DYEZRA 32 - Faktor Perasaan
•
•
•
Jujur saja, Dyezra merasa begitu tegang sekarang. Gerbang rumah mereka sudah terlihat beberapa meter di depan. Apa yang harus dia ucapkan pertama kali saat bertemu papanya nanti?
"Kak, lo tegang banget anjir."
Dyezra tersentak kaget. Mereka ternyata sudah sampai di depan gerbang rumah Keluarga Wijaya. "Kok udah sampai aja?!" serunya heboh.
"Makanya jangan ngelamun," tukas Diorza yang langsung turun dari atas motor dan membuka gerbang. Dari dalam rumah seketika muncul sang pemilik rumah, siapa lagi kalau bukan Arkabima yang langsung menarik Dyezra ke dalam pelukan.
"Maaf, maafin Papa. Papa khawatir sama kamu Dyezra, kamu baik-baik saja, 'kan?"
Dyezra terdiam, matanya seketika memanas saat merasakan kehangatan dari pelukan papanya yang begitu dia rindukan. Tangisnya pecah. Arkabima semakin mengeratkan pelukannya begitu mendengar isak tangis putrinya. "Maaf, maaf." Hanya kata itu yang mampu Arkabima katakan saat ini. Ia sangat paham sikapnya tempo hari begitu menyakiti putri kesayangannya.
Nindi yang tadi ikut di belakang Arkabima juga melihat semuanya. Syukurlah karena Dyezra baik-baik saja. Gadis itu tersenyum lembut dengan tatapan haru yang tak lepas dari keduanya. Namun, suara Malaya menghancurkan suasana haru tersebut.
"Ngapain pulang? Padahal rumah ini lebih hidup kalau nggak ada kamu."
Jderr!
Bagai tersambar petir, Dyezra mendongak menatap Tante Mala yang tersenyum sinis kepadanya.
"Mala, jangan berbicara seperti itu," tegur Arkabima.
Malaya tersenyum congkak sembari bersedekap. "Memangnya kenapa? Bukankah itu kebenarannya? Rumah kita lebih damai kalau tidak ada dia."
Cukup sudah!
"Dengar ya Tante, terserah Tante mau ngomong apa tentang aku, terserah. Yang jelas, aku nggak akan biarin Tante seenaknya di rumah ini!" Dyezra langsung berjalan memasuki rumah tanpa menunggu jawaban dari Tante Mala. Bahkan ia langsung meninggalkan adiknya dan sang papa yang masih berdiri di sana.
Brak!
Dyezra menutup pintu kamarnya dengan keras. Ia langsung menghempaskan badannya di ranjang kesayangannya. Ia bisa mencium bau khas dari parfum miliknya di ranjang tersebut. Bibirnya seketika mengulas senyuman puas.
Syukurlah karena Nindi tidak jadi tidur di sini.
"Hah .." Menatap langit-langit kamar sepertinya akan menjadi kebiasaan Dyezra setelah ini. Ia begitu merindukan kamarnya, padahal baru kemarin dia tidak tidur di kamarnya tersebut. Memang benar kata orang-orang, kamar adalah surga dunia bagi pemiliknya.
"Mending gue langsung tidur aja, deh. Besok kan gue harus sekolah," monolognya. Ya, setelah mengucapkan hal itu, Dyezra benar-benar berniat untuk tidur. Gadis itu sudah memeluk gulingnya dan memakai selimutnya. Hei! Ini bahkan baru jam delapan malam! Masih terlalu dini untuk tidur! Namun, sepertinya Dyezra tidak peduli akan hal itu, gadis itu sudah masuk ke dalam alam bawah sadarnya.
Sementara itu di tempat lain, tepatnya di sebuah rumah kosong. Terlihat dua orang remaja berbeda gender tengah membicarakan hal yang serius. Suasana mencekam di rumah tersebut sama sekali tidak membuat keduanya takut. Seolah-seolah mereka sudah terbiasa dengan hal-hal berbau kegelapan dan mistis.
Bagaimana tidak? Rumah itu bahkan sudah hampir roboh, banyak tanaman merambat di setiap dindingnya menambah kesan seram pada rumah tersebut. Sang pemuda tampak membisikkan sesuatu pada gadis di depannya. Setelahnya kedua orang tersebut tampak menyeringai puas.
Entah apa sebenarnya yang mereka bicarakan.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Pagi kembali hadir, seolah memberitahukan malam kalau kini saatnya dia yang bertugas. Pagi itu kebetulan cuaca mendung, bahkan anak-anak sekolah banyak yang membawa payung meskipun belum dipastikan apakah hujan akan turun.
Tidak terkecuali dengan Nindi yang baru saja memasang sepatunya di teras rumah. Di samping gadis tersebut ada sebuah payung berwarna biru dengan model transparan. Ya, payungnya bening, jika hujan kau bisa melihat dengan jelas tetesan air yang terjun di atasnya. Gadis itu berencana untuk naik bus seperti biasanya. Namun, perkataan sang mama mengurungkan niatnya.
"Kamu berangkat bareng Papa kamu aja, sekalian dia berangkat ke kantor. Iya kan, Mas?" ujar Mala sembari menengok ke arah Arkabima yang baru saja tiba di pintu.
Arkabima mengangguk. "Iya, kamu Papa anterin aja ke sekolah."
Nindi mengangguk pasrah, ia segera mengikuti Arkabima menuju mobilnya yang sudah nangkring di depan gerbang. Nindi menyapu bibirnya sebentar, netranya mencari keberadaan Dyezra.
Semoga aja Dyezra masih di dalam. Aku tidak ingin menambah kebenciannya kalau sampai dia melihat aku dianter papa ke sekolah.
Sayangnya, kali ini takdir tidak berpihak padamu Nindi.
Dyezra yang baru saja sampai di pintu seketika menghentikan langkah kakinya kala melihat tiga orang itu berada di sana, layaknya keluarga bahagia tanpa ada dirinya dan sang adik. Kedua tangannya sontak mengepal.
"Lo kenapa berdiri di depan pintu sih, Kak?"
Suara Diorza bahkan ia abaikan. Tatapannya fokus ke depan di mana papanya dan Nindi baru saja berangkat setelah cipika-cipiki dengan Tante Mala. Diorza yang melihat gelagat aneh kakaknya pun ikut mengarahkan pandangan ke depan sana.
Ohh, pantes.
Ya, sekarang dia paham kenapa kakaknya tiba-tiba mematung di depan pintu seperti itu. Beberapa saat setelahnya, Tante Mala membalikkan badan dan kembali masuk ke dalam menghampiri Dyezra dan Diorza di sana.
"Duh, kasian nggak bisa ikut berangkat bareng. Lain kali bangun lebih pagi, ya!" paparnya dengan senyuman palsu yang menurut Diorza sangat menyebalkan.
"Nggak usah, kami bisa berangkat sendiri. Lagipula, motor yang dibelikan Papa kami lebih dari cukup untuk mengantar kami ke sekolah dengan selamat sampai tujuan. Iya kan, Kak?" balas Diorza.
Dyezra menyeringai. "Tentu saja Adikku sayang. Kita kan bukan anak kecil lagi yang ke mana-mana harus dianterin," sindirnya terang-terangan.
"Kurang ajar," desis Tante Mala.
Kedua kakak beradik itu memilih tak acuh dan langsung melanjutkan langkahnya ke garasi rumah setelah puas membalas perkataan Tante Mala. Kalau dilanjutkan, bisa-bisa mereka terlambat ke sekolah bukan? Jadi lebih baik segera diakhiri saja.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Suasana pagi hari ini di kelas XI MIPA-3 begitu tenang, Dyezra yang baru saja tiba jelas merasa heran. Tidak biasanya kelasnya dan Viona begitu adem ayem seperti sekarang. Dilihatnya di tengah kelas, teman sekelasnya itu berkumpul seperti tengah mengerubungi sesuatu.
"Lagi ngapain, sih?" Dyezra melongokkan kepalanya dan seketika dirinya mendengkus. Teman-temannya itu tengah bermain ABC nama artis, setidaknya itulah yang dia ketahui setelah bertanya pada salah satu teman sekelasnya barusan. "Ikutan, dong!" serunya antusias.
"Eh Dyezra, ayok sini! Lebih banyak anggota lebih bagus," sahut Viona yang baru menyadari kehadiran sahabatnya tersebut. Dyezra tersenyum, ia merangsek maju dan berdiri di samping Viona.
"ABC ada beraaapa. A, B, C, D, E ... O, P, Q, R, S!"
"Nama artis awalan S!"
"Syahrini!"
"Sule!"
"Siti Badriah!"
"Susi Susanti!"
"Bego, itu nama atlet!"
Ohh.
"Syifa Hadju!"
"Sadrinna DJS!"
"Namanya Sandrinna Michelle tau!"
"Ya pokoknya itulah."
Haha, ya begitulah suasana pagi hari di kelas XI MIPA-3. Dyezra sedari tadi tidak berhenti tertawa karena tingkah teman-teman sekelasnya itu. Meskipun belum lama ini dia pindah ke kelas tersebut, tetapi mereka bisa membuatnya merasa nyaman berada di sana. Apalagi Viona dengan segala leluconnya.
Sayangnya mereka harus menghentikan permainan mereka sekarang, karena bel masuk telah berbunyi.
"Yaelah, baru juga gue mau jawab," keluh salah seorang siswa.
Dyezra terkikik geli. Ia dan Viona segera kembali ke bangkunya. Begitupun dengan teman-teman yang lain. Terlihat juga Bu Retno yang baru memasuki kelas mereka. Sontak saja semuanya menjadi tegang, mereka lupa kalau jam pertama hari ini adalah pelajaran BK.
Ya, bagaimanapun untuk 45 menit ke depan akan sangat menguji mental.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
"Pengumuman untuk semua siswa-siswi, diharapkan untuk segera ke lapangan utama sekarang juga. Ada pemberitahuan penting dari Kepala Sekolah perihal kegiatan kemah esok hari."
"Sekali lagi, untuk semuanya diharapkan segera ke lapangan utama sekarang juga. Terima kasih."
Usai pengumuman tersebut, para siswa-siswi langsung berbondong-bondong menuju ke lapangan utama. Terlihat mereka sepertinya begitu antusias menyambut acara perkemahan tersebut.
Tidak terkecuali dengan mereka ...
"Sumpah, gue baru inget kalo ini udah hampir seminggu sejak pengumuman di aula waktu itu," celetuk Dyezra.
Devina mengangguk tanda setuju. "Gue juga baru inget soal itu," imbuhnya.
"Emang kenapa? Bukannya ini yang kalian tunggu?" sahut Deon yang entah datang dari kapan. Tidak ketinggalan Fikri yang menunjukkan atensinya dengan cengiran lebarnya tersebut.
"Kapan munculnya lo berdua?" tanya Viona heran. Bagaimana tidak, dua cowok itu tiba-tiba muncul dan ikut nimbrung dalam pembicaraan mereka begitu saja tanpa ada pemberitahuan.
"Hehe, nggak sengaja lihat lo pada. Ya udah kita samperin aja," jawab Fikri sembari menggaruk belakang kepalanya dengan gugup.
Dyezra tersenyum simpul. "Ya udah, kita ke lapangan sama-sama aja kalo gitu," paparnya yang membuat senyuman Fikri mengembang.
"Dengan senang hati!" serunya riang.
Akhirnya kelima remaja tersebut bersama-sama menuju ke lapangan utama. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke sana, karena kebetulan letak lapangan utama di area kelas sebelas. Jadi tidak terlalu jauh dari koridor dan kelas mereka.
Suasana di lapangan utama begitu ramai. Dipenuhi oleh siswa-siswi dari semua angkatan. Beruntungnya karena lapangan utama sekolah mereka cukup luas untuk menampung semuanya.
"Kita duduk di sana aja, yuk!" tunjuk Viona pada spot kosong di sudut lapangan. Mereka datang akhiran, jadi bagian depan sudah penuh duluan. Keempatnya mengangguk, kemudian segera mengikuti Viona yang memimpin jalan.
"Btw, Fero mana deh? Kok nggak kelihatan?" tanya Dyezra tiba-tiba.
"Gue denger kelas dia ada ulangan dadakan. Kemungkinan bakal telat ke sininya," jawab Viona. Dyezra hanya ber-oh ria sebagai respon.
Drrtt, drrtt!
Baru saja dibicarakan, ponsel Dyezra bergetar dan terpampang nama Fero di sana. Gadis itu segera saja mengangkat telepon dari sahabatnya tersebut. Dengan cepat Dyezra menyalakan loud speakernya.
"Halo Ra, lo udah di lapangan?"
"Iya, gue udah di lapangan! Bagian belakang, pojok kanan, deket kelas MIPA-5. Cepetan ke sini, gue tunggu!"
"Oke oke, tungguin gue di situ!"
Tut!
Dyezra menurunkan ponselnya dari telinganya dan kembali memasukkan ponselnya dalam saku seragamnya. Ia menatap pada teman-temannya. "Fero bentar lagi ke sini," ungkapnya.
Devina mengangguk paham. "Iya, kita denger jelas kok. Kan tadi udah lo loud speaker," tukasnya. Dyezra tersenyum simpul. Ia langsung fokus pada kepala sekolahnya yang baru saja menaiki podium.
"Baik, terima kasih atas perhatiannya. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, salam sejahtera untuk kita semua. Baik, saya tidak ingin berbasa-basi. Langsung ke intinya saja. Jadi, kegiatan Zenius Camp yang sudah Ibu umumkan beberapa hari yang lalu, akan dimulai lusa."
"Usahakan kalian segera mempersiapkan barang bawaan kalian, terutama obat-obatan. Yang sering sakit, nggak tahan cuaca dingin dan sebagainya, silakan dibawa kebutuhannya. Kita akan berkumpul di sekolah jam 4 sore. Jadi sekiranya nanti sampai di sana pada malam hari, kalian bisa langsung istirahat setelahnya."
"Bisa dimengerti?"
"SIAP, MENGERTI!" jawab kami dengan serempak.
"Baiklah, nanti anak OSIS akan ke setiap kelas untuk membagikan jadwal dan barang apa saja yang wajib kalian bawa saat camp. Hanya itu yang ingin saya sampaikan, silakan kembali ke kegiatan kalian."
Begitulah pidato singkat itu berakhir. Kami segera berhamburan kembali ke kegiatan masing-masing. Ini masih jam istirahat by the way.
"Jadi, ayo kita ke kantin!" ajak Dyezra dengan semangat. Mereka mengangguk dengan antusias. Ohh ya, Fero sudah bergabung dengan mereka beberapa menit yang lalu. Bahkan pemuda itu sudah menggandeng, lebih tepatnya menyeret Dyezra untuk mengikuti langkahnya.
Beruntung karena Dyezra bisa mengimbangi langkah kaki Fero yang besar. Jadi dia tidak akan terseok-seok karenanya. Sementara itu, Deon masih dengan ekspresi datarnya hanya menatap dingin pada tangan Dyezra dan Fero yang saling bertautan.
Gue benci lihatnya.
Dia tidak suka, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena dia tidak mempunyai hak untuk itu. Lagipula, bisa saja perasaannya pada gadis itu hanya sementara. Ya, setidaknya dia masih bisa mengontrol perasaannya sendiri saat ini.
•
•
•
Duh, kayaknya Deon cemburu sama Dyezraffero nih :>
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro