Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DYEZRA 35 - Itu Hukumannya



Fajar telah tiba, tanah basah begitu terasa. Para siswa kembali berbenah. Berbondong-bondong ke kamar mandi untuk berganti baju dan membersihkan diri. Begitupun dengan para guru dan panitia lainnya.

Sementara itu di sudut kamar mandi cowok sebelah Selatan, terlihat Fero, Deon, dan Fikri yang tengah berebut untuk masuk ke kamar mandi.

"Gue duluan!" seru Fero.

"Nggak, gue duluan! Yang paling ganteng duluan!" seru Fikri tak mau kalah.

"Kalo gitu gue duluan! Kan gue yang paling ganteng!" tekan Deon dengan percaya dirinya.

"Enak aja lo! Yang paling ganteng itu gue!" sungut Fero tidak terima.

Ketiganya ribut sembari adu mulut di depan pintu kamar mandi, saling dorong-mendorong dan tarik-menarik dengan tidak elitenya. Mengabaikan semua tatapan yang seolah menertawakan tingkah kekanakan mereka.

Diorza yang tengah mengantre tidak jauh dari ketiganya terlihat sibuk dengan peralatan mandinya. Pura-pura nggak kenal aja lah. Iya, itu lebih baik daripada harus menanggung malu karena kelakuan ketiga teman kakaknya tersebut.

Sementara di tempat lain, di dapur umum lebih tepatnya. Dyezra tengah menjalani hukumannya, membantu para ibu-ibu memasak untuk sarapan. Ia sama sekali tidak melakukan pekerjaan yang berat, namun ia disuruh berjalan ke sana dan kemari untuk sekadar mengambil bumbu juga rempah-rempah yang dibutuhkan oleh para ibu-ibu tersebut. Nggak berat, tapi tetap aja capek! Udah kayak babu aja gue. Dyezra menggerutu dan menyumpah serapahi Bu Retno yang memberikan hukuman ini untuknya.

"Nduk, tolong pundut aken panci gedhe ing njobo."

Dyezra mengelus dadanya sabar, padahal baru saja ia dapat mendudukkan bokongnya. Sekarang sudah disuruh lagi, mengambil panci di luar pula.

"Nggih, Bu!"

Tanpa ba-bi-bu lagi, Dyezra langsung berjalan keluar dapur untuk mengambil panci yang diminta. Ada tiga panci besar di sana, karena bingung yang mana satu, jadilah Dyezra angkat semua.

"Bu! Niki pancine!"

Ibu-ibu yang menyuruh Dyezra tadi langsung berdiri dan buru-buru menghampiri Dyezra yang tampak kesusahan membawa tiga panci sebesar itu.

"Aduh Cah Ayu, setunggal mawon pancine Nduk. Kabotan nek digowo kabeh sampeyan," ujar ibu tersebut.

Dyezra menggaruk tengkuknya canggung sembari tersenyum malu. "Nggih sepuntene Bu, mboten semerap kulo."

"Wes, ora popo. Kene ewangi Ibu ngonceki bawang."

Dyezra menurut, ia langsung mengambil pisau dan membantu mengupas bawang putih dan bawang merah di sudut dapur. Setelahnya, ia hanya tertawa saat ibu-ibu tersebut membahas soal suami-suami mereka dan tersipu malu saat membahas anak laki-laki mereka pada Dyezra. Mungkin saja anak mereka cocok dengan kriteria cowok idaman gadis itu katanya.

Ada-ada saja, pikirnya.

Gadis itu tidak mengeluh lagi sekarang. Ternyata senang juga memasak bersama ibu-ibu seperti ini. Dyezra benar-benar merasa mendapat pengalaman baru di sini.

Senyuman manis tidak pernah lepas dari bibir gadis itu. Sesekali ia akan menjawab dengan gurauan saat ditanya sudah punya pacar atau belum. Ada cowok yang disuka atau enggak. Mau nggak dijodohkan dengan salah satu anak ibu-ibu tersebut, dan lain-lain.

Dyezra benar-benar merasa terhibur. Terlepas bahwa itu adalah hukuman yang diberikan untuknya.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

"Baik, dengarkan instruksi saya. Setelah ini, agenda kita adalah senam pagi. Sebelum itu, pastikan basecamp kalian bersih dan tertata terlebih dahulu. Waktunya, 5 menit dari sekarang."

Anak-anak auto kalang kabut kembali ke basecamp masing-masing. Mereka sudah mandi, sudah wangi dan sudah berganti baju olahraga sekolah. Sekarang masih jam 6 pagi, suasana yang cocok untuk senam pagi.

Mari kita lihat kegaduhan di basecamp anak cowok.

"Woy! Ini tas lo isi apaan, dah? Berat banget kek tas cewek."

"Turunin tas gue, woy! Itu tuh isinya separuh hidup gue!"

"Halah! Paling lo bawa yang esek-esek, kan?! Ngaku lo!"

"Udah elah, malah ribut mulu lo pada. Waktunya cuma 5 menit nih."

"Dia duluan tuh!"

"Lahh? Lo yang duluan ngehina tas berharga gue!"

"Lebih berharga burung gue daripada tas burik lo!"

"Si anjir, kenapa jadi bahas burung?!"

Oke, mari kita abaikan keributan di atas. Sekarang, kita pindah ke basecamp para cewek.

"Eh, bedak gue tadi mana?"

"Loh, udah gue balikin tadi."

"Mana? Nggak ada di tas gue."

"Haduh, cari ntar aja deh."

"Woy! Jangan ngobrol mulu lo pada! Bantuin ngerapihin tas nih!"

"Iya, bentar! Gue lagi nyari sepatu gue! Sialan, ke mana lagi nih yang sebelahnya."

"Ish! Kalian ada yang lihat bedak gue nggak?!"

"Buset, masih aja nyariin bedak."

"Ya udah sih, ntar juga ketemu."

Ya, begitulah suasana di dalam basecamp masing-masing. Waktu 5 menit untuk merapikan basecamp itu cuma sebentar. Mau tidak mau mereka harus cepat jika tidak ingin mendapat hukuman.

Lima menit kemudian, mereka sudah berbaris kembali di tempat semula. Fero mengerutkan keningnya saat tak menemukan keberadaan Dyezra di antara barisan para cewek. Bahkan di sana hanya ada Mira, Nindi, Devina dan Viona.

Dyezra ke mana?

Dengan pelan, Fero membungkukkan badannya dan menyelinap di barisan para cewek. Tentu saja para cewek terkejut saat Fero menyelinap di antara mereka. Namun, Fero meminta mereka untuk diam. Setelah berada di tempat Viona dan yang lainnya, Fero langsung menanyakan keberadaan Dyezra.

"Dyezra mana?" tanya Fero to the point.

"Si anjir, ngagetin aja lo!" desis Viona yang mendapat tepukan di lengannya tersebut.

"Di dapur umum, dihukum Bu Retno dia," sahut Devina dengan pelan. Fero mengerutkan keningnya tak mengerti. "Ishh, udah sono lo samperin aja kalo emang khawatir," lanjutnya.

Fero hanya merespon perkataan Devina dengan anggukan singkat. Pemuda tersebut kembali menyelinap ke luar barisan. Tidak, dia tidak akan kembali ke barisan cowok. Dia akan menyusul Dyezra ke dapur umum.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

Dyezra yang baru saja akan mengangkat sebakul nasi mengurungkan niatnya saat mendengar kehebohan di pintu dapur. Nampak ibu-ibu yang tadinya sedang fokus menata makanan terlihat mengerubungi sesuatu.

Tidak, tidak ada baku hantam atau teriak-teriakan alay saat bertemu idolanya. Namun, Fero yang tengah melempar gombalan mautnya sehingga membuat ibu-ibu itu bersorak-sorak heboh.

Dyezra berdecak kesal. Dengan langkah lebar, ia menghampiri kerumunan itu dan menyelinap di antaranya.

"Nuwun sewu, punten nggih."

Saat berada tepat di depan Fero, Dyezra langsung menarik tangan pemuda itu dan pergi dari sana. Samar-samar dapat ia dengar desahan kecewa para ibu-ibu di belakangnya.

"Lo ngapain, sih?!" tanya Dyezra sesaat setelah menarik Fero menjauh dari dapur umum.

"Nyariin lo."

"Ya ngapain nyariin gue?!"

"Kangen."

"Apa?"

"Kaga."

Bibir Dyezra berkedut kesal. "Nggak jelas banget, sih! Udah sana! Kerjaan gue masih banyak," usirnya secara terang-terangan. Ia merasa kesal karena Fero malah tebar pesona ke ibu-ibu di dapur tadi.

"Lo beneran dihukum?"

Dyezra tidak menjawab, tidak ingin menjawab. Kedua tangannya masih terlipat di dada dengan bibir yang menggerutu pelan.

Fero menaikkan sebelah alisnya bertanya. "Kok nggak dijawab? Nggak seneng gue nyamperin lo ke sini?"

"Iya!" jawab Dyezra dengan lantang. Ia menatap Fero dengan tajam, yang justru terlihat begitu lucu di mata seorang Afferozan Galarzo.

Pemuda itu terkekeh geli. Tangannya terangkat mengusap keringat di kening Dyezra. "Pasti capek banget, ya?"

Dyezra terdiam, jantungnya sedang berdentum-dentum heboh sekarang. Bibirnya bahkan terasa kelu untuk sekadar menjawab, Iya! Gue capek banget! Entah kenapa Fero selalu bisa membuat perasaannya naik-turun seperti sedang naik rollercoaster.

Fero kembali terkekeh saat menyadari diamnya Dyezra lantaran merasa malu dan salah tingkah. Lihat saja pipi gadis itu yang bersemu. Dengan telaten, Fero merapikan rambut Dyezra yang terlihat sedikit berantakan dan kusut.

"Abis ini gue temenin ke kamar mandi, lo pasti belum mandi kan?"

Dyezra mengangguk lesu. "Gue bahkan belum sempat mandi tadi. Bu Retno udah narik gue buat jalanin hukuman." Fero tersenyum maklum. Bu Retno memang seperti itu, sudah tidak heran lagi dia kalau yang memberi hukuman adalah Bu Retno, guru BK di sekolah mereka.

"Ya udah, mau sekarang aja apa gimana? Masaknya udah selesai, 'kan?" tanya Fero kemudian.

Dyezra mengangguk cepat, lantas tersenyum. "Udah kok, tadi tinggal menata lauknya aja. Keknya gapapa kalo semisal gue tinggal," jawab Dyezra.

Fero mengangguk mengerti. Ia langsung menarik tangan Dyezra dan berjalan bersama ke basecamp cewek untuk mengambil peralatan mandi dan baju ganti milik gadis itu. Setelahnya mereka langsung pergi ke kamar mandi. Dyezra masuk, dan Fero menunggu gadis itu tidak jauh dari sana.

Sungguh pemandangan yang bisa membuat siapapun yang melihatnya merasa iri dan dengki.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

Sementara itu, di lain tempat.

"Gimana? Rencana kita jadi nggak?" tanya seorang gadis pada lawan bicaranya di seberang sana.

"Jadilah, gue udah nggak bisa nunggu lagi. Hari ketiga biar kaga kelamaan."

Gadis tersebut tersentak kaget. "Kok hari ketiga?! Itu terlalu cepat! Kesepakatan kita kan di hari kelima!"

"Gue nggak peduli. Jalanin rencana di hari ketiga atau lo mati."

"Ck! Ya udah oke! Hari ketiga dan gue pastiin rencana awal lo bakal berjalan mulus."

"Bagus."

Tut!

Panggilan itu dimatikan secara sepihak. Gadis cantik dengan seragam olahraga hitam abu-abu dan rambut panjang bergelombang yang diurai itu menatap layar ponselnya dengan tatapan berkilat-kilat penuh emosi.

"Sialan! Seenaknya aja tuh orang nyuruh-nyuruh gue! Kalo aja bukan karena aib keluarga gue yang dia pegang, ogah banget gue bantuin dia. Ya, meskipun gue juga ada dendam sama tuh cewek."

"ARETTA!"

Gadis tersebut menoleh ke asal suara di mana teman-temannya barusan memanggil namanya. Ya, dia adalah Margaretta Anetta. Si biang onar.

Entah apa yang dia rencakan dengan orang yang berada di telepon tadi, sepertinya bukan hal yang baik.

Harapannya, semoga semuanya baik-baik saja.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

Saat ini, para siswa-siswi tengah melaksanakan senam pagi, minus Fero dan Dyezra. Kedua sejoli itu memutuskan kembali ke dapur untuk membantu menyiapkan sarapan. Ya, tepat setelah Dyezra menyelesaikan ritual mandi dan ganti bajunya.

Para guru dan panitia sama sekali belum ada yang menengok ke dapur. Jadilah keduanya aman dari kecurigaan. Jika nanti ditanya, mereka tinggal mengarang cerita saja bukan? Ya, ide yang bagus.

"Ra, ini ditaruh di mana?" tanya Fero yang tengah mengangkat panci berisi sayur sop.

Dyezra menunjuk meja panjang yang sudah disiapkan di aula. "Taruh aja di situ Fero. Gue mau ambil lauk lainnya di dapur."

Fero mengangguk mengerti. Pemuda itu kembali menata lauk pauk yang sudah terlebih dahulu dibawa ke aula. Beberapa saat setelahnya, Dyezra kembali bergabung dengannya sembari membawa dua bakul nasi di lengan kanan dan kiri gadis itu.

Fero yang kelewat peka langsung meraih salah satu bakul nasi tersebut dari lengan Dyezra dan membawanya ke meja. "Makasih," ujar Dyezra. Fero hanya tersenyum sebagai balasan.

"Di sana masih ada lagi?" tanya Fero setelahnya.

Dyezra mengangguk. "Iya, masih ada beberapa lauk lagi. Ah, piring dan sendoknya juga belum."

"Ya udah, biar gue aja yang ke dapur. Lo tunggu di sini," katanya. Dyezra kembali mengangguk dengan patuh. Seperginya Fero, ia memilih menata kembali makanan di meja sesuai jenisnya. Nasi di paling ujung sebelah kiri, kemudian panci-panci berisi sayur, terakhir lauk pauk dan sambal. Tinggal menunggu piring dan sendoknya. Ah, gelas untuk minum sudah disiapkan terlebih dulu tadi.

"Lohh? Dyezra? Kok kamu yang nyiapin makanan? Bukannya ikut senam."

Suara tersebut membuat Dyezra langsung menoleh, ternyata Pak Abdu. Gadis itu bingung harus menjawab apa.

"Kami membantu dengan sukarela Pak," sahut Fero yang baru saja datang sembari membawa sekeranjang sendok.

"Ohh, ada Fero juga toh. Baguslah kalau kalian punya pemikiran seperti itu. Setelah selesai langsung gabung ke lapangan ya."

"Siap, Pak!" ujar keduanya dengan serempak.

Pak Abdu yang memang bertugas mengecek makanan di aula langsung kembali ke lapangan. Dyezra dan Fero saling pandang, lantas tertawa bersama. "Hahanjay, sukarela dong."

"Untung otak gue langsung peka pas lihat ada Pak Abdu tadi. Lo kenapa nggak jawab? Malah diem aja."

Dyezra berdecak. "Gue bingung mau jawab apaan tadi. Hampir aja gue ngomong jujur kalo lagi dihukum Bu Retno," ujarnya sembari memijit pangkal hidungnya.

Fero terkekeh. Pemuda itu langsung meletakkan keranjang berisi sendok itu di atas meja. "Piringnya nggak usah, biar mereka aja katanya. Yuk, ke lapangan."

"Ohh gitu, ya udah deh."

Akhirnya mereka berdua berjalan beriringan kembali ke lapangan. Bergabung ke dalam barisan dengan sembunyi-sembunyi menjadi pilihan yang keduanya ambil. Karena baik Fero maupun Dyezra sedang tidak ingin menjadi pusat perhatian.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

"Akhirnya balik juga lo Ra," ujar Mira sembari menarik tangan Dyezra agar berdiri di sampingnya.

Dyezra mengangguk lesu. "Capek banget gue, sumpah."

Viona tertawa mengejek. "Makanya, jangan cari gara-gara kalo ada Bu Retno! Kena hukum kan lo, mampus!"

Dyezra mendelik kesal. "Sialan Vio, awas lo ntar."

"Bodo amat, wlee!" Viona kembali tertawa di atas penderitaan Dyezra. Mira pun ikut meledek gadis itu habis-habisan. Sementara Devina hanya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum maklum.

Hah, benar-benar ya mereka.




Nyari cowok yang kayak Fero gitu di mana, sih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro