DYEZRA 11 - Kertas Lakmus
•
•
•
"Diorzaa!"
Dyezra berlari dengan terseok-seok mencari keberadaan adiknya. Ia menaiki tangga dan menuju kamar Diorza di lantai atas. Namun anak itu tidak ada di kamarnya.
"Faskaaall!"
"Kak Dyezra kenapa teriak-teriak, sih? Berisik tau, Fisika lagi tidur tuh." Faskal keluar dari game room menghampiri Dyezra, tangan kanannya memegang stik play station.
"Mana Bang Orza?" tanya Dyezra to the point.
Faskal mengerutkan keningnya, kemudian menggeleng. "Tidak tau, tadi Faskal sama Fisika dijemput Uncle Bima."
Dyezra mendesis, ia langsung melenggang pergi meninggalkan Faskal yang masih terbengong di sana. Tanpa banyak berpikir, anak itu kembali ke game room dan melanjutkan acara bermainnya yang tertunda.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
"Ke mana sih tuh anak?! Awas aja kalo pulang ntar, gue bejek-bejek."
Dyezra mengingat perkataan dua orang siswi yang tidak sengaja didengarnya saat di gerbang tadi.
"Diorza anak kelas 10-IPA itu? Yang ganteng tapi dinginnya keterlaluan?"
"Iyaaa, Alana sampe nangis. Gue nggak sengaja dengar obrolan mereka pas mau ke toilet."
Dyezra mengepalkan tangannya, ia tidak tahu ada problem di antara mereka berdua, tapi setidaknya ia sudah mengambil kesimpulan, bahwa Diorza adalah tersangka utama.
Dyezra mengetikkan beberapa pesan pada Diorza, tetapi anak itu sedang tidak online. Ia menggigit jarinya gemas, lantas menghela napas. "Bodo amat dah, ntar juga pulang. Baru dah gue interogasi." Ia kembali masuk ke dalam rumah dan menuju kamar untuk mengistirahatkan dirinya.
Baru saja ia hendak menutup mata, suara motor mengalihkan atensinya. Dyezra tergopoh-gopoh keluar dan menghampiri. Benar saja, adik bodohnya itu baru saja memarkirkan motornya di garasi.
Diorza yang baru saja melepas helmnya terkejut saat melihat kakaknya sudah berdiri di depannya sembari berkacak pinggang. Ia menghela napas, ia tahu kalau sebentar lagi ia akan dapat ceramah panjang dari sang kakak.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
"Ceritain sedetail-detailnya. Buruan!"
Diorza mendesah malas, otaknya saat ini tengah berpikir bagaimana caranya dia menghindari interogasi dadakan dari kakaknya. Ia menarik sudut bibirnya saat otaknya menemukan ide cemerlang.
"Kak, ada Papa."
Dyezra menoleh ke arah yang ditunjuk Diorza, seketika itu juga Diorza berlari pergi menuju kamarnya dan mengunci pintunya.
"DIORZAAA!"
Ia tertawa dalam hati, kakaknya itu mudah sekali dibodohi. Biarlah ia membuat kakaknya kesal sekarang. Yang terpenting, ia tidak akan buka mulut soal problemnya dengan Alana. Ia ingin menyelesaikan ini sendiri.
Sementara itu di tempatnya, Dyezra memijit pelipisnya yang sedikit pusing. Diorza itu benar-benar suka menguras emosinya. Baiklah, ia akan membebaskan anak itu sekarang, tapi ia akan menanyakannya lagi nanti. Ia kembali teringat Alana, gadis itu kelihatan sangat sedih tadi.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
"Woy! Sialan lo Yon, malah pergi sendiri bukannya ngajakin gue."
Fikri mengerutkan keningnya saat tak mendapat respon dari Deon. Ia berjalan mendekati sahabatnya itu, lalu mengintip apa yang tengah dia lakukan. "Apaan tuh?" tanya Fikri saat melihat Deon memegang sebuah botol berisi gulungan kertas di dalamnya.
"Kepo amat dah lo! Kaga tau juga gue, beberapa minggu ini gue sering nemuin botol kayak gini ngalir di sungai belakang rumah gue."
Jawaban dari Deon membuat Fikri berpikir keras. "Peta harta karun kali!" celetuknya yang membuat Deon mendengkus. "Udah pernah lo buka?" tanya Fikri.
Deon menggeleng pelan. "Ada 3 botol yang gue temuin. Belum gue buka sama sekali."
"Ngapa kaga lo buka? Siapa tau beneran peta harta karun!"
"Mana ada peta harta karun di dalam botol serum, bego!" Deon yang emosi auto menabok Fikri yang sedari tadi ngoceh di depannya soal harta karun, harta karun. Lagian siapa sih orang gabut yang bikin ginian.
Deon beranjak dari duduknya. "Mau ke mana?" tanya Fikri.
Deon hanya meliriknya sekilas. "Pulang," jawabnya. Fikri hanya menatap kepergian Deon, ia menggendikkan bahunya.
"Woy! Tungguin gue, anjir!"
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Malam ini suasana sangat sepi, hujan yang mengguyur kota baru saja reda. Hawa dingin di luar begitu menusuk sampai ke tulang-tulang. Deon berdiri di balkon kamarnya sambil menatap langit malam yang selalu mempesona dirinya. Ia tersenyum kecil saat mengingat kenangan bersama kedua orang tuanya di balkon ini.
Tatapannya berubah datar saat kenyataan menamparnya. Orang tuanya bahkan tidak ada di sini sekarang. Mungkin mereka sudah lupa kalau memiliki seorang anak. Deon berdecih. Ia benci memikirkannya.
Deon merogoh saku celananya, ia menatap botol serum sebesar 10 ml itu. Ia lantas membukanya dan mengeluarkan gulungan kertas yang ada di dalamnya.
Hi Jerk! I hate you and you know it. You know what? You can do whatever you want and I can do whatever I want. But the point of all this is not that. Just you wait, I'll unpack everything.
Deon mengerutkan keningnya bingung. Ia jadi penasaran, siapa kiranya yang menulis ini. Dilihat dari tulisan tangannya begitu rapi, sepertinya cewek. Namun, apa maksudnya?
Deon bergegas masuk ke kamarnya dan membongkar lemari nakasnya. Ia mengambil kedua botol lainnya dan membaca isi kertas di dalamnya. Yang dia temukan sama saja, kertas itu berisi umpatan dan makian serta ancaman balas dendam pada seseorang yang dipanggil 'Jerk' di sini.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Dyezra gelisah dalam tidurnya, alisnya mengerut. Ia berkeringat dingin, jantungnya berpacu kian cepat.
Dyezra..
'Siapa itu? Apa aku mengenalmu?'
Apakah kamu ingin mengetahui sebuah kebenaran?
Suara dalam tidurnya membuat Dyezra kian gelisah. Napasnya memburu, suara itu bahkan tidak ada wujudnya.
'Kebenaran apa? Kamu siapa? Tolong tunjukkan dirimu!'
Kebenaran tentang Arkabima Wijaya.
Dyezra terkejut dan terbangun saat ada cahaya terang yang masuk ke matanya. Ia mengusap dahinya yang berkeringat. Ia mendongak ke arah jam dinding yang ada di kamarnya. Pukul 00.00 tepat. Ia termenung, apa maksud suara di mimpinya itu? Kebenaran apa yang tidak dia ketahui tentang papanya?
Dyezra beranjak dari kasurnya, ia menuju dapur. Tenggorokannya terasa kering. Rumahnya begitu sepi tengah malam begini. Ya tidak heran sih, semua orang pada tidur.
Dyezra menghentikan langkahnya saat melihat ruang kerja papanya masih terang benderang. Apakah papa belum tidur? Ia memberanikan diri untuk mengintip dari lubang kunci.
Ruang kerjanya berantakan, tumpukan kertas di mana-mana. Papanya itu tampak tengah fokus memandangi layar laptopnya.
Sebenarnya apa yang dia kerjakan malam-malam begini? Padahal masih ada besok untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Tak ingin mengganggu, Dyezra berlalu dan melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk mengambil minum. Setelahnya ia langsung bergegas kembali ke kamar dan melanjutkan tidurnya. Ia tidak ingin terlambat besok.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Mentari pagi menyinari bumi kota, semua orang siap memulai aktivitasnya seperti biasa. Begitupun dengan ketiga sahabat ini. Devina dan Viona sudah nangkring di depan rumah Dyezra. Mereka berdua memutuskan untuk berangkat sekolah bersama hari ini.
"Yuk, udah siap nih gue!"
Viona menyeringai, Dyezra tampak cocok dengan blazer itu. Ya, mereka memang berencana tampil berbeda kali ini. Lihat saja Dyezra, ia kali ini mencepol rambut panjangnya. Aura tomboynya makin kelihatan. Jangan lupakan blazer abu-abu yang dipakainya.
Devina, gadis itu yang biasanya selalu menguncir rambutnya dengan gaya ponytail, kini digerainya dengan indah. Tentunya dengan sedikit curly di bagian bawah. Dipadukan dengan jaket bomber yang dia lilitkan di pinggang rampingnya.
Viona, ia tampak manis dengan potongan rambut pendek sebahunya. Gadis itu rela membuang uangnya untuk memperindah rambutnya di salon kemarin. Tidak ketinggalan kuku jarinya yang dipercantik dengan kutek berwarna silver.
Mereka bertiga yang biasanya tampil sederhana bahkan cenderung biasa-biasa saja, kali ini tampil begitu memukau. Ide siapa lagi kalau bukan ide seorang Viona Ayudia. Di antara mereka bertiga, Viona yang paling tahu soal fashion kekinian.
"Lo cocok dengan style rambut itu Vio," komentar Dyezra sesaat setelah baru memasuki mobil Viona.
Viona mengibaskan rambutnya. "Viona gitu, loh."
"Come on girls! Kita berangkat sekarang!" seru Viona. Ia menarik persneling mobilnya dan segera tancap gas. Selama perjalanan menuju sekolah, ketiga gadis itu tak henti-hentinya bernyanyi.
No, no, no, don't worry 'bout nothing, oh, it's all gonna be good
Don't worry 'bout nothing, worry 'bout nothing, nothing, now it's all gonna be good
So breathe, like you know you should
Yeah breathe, 'till you've understood
Until you're feeling like yourself again
Feel the sunlight on your skin
Keep your heart beat beatin'
Go on, go on, breathe in
Lagu Breathe dari Mackenzie Ziegler mengalun indah di telinga mereka. Dyezra yang paling heboh nyanyi, wkwk. Karena itu salah satu lagu favoritnya. Tepat pukul 06.25 mereka sudah sampai di sekolah. Viona segera memarkirkan mobilnya di parkiran khusus mobil siswa. Mereka bertiga pun segera turun setelah mobil terparkir sempurna.
Senyum Dyezra mengembang, harapannya semoga hari ini tidak ada masalah yang terjadi. Ia ingin menjaga moodnya tetap bagus selama seharian ini. Ia mengeluarkan bubble gum dari saku roknya, membaginya pada Viona dan Devina. Entah kebetulan atau apa, mereka bertiga memakannya dengan gerakan yang sama secara bersamaan.
Sangat kompak.
Penampilan ketiga gadis itu yang berbeda dari biasanya, menarik perhatian orang sekitar. Bahkan ada yang berdecak kagum saat ketiganya lewat di koridor. Mereka bertiga mengabaikan hal itu, tujuan mereka hanya satu.
Kelas.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
BRUK!
Baru saja Dyezra membuka pintu kelasnya, dari arah belakang ada yang menabrak tubuhnya. Ia limbung dan terjatuh ke depan.
"What the?!"
Penghuni kelas XI MIPA-2 yang berada di dalam sontak terperanjat kaget. Dyezra yang masih dalam posisi terduduk dengan kepala menunduk, mengepalkan kedua tangannya. Ia menoleh ke belakang dan tatapannya menajam saat tahu orang yang menabraknya adalah seseorang yang selama sekolah di sini ingin ia hindari.
Margaretta Anetta, atau yang kerap disapa Retta. Gadis yang mempunyai segudang prestasi dan tentunya segudang uang, membuatnya sangat disegani. Dan hal itu pula yang membuatnya menjadi sombong dan merasa berkuasa. Fyi, Retta adalah anak dari musuh besar papanya, yaitu Arkabima Wijaya.
"Ups! Sorry. Gue nggak sengaja," ujar Retta dengan nada sedih yang sangat kentara dibuat-buat.
Dyezra bangun dari posisi duduknya, ia bersedekap dada. "Anda punya masalah dengan saya, Nona Aretta?"
Retta berdecih melihat sikap Dyezra. Ia mengangkat dagu Dyezra dan sedikit mencengkramnya. "Lo cantik, tapi sayang .... Lo murahan."
Dyezra menyentak tangan Retta dengan kasar. "Jaga mulut lo ya nenek lampir! Ngaca dulu sebelum ngomong! Cuih." Dyezra meludah ke samping lantas menyeringai kecil, ia mendekatkan dirinya pada Retta dan berbisik. "Kita lihat aja. Gue yang murahan, atau lo yang murahan."
Setelahnya Dyezra balik mendorong Retta hingga terjatuh dan langsung melenggang pergi ke dalam kelas, mengabaikan Retta dengan wajah yang memerah karena amarah. Retta segera bangun dari acara terjatuhnya. Ia menghentakkan kakinya kesal dan langsung cabut dari sana.
Siswa-siswi di sekitar mereka seketika bernapas lega, karena tidak ada pertengkaran atau perkelahian yang terjadi. Mereka beberapa kali memang sempat melihat Dyezra dan Aretta adu mulut atau adu fisik. Namun itu sudah 6 bulan yang lalu. Entah apa yang membuat Retta berulah lagi kali ini.
Dyezra tidak mau tahu. Yang ia butuhkan sekarang adalah lagu yang bisa mengembalikan suasana hatinya. Moodnya jadi jelek gara-gara si Aretta kampret.
"Huft."
Ia menghela napas dan segera tenggelam dalam alunan melody yang dikeluarkan dari earphone yang tersambung pada ponsel pintarnya.
Pelajaran jam pertama dimulai 10 menit kemudian, mata pelajaran kali ini adalah Kimia. Pak Abdu menyuruh mereka semua untuk ke lab. Sepertinya akan ada praktikum lagi kali ini.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
"Lo tau nggak, Ra?"
Suara Fero mengalihkan atensi Dyezra dari pipet di depannya. Ia mengangkat alisnya seolah berkata 'Apa?'
"Lo itu kayak kertas lakmus ini. Waktu gue celupin ke dalam sebuah larutan, biru akan jadi merah. Atau merah akan jadi biru. Tapi tidak dengan merah tetap merah dan biru tetap biru." Fero menjelaskan sembari mempraktikkannya. Dyezra mengerutkan dahinya, ia masih bertanya-tanya apa maksud Fero mengatakan ini semua padanya.
"Jadi maksudnya-"
"Maksudnya, lo mungkin sekarang bilang nggak suka sama gue. Tapi siapa tau nanti lo berubah pikiran dan jadi suka sama gue. Seperti kertas lakmus ini." Fero mengerling di akhir kalimat.
Dyezra mendengkus. "In your dream."
"Ohh come on, jangan naif. Gaada yang tau ke depannya bakal gimana, 'kan? So, gue bakal setia nunggu lo."
Dyezra memutar bola matanya malas. "Udah, dari pada lo ngehalu nggak jelas, mending kerjain ini laporan." Dyezra langsung menyerahkan buku tulis dan bolpoinnya pada Fero. Fero mencebikkan bibirnya kesal, tapi ia tetap menurut dan mencatat laporan praktikum mereka.
•
•
•
Si Aretta nyari gara-gara mulu emang hidupnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro