Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DYEZRA 30 - Dilema



"Hiks, jahat ... Papa jahat sama gue." Dyezra memukul-mukul dadanya, rasa sesak itu semakin menghimpitnya.

"Ra, ayo gue anterin pulang." Roy yang baru saja membuka pintu kamar Raya dibuat terkejut dengan Dyezra yang menangis dan memukul-mukul dadanya.

"Lo kenapa?!"

Roy panik.

"Sakit hiks, di sini sakit." Dyezra masih menangis tersedu-sedu. Tindakan Arkabima benar-benar menyakiti hatinya. Roy dengan cepat membawa Dyezra dalam pelukannya. Menepuk-nepuk punggung gadis itu yang bergetar.

Setelah beberapa saat dalam posisi yang sama, Dyezra sudah lebih tenang. Gadis itu menatap Roy yang masih duduk di sampingnya dengan serius. "Gue belum bisa pulang, tapi gue nggak bisa terus-terusan ada di sini. Huh, untungnya gue inget seseorang yang selalu bisa membantu dalam keadaan kayak gini."

"Siapa?" tanya Roy penasaran. "Apa nggak sebaiknya lo nginap di sini aja dulu?" lanjutnya.

Dyezra menggeleng. "Gue nggak bisa, gue nggak mau ngerepotin keluarga lo lebih lama lagi. Lagian gue juga bilangnya cuma semalem, :kan? Jadi mau nggak mau gue harus pergi." Dyezra berujar sembari mengutak-atik ponselnya dan mencoba untuk menghubungi seseorang.

"Halo Bang-"

"Ya ampun, Dyezra! Kamu ada di mana?! Ini pada nyariin kamu, loh! Bilang sama Abang kamu di mana, biar Abang jemput."

Dyezra meringis mendengar suara abang sepupunya yang tampak begitu khawatir. Ya, dia menghubungi Bang Ega setelah seharian kemarin ponselnya dia nonaktifkan. "Maaf, bisa Abang jemput Dyezra di taman kota?"

"Ohh, kamu sekarang ada di sana? Baiklah, tunggu Abang di sana. Jangan ke mana-mana!"

Dyezra menatap pada layar ponselnya, panggilan itu sudah dimatikan secara sepihak oleh Bang Ega. Ia beralih menatap pada Roy yang terdiam. "Mana seragam gue?"

"Di tempat pengeringan, kenapa?"

"Ya mau gue pake lah, nggak mungkin kan gue bawa bajunya si Raya." Dyezra memutar bola matanya malas. Bisa-bisanya hal yang sudah pasti seperti itu masih Roy tanyakan.

"Lahh? Gapapa kali, lo bisa pinjem dulu."

"Nggak usah, lagian ini pasti masih jam sekolah, jadi nggak masalah kalo gue pake seragam. Udah ah, di mana tempat pengeringnya? Biar gue ambil sendiri." Ya, Dyezra tetap bersikeras dengan pendiriannya. Dia tidak ingin kembali lagi ke sini meskipun hanya sekadar mengembalikan pakaian.

"Di belakang, dekat kamar mandi." Roy pun demikian, ia tidak ingin menahan Dyezra lebih lama lagi. Lagipula, kenapa ia jadi tertarik pada kakak dari rivalnya ini? Tujuannya itu Diorza, bukan Dyezra. Bisa jatuh harga dirinya di depan teman-temannya kalau tahu ia tertarik pada targetnya.

Dengan tergesa Dyezra mengambil seragamnya di tempat pengeringan dan langsung mengganti pakaiannya di kamar mandi yang berada tepat di depannya. Setelahnya ia kembali ke kamar Raya untuk mengambil tas sekolahnya.

"Biar gue anter."

Dyezra berjengit kaget karena kedatangan Roy yang tiba-tiba. "Astaga, ngagetin aja lo! Ya udah, tolong anterin gue ya. Gue juga gatau daerah ini sebenarnya."

"Hmm, gue panasin motor dulu."

Setelahnya Roy meninggalkan Dyezra sendiri di kamar adiknya, Raya. Dyezra menatap pantulan dirinya pada cermin besar yang berada di kamar Raya. Matanya agak membengkak karena terlalu lama menangis, hidungnya pun jadi memerah dengan jejak ingus yang segera dia bersihkan. Berjalan ke arah kamar mandi adalah tujuannya. Tidak membutuhkan waktu lama untuknya membersihkan wajah. Sekarang wajahnya sudah nampak segar kembali, meskipun tidak sepenuhnya.

"Ayo, motor udah gue panasin. Keburu siang ntar makin panas," ujarnya menginterupsi kegiatan Dyezra. Dyezra mengangguk singkat dan bergegas mengikuti langkah Roy ke luar rumah. Keduanya lantas mengendarai motor untuk sampai ke taman kota, tentunya dengan Dyezra yang berada di boncengan Roy.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

"ABANG!"

Dyezra berlari menuju abang sepupunya yang sudah menunggunya di dalam taman. Gadis itu melompat ke pelukan Ega yang langsung disambut dengan baik oleh sang empunya.

"Ya ampun, Abang khawatir sama kamu, Ra. Dari mana aja, hm?" Ega melepaskan pelukannya dan menatap adik sepupunya dengan lekat. Kemudian memeriksa apakah Dyezra terluka atau tidak.

"Aku gapapa kok, maaf ya udah bikin Abang khawatir."

Narega menghela napasnya. Yah, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena Dyezra memang anak yang nekat. "Diorza yang kelabakan cari kamu, sayangnya dia belum lanjut nyari karena harus sekolah. Ah, satu lagi. Justru Fero sekarang yang bolos sekolah demi buat nyari kamu."

Pengakuan Narega membuat Dyezra terkejut. Ia tidak tahu sama sekali soal itu. "Aku nggak tau kalo mereka nyari aku." Dyezra buru-buru mengambil ponselnya dari dalam tas dan menyalakan paket datanya. Seketika puluhan notifikasi pesan dan panggilan dari Fero muncul.

Dyezra menepuk dahinya. "Duh, aku kabarin dulu si Fero."

Narega mengangguk menyetujui. "Iya, biar nggak kayak orang gila nyariin kamu," sahutnya sembari terkekeh geli di akhir kalimat. Dyezra tentu saja ikut tertawa kecil karena pasti itu benar adanya.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

Fero tengah terduduk lesu di pinggir trotoar dengan motor yang ia parkir sembarangan. Pemuda itu belum menemukan sahabatnya, bahkan orang-orang tidak ada yang melihat Dyezra. Entah ke mana lagi dia harus mencari.

Drrtt! Drrtt!

Dengan malas, Fero merogoh saku seragamnya dan menjawab panggilan masuk dari ponselnya itu tanpa melihat terlebih dahulu nama sang penelepon.

"Fero .."

Deg!

Fero langsung berjengit kaget dan menjauhkan ponsel itu dari telinganya, mencoba memastikan apakah dia tidak salah dengar. "Dyezra?"

"Iya, ini gue. Maaf udah buat lo khawatir."

Fero langsung bernapas lega. "Lo sekarang di mana?" tanya Fero yang tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan dalam suaranya.

"Gue lagi sama Bang Ega di taman kota. Lo tenang aja. Oh iya, bisa minta tolong kabarin Diorza juga? Bilang aja gue di apartemen Bang Ega."

Tidak perlu waktu lama untuk Fero mengiyakan permintaan sahabatnya. Setelah Dyezra mematikan sambungan teleponnya, ia langsung mengirim pesan pada Diorza kalau kakaknya sedang bersama Bang Ega sekarang.

"Hah, syukurlah kalo dia baik-baik aja. Mending gue balik ke sekolah sekarang."

Sementara itu di tempat lain, tepatnya kelas Diorza dan Alana. Adik dari Dyezra itu tampak tersenyum lega karena kakaknya sudah ditemukan. Sepulang sekolah nanti ia akan langsung pergi ke apartemen Bang Ega untuk meminta penjelasan pada kakak sembrononya itu.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

"Huaa, apartemen Abang emang gaada duanya," ujar Dyezra sembari lesehan di atas karpet berbulu di depan televisi.

Narega yang melihat itu sontak mendelik. "Ganti dulu bajunya, ntar kusut tuh seragam."

"Ah, benar juga."

Dyezra langsung melesat pergi ke kamar tamu yang berada tepat di depan kamar sang pemilik apartemen. Ya, apartemen Narega hanya memiliki dua kamar. Satu kamarnya dan satu kamar tamu jika keluarga atau temannya datang untuk menginap. Untuk sementara waktu mungkin Dyezra akan menempati kamar itu.

"Untung masih ada baju gue di sini. Ya, meskipun cuma tiga pasang. Lebih dari cukup lah," gumam Dyezra sembari mengambil kaos oblong dan celana pendek untuk dikenakannya. Setelahnya ia langsung ke kamar mandi yang ada di dalam kamar untuk mengganti pakaiannya.

"Dek! Habis ganti baju langsung ke dapur, ya! Abang beli makanan, nih!" seruan Narega terdengar sampai kamar. Dyezra pun membalas dengan teriakannya juga.

"Iya! Bentar lagi selesai, kok!"

Buru-buru Dyezra mengganti bajunya, menggantungkan seragam pada gantungan baju yang berada di belakang pintu, lantas keluar menuju dapur apartemen di mana Bang Ega sudah menunggunya di sana.

"Widihh, banyak amat belinya Bang." Dyezra berbinar menatap semua makanan yang hampir memenuhi meja makan tersebut. Ada seblak, mie, bakso, batagor, ayam geprek, es campur, es cincau, juga dua gelas susu coklat.

Narega tersenyum bangga. "Iya, dong. Abang takut kamu belum makan dari kemaren, jadi makan yang banyak ya!"

Dyezra mendengkus sebal mendengar pengakuan abang sepupunya tersebut. "Abang takut aku jadi kekurangan gizi, gitu?"

"Ya, semacam itulah."

Dyezra mendelik.

Heh, Dyezra pun tidak menyalahkan abangnya kalau berpikiran seperti itu. Karena dia sendiri pun tidak menceritakan kalau kemarin dia menginap di rumah Roy. Biarlah itu jadi rahasia, toh tidak penting juga.

Narega memerhatikan Dyezra yang makan dengan lahap. Hatinya diliputi rasa bersalah mengingat sepupunya itu baru saja menghubunginya setelah kabur dari rumah kemarin. Di mana Dyezra bermalam? Apakah dia makan dengan baik? Bagaimana dengan pakaiannya? Apa mungkin dia tidak mengganti seragamnya dari kemarin?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benak pemuda berusia 23 tahun itu. Biasanya kalau ada masalah, Dyezra akan langsung menghubunginya. Namun ini ... Ya, dia memang menghubunginya, tapi sebelumnya, setelah kejadian, kenapa Dyezra tidak menghubunginya?

"Abang kenapa?"

Narega tersentak. Ia memandang Dyezra yang tengah kebingungan melihatnya. "Ah, nggak kok. Lanjut gih makannya, yang banyak. Habisin kalo bisa," ujarnya sembari menopang dagu dan tersenyum manis.

"Abang pengen aku gendut? Mana muat makanan sebanyak ini dimakan sekaligus!" Dyezra mencebikkan bibirnya kesal. Gadis itu kembali memasukkan potongan batagor dalam mulutnya.

"Halah, biasanya juga makan 3 porsi bisa. Belum lagi ngemilnya," ujar Narega yang tentu saja 99,9% nya itu kebenaran. Porsi makan Dyezra memang banyak, tapi dia tidak khawatir akan gemuk. Jadi dia bisa makan sebanyak apapun sampai kenyang.

Dyezra nyengir, menampilkan deretan gigi putihnya. "Hehe, kan itu beda lagi ceritanya."

"Iya deh, sesuka kamu aja. Abang harus ke kampus, kamu gapapa ditinggal sendirian di sini?" ujar Narega yang sudah berdiri dari duduknya.

Dyezra mengangguk dan tersenyum. "Gapapa, udah biasa sendirian juga."

Narega terkekeh, ia mengambil tasnya yang sudah berada di sandaran kursi dan langsung memakainya. "Abang berangkat dulu ya," ujarnya sambil memberi kecupan ringan pada kepala Dyezra.

"Iya, hati-hati ya, Bang!"

Narega melambaikan tangannya sebelum benar-benar hilang di balik pintu dapur. Dyezra menghela napasnya. Ia sudah merasa kenyang saat ini, jadi dia kembali meletakkan beberapa makanan yang belum disentuhnya ke lemari atas tempat penyimpanan makanan. Setelahnya ia membawa piring-piring dan mangkuk kotor bekasnya ke wastafel dan mencuci semuanya.

"Anjay, udah cocok jadi menantu idaman nih gue," gumamnya sembari terkikik geli. Dyezra mencuci piring sembari bersenandung kecil, tak lupa pinggulnya ia goyang-goyangkan mengikuti irama lagu yang dinyanyikannya.

Beberapa menit setelahnya, Dyezra sudah menyelesaikan acara cuci piringnya tersebut. Sekarang, ia bingung harus berbuat apa.

"Nonton film aja, lah."

Dengan sedikit berlari, Dyezra menuju ruang tengah di mana televisi dan beberapa play station punya abang sepupunya berada di sana. Tanpa membuang waktu lagi, gadis itu seketika merebahkan tubuhnya di atas sofa besar yang ada di sana dan menikmati waktu santainya.

"Oke, ayo kita maraton film!"

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

Nindi yang melihat kedatangan Fero di kelas tidak bisa menahan dirinya. Ia langsung mendekati cowok itu dan bertanya perihal Dyezra. "Fero! Dyezra gimana?! Kamu udah ketemu dia nggak? Dia gapapa, 'kan?"

Fero mengabaikan Nindi, tanpa menjawab atau menoleh sedikitpun. Pemuda itu langsung melewati gadis itu begitu saja dan kembali duduk di kursinya.

"Fero! Kok kamu nggak jawab, sih?! Aku nanya serius, loh."

"Diem. Lo pasti seneng kan sama semua ini?"

Nindi mengerutkan keningnya, tidak mengerti maksud perkataan Fero. "Maksud kamu?"

Fero mengepalkan tangannya. "Lo pasti seneng kan sama apa yang terjadi sama Dyezra?!"

Netra Nindi membulat sempurna. Ia tidak menyangka Fero akan berkata demikian padanya. "Kamu mikir apa, sih?! Aku nggak pernah ya punya pemikiran atau niatan kayak gitu!"

Mira yang baru saja kembali dari kantin jelas saja terkejut saat melihat Nindi dan Fero tengah adu mulut. Gadis itu segera menghampiri dua teman sekelasnya dengan cepat. "Ada apaan, nih?!"

"Nih, temen lo! Tanya aja dia." Fero mengambil earphone miliknya dan segera memakainya setelah menyalakan musik dengan volume yang lumayan kencang. Pemuda itu benar-benar dalam mode tidak ingin diganggu.

Mira pun akhirnya menarik Nindi kembali ke bangku mereka. Gadis itu meminta penjelasan tentang apa yang terjadi. Dengan pasrah, akhirnya Nindi menceritakan semuanya pada Mira.

"Tapi aku nggak seperti apa yang dituduhin Fero. Aku juga khawatir sama Dyezra. Kamu harus percaya sama aku Mira," ujar Nindi sembari menggenggam kedua tangan Mira dengan netra yang sudah berkaca-kaca.

"Iya, gue percaya kok sama lo. Pasti lo juga nggak mau kejadian itu sampe terjadi, 'kan? Udah, jangan dipikirin omongan Fero. Dia emang gitu anaknya. Kalo menyangkut soal Dyezra pasti jadi buta. Nggak bisa bedain mana yang tulus mana yang enggak. Bucin dasar."

Nindi tersenyum setelahnya. Gadis itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih karena Mira percaya padanya. Ya, gadis itu tidak punya teman dekat selain Mira di sini. Jadi dia sangat berharap bahwa satu-satunya temannya itu bisa percaya padanya.

Ini bukan sepenuhnya salah aku kan? Dyezra kabur atas keinginannya sendiri. Jadi, bukan salah aku kan?

Mira menatap Nindi yang tiba-tiba terdiam sembari menatap ke depan. Jauh di dalam lubuk hati Mira, ia merasa aneh dengan Nindi. Gadis itu seperti menyimpan banyak rahasia dalam pikirannya. Namun di sisi lain, Mira tahu kalau apa yang diucapkan Nindi itu tulus dan jujur. Tanpa ada kebohongan apapun di dalamnya. Perasaan gelisah, takut, dan perasaan bersalah tergambar jelas di wajah teman sebangkunya itu.

Hah, semoga saja masalah ini cepat selesai.




Akhirnya, Dyezra udah ketemu yak. Jangan kabur-kaburan lagi, Ra.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro