Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DYEZRA 25 - Young D



Malam ini, baik Nindi maupun Dyezra tidak bisa tidur. Sulit rasanya untuk Dyezra menerima. Gadis itu mengacak rambutnya frustasi. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas, lantas segera melakukan panggilan pada nama kontak yang tertera.

"Halo Pa, masih di kantor?"

"Iya, Papa masih ada kerjaan."

"Maksud Papa apa?"

"Papa tidak mengerti maksud kamu."

"Jangan pura-pura nggak tau. Nindi sama Tante Mala ada di rumah sekarang. Bukannya itu Papa yang suruh?"

"Tunggu, kenapa mereka ada di sana?"

"Terserah, Dyezra capek Pa."

Usai mengatakan hal itu, Dyezra langsung menutup ponselnya. Ia menghela napas dan menatap langit-langit kamarnya. Kelopak matanya tertutup perlahan, tak lama kemudian, ia pun sudah jatuh terlelap.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

Sementara itu di tempat lain, Arkabima yang masih berada di kantornya lantas termenung setelah menerima panggilan dari putri semata wayangnya tersebut.

Mala dan Nindi ada di rumah? Untuk apa wanita itu ke rumah? Tidak cukupkah rumah yang dibelikannya? Apa sebenarnya yang diinginkan wanita itu?

Bima memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa pusing. Ia membuka kunci laci pada mejanya dan mengambil satu botol alkohol, lantas meminumnya hingga tersisa ¾ botol.

"Hah ..."

Ceklek!

Narega yang baru saja ingin memberikan laporan keuangan kantor pada Arkabima sontak membulatkan matanya. Boss sekaligus Om-nya itu tampak tidak baik-baik saja.

"Anda kenapa minum alkohol lagi, Om? Kalau Dyezra ataupun Diorza tahu, mereka pasti akan kecewa," ujar Narega sembari mengambil botol alkohol itu dari tangan Arkabima.

Bima menatap Ega dengan mata merahnya, mata yang memancarkan stress juga pengaruh alkohol yang mendominasi. "Jangan beritahu mereka, Om tidak ingin mereka tahu kalau Om masih mengonsumsi minuman keras."

"Makanya jangan minum lagi Om," sahut Narega yang jadi tak habis pikir dengan om satu-satunya itu.

Bima terkekeh karena ucapan Ega. "Kamu kenapa belum pulang? Bukannya besok ada jadwal kuliah?" tanyanya kemudian.

"Gimana aku bisa pulang kalau Om sendiri belum pulang, malah maksain kerja demi menghindar dari masalah. Ayolah Om, semangat dong, perbaiki semuanya. Pelan-pelan aja gapapa. Om yang berbuat, Om juga yang harus tanggung jawab."

Arkabima terkekeh lagi, bahkan anak muda seperti Narega lebih bijak daripada dirinya. Ya, Ega sudah tahu perihal perselingkuhan yang dilakukan om-nya itu. Awalnya dia juga tidak percaya, tapi setelah menyelidiki wanita yang diminta Diorza waktu itu. Dia akhirnya tahu.

"Apa kamu punya saran? Om yakin Dyezra dan Diorza akan benci sama Om sekarang. Om juga yakin, mereka tidak bisa menerima adanya anggota keluarga baru begitu saja."

"Kalau opsi terakhir, Ega sangat setuju Om. Tidak mudah untuk mereka menerima begitu saja. Apalagi kesan pertama yang diberikan Tante Mala sangat buruk," sahut Narega menanggapi.

"Mala sebenarnya wanita yang sangat baik. Apalagi Nindi, gadis itu memiliki hati yang sangat lembut. Entah apa yang membuat Mala sampai seperti itu sekarang ini." Arkabima mengayun-ayunkan gelas berisi cocktail itu di tangannya. Sementara Ega hanya menatap Arkabima dengan raut wajah yang sulit diartikan.

"Kalau begitu, kenapa Om tidak pulang dan mendinginkan suasana rumah yang mungkin saja tengah panas sekarang?" Perkataan Narega membuat Arkabima menghentikan kegiatannya seketika. Pria paruh baya tersebut berdehem dan mengangguk, kemudian berdiri dari kursi kebesarannya. Arkabima melirik pada jam tangannya sekilas.

Hampir tengah malam.

"Kamu tidak mau bareng Om saja? Biar Om antar sampai rumah."

Tawaran Arkabima ditolak halus oleh Narega. "Ega bawa mobil sendiri, mana mungkin mobilnya ditinggal, 'kan?" jawabnya sembari tertawa kecil. Arkabima tersenyum tipis, lantas menepuk-nepuk bahu keponakannya tersebut sebelum benar-benar keluar dari ruangannya.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

Malaya saat ini tengah menunggu Arkabima di ruang tamu. Amarahnya masih belum mereda setelah perdebatan dengan kedua anak dari istri pertama suaminya tersebut.

Benar-benar tidak sopan! Pasti ibunya juga seperti itu.

Ceklek!

Mala langsung menoleh begitu mendengar suara pintu terbuka. Dahinya mengerut saat tidak menyadari kepulangan Arkabima. Bahkan suara derum mobilnya pun tak ia dengar.

Apa karena tadi aku sedang melamun? Hm, mungkin saja.

"Assalamu a'laikum.." Arkabima mengucap salam setelah memasuki rumah. Netranya menatap sang istri yang berdiri beberapa sentimeter jauhnya sembari menatapnya tajam dan bersedekap dada.

"Kita harus bicara, Mas."

Arkabima menghela napasnya, ia mengangguk dan mengikuti Malaya ke dalam. Sesaat Arkabima bisa melihat kilat kemarahan pada tatapan Mala.

"Apa seperti itu didikanmu selama ini pada mereka?"

Arkabima mengernyit bingung, ia tidak mengerti maksud perkataan istrinya tersebut. "Aku tidak suka dengan mereka, bicaranya tidak sopan sekali dengan orang tua." Malaya menggerutu sepanjang jalan menuju kamar utama, kamar Arkabima lebih tepatnya.

"Memangnya apa yang dikatakan putra-putriku?" tanya Arkabima setelahnya.

"Sudahlah, kau tidak akan mengerti." Malaya melenggang pergi ke kamar mandi yang berada di dalam sana. Tentunya setelah mengambil handuk dan baju ganti. Sementara Arkabima hanya memandang punggung istrinya yang menghilang di balik pintu.

Pria paruh baya tersebut langsung melonggarkan dasinya dan mengganti pakaian kerjanya. Pikiran Arkabima tengah berkecamuk saat ini. Beberapa kali helaan napas terdengar dari mulutnya. Ia tengah mencoba beradaptasi dengan keadaan ini. Benar-benar di luar ekspektasinya kalau keluarganya akan bertemu dalam keadaan seperti ini.

Dalam bayangannya, ia akan mengajak Diorza dan Dyezra liburan bersama. Kemudian mempertemukan keduanya dengan Mala dan Nindi. Lantas ia akan memperkenalkan mereka pada kedua putra-putrinya. Meminta maaf karena baru memberitahu sekarang dan kedua putra-putrinya mau mengerti dan mampu menerima Mala serta Nindi menjadi bagian dari keluarga.

Seandainya memang semudah itu.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

Pagi kembali menyapa, Dyezra menutup wajahnya dengan lengannya, berusaha menghalau sinar matahari yang berlomba-lomba mengusik tidurnya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bisa kembali tidur mengarungi lautan mimpi. Tidak lama setelahnya, suara ketukan pintu kembali mengusik tidurnya.

Tok, tok, tok!

"Kak! Bangun, udah pagi! Lo mau telat ke sekolah?!"

Teriakan Diorza yang cukup keras membuat Dyezra berdecak kesal. Padahal baru saja dia akan terlelap, tetapi adiknya itu malah membangunkannya.

"KAK!"

"SABAR MAEMUNAH! GUE KAGA BUDEG!"

"MAKANYA BURUAN! GUE TINGGAL JUGA NIH!"

"Si anj-"

Huft, sabar banget gue.

Dyezra menarik napas dan menghembuskannya dengan perlahan. Setiap pagi menghadapi teriakan adiknya sudah biasa baginya. Jika umumnya seorang kakak yang membangunkan adiknya, maka di Keluarga Wijaya kau akan menemukan kebalikannya.

Tidak ingin membuang waktu, Dyezra langsung beranjak bangun dan menuju kamar mandi. Dilihatnya jam dinding sudah mengarah pada pukul enam. Meski begitu, Dyezra tetap santai karena sekolahnya masuk pukul tujuh.

Baru saja ia hendak menyalakan shower, suara teriakan Diorza kembali terdengar.

"KAK! BURUAN!"

Jika dalam animasi, mungkin perempatan siku-siku sudah muncul di pelipis Dyezra. "DIORZA KAMPRET! BERANGKAT SENDIRI SONO!"

Diorza di tempatnya berdecak kesal. Dengan langkah ogah-ogahan, ia memutuskan untuk langsung turun menuju lantai bawah. Langkah kakinya membawa Diorza ke dapur, dilihatnya di sana terdapat Tante Mala dan Nindi yang berkutat dengan peralatan dapur. Diorza menatapnya tidak suka, dengan cepat ia melanjutkan langkahnya menuju garasi untuk memanaskan motornya dan motor kakaknya.

"Mau ke mana kamu? Sarapan dulu, jangan langsung berangkat." Arkabima yang duduk di sofa ruang tamu dengan koran di tangannya berujar.

"Manasin motor," jawab Diorza singkat, tanpa menoleh pada sang papa.

Arkabima hanya menghela napasnya saat menyadari kalau Diorza lebih dingin daripada biasanya. Tidak lama setelahnya, Arkabima mendapati Dyezra yang baru saja turun dari lantai atas dan hendak melewati ruang tamu.

"Dyezra, sarapan dulu."

Dyezra yang mendengar suara papanya sontak menoleh, wajahnya datar tanpa ekspresi yang berarti. "Aku bisa sarapan di kantin sekolah. Lagipula, bukannya selama 5 tahun terakhir Papa sarapannya sama mereka ya?" ujarnya sembari melirik ke arah dapur, di mana terdapat Tante Mala dan Nindi yang tengah memasak. "Aku gamau ganggu soalnya," lanjutnya.

Usai mengatakan hal itu, Dyezra langsung melanjutkan langkahnya, menghiraukan seruan Arkabima yang memanggil namanya. Ia menghampiri sang adik di garasi, terlihat di sana Diorza yang tengah duduk di teras sembari memanaskan motor.

"Gamau sarapan dulu?" tanya Dyezra sesaat setelah berdiri di samping Diorza.

Sang empunya menoleh dan menggeleng. "Kantin sekolah kaga pernah kekurangan makanan," jawabnya.

Dyezra terkekeh, ada benarnya juga kata sang adik. Toh, di kantin sekolah mereka tidak pernah kekurangan makanan. Mereka bisa sarapan di sana, daripada harus semeja dengan dua orang itu.

"Ya udah. Kuy berangkat aja, lah."

Diorza mengangguk, dengan cepat ia berdiri dari duduknya dan mendahului sang kakak menuju motornya. Tidak lama setelahnya, Diorza dibuat bingung karena sang kakak terdiam di tempat sembari memerhatikannya. "Kenapa?" tanyanya.

"Gue bareng lo aja, males bawa motor."

Diorza mendengkus. Ia sebenarnya males banget boncengin kakaknya tersebut. Namun, ia tidak sampai hati menolak keinginan sang kakak. Apalagi setelah kejadian semalam.

"Buruan naik."

Dyezra mengangguk, ia berpegangan pada bahu Diorza untuk naik ke atas motor dan langsung mendudukkan dirinya di jok belakang motor sport Diorza. "Udah?" tanya sang adik setelah beberapa detik.

"Heem, kuy berangkat!"

Brum.. brum..

Suara derum motor itu menjadi tanda bahwa dua pewaris Keluarga Wijaya telah meninggalkan area rumah. Kedua kakak-beradik itu berangkat ke sekolah bersama-sama. Ya, seperti biasanya.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

Sepuluh menit terlewati dalam keheningan. Di sinilah Dyezra dan Diorza sekarang, kantin. Setelah memarkirkan motor, keduanya langsung capcus ke kantin. Cacing-cacing di perut mereka sudah demo minta makan. Beruntungnya karena jam pertama itu jamkos, para guru tengah rapat. Katanya sih, akan ada persami untuk semua angkatan.

Katanya loh ya.

"Kak!"

Panggilan Diorza membuat Dyezra mengalihkan perhatiannya dari makanannya. Ia mengangkat sebelah alisnya, bertanya. Meminta Diorza melanjutkan kalimatnya dalam diam.

"Menurut lo, kita harus gimana?"

Dyezra terdiam. Otaknya berusaha mencerna maksud perkataan sang adik. Seketika ingatannya mengarah pada dua penghuni baru rumah mereka. "Ck! Entahlah, mending kita lihatin aja dulu. Ikutin alurnya bakal kayak gimana."

Diorza mengangguk-angguk sembari menggumam. "Gue denger, lo pindah ke kelasnya Kak Viona. Emang bener?" tanyanya kemudian.

Dyezra menghela napasnya. "Ya gitulah, males gue lihat wajah Nindi di kelas."

"Lahh, terus Bang Fero? Bukannya lo juga ketua kelas, ya? Jangan bilang lo ninggalin tanggung jawab gitu aja?" tanya Diorza bertubi-tubi.

Dyezra mendengkus.

"Bodo amat, gue pengen jadi egois sesekali. Lagian, gue hidup juga bukan untuk menyenangkan orang lain." Dyezra mengerling di akhir kalimat. Diorza yang melihatnya pun ikut menyeringai lebar. Kakaknya itu memang tidak bisa ditebak.

"WOY! DUO D!"

Dyezra dan Diorza kompak menoleh ke asal suara yang meneriakkan keduanya. Terlihat Fikri yang berlari ke arah mereka dengan langkah yang tergopoh-gopoh. "Lo kenapa, deh?" tanya Dyezra sesaat setelah Fikri tiba di meja mereka berdua.

"Fero, lagi adu bacot sama Viona di kelas MIPA-3. Katanya sih, Fero mau lo balik lagi ke MIPA-2 sama dia. Terus dia nanya juga alasan lo pindah kelas ke Viona, eh si Vio malah kaga mau jawab. Jadilah mereka ribut dan adu bacot sekarang."

Kedua netra Dyezra membulat sempurna. Ia mengurut tulang hidungnya sebentar. "Mereka masih adu bacot sekarang?" tanya Dyezra kemudian.

Fikri mengangguk cepat. "Masih noh, lagi pada ribut. Untung guru lagi rapat. Kalo kaga, ya auto kena masalah."

"Ya udah sih Kak, lo ke sana aja. Biar kaga makin runyam, lo juga belum bilang soal alasan lo pindah kelas ke Bang Fero kan?" sahut Diorza. Dyezra terdiam, membenarkan perkataan sang adik dalam pikiran.

"Ya udah, ayo ke sana."

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

"Kasih tau gue nggak?!"

"Apaan sih, Fero?! Gue kaga tau! Tanya Dyezra sendiri sono!"

"Bohong! Mana mungkin lo kaga tau!"

Dyezra yang baru saja tiba, berdiri di pintu kelas. Netranya menatap tajam pada kedua sahabatnya yang masih asik berdebat itu. Fero berdiri menjulang di depan Viona yang tengah duduk di bangkunya dengan tatapan tajamnya. Ekspresi songong Fero dan ekspresi tak mau kalah dari Viona membuat Dyezra mendengkus.

"Dibilang gue kaga tau!"

"Bohong! Cepet kasih tau gue!"

"Lo tuh ya-"

Mereka masih saja ribut, bahkan tidak sadar kalau mereka jadi tontonan anak-anak. Bahkan di luar, ada yang mengintip lewat jendela kelas. Dyezra berdecak kesal melihat kelakuan kedua sahabatnya, hingga seruannya berhasil menginterupsi keduanya. "Hoi! Udah napa, malu dilihatin yang lain!"

Viona dan Fero sontak menoleh ke sumber suara. Terlihat Dyezra masih berdiri di depan pintu kelas dengan tangan yang sudah berkacak pinggang. Viona yang peka akan situasi langsung berdiri dan menghampiri sahabatnya tersebut.

"Huaaa, tolongin gue Ra. Fero tuh nanya maksa banget. Padahal kan gue suci, polos, dan gatau apa-apa. Hiks, hiks."

Mulai deh, mulai.

Dyezra memutar bola matanya malas. "Nggak usah alay deh, Vio!" hardiknya yang langsung membuat Viona mencebik sebal.

"Sekarang bilang sama gue, apa yang kalian ributkan?"




Fero sama Viona kalo disatuin emang udah kayak anjing sama kucing.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro