Bab 24
Setelah menghabiskan makanan yang baru saja mereka peroleh gratis dari Bibi sebelumnya, mereka pun melanjutkan jalan-jalan di desa Senyuman. Tak banyak hal yang unik, tapi suasana desa itu benar-benar membuat siapa saja nyaman untuk bersantai. Ridho dan yang lainnya, meski hanya melihat rumah yang hampir mirip di setiap sudut jalan, mereka tak akan mudah bosan.
Hingga akhirnya mereka mendapati satu bangunan yang sangat berbeda. Terbuat dari batu bata kokoh, berbentuk persegi, dengan atap runcing di atasnya.
"Weh, tumben bangunannya beda," komentar Ridho ke arah bangunan yang cukup tua dan besar itu.
"Lah iya yak, lebih kek Ruko nggak sih?"
"Ntah, mau masuk nggak?" tawar Roy yang terlihat santai meski sedang berada di depan halaman bangunan yang tampak mengerikan itu.
Semuanya tampak berpikir, hingga akhirnya sepakat untuk masuk ke dalam. Toh, dilihat sekitar tak begitu banyak aktivitas di desa ini.
Roy melangkah lebih dulu, diiringi yang lainnya dan sudah tiba di depan pintu bangunan itu. Pintunya penuh dengan debu dan sarang laba-laba yang sudah rusak. Banyak juga kotoran cicak di lantai, bau di tempat itupun benar-benar sangat tidak bersahabat.
"Hue! Bau banget, woy."
"Iya, bener. Udah lama kali yak, ditinggalkan."
"Jadi gimana? Lanjut nggak nih?" tanya Roy lagi, sepertinya keluhan Ridho dan Afsari barusan tak ingin melanjutkan.
"Ya udahlah, lanjut, udah kecebur juga."
Setelah respon Ridho, Roy pun segera membuka pintunya dan suara besi bergesekan pun menyambut mereka.
Setelah pintu terbuka, terdapat sebuah lorong besar yang begitu gelap, debu berterbangan, hingga suasana yang tiba-tiba mencekam.
"Roy, lu yang pimpin ya." Ridho memeluk lengan Afsari, yang bersangkutan pun berusaha melepaskan tangan Ridho dari lengannya, tetapi sangat kuat.
"Lepasin, Rid. Kek anak kecil aja lo."
"Sekali ini aja, Af, please ya, sekali ini aja."
Afsari hanya menghela napas panjang. Sementara Roy mulai menginjakkan kakinya ke dalam bangunan.
"Hey!"
Sebuah suara asing menghentikan langkahnya. Sontak mereka menoleh ke sumber suara. Ternyata itu adalah suara nenek bungkuk yang sudah keriput. Rambutnya putih utuh dan gigi depannya pun sudah hilang separuh.
"Ne—maksud saya, Embah!" Nurul mendatangi Nenek itu cepat, meski dia hampir saja salah sebut tadi. Entah kenapa dia sangat sulit membiasakan diri untuk peraturan itu.
"Kenapa kalian ... kemari, Cu?"
"Anu, Embah, kami tadi hanya melihat-lihat, jika tidak diperbolehkan, kami akan pergi."
Nenek itu menggeleng pelan, "Bukan tidak boleh, hanya saja harus ada yang mengawal kalian. Mari, mari Embah ajak kalian berkeliling."
Saat Nurul hendak membantunya berjalan, Nenek itu malah menepis lembut tangannya. Ia menatapnya sebentar, kemudian melanjutkan jalannya yang sudah sempoyongan.
Ia mengambil Obor padam di dinding bangunan dan menggeseknya cepat ke dinding dan secara ajaib, obor itupun menyalah.
"Mari."
Semuanya terheran dengan aktraksi barusan, tetapi dengan cepat mereka menyusul Nenek itu yang sudah cukup dalam masuk ruangan. Mereka mengekorinya dan sepanjang lorong hanya kegelapan ruangan lah yang mereka dapati.
"Anu, Embah, bolehkah saya bertanya?" kata Nurul dengan bahasa formal, ia takut orang desa ini tak mengerti bahasa sehari-hari mereka.
"Monggo, Cu."
"Ini bangunan kosong ya, Embah?"
"Tak ada bangunan kosong, Cu, semuanya berpenghuni. Bangunan ini dihuni oleh makhluk yang telah dikutuk," jelas Nenek itu. Nadanya tidak terbata-bata dan sangat lancar.
Mereka semuanya saling menatap, tak mengerti apa yang dimaksud Nenek ini barusan. Apa itu makhluk yang telah dikutuk? Apa yang beliau maksud adalah Santet dan semacamnya?
"Maaf, Embah, bisa jelaskan lebih rinci lagi? Aku dan teman-teman tidak mengerti."
Nenek itu tertawa alah nenek lampir, "Itu karena kalian pengunjung baru, Cu, seharusnya kalian tidak boleh berada di dalam sini."
Semuanya saling menatap, semakin tak mengerti dengan apa yang Nenek-nenek itu katakan.
"Lalu, Embah, kenapa kami diperbolehkan masuk?"
"Salah seorang dari kalian memiliki penjaga yang bisa menjamin keselamatan bagi banyak orang. Seorang penjaga yang sudah sejak berabad-abad mengawasi generasinya agar tidak ke tempat bahaya. Jika pun dia memiliki untuk ke tempat bahaya, tentu saja penjaga itu akan bertindak."
Itu pasti gue, Batin Roy.
Kemudian tanpa disadari, perlahan mereka mulai melihat jeruji besi yang menancap di sekitar ujung dinding. Di dalam jeruji besi itu, terdapat manusia yang sedang tertidur di lantai. Rambutnya bahkan menutupi punggung seutuhnya.
"Dia ... siapa, Embah?" tanya Nurul lagi, ia tak berani menunjuk ke arah penjara itu. Penjaranya kotor, debu ada dimana-mana, tempatnya gelap bahkan tidak layak huni.
"Orang yang telah dikutuk. Mereka bahkan tak bisa mati," jawab Nenek itu, "kami menganggapnya kutukan, dia juga menyerang siapa saja yang mendekatinya. Sebentar lagi sudah waktunya ia untuk bangun. Kalian semua...."
Nenek itu berbalik arah, melihat mereka. "Cabut satu rambut kalian dan kumpulkan menjadi satu."
"Untuk....?"
Seketika Roy menyenggol lengan Ridho dan memberikannya sebuah kode, ia menggeleng. "Jangan bertanya."
"Cerdas!" Nenek itu memuji Roy. "Siapapun yang bertanya alasan, akan segera di korbankan ke makhluk itu. Bagaimana kamu bisa tau, Cu?"
Roy mencabut rambutnya terlebih dahulu sebelum menjawab. "Karena teman kami selalu memberikan jawaban atas pertanyaan kami tentang hal ghaib. Maka kami harus melakukan kebalikan dari yang seharusnya."
"Seperti sebelumnya, seorang Pedagang memberikan kami makanan percuma, yang harusnya berbayar. Diikuti dengan peraturan aneh dan konyol, aku benar-benar tak bisa berbuat sembarang." Lanjut Roy.
Bibir Nenek itu terangkat sedikit. "Pantas saja penjaga itu terus mengawasimu, Cu, dia telah berhasil menyelamatkan generasinya."
Tak lama setelahnya, makhluk yang terkena kutukan itu bangun, ia duduk di lantai dan posisinya membelakangi mereka semua.
"Lempar rambut kalian," perintah Nenek tadi. Semua orang mengikuti dan melempar sehelai rambut yang kemudian jatuh ke lantai berdebu.
Aneh tapi nyata, tiba-tiba angin kuat berhembus dari belakang, membuat rambut yang berjatuhan tadi masuk ke dalam penjara dan berkumpul jadi satu ikatan.
"Rambutnya...."
Manusia yang kena kutuk itu menoleh dan mengambil ikatan rambut tadi dan memakannya tanpa ragu. Ia perlahan meneguknya kemudian kembali tertidur, seperti semula.
"Sudah selesai. Mari kita keluar, Cu." Nenek itu berjalan memutar. Tanpa banyak pikir, semuanya hanya membuntuti Nenek itu.
Kemudian saat sudah hampir keluar bangunan, ada sebuah cahaya terang-menerang, sontak semuanya menutupi mata mereka dengan punggung tangan.
Perlahan cahaya itu mulai meredup, begitu pula dengan Nenek-nenek di depan mereka. Sudah hilang lenyap, bahkan tak menyisakan apapun.
Semua orang kebingungan dengan apa yang barusan terjadi. Cahaya apa itu tadi? Siapa Nenek tadi? Kemana Nenek itu pergi?
Tiba-tiba pintu bangunan menutup sendiri. Semuanya terkaget dengan suara keras dari menutupnya pintu tersebut. Semuanya menjadi merinding dengan kejadian barusan. Mereka bergegas pergi dan kembali ke rumah Reyna.
***
Hallo, horrorers, mungkin sebagian ada yang Bingung, tapi di next chapter bakal ada penjelasan lebih lanjut dari Reyna.
So, ikuti terus ya perjalanan mereka.
Thanks for Support me❤️❤️🥰
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro