DYEZRA 01 - Angkasa Tak Lagi Bicara
•
•
•
Langkah kaki dengan balutan sepatu kets itu menggema di seluruh lorong rumah sakit. Seolah tak ingin ketinggalan, tetesan air hujan ikut menemani seorang gadis manis dengan ekspresi ingin menangis.
Brak!
"PAPA!"
Dobrakan pintu yang disusul dengan teriakan tanda akan kekhawatiran membuat dokter dan juga suster yang ada di ruangan tersebut berjengit kaget. Tanpa banyak bicara, gadis itu segera menuju ke arah ranjang di mana papanya terbaring lemah dengan beberapa alat rumah sakit yang menempel di tubuhnya.
Dia terisak.
"Papa, maafin aku. Hiks, aku janji bakal ngikutin semua keinginan Papa. Tapi tolong jangan seperti ini," lirihnya.
"Nona, Papa Anda tidak apa-apa. Dia hanya kelelahan dan sepertinya juga banyak pikiran. Setelah ini mungkin dia akan siuman," ujar sang dokter menenangkan.
Gadis itu menoleh dan mengangguk.
"Terima kasih Dok," katanya seraya tersenyum tulus.
Sang dokter hanya tersenyum simpul, kemudian pamit dan mengkode suster agar meninggalkan ruangan. Membiarkan gadis itu bergelut dengan pikirannya sendiri.
Seharusnya aku tidak melawan Papa.
Seharusnya aku jadi anak yang baik tadi.
Harusnya Papa nggak ada di sini sekarang.
Gadis itu menatap ayahnya yang masih belum bangun dari alam bawah sadarnya. Matanya kembali memanas dan berkaca-kaca.
"Assalamua'laikum."
Gadis tersebut langsung menoleh ke asal suara, seketika itu juga tangisnya pecah. "BANGGAAA," serunya yang langsung berdiri dan memeluk sosok pemuda yang tengah mengusap kepalanya dengan sayang.
"Bang Ega, bukan Bangga," ujar pemuda itu mengoreksi dengan menekankan pada kata 'Bangga' seraya mencebik kesal.
"Nyenyenye, biarin."
Huft! Sabar Ga. Lo kuat. Lo hebat. Lo bisa ngadepin bocil satu yang ngeselin luar biasa ini.
"Jadi gimana keadaan Om Bima?"
Keadaan hening seketika tanpa adanya suara. Ega menatap sosok sang adik sepupu yang tengah menatap papanya dengan sendu. Lantas mengusap lembut bahu sepupunya itu dan berkata, "Om Bima itu cuma kecapean dan gue tau ini bukan karena masalah kemaren. Dia nggak bakal sampe nge-drop gitu cuma karena masalah kecil."
"Maksud Abang, kemungkinan ada masalah yang lebih besar menimpa Papa sampe dia drop gini?"
Ega mengangguk tegas. "Nanti gue tanya langsung sama Om Bima kalo dia udah sadar. Mending sekarang lo pulang ke rumah, istirahat."
"Nggak mau! Mau di sini aja nemenin Papa," ujar sang gadis seraya menggeleng kuat.
"Dyezra Wijaya Alengka."
Gadis itu seketika meringis pelan dan mengaduh enggan kala sudah mendengar nama lengkapnya disebut oleh sang abang sepupu tercinta. Dia tahu kalau sudah seperti itu berarti dia harus menurut.
"Fine, tapi nanti kalo Papa udah sadar kabarin aku, ya?"
"Iyee bocil ... udah sono, ah! Kasian tuh Orza lo tinggalin sendirian di rumah."
"Yaelah, dia mah palingan lagi nge-game. Mana peduli dia meskipun Papanya masuk rumah sakit begini. Emang dasar anak durhaka. Dia tuh terlalu santai, Abang!" omelnya bersungut-sungut kala mengingat sosok adiknya yang kelewat santai.
Ega tertawa pelan mendengar omelan adik sepupunya itu. "Udah sono pulang, motor lo udah di parkiran."
Dyezra hanya menjawab dengan ibu jari dan jari telunjuk yang dibulatkan bertanda 'oke' sambil berlalu ke luar ruangan.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Dyezra mengendarai motornya dengan perasaan campur aduk. Ia bingung harus bagaimana menuntaskan masalahnya sendiri, juga masalah papanya yang belum ia ketahui. Mungkin setelah ini ia harus mencari tahu. Ya, harus.
Dyezra mempercepat laju motornya agar segera sampai ke rumah dan menemui adik semata wayangnya. Ia yakin adiknya itu saat ini tengah menunggu kabar soal papa darinya.
Beberapa menit kemudian, motor Dyezra telah sampai di depan gerbang rumahnya. Orza yang mendengar suara motor kakaknya pun segera berlari keluar rumah dan membukakan gerbang. Dyezra langsung membawa motornya masuk ke garasi dan menenteng helmnya masuk ke dalam rumah.
"Gimana keadaan Papa?" tanya Orza sesaat setelah Dyezra merebahkan diri di sofa ruang tamu.
Terdengar helaan napas dari bibir mungil Dyezra. "Papa baik, cuma kecapean dia."
"Ohh, baguslah."
Respon Diorza yang terdengar cuek bebek seketika membuat Dyezra kesal dan ingin menendang adiknya itu, tapi ia sedang berbaik hati kali ini. Hanya tatapan sinis yang ia layangkan, meski orangnya tidak sadar.
"Gue mau ke kamar, capek. Lo jangan tidur kemaleman, yee. Awas lo gue aduin Papa kalo sampe begadang lagi dan besoknya jadi telat ke sekolah," ujar Dyezra sambil menatap tajam adiknya.
Orza menatap malas kakaknya. "Gue bukan anak kecil lagi, Kak. Lagian nggak tiap hari ini 'kan," jawabnya.
"Yeee Bambang, dibilangin juga."
Dyezra langsung beranjak dari sofa dan berjalan dengan ogah-ogahan menuju kamarnya yang terletak di lantai atas. Dyezra membuka pintu kamarnya dan melempar tasnya ke kursi belajarnya. Ia kemudian mengambil handuk yang tersampir di pintu lemari, bersiap untuk mandi. Beberapa menit setelahnya hanya gemericik air yang terdengar di kamar bernuansa pink navy itu.
Setelah merasa bersih, Dyezra menyudahi acara mandinya dan segera berganti baju. Ia mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur yang terletak di atas nakas. Sesaat setelah ia hendak menaiki ranjangnya, ponselnya bergetar. Ia mengernyit, siapa yang mengiriminya pesan jam segini?
Tanpa banyak berpikir, ia langsung mengambil ponselnya yang masih berada di dalam tas dan segera membukanya.
Devano? Mau apa lagi sih dia?
Dyezra pun segera mengetik balasan dengan ekspresi kesal yang sangat kentara pada garis wajahnya. Setelahnya ia langsung melemparkan ponselnya ke kasur, dan mengacak rambutnya frustasi.
"Bodo amat sama si Devano, capek gue," gumamnya seraya menutup mata dan menghela napas. Ia kemudian beranjak naik ke kasurnya dan tidur.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Esok harinya, mentari bersinar terang hingga cahayanya berhasil menembus jendela kamar seorang gadis yang masih bergelung dengan selimutnya. Yups, dia adalah tokoh utama kita di cerita ini.
"KAK! BANGUN, WOY! GUE TINGGAL, NIH!" teriak Diorza dari luar kamar Dyezra.
Teriakan Diorza itu semakin membuat Dyezra menarik rapat selimutnya hingga ke kepala. Ia meraba-raba nakas di sampingnya dengan malas, mengambil HP dan melihat pukul berapa sekarang. Seketika ia terbelalak kaget kala tahu bahwa sekarang sudah hampir pukul 06.30. Sementara bel masuk sekolahnya pukul 06.45.
"ORZA KAMPRET! KENAPA BARU BANGUNIN GUE?!" teriaknya membahana. Dyezra pun lekas berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Delapan menit kemudian, dia sudah turun dengan dasi yang belum terpasang sempurna. Rambut yang dikuncir asal dan tangannya yang sibuk memasukkan bukunya ke dalam tas.
"Ayo buruan berangkat, bentar lagi bel," ujar Dyezra sambil mencomot roti isi coklat yang sudah disediakan asisten rumah tangga di rumah Keluarga Wijaya itu.
Diorza hanya menatap malas kelakuan kakaknya. Siapa coba yang semalam ngomel ceramahin dia jangan begadang biar nggak telat. Padahal sendirinya lebih parah, lebih kebo. Dih.
Tanpa banyak bicara, Diorza langsung meneguk habis jus apelnya dan berjalan ke garasi mengeluarkan motor kesayangannya. Dyezra pun melakukan hal yang sama. Kedua kakak beradik itu berangkat sekolah bersama membelah jalanan kota dengan motor masing-masing.
Sesampainya di sekolah, pintu gerbang sudah ditutup. Mereka terlambat 10 menit. Diorza melirik kesal pada Dyezra yang berpura-pura merapikan tatanan rambutnya. Ia pun menghela napas, kemudian turun dari motornya menuju pos satpam.
"Bukain ya Pak, please. Sekali ini aja. Janji nggak diulangi lagi, deh. Gara-gara Kakak saya tuh lelet!"
"Heh! Kok jadi gue, sih?!" seru Dyezra tak terima.
"Yakan emang lo Kak," sahut Orza dengan kesal.
"Minggir."
Suara penuh penekanan itu menginterupsi perdebatan Dyezra dan Diorza. Keduanya pun menoleh ke asal suara. Seorang cowok dengan style sedikit urakan menatap mereka dingin.
"Lo berdua ngehalangin jalan gue," lanjutnya sembari melengos pergi melewati keduanya.
Dyezra menahan rasa kesalnya kala melihat tingkah cowok yang sepertinya tidak tahu sopan santun itu. Padahal bicara baik-baik kan bisa.
Dih, dasar cowok aneh.
"Udah ya, Pak. Cowok tadi 'kan, boleh masuk. Berarti kita juga. Assalamua'laikum," pamit Dyezra yang langsung menjalankan motornya masuk ke area sekolah.
Orza pun mengikuti kakaknya dan memberi salam pada pak satpam yang hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anak remaja zaman sekarang.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Dyezra menghentak-hentakkan kakinya kesal di sepanjang jalan menuju kelasnya. "Awas aja kalo gue ketemu lagi sama tuh cowok songong," gumamnya menggebu-gebu. Ia pun membuka pintu kelasnya dan untung saja sang guru sedang tidak ada di tempat. "Ke mana Pak Abdu?" tanyanya.
Sontak seluruh mata di kelas XI MIPA-2 menatap pada sang pelaku utama. Mira selaku sekretaris kelas lantas menjawab, "Ke ruang guru, katanya sih ada murid pindahan gitu, Ra."
Dyezra mengangguk mengerti. Ia pun langsung duduk ke tempatnya dan mengeluarkan buku kimia.
"Tumbenan telat, Ra. Dari mana lo?" tanya Fero, teman sebangku Dyezra sekaligus sahabat laki-lakinya.
"Kemaren gue tidur kemaleman karena kepikiran bokap gue yang lagi di RS. Emang nggak parah sih, tapi tetep aja, gue 'kan khawatir."
Fero mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Kadang dia kasihan sama sahabatnya ini. Dia selalu dituntut untuk jadi perfect dalam segala hal oleh papanya sendiri. Padahal kan semua manusia tidak ada yang sempurna, tapi Dyezra tetap menurut sama perintah papanya.
Definisi anak yang berbakti.
Ralat, terlalu berbakti.
"Mohon perhatiannya sebentar anak-anak." Suara Pak Abdu membuyarkan lamunan Fero. Anak-anak sekelas langsung memfokuskan perhatian pada guru kimia tersebut. "Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, ada anak pindahan dari Jakarta yang mulai sekarang akan belajar bersama kalian di kelas ini. Baik-baik sama dia ya, bikin dia nyaman." Pak Abdu sedikit tertawa di akhir kalimat.
Bikin dia nyaman? Emang dia siapa? Dikira apaan kali, ah.
Dyezra memutar bola matanya malas.
Sepatu converse hitam putih terlihat mulai memasuki kelas. Semua mata menanti dengan ekspresi penasaran yang sangat ketara di wajah mereka. Ternyata eh ternyata, murid barunya seorang gadis yang sangat cantik! Seketika kelas XI MIPA-2 riuh dengan siulan anak cowok yang serasa baru kali ini lihat orang cantik.
"Widihhh, bening amat woy! Bakal jadi saingan lo nih Ra," kata Fero meledek Dyezra.
"Bodo amat anjir, gue nggak tertarik sama yang begituan." Dyezra hanya menatap sekilas anak pindahan di depan kelasnya itu. Kemudian kembali sibuk dengan ponselnya.
"Silakan perkenalkan diri kamu," kata Pak Abdu.
"Baik, perkenalkan nama saya Winata Eska Anindita. Panggil saja Nindi. Saya pindahan dari Jakarta. Mohon bantuannya, semoga kita bisa berteman baik," kata anak pindahan itu yang ternyata bernama Nindi seraya tersenyum manis. Sontak hal itu semakin membuat seisi kelas heboh.
"Sudah, jangan ramai. Nindi, kamu bisa duduk di samping Mira. Mira angkat tangan kamu." Nindi mengangguk mengerti dan langsung berjalan ke arah Mira mengikuti instruksi Pak Abdu.
"Baik, semuanya tolong tertib ya. Kita bahas lagi materi kemarin," lanjut Pak Abdu yang langsung fokus menulis catatan di papan dan sibuk menerangkan materinya.
Suasana kelas XI MIPA-2 kembali tertib dan kondusif. Semuanya sibuk mencatat dan mendengarkan materi yang dijelaskan oleh Pak Abdu.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Sementara itu di kelas lain. Seorang siswa dengan baju yang sedikit urakan membuka pintu kelas dan langsung nyelonong masuk ke arah bangkunya.
"Widihh, baru dateng nih Bos. Dari mana aja lo, Yon? Untung gurunya belum dateng."
"Lahh? Tumben si Emak belum dateng. Bukannya dia nggak pernah telat?" tanya siswa tersebut─yang tadi dipanggil 'Yon'─pada temannya. Yang ditanya hanya mengendikkan bahu tanda tidak tahu.
"Ada kepentingan kali," sahut siswa di sampingnya. Keduanya pun cuma mengangguk-angguk tanpa berniat bertanya lebih jauh.
Tidak lama kemudian, yang ditunggu-tunggu sudah datang. Ternyata beliau terlambat karena harus mengurus kepindahan siswi dari Jakarta itu.
"Psstt, Yon! Katanya tuh anak pindahan cakep bener, euy! Gebet, lah. Lo kan ganteng. Cocok pasti tuh sama lo. Lagian siapa sih yang bisa nolak pesona seorang Deon Putra Alaska."
Yang dimaksud seketika menoleh dan menatap tajam temannya itu. "Gue nggak peduli dan gue nggak tertarik. Ambil aja sono, bodo amat."
"Yee, gue kan sebagai teman yang baik pengen lo dapet pacar. Biar nggak jomblo mulu. Heran gue, tampang cakep tapi jomblo."
"Berisik!" sarkas Deon yang sepertinya jengkel dengan ocehan temannya satu itu.
Untung temen.
"Deon! Fikri! Apa yang kalian bicarakan, hah?!"
Keduanya seketika terkejut, dan meminta maaf. Deon melirik Fikri dengan tatapan elangnya. Sementara yang ditatap cuma cengengesan.
Definisi temen laknat ya begini.
•
•
•
Segini dulu ya.
Ditunggu voment nya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro