DYEZRA 29 - Cukup
•
•
•
Pagi hari itu di rumah Keluarga Wijaya, suasana tampak tegang dan memanas. Kedua laki-laki berbeda usia itu saling berhadapan dan saling melempar argumen.
"Kok Papa tega sama Kakak?! Kalau terjadi apa-apa sama Kak Dyezra di luar sana gimana?! Bahkan Papa sama sekali tidak mencarinya?!"
Bagaimana Diorza tidak emosi. Pagi hari saat dia terbangun dan berniat membangunkan sang kakak seperti biasa, kakaknya justru tidak ada di tempat, dan pengakuan papa setelahnya membuat dia murka.
"Papa sudah menanyakan keberadaan Kakak kamu, tapi sama sekali tidak ada balasan. Papa pikir, mungkin saja dia menginap di rumah salah satu temannya."
"Cih, dan lihat apa hasilnya? Kakak sama sekali tidak ke rumah salah satu temannya! Kakak bahkan tidak ada di rumah Bunda!" Napas Diorza memburu. Ini masih pagi, berdebat dengan papanya semakin membuat dirinya muak.
"Dia sudah bukan anak-anak. Salah dia sendiri yang main kabur-kaburan."
Diorza mengepalkan tangannya, netranya berkilat-kilat emosi menatap Tante Mala yang barusan bersuara. "Anda lebih baik diam. Ini juga gara-gara kehadiran Anda. Keluarga kami sebelumnya baik-baik saja sebelum kedatangan Anda merusak semuanya."
"Diorza! Jaga bicara kamu!"
Seringai itu terbit di bibir tipis Diorza. "Kalau sampai terjadi apa-apa sama Kakak, Papa adalah orang pertama yang akan Diorza cari dan mintai pertanggungjawaban."
Usai mengatakan itu dengan penuh penekanan, Diorza langsung melenggang pergi menuju garasi untuk mengeluarkan motornya. Ini masih terlalu pagi, jadi ia akan mencari kakaknya sebentar, lalu pergi ke sekolah setelahnya. Bagaimanapun, ia tidak bisa meninggalkan kewajibannya sebagai seorang siswa. Bahkan untuk sekadar membolos sekalipun.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Suara lenguhan yang terdengar lembut itu keluar dari bibir pucat tersebut. Dyezra mengerjapkan matanya, mencoba menghalau sinar matahari yang berlomba-lomba mengusik tidurnya. Ia menoleh ke sampingnya. "Ke mana Raya? Apa dia udah bangun duluan?"
Dyezra mengambil ponselnya yang tergeletak pada nakas di sampingnya, lantas membukanya. Netranya membulat sempurna saat jam menunjukkan pukul delapan pagi. "Pantesan aja, pasti udah pada berangkat sekolah dan kerja. Duh, kenapa gue nggak dibangunin ya?"
Dengan tergesa, Dyezra membuka selimut yang sedari tadi menempel di tubuhnya dan membuka pintu kamar Raya hendak ke luar. Namun, ia langsung berpapasan dengan Roy yang membawa semangkok bubur.
"Baru mau gue bangunin." Pemuda tersebut berbalik kembali ke dapur diikuti Dyezra di belakangnya. "Raya sekolah, bokap sama nyokap gue kerja," ujar Roy sesaat setelah meletakkan bubur tersebut di atas meja.
Dyezra mengerutkan keningnya heran. "Terus? Kok lo nggak sekolah juga?" tanyanya seraya mendudukkan diri di salah satu kursi dapur.
"Sekolah gue lagi libur, akhirnya sama nyokap disuruh jagain lo." Roy berjalan ke arah kulkas, mengambil sebotol jus mangga dan menuangkannya pada gelas. "Makan, itu bubur buatan nyokap tadi. Udah gue panasin," lanjutnya sembari meletakkan segelas jus mangga tersebut di depan Dyezra.
Netra Dyezra berbinar memandangi menu sarapan di depannya. Semangkok bubur ayam yang baru saja dipanaskan dan segelas jus mangga yang menggugah selera. Dengan cepat, ia mengambil sendok dan memakannya dengan lahap.
"Lahap banget, kapan terakhir kali lo makan?" tanya Roy disertai kekehannya yang terdengar begitu menyebalkan di telinga Dyezra.
Dyezra melirik Roy tidak suka. Bibirnya mencebik kesal. "Kemaren malem gue juga makan di sini kalo lo lupa," ujarnya yang kembali memasukkan sesendok bubur pada mulutnya.
Tawa Roy seketika pecah. "Bercanda gue, tuh bibir kaga usah monyong-monyong gitu." Dyezra mendengkus. "Btw, rencana lo apa habis ini?" tanya Roy lagi.
Dyezra terdiam, gadis itu tampak berpikir dan menimbang-nimbang. "Pertama, gue bakal cari penginapan. Kedua, gue mungkin juga bakal cari kerja. Ketiga-"
Belum juga Dyezra menyelesaikan kalimatnya, Roy sudah memotongnya. "Kenapa lo mau susah-susah ngelakuin itu semua?" Roy berdiri dari duduknya dan menyenderkan badannya pada pintu kulkas yang berada tepat di belakangnya.
Dyezra menatap Roy tidak mengerti. "Maksud lo? Ngelakuin apa?" tanyanya bingung.
"Ya, semua yang lagi lo lakuin sekarang. Kabur dari rumah, bolos sekolah, nyari penginapan, nyari kerja. Kenapa lo mau susah-susah lakuin itu semua?"
Dyezra terdiam.
Benar juga. Kenapa gue harus bersusah payah melakukan semua itu?
"Kalo emang lo nggak suka adanya anggota keluarga baru di rumah lo, harusnya lo bertahan, bukannya kabur. Justru kalo lo kabur, mereka yang ada di rumah lo bakal ngerasa lebih berkuasa."
Semua yang dikatakan Roy benar. Dyezra tidak bisa menyangkalnya. Tidak seharusnya dia kabur seperti ini dan membiarkan Tante Mala merasa menang telah memecah belah keluarganya.
Dyezra mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya memutih, tatapan matanya seketika menajam. "Lo bener, nggak seharusnya gue biarin mereka seenaknya." Seringai yang tampak menyeramkan itu terbit di bibir mungilnya. Seringaian yang menyimpan segala luka dan dendam.
Roy ikut menyeringai tanpa Dyezra sadari. Entah apa tujuan pemuda tersebut. Yang pasti, dia sedang merencanakan sesuatu.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Diorza datang ke sekolah dengan kondisi yang tidak bisa dibilang baik. Ekspresi datar, tatapan mata yang tajam, dan rambut yang sedikit berantakan. Diorza tidak pernah sekacau ini jika ke sekolah. Namun, dia tidak memedulikannya kali ini. Dirinya terlampau khawatir pada sang kakak yang tidak kunjung ditemukan dan juga belum ada kabar.
"Kusut amat tuh muka, belum di setrika ya?"
Diorza menoleh pada sang pemilik suara. Dirinya seketika mendengkus saat melihat Alana dan cengiran lebarnya itu. Ia sedang malas meladeni gadis di sebelahnya itu sekarang.
"Bukan urusan lo."
Alana berdecak. "Kenapa, sih? Cerita sama gue." Alana sungguh dibuat bingung dengan sikap dan penampilan Diorza pagi ini. Soalnya, sangat tidak mencerminkan seorang Diorza sama sekali. Setahunya, Diorza selalu bisa menghadapi masalah apapun dengan tenang, bukan seperti sekarang ini. Sangat bukan dirinya.
"Diorza!"
"Orzaaa!"
"Ck! Diem, Lana!" Diorza melemparkan tasnya dengan kasar di atas bangkunya. Pemuda itu langsung duduk dan menelungkupkan kepalanya di meja, berusaha menenangkan pikirannya.
Alana menghela napas, ikut mendudukkan dirinya di samping Diorza. "Ya udah kalo emang gamau cerita," ujarnya sembari melirik pemuda di sampingnya yang sama sekali tidak memberikan reaksi apapun.
Nih anak kerasukan apaan, sih?
Alana menggelengkan kepalanya berusaha mengusir pikiran negatif yang sempat hinggap di kepalanya. Ia memilih mengeluarkan buku mata pelajaran pertamanya karena bel masuk baru saja berbunyi.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
"Dyezra ke mana, sih?! Kok gaada kabar gini?" gerutu Viona sepanjang jalan menuju kantin.
Devina berdecak karena tingkah Viona yang menurutnya terlalu berisik. "Lo udah coba tanya Diorza?" tanya Devina.
Viona tersenyum menampilkan deretan giginya. "Belum sih, hehe."
Devina mendengkus. "Itu Diorza," tunjuknya pada satu arah.
Diorza tengah berjalan menuju kantin dari arah yang berlawanan dengan keduanya. Viona dan Devina saling pandang sejenak, kemudian dengan sedikit berlari menghampiri Diorza.
"DIORZA!"
Hampir saja Diorza mencium lantai jika pemuda tersebut tidak segera menyeimbangkan tubuhnya. Netranya menatap kesal pada kedua sahabat kakaknya itu. Menyebalkan! Untung saja kantin belum terlalu ramai. Jika tidak, ia benar-benar akan jadi bahan tertawaan.
"Kenapa, Kak?"
"Dyezra mana? Kok kaga sekolah dia?" tanya Viona bertubi-tubi.
Ya, tadi pagi Diorza memang menghubungi semua teman-teman dekat kakaknya untuk sekadar menanyakan keberadaan sang kakak. Dia tidak bilang perihal kakaknya yang kabur dari rumah. Karena ia rasa, itu masalah keluarganya. Cukup keluarganya saja yang tahu.
"Kakak lagi nggak enak badan. Makanya tadi pagi aku panik pas tau dia gaada di kamar dan langsung ngehubungin kalian. Eh, ternyata dia cuma pergi ke warung komplek buat beli obat."
"Dyezra sakit? Demam apa gimana?" tanya Devina yang tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya.
"Iya, demam tinggi. Mungkin butuh waktu beberapa hari agar demamnya turun."
Diorza terpaksa berbohong. Ia hanya tidak ingin siapapun ikut terlibat dalam masalah keluarganya. Biar saja ia yang akan handle sendiri. Ah, mungkin Bang Ega bisa membantunya. Diorza tersenyum saat teringat abang sepupunya tersebut. Kenapa tidak terpikir dari tadi.
"Ya udah Kak, aku mau beli makanan dulu terus langsung balik ke kelas."
"Ohh, ya udah. Nitip salam sama Dyezra ya, get well soon gitu."
Diorza hanya mengangguk dan mengiyakan sebelum benar-benar pergi melanjutkan langkahnya untuk membeli makanan. Sementara Devina dan Viona pun juga begitu. Keduanya segera mencari kursi kosong untuk makan siang. Lagipula, waktu istirahat mereka cuma 15 menit. Jadi harus dinikmati sebaik mungkin.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Nindi saat ini tengah gelisah, pikirannya dipenuhi dengan kejadian kemarin. Apalagi Dyezra sampai sekarang juga belum pulang ke rumah. Dia jadi semakin merasa bersalah sekarang.
"Woy, Nindi!"
Nindi terlonjak kaget saat seseorang berseru memanggil namanya, dia Fero. Pemuda itu langsung menghampiri Nindi yang duduk sendiri karena Mira sedang ke kantin.
"Dyezra ke mana? Kok dia nggak masuk sekolah?" tanya Fero langsung pada intinya. Nindi jadi bingung harus menjawab apa. Haruskah dia berkata jujur pada Fero? Ya, sepertinya harus.
"Dyezra kabur dari rumah."
"APA?!"
"Sstt! Jangan keras-keras Fero! Nanti yang lain bisa dengar!" Jelas saja Nindi kesal. Ini kan masalah pribadi, jangan sampai anak kelasnya tahu soal ini.
Fero mengangguk dan langsung menarik kursi Mira dan mendudukinya. "Gimana kejadiannya? Kok dia sampe kabur?"
"Hah .." Nindi menghela napasnya sejenak. Menatap lurus pada Fero yang tampak cemas dan khawatir. "Dyezra ditampar sama Papa," lirihnya. Netra Fero membulat sempurna. Dia benar-benar tidak percaya Om Bima akan menampar Dyezra.
"Dyezra kelihatan sedih dan kecewa banget kemarin, habis itu dia langsung lari keluar rumah. Ini semua gara-gara gue, seandainya aja gue nolak permintaan Papa yang minta gue sekamar sama Dyezra. Dyezra kemarin marah banget karena nggak mau sekamar sama gue."
Fero mengepalkan tangannya setelah mendengar penjelasan Nindi. "Iya Nin, ini semua emang salah lo." Setelahnya Fero langsung mengambil tasnya dan berjalan cepat ke luar dari kelas tanpa menoleh sedikitpun pada Nindi yang tampak terkejut akan kalimat yang dilontarkan Fero sebelumnya.
Nindi menatap sendu pada ujung sepatunya. "Jadi bener salah gue, ya?" gumamnya sembari tersenyum miris.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Fero tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya sekarang. Berkali-kali ia melirik koridor dan ponsel yang berada di tangannya bergantian. Berjalan dengan sedikit berlari sembari mencoba menghubungi Dyezra. Namun, ponsel gadis itu tidak menjawabnya sama sekali, bahkan sekarang menjadi tidak aktif.
"Argh, sial! Lo ke mana sih, Ra?!" Fero mengacak rambutnya frustasi, dengan cepat ia berlari ke arah parkiran sekolah. Ia akan mencari Dyezra sekarang juga, tidak peduli jika ia harus membolos.
Brum, brum ..
Dengan cepat, motor Fero sudah meninggalkan area parkiran. Di depan gerbang sana ada pak satpam yang menatapnya dengan tajam. "Mau ke mana? Anda tidak diperbolehkan untuk ke luar di saat jam sekolah, Nak Fero."
Fero berdecak kesal. Pemuda itu segera membuka helm full facenya dan turun dari motor. "Pak, denger. Saya harus menyelamatkan sahabat saya yang sedang dalam bahaya. Dia barusan menelepon saya sambil menangis. Tentu saja saya harus menyelamatkannya. Saya tidak bisa tinggal diam," ujarnya dengan serius. Bahkan untuk meyakinkan pak satpam di depannya, ia menunjukkan riwayat panggilannya dengan Dyezra pada sang satpam.
Dengan panik, satpam yang sudah berumur kepala enam itupun segera membuka gerbangnya. "Waduhh, harus segera diselamatkan kalo gitu. Hati-hati Nak, penjahat sekarang nggak pandang bulu."
Fero meringis, meminta maaf dalam hati karena telah membohongi orang tua. Ampuni hamba Ya Allah. Setelah gerbang terbuka sempurna, ia langsung kembali memasang helmnya dan menaiki motornya dengan cepat.
"Makasih, Pak! Doain saya pulang dengan selamat, ya!"
"Aamiinn!"
Fero tertawa dengan kencang saat sudah sedikit jauh dari sekolahnya. Benar-benar tak habis pikir. Padahal yang dia tunjukkan itu riwayat panggilan keluar, bukan panggilan masuk. "Berdosa banget gue," gumamnya dengan senyum geli.
"Ah, gue harus segera nyari Dyezra."
Ya, Fero benar-benar khawatir sekarang. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada sahabatnya itu. Apalagi, masalah yang membuat Dyezra sampai kabur bukanlah hal sepele. Sahabatnya itu pasti sangat sakit hati karena sikap Om Bima.
"Om Bima benar-benar keterlaluan," geramnya. Fero mempercepat laju motornya membelah jalanan di siang hari itu. Sesekali dia akan berhenti untuk sekadar bertanya pada orang-orang, mungkin saja ada yang melihat Dyezra bukan?
Matahari sudah semakin meninggi, panasnya tidak main-main. Namun, pencarian Fero masih belum ada hasil. Dadanya bergemuruh sesak. "Lo ke mana, Ra? Please kasih tau gue, jangan bikin gue khawatir." Tatapan mata yang selalu penuh semangat itu saat ini tampak menyendu.
Seolah bisa merasakan hal yang sama. Dyezra saat ini tengah memegangi dadanya yang terasa sesak karena terus saja menangis. Kondisi Dyezra jauh dari kata baik. Perasaan sakit hati ini benar-benar menyiksanya.
"Hiks, jahat ... Papa jahat sama gue." Dyezra memukul-mukul dadanya, rasa sesak itu semakin menghimpitnya.
"Ra, ayo gue anterin pulang." Roy yang baru saja membuka pintu kamar Raya dibuat terkejut dengan Dyezra yang menangis dan memukul-mukul dadanya.
"Lo kenapa?!"
•
•
•
Hah, nulis part ini ikutan nyesek sumpah. Kasian Dyezra ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro