Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DYEZRA 04 - Derita Menjelma



Dyezra, Orza dan Fero memarkirkan motornya di parkiran rumah sakit. Ketiganya kompak berjalan memasuki gedung RS dan menuju kamar Melati Nomor 3. Dyezra mengetuk pintu rawat papanya beberapa kali dan terdengar sahutan Bang Ega dari dalam. Ia pun masuk bersama adiknya dan tentunya juga Fero.

Mereka disambut hangat oleh Arkabima Wijaya dan Narega Harsa Wijaya. Dyezra memeluk Bang Ega sebentar dan beralih menatap papanya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Arkabima atau yang kerap disapa Bima merentangkan tangannya seraya tersenyum ke arah Dyezra.

Sontak saja hal itu membuat Dyezra langsung berlari ke arahnya dan memeluk papanya sambil menangis kencang. Arkabima mengusap lembut kepala putri semata wayangnya itu. "Maafin Papa ya, Papa salah sama kamu," katanya lantas mengecup puncak kepala Dyezra dengan sayang. Dyezra menggeleng, ia semakin terisak.

Tanpa disadari, Bang Ega berpelukan dengan Fero seraya menangis bombay karena terharu melihat keuwuan antara ayah dan anak itu. Orza yang menyadari itu hanya memutar bola matanya malas. Kenapa dia harus ada di situasi seperti ini, sih.

Dyezra sudah mulai tenang, ia beranjak dan duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang papanya. Ia menoleh ke arah tiga remaja yang sedari tadi diam memerhatikan interaksinya dengan sang papa.

"Pfftt ... bwahaha anjir, ngakak gue."
Seketika Dyezra tertawa kala melihat posisi Bang Ega dan Fero yang berpelukan seperti sepasang kekasih yang habis berbaikan setelah bertengkar hebat. Keduanya langsung mendorong satu sama lain dan menutup wajahnya malu.

"Dyezraa your language," tegur Arkabima. Dyezra meringis meminta maaf masih sambil tertawa seraya memegangi perutnya.

"Bang Ega, sih! Ngapain coba peluk-peluk gue segala," sewot Fero.

Sontak Bang Ega langsung menjitaknya. "Heh! Lo nya juga kenapa mau-mau aja, ogeb?!" Fero mengelus kepalanya sambil mengerucutkan bibirnya.

Arkabima tertawa pelan melihat tingkah keponakannya dan teman akrab putrinya tersebut. Netranya beralih pada Orza yang sedari tadi diam. "Diorza Wijaya Angkara," panggilnya.

Diorza yang merasa namanya dipanggil sontak menoleh ke arah sang papa. Beliau menyuruhnya mendekat, Diorza pun berjalan mendekat ke papanya.

Grep!

Tanpa aba-aba, Arkabima memeluk putra bungsunya itu. Diorza menegang, dia sangat terkejut. Bukan hanya dia, ketiga remaja yang sedari tadi memerhatikan pun seketika ikut terkejut. Lima detik setelahnya, Arkabima melepaskan pelukannya. Dia menatap Diorza dengan sorot mata tegas, khas seorang ayah.

"Jaga kakakmu," katanya. Hanya itu, hanya dua kata yang sanggup membungkam seorang Diorza. Ia mengangguk kaku, sementara mata Dyezra memanas.

"Dyezra udah gede, Pa. Nggak perlu dijagain. Dyezra bisa jaga diri sendiri, kok."

Arkabima mengusap lembut kepala putrinya. "Papa takut tidak bisa melindungi kalian, anak-anak Papa. Terutama kamu Dyezra. Masalah yang akan datang mungkin bukan hal sepele. Karena dia sudah mulai bergerak."

Dyezra membulatkan matanya, sorotnya seketika menajam. Dyezra paham betul maksud dari papanya. "Apa dia yang membuat Papa sampai drop begini?" tanyanya.

Bima menggeleng. "Ini murni karena Papa kelelahan. Don't worry."

"Hah ..." Dyezra menghela napasnya. "I try," lanjutnya ragu. Fero yang tidak tahu-menahu hanya diam, mungkin dia akan bertanya pada Dyezra nanti.

"Fero, tolong ajak anak om pulang ya. Dia harus istirahat," pinta Arkabima yang langsung membuat Dyezra menggeleng tegas.

"Aku mau disini aja jagain Papa."

"Biar Ega yang nemenin papa disini. Kamu sama Diorza pulang aja. Lagian Papa juga udah baik-baik aja kok, mungkin lusa udah boleh pulang."

"Iya Ra, biar gue disini yang jagain Om Bima. Lo tenang aja," sahut Bang Ega menenangkan.

Dyezra yang merasa sudah tidak bisa mencari alasan lagi, akhirnya mengalah. Dia pun memeluk papanya sambil berpamitan pulang bersama Fero juga adiknya Diorza. Ketiganya keluar dari area rumah sakit tepat pukul 17.00 Waktu Indonesia Barat.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

Dyezra saat ini tengah rebahan di kasur kesayangannya. Sesekali dia mengecek notifikasi whatsapp miliknya sambil berbalas pesan dengan sahabat-sahabatnya. Dahinya seketika berkerut saat melihat satu notif dari nomor yang tidak dikenal. Dia memencet foto profil nomor itu, terlihat seorang gadis manis berkacamata memegang kucing berbulu abu-abu di sana.

Nindi? Ada keperluan apa?

Dyezra bergegas membuka roomchat dari nomor tersebut yang ternyata adalah Nindi, si anak pindahan. Terlihat bahwa Nindi sedang online sekarang, dan mungkin sedang menunggu balasan darinya.

'Dyezra, ini Nindi. Boleh pinjam buku catatan Kimia kamu tidak?'

Ia segera mengetikkan balasan, 'Boleh, besok gue kasih di kelas.'

"Kirain apaan, minjem catatan ternyata. Ngapa kaga ke Mira aja, dah? Kan mereka sebangku. Ahh, bodo amat. Bukan urusan gue juga." Dyezra menjatuhkan ponselnya ke samping, lantas menatap langit-langit kamar.

"Eh, tapi ... dia dapat nomor gue dari mana?"

Tak mau ambil pusing memikirkan hal itu, Dyezra beranjak menuju kamar mandi dan mengganti pakaiannya dengan piyama, bersiap untuk tidur. Tidak lupa ia menyetel alarm tepat pukul 04.00 pagi untuk sholat shubuh.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

Keesokan harinya, di sebuah rumah mewah dengan gaya minimalis, terlihat seorang wanita dewasa tengah menyiram tanaman. Ia tampak ceria dengan setelan blouse panjangnya. "Nindiiiii, cepat berangkat sayang. Sudah jam berapa ini!" serunya sedikit kencang, yang ternyata beliau adalah ibunda dari Nindi.

"Sebentar, Maaa!" Terdengar balasan dari dalam rumah tersebut. Tidak lama setelahnya, seorang gadis cantik dengan rambut panjang tergerai indah keluar dari rumah. Ia menghampiri mamanya yang masih asik dengan tanaman.

"Nindi berangkat dulu ya, Ma. Takut ketinggalan bus," pamitnya seraya menyalimi tangan sang mama tercinta. Sang mama tersenyum dan melambaikan tangannya saat gadis tersebut sudah melangkah meninggalkan pekarangan rumahnya.

Nindi berjalan ke halte bus yang paling dekat dengan kompleknya. Keluarganya memang termasuk golongan menengah ke atas, tapi dia lebih suka naik kendaraan umum jika pergi ke mana-mana. Mungkin kalau ada acara penting saja, baru dia akan diantar oleh sopir keluarganya. Lagipula dia belum hafal betul jalanan kota ini, jadi naik bus untuk berangkat sekolah adalah solusi terbaik sekarang.

Nindi melambaikan tangannya saat bus yang ditunggu datang, ia segera masuk dan mencari tempat duduk dekat jendela. Bus yang ditumpanginya lumayan ramai, jelas saja karena ini jamnya orang berangkat kerja dan ada juga beberapa anak sekolah seperti dirinya.

Lima belas menit setelahnya, bus yang ditumpangi Nindi berhenti di halte dekat sekolah. Sontak saja ia segera berdiri dan merogoh sakunya untuk mencari uang. Karena tak ingin berlama-lama, ia pun segera turun dari bus setelah membayar ongkosnya.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

Sesampainya Nindi di kelas, ia segera menuju bangku Dyezra dan Fero untuk meminjam buku kimia yang sudah dipesannya pada Dyezra semalam. Dyezra yang tengah bercanda dengan Fero seketika mengalihkan pandangannya.

"Eh? Buku kimia, 'kan? Sebentar, ya."

Nindi menunggu dengan sabar, setelah Dyezra memberikan bukunya ia langsung bergegas kembali ke tempat duduknya. "Aku pinjam ya, Ra!" katanya sedikit kencang, yang dibalas senyuman dan acungan jempol oleh Dyezra.

Fero yang penasaran lantas bertanya. "Kalian ada apa?"

Dyezra mengernyit tidak mengerti. "Hah? Apanya?"

"Ituu, lo sama Nindi."

"Ohhh." Dyezra baru ngeh. "Gaada apa-apa, cuma minjem buku."

Fero mengangguk paham, kemudian dia menatap ke arah Nindi sebentar. Otaknya seketika mulai berpikir dan menerka-nerka. 'Kira-kira motif dia apa?' Setidaknya itulah yang ada di pikiran seorang Fero sekarang.

Secara dia ingat betul kemarin malam saat tidak sengaja bertemu Nindi di indomaret dekat komplek perumahannya. Dia sok akrab dengannya dan meminta nomor Dyezra dengan alibi ingin meminjam buku seperti yang terjadi barusan. Kenapa tidak meminjam ke Mira teman sebangkunya? Atau ke dirinya yang jelas-jelas ada di hadapannya saat itu.

"FEROOO! Lo nggak dengerin gue ngomong, ya?!" Dyezra marah, alisnya mengerut dengan bibir yang maju beberapa senti dan tangan bersedekap, serta menatap lawan bicaranya tajam.

Fero tersentak kaget, ia meringis meminta maaf pada sahabatnya tersebut. "Emang tadi lo ngomong apa?" tanyanya hati-hati.

"Tau, ah. Suruh siapa kagak dengerin gue ngomong."

"Hayolohh Feroo, Dyezra ngambek tuh," sahut salah satu temannya yang bukannya membantunya malah semakin memanas-memanasi keadaan.

Fero mendelik. "Diem lo."

Sontak beberapa teman sekelasnya tertawa. Sementara yang bersangkutan masih ngambek, diam seribu bahasa. Fero yang bingung harus bagaimana mencoba membujuknya lagi dengan membuat ekspresi-ekspresi konyol pada wajahnya.

"Udahan ngambeknya, maafin gue."

Dyezra berdecak kesal, sontak menghela napas kasar. Ia berdiri dari duduknya dan melengos, pergi keluar kelas. Fero kelabakan sendiri dibuatnya.

"Fero pe'a! Dikejar dong Dyezranya!" seru Mira yang daritadi sudah gemas sendiri ditempatnya.

Fero pun berdiri dan sedikit berlari untuk menyusul Dyezra yang mungkin sudah agak jauh. Ia bingung harus mencari Dyezra ke mana sekarang, hanya mengikuti ke mana langkah kakinya membawanya.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

Sementara itu, Dyezra yang masih dengan kekesalan menggebu-gebu tengah mengomel di sepanjang koridor kelas dua belas. Dia tidak sadar kalau langkah kakinya membawanya ke area kekuasaan para senior ini. Ia tetap mengomel tanpa memerdulikan sekitarnya. Para siswa-siswi yang masih berada di koridor menatapnya aneh.

Tiba-tiba dari arah kanan, ada seseorang yang menarik tangannya. Dyezra berjengit kaget, ia menyentak tangannya kasar agar terlepas. Kedua orang berbeda jenis kelamin itu saling bersitatap. "Devano?! Ngapain lo narik-narik tangan gue, hah? Mau modus?" Dyezra mendelik dan mengusap-usap pergelangan tangannya yang sedikit memerah.

Si pelaku utama yang ternyata adalah Devano Blanc tersenyum. "Maaf, gue cuma mau nyelametin lo dari bahan pembicaraan mereka," jawabnya sambil menunjuk beberapa orang siswi yang tengah berbisik-bisik sambil menatap ke arah mereka berdua.

Dyezra berdecak. "Gue lagi nggak dalam situasi membahayakan, nggak perlu diselametin segala," ketusnya. "Ngapain lo pada liat-liat, hah?!" lanjutnya yang membuat sekelompok siswi tadi langsung ngacir karena aura seramnya.

Dyezra menghela napas, ia menepuk bahu cowok di depannya. "Thanks. Tapi sekali lagi, gue nggak perlu diselametin," ujarnya yang langsung berjalan pergi melanjutkan perjalanan absurdnya.

Semntara Devano masih menatap punggung Dyezra yang beberapa detik lalu sudah hilang di balik tikungan. Pemuda itu tersenyum miring.

⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°

Dyezra kembali ke kelasnya tepat setelah guru mata pelajaran pertama baru saja masuk. Jadi bisa dikatakan, dia hampir terlambat. Dia pun segera duduk di tempatnya mengabaikan tatapan Fero padanya. Dia masih sedikit kesal dengan manusia di sampingnya ini.

Fero menghela napas pasrah, mungkin dia akan membujuk Dyezra kembali nanti. Tadi waktu dia mencari Dyezra, dia tidak menemukannya di manapun. Jadi dia memutuskan kembali ke kelas dan menunggu.

Empat puluh lima menit berlalu dengan cepat, ketegangan di antara dua sejoli itu masih terasa. Guru yang mengajar sudah keluar kelas, tinggal menunggu guru mata pelajaran selanjutnya datang.

Fero membuka roomchatnya dengan Viona. Terlihat bahwa gadis itu tengah online sekarang. Dia mengetikkan beberapa kata, dan memencet tombol send di pojok kanan bawah.

'Si Dyezra ngamuk, gimana nih?'

Viona mengernyit saat melihat beranda whatsappnya menampilkan nama 'Per(o)kkk' di bagian teratas. Viona mendengkus membacanya. "Dyezra lagi, Dyezra lagi. Tuh anak perasaan yang dipikirin Dyezra mulu, dah. Kek gaada yang lain gitu. Dasar bucin," dumelnya pelan.

Viona langsung mengetikkan balasan. 'Lo apain? Pasti lo yang cari gara-gara kan ampe ngamuk gitu?'

Fero melotot saat membaca balasan Viona, enak saja dia dituduh begitu. Ya, emang gara-gara dia juga sih. 'Ya emang bermula dari gue, tapi gue pikir itu cuma hal sepele. Gatau dah kenapa ngamuknya ampe kek gitu.'

Fero melirik Dyezra dari ekor matanya. Gadis itu tengah fokus menatap layar ponselnya dengan telinga tersumbat earphone. Lalu notifikasi chat dari Viona kembali mengalihkan perhatiannya.

'Hmm ... Biasanya kalo udah kek gitu, mau datang bulan dah kayaknya. Dyezra kan gitu. Kalo datang bulan, masalah sepele bakal jadi gede.'

Fero ditempatnya mengangguk-angguk setuju akan perkataan Viona. Ia mengetikkan balasan lagi. 'Jadi ini gue mesti gimana, anjirr?'

Viona emosi sendiri di tempatnya. 'Ya pikir sendiri, lah! Malah nanya gue, lo kan biasanya pinter urusan ginian. Ngapa sekarang jadi bingung. Bulan-bulan kemaren kemana aja lo?!' Dia lalu mematikan data ponselnya dengan kesal.

Si Fero napa jadi bego, sih? Bulan-bulan kemaren dia biasa aja, bisa nyikapin Dyezra yang lagi datang bulan. Kenapa baru bingungnya sekarang? Emang bener ya, cowok tuh aneh. Lebih aneh dari gue yang hobinya malu-maluin.

"VIONAAA! Kamu tidak mendengarkan penjelasan Ibu?!"

Viona gelagapan, dia segera meminta maaf. "Maaf Bu," ujarnya sembari menunduk.

Aduhh, sejak kapan coba Bu Retno ada di situ?



Si Fero itu emang kadang suka lupa ingatan tiba-tiba, Vio. Jadi maklumin aja, yaw!

Janlupa tinggalkan vote & comment kamu, ya! Happy reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro