasnya yang terbuka. Pemuda itu bahkan mulai berani mengusap tengkuknya juga. Sungguh, ia ingin menangis sekarang juga.
"Bajingan!"
Bug!
Duak!
Krak!
Dyezra langsung jatuh terduduk begitu cengkraman Devano terlepas. Ia menatap pada arah depannya dengan terkejut. Masih gelap, ia tidak bisa melihat dengan jelas. Dyezra mengusap pergelangan tangannya yang gemetar. Ponselnya entah terjatuh di mana.
"Bangsat!"
Buag!
Netra Dyezra membulat sempurna. "Fero?" gumamnya. "Iya Ra, ini gue. Kenapa lo diem aja waktu bajingan ini nyentuh lo?!" Dapat Dyezra rasakan kalimat penuh amarah itu keluar dari mulut Fero.
Bug! Bug!
Suara pukulan demi pukulan kembali terdengar. Perlahan matahari mulai naik ke permukaan. Samar-samar Dyezra bisa melihat Fero dan Devano berdiri di depan sana sembari mencengkram kerah pakaian masing-masing.
"Mending lo sekarang balik ke tempat lo, atau gue habisin di sini, Devano!"
Devano berdecih, dengan kasar ia melepaskan cengkraman Fero pada kerahnya dan langsung berbalik pergi dengan menyeka sudut bibirnya yang berdarah.
Setelah kepergian Devano, Fero menatap Dyezra tepat di bola mata gadis itu yang tampak begitu terkejut. Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, pemuda itu langsung berbalik pergi meninggalkan Dyezra yang masih terduduk di tanah.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Dyezra kembali ke basecamp dengan keadaan badan yang kotor dan basah. Kotor karena tanah dan basah karena embun pagi.
"Ya ampun, Ra! Kamu dari mana?! Kok bisa kotor begitu?!"
Dyezra mengabaikan Nindi yang barusan bertanya padanya. Gadis itu langsung meletakkan ponselnya di tas dan mengambil baju ganti serta peralatan mandinya. "Gue mau mandi dulu," pamitnya.
Nindi menatap punggung Dyezra dengan ekspresi bingung dan cemas yang terlihat jelas di wajahnya.
Kamu sebenarnya kenapa, Ra?
Sahabat-sahabatnya yang lain masih tertidur, hanya Nindi yang melihat Dyezra dengan keadaan berantakan seperti itu tadi. Saat kembali dari acara mandinya pun, sahabatnya yang lain tidak ada yang membahas perihal itu. Berarti Nindi tidak mengatakan apapun pada mereka.
Baguslah.
Nindi mendekat ke arah Dyezra yang tampak memakan camilannya sembari menikmati lagu dari earphone dan menutup matanya dengan tenang. Gadis itu duduk tepat di sampingnya. "Tadi pagi, apa yang terjadi?" tanya Nindi sepelan mungkin.
Perlahan Dyezra membuka kedua kelopak matanya dan menoleh ke arah saudara tirinya itu. "Bisa nggak lo diem aja dan nggak usah banyak tanya? Itu bukan urusan lo Nin," tekan Dyezra.
"Tapi aku khawatir sama kamu, Ra-"
Brak!
Devina, Viona, dan Mira terkejut, mereka menoleh ke sumber suara di mana sebuah handphone dengan isinya yang berceceran tergeletak di sana. Sepertinya baru saja dilempar oleh pemiliknya. Bukan hanya mereka bertiga, tapi semua anak cewek yang tengah berada di dalam basecamp juga sama terkejutnya.
"Gue bilang, ini bukan urusan lo."
Nindi menunduk, matanya berkaca-kaca. Mira yang sadar situasi langsung berdiri ke arah Nindi dan menariknya ke dalam rangkulannya. "Lo kenapa sih, Ra?! Bisa nggak, jangan kasar kayak gitu?!" ujar Mira kesal.
"Ra, kalo lo emang ada masalah sama Nindi, jangan pake kekerasan gitu dong. Gue ngerti masalahnya, tapi lo juga harus nahan diri," timpal Devina yang di mata Dyezra seolah membela Nindi.
Dyezra marah, ia muak. "Lo nggak ngerti masalahnya, Vin! Lo nggak bakalan ngerti!"
"Dyezra!" seru Viona memperingatkan.
Dyezra menyeringai. "Hoo, bahkan Viona juga." Seketika tawa Dyezra meledak, gadis itu terbahak-bahak. "Haha, lucu banget kalian ini. Drama persahabatan yang bagus," ujarnya sembari mengusap sudut matanya yang berair karena tertawa begitu kencang.
Mereka menatap Dyezra dengan berbagai tatapan. Antara bingung, ngeri, dan cemas. Ah, yang cemas itu Devina dan Viona.
Tidak lama kemudian Dyezra menghentikan tawanya. Ekspresi wajahnya berubah datar, dengan cuek gadis itu kembali ke tempatnya dan langsung menutup matanya. Ia sudah tidak peduli lagi tentang tanggapan sahabat-sahabatnya terhadap dirinya. Bahkan kondisi handphone miliknya tak ia pedulikan. Perasaannya benar-benar memburuk dalam beberapa jam terakhir.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Agenda hari ini adalah menjelajahi hutan di sekitar puncak. Ya seperti biasa, mereka harus melewati beberapa pos dan mengerjakan misi di setiap posnya. Sama seperti permainan semalam, setiap kelompok terdiri dari tiga orang. Kali ini, Dyezra satu kelompok dengan Nindi dan Aretta. Sementara Mira dengan Devina dan Viona.
"Kenapa sih gue harus sekelompok sama lo berdua?" gerutu Aretta dengan tatapan tidak sukanya.
"Cih, emangnya gue mau sekelompok sama lo? Ogah kali!" balas Dyezra.
"Ka-kalian, jangan berantem dong," lerai Nindi. Gadis itu bingung harus melerai seperti apa lagi saat Aretta dan Dyezra kembali adu bacot.
"Perhatian anak-anak!"
Nindi bernapas lega saat suara seorang panitia dapat mengalihkan perhatian Dyezra dan Aretta sejenak.
"Sebentar lagi kita akan berangkat, jangan lupa ponselnya dibawa. Jika terjadi sesuatu di tengah perjalanan, langsung hubungi para guru dan panitia. Bisa dimengerti?"
"Siap, mengerti!"
"Ra, ponsel kamu gimana?" tanya Nindi dengan hati-hati. Pasalnya tadi pagi ia ingat jelas kalau ponsel Dyezra rusak. Ya, setelah dilempar dengan keras oleh gadis itu sendiri.
"Kenapa? Gue nggak butuh," jawab Dyezra tak peduli.
Aretta terkekeh, lantas tersenyum sinis. "Nggak butuh? Wih, belagu amat Mbaknya."
Dyezra tak peduli dengan sindiran Aretta untuknya. Gadis itu memilih cuek dan mulai melangkahkan kakinya saat peluit tanda dimulainya perjalanan sudah dibunyikan. Nindi yang tanpa banyak bicara langsung mengikuti Dyezra, terakhir Aretta yang tampak ogah-ogahan.
Ketiganya pergi ke dalam hutan sesuai arahan peta yang dipegang oleh Dyezra. Kelompok mereka sangat hening, sampai ...
"Bosen banget gue," ungkap Aretta.
Dyezra menoleh dan menatap Aretta kesal. "Mending lo bantuin gue baca nih peta daripada ngeluh mulu daritadi."
"Ogah, lo aja sono. Gue kan ratunya, yakali ratu jadi penunjuk jalan. Ogah," jawab Aretta seraya melipat tangannya di depan dada.
"Sialan," desis Dyezra. Ia beralih pada Nindi di belakangnya. "Nin, gantian dong. Gue capek," ujar Dyezra setelahnya. Ajaibnya Nindi langsung menurut, Dyezra pun memberikan petanya pada Nindi. Akhirnya mereka kembali melanjutkan perjalanan dengan Nindi sebagai penunjuk jalan.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Beralih ke kelompok Devina, Viona, dan Mira. Ketiganya kini tengah melingkar di satu titik, seperti sedang membahas sesuatu. Mari kita intip apa yang tengah mereka lakukan.
"Dyezra tuh kenapa, sih?" tanya Mira.
"Lo udah tau perihal permasalahan keluarga dia sama Nindi, 'kan?" timpal Devina. Mira mengangguk cepat. Tentu saja dia tahu, toh Dyezra sendiri waktu itu kan yang menceritakannya pada mereka bertiga.
"Tapi dilihat dari sikap Dyezra tadi pagi, keknya ada sesuatu yang lain." Viona menekuk jari-jarinya hingga terdengar bunyi 'krek' yang begitu nyaring.
Devina menyetujui perkataan Viona. "Tadi Dyezra bangun duluan sebelum kita kan, ya? Apa waktu itu terjadi sesuatu?"
Mira mengangkat keduanya bahunya. "Nggak tau juga sih, apa nanti kita tanya Nindi aja ya?" tanya Mira.
"Boleh juga tuh," sahut Viona. Devina pun juga mengangguk setuju.
Setelahnya mereka kembali melanjutkan perjalanan. Ya, Akhirnya mereka setuju untuk menanyakannya langsung pada Nindi nanti. Secara tidak biasanya Dyezra bersikap seperti itu. Sikapnya itu seperti sikap orang yang defensif terhadap sesuatu. Tidak mungkin itu Nindi, kan? Secara, memangnya apa yang berbahaya dari gadis seperti Nindi?
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
"Lo baca petanya gimana sih, Nin?! Kok kita malah nyasar kek gini?! Lo sengaja, ya?!"
Bagaimana Dyezra tidak marah, mereka malah tersesat di tengah hutan seperti ini. Jalanan tempat mereka berpijak sekarang sudah dilewati beberapa menit yang lalu.
"Ma-maaf, aku kurang fokus karena perut aku tadi sakit Ra," cicit Nindi sembari menunduk. Ia takut, Dyezra benar-benar menyeramkan jika tengah marah seperti ini.
"Terus kenapa lo nggak bilang, hah?!"
Aretta merangsek maju dan berdiri di samping Nindi.
"Apa? Lo mau belain dia?" tanya Dyezra yang mulai semakin kesal.
"Iya!" balas Aretta dengan tegas, dia menatap Dyezra tajam.
Dyezra berdecih dan terkekeh sinis. "Sok-sok an mau jadi pahlawan, Aretta, oh Aretta. Gue muak lihat topeng lo," cecar Dyezra. "Topeng kayak apalagi yang lo bikin buat nutupin sifat asli lo itu?"
Aretta menggertakkan giginya dengan geram, dengan kasar ia mendorong Dyezra hingga jatuh terjerembab ke semak-semak penuh ranting di belakang gadis itu.
Nindi terkejut. Gadis itu panik dan hendak menolong Dyezra, tapi tangannya malah ditahan oleh Aretta.
Dyezra berusaha berdiri sembari menahan rasa nyeri yang menusuk-nusuk kulitnya. Badannya lecet semua karena terkena ranting-ranting itu. Ia menatap tajam pada Aretta yang tampak tersenyum remeh padanya. Dengan perasaan kesal yang menggebu-gebu, Dyezra melompat ke arah Aretta dan mencekik leher gadis itu. Aretta tentunya langsung memberikan perlawanan dengan mencakar-cakar wajah Dyezra dan menjambak rambut gadis itu. Keduanya sama-sama tak mau kalah dalam hal ini.
"Dyezra! Aretta! Udah, jangan berantem!" seru Nindi yang tentunya tidak akan didengarkan oleh keduanya yang masih asik gelut. Nindi nekat memisahkan mereka dengan berdiri dan merentangkan tangannya di antara keduanya. "Udah! Kok malah berantem gini, sih?!"
"Minggir, Nin! Gue masih dendam sama tuh bocah gemblung!" geram Dyezra. Gadis itu langsung menyingkirkan Nindi dari depannya dan kembali menyerang Aretta.
Aretta yang juga masih dipenuhi rasa kesal, membalas Dyezra dengan tak kalah brutal. Keduanya sudah tak peduli lagi dengan wajah penuh cakaran dan rambut mereka yang berantakan.
Dengan dipenuhi rasa panik yang luar biasa, Nindi langsung merogoh ponselnya dan menghubungi Mira. Beruntung karena masih ada sinyal di sana, jadi ia tidak perlu menunggu lama untuk membuat panggilannya tersambung dengan ponsel Mira.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
"Apa?! Berantem?!"
Devina dan Viona berjengit kaget karena seruan Mira yang ditujukan pada orang yang tengah berbicara dengan gadis itu di seberang sana.
"Posisi lo di mana?! Shareloc buruan!"
Setelah mendapatkan lokasi yang dimaksud, Mira langsung beralih menatap Devina dan Viona. "Aretta sama Dyezra lagi berantem, gue dapet laporan dari Nindi barusan."
"Hah?! Serius?!"
Mira mengangguk cepat. "Ayo! Kita harus ke sana!" seru Mira.
"Tapi ini gimana? Pos sama misinya," ujar Viona.
Mira menggeleng. "Itu bisa nanti! Yang penting sekarang kita harus lerai Aretta sama Dyezra yang lagi jadi setan!"
"Heh! Sembarangan itu mulut!" tegur Devina. Mira cuma cengengesan. "Ya udah, ayok kita susulin!"
Ketiganya langsung berlari mengikuti arah lokasi yang dikirim Nindi. Mereka tidak peduli lagi tentang misi dari sekolah yang harus dituntaskan. Yang terpenting, melerai Aretta dan Dyezra dulu sekarang.
•
•
•
Ayo cepat! Lerai Aretta dan Dyezra! Keburu makin brutal mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro