Tabib Jenazah
Tabib Jenazah
Kakek kerdil pemarah. Dia seorang pengamat. Tidak ada luka yang luput dari pandangannya.
Tebalkan telinga ketika bertemu. Laki-laki tua menyembunyikan kerapuhan hati, menutup kebaikan hati dengan mulut pedasnya.
Sama seperti kejadian sebelum masuk pondok, laba-laba itu seketika mati ketika menyentuh Aro. Tubuh makhluk itu mengempis sehingga Sikhe bisa menariknya masuk ke dalam pondok.
"Tidak sekecil biasanya. Satu, dua, tiga, ... empatbelas. Benar ini yang keempatbelas. Tubuh bersih tanpa goresan. Ada bekas luka di .... Hmmm ... satu, dua, empat kaki."
Tabib Jenazah menarik napas panjang. "Dia pasti berusaha keras untuk kabur," lanjutnya.
"Ke-ke-kenapa dia mati begitu menyentuhku?" Aro mengacungkan salah satu kaki laba-laba. Ia duduk di lantai pondok. Tabib Jenazah sudah mewanti-wanti agar Aro tidak melepaskan bagian tubuh laba-laba itu agar makhluk itu tetap mati.
"Karena kau sumber hidupnya," jawab Tabib Jenazah singkat.
Aro memandang Sikhe meminta bantuan. Ia tidak mengerti. Tidak ada keterangan tentang laba-laba ini dalam jurnal Nenek.
"Laba-laba itu mati untuk hidup." Sikhe duduk di samping Aro, mulai bercerita.
"Benar tidak tahu? Sepertinya nenekmu lupa atau sengaja tidak menceritakan hal penting dari keseluruhan kutukan Awuwukha. Hanya beberapa laba-laba andaria yang terpilih untuk bertelur. Telurnya memberi kekuatan kepada Pohon Liagra, pohon kehidupan. Pohon Liagra adalah sumber air utama di Tano Niha."
Perut Aro mulas. Aro hanya menangkap inti cerita panjang Nenek. Pokoknya ada pemenggal kepala yang memburu orang-orang di desa leluhur mereka, lalu salah satu keturunan Zega, berhasil menyegel dunia Awuwukha. Sialnya, pohon kehidupan diambil Awuwukha agar sumber air mengalami kekeringan. Tidak hanya itu, saking murkanya, Awuwukha mengutuk agar hanya keturunan Zega yang bisa bertanggung jawab. Awuwukha akan memburu mereka ke dunia mana pun mereka lari.
"Kutukan itu harus dipatahkan agar papa dan nenek sembuh. Aku khawatir melihat Nenek yang meracau semalamam. Om Periaman bilang kalau Nenek belum pernah sakit seperti itu. Pasti karena kutukan si Awu-awu," ujar Aro lirih.
Bukannya menghibur, Sikhe malah melipat tangan dan cemberut mendengar cerita Aro. "Kami yang merasakan dampak dari apa yang dilakukan keluarga nenekmu! Kamilah yang merasakan kesulitan mencari air. Keluargamu memang pengecut! Hanya bisa melarikan diri sebelum menyelesaikan masalah!" Nada suara Sikhe meninggi. Alisnya bertaut. Aro sampai tersentak.
"A-apa maksudmu? Harusnya kalian sendiri bisa melawan kutukan si awu-awu. Kenapa harus menunggu keluargaku?"
Sikhe menggeram. "Karena leluhurmu menelan satu-satunya telur keramat Pohon Liagra lalu melarikan diri!" sentak Sikhe dengan ketus.
Aro menelan ludah. "A-apa yang terjadi sebenarnya?"
"Sikhe, coba balikkan laba-laba ini!"
Kedua tangan Tabib Jenazah sudah diselubungi sarung tangan. Kakinya menendang Sikhe menghentikan perdebatan mereka.
Masih menggerutu, Sikhe dengan kasar membalikkan makhluk itu. Aro yang masih harus memegang si laba-laba, sampai terjungkir.
Tabib Jenazah mendekatkan kepala ke bagian bawah laba-laba. Ada beberapa titik di perutnya yang bersinar lemah. "Whoaaa ... dia sedang mengandung. Satu, dua, mungkin ada 5 telur, coba kita lihat."
Aro memanjangkan leher, berusaha melihat. Sinar yang keluar dari perut laba-laba membuat ia lupa dengan kaki yang harus dipegangnya.
Laba-laba tersentak, titik-titik sinar di perutnya menghilang.
"Aro!" sentak Tabib Jenazah.
Aro buru-buru menggenggam lagi kaki serangga itu sambil menyunggingkan cengiran tak bersalah.
Dengan perlahan, Tabib Jenazah mengurut perut laba-laba. Titik-titik sinar muncul terbang memelesat berputar-putar di udara. Aro menahan napas. Sikhe memandang sinar-sinar itu dengan takjub.
"Bukan lima, ternyata hanya satu. Telur yang keempatbelas. Cantik sekali." Tabib Jenazah menengadahkan telapak tangan, memberikan tempat agar titik-titik cahaya itu berkumpul menjadi satu.
"Laba-laba ini seorang ibu. Dia melarikan diri dari dunia Awuwukha untuk menyelamatkan telurnya. Berani sekali. Aro, lepaskan tanganmu, kemarilah," perintah Tabib Jenazah.
Aro menggeleng ragu. Ia malah mundur.
Sikhe dengan gemas menariknya. "Kali ini, tidak boleh gagal. Jangan meneruskan rantai kepengecutan keluargamu."
Titik-titik sinar dari perut laba-laba bergabung membentuk bulatan oval di telapak tangan Tabib Jenazah. Sinarnya berpendar menyilaukan mata. Aro gemetar menatapnya. Kakinya bergerak-gerak gelisah. Ia menggeliat berusaha melepaskan tangan Sikhe yang mencengkeram leher kaosnya.
Tabib Jenazah mendekati Aro. "Telur laba-laba Andaria. Ini adalah energi yang menghidupkan sumber air utama di Pohon Liagra. Selama ini, telur-telur laba-laba Andaria belum pernah selamat sampai ke Pohon Liagra. Aro, ini saatnya memperbaiki kesalahan leluhurmu. Dunia kami, dunia yang sudah berjalan menembus empatbelas waktu, bergantung padamu!"
Telur itu berpindah perlahan mendekati Aro. Sikhe mencengkeram lengannya, memberi isyarat agar Aro menerima telur itu.
Dengan ragu, Aro membuka telapak tangan, begitu menyentuh kulitnya, telur itu langsung jatuh, kehilangan sinarnya. Di telapak tangan Aro, telurnya tergeletak tak bercahaya.
"Di-i-a ... i-ini mati ...," desis Aro. Wajahnya pucat menahan panik.
"Masukkan ke sini." Tabib Jenazah menyodorkan tas Aro.
"Dia tidak mati. Sudah kubilang kalau kau adalah energinya. Nah, sekarang tugasmu mengembalikan ke Pohon Liagra. Ingat, jangan sampai gagal!"
"A-aku... bagaimana ...." Aro memandang Sikhe dan Tabib Jenazah berganti-ganti.
Sikhe berkacak pinggang. "Memangnya apa tujuanmu ke sini? Mematahkan kutukan? Kamu harus bertemu Awuwukha untuk melakukannya. Nah, itu pintu keluar! Pergi, sana!"
"Kamu juga harus ikut dengannya." Tabib Jenazah mendorong punggung Sikhe dan Aro bersamaan.
"Sampai mati aku tidak mau!" sahut Sikhe ketus memancangkan kaki.
Tabib Jenazah menjambak rambutnya sendiri. "Pergi keluar kalian semua! Sikhe, perselisihan keluargamu dan keluarga bocah ini bukan urusanku! Dan kau anak muda ...," suara Tabib Jenazah yang semula meninggi menjadi lebih lembut ketika menatap Aro.
"Tidak ada yang mampu mencegahmu bercahaya, tidak kutukan itu, tidak juga seberapa besar nyalimu. Apa yang kau takutkan tidak akan pernah terjadi jika kau tidak mengizinkannya. Pergilah!"
Aro didorong keluar lebih dahulu. Sikhe yang masih bertahan, menyusul dengan menggerutu di belakangnya.
Langit langsung menjadi cerah. Tidak ada sisa-sisa hujan.
"Nah, kau lihat sendiri, kan. Betapa rakusnya tanah di sini menyerap air. Sebentar saja sudah kering lagi. Kita berpisah di sini. Kau! Pergi selesaikan tugasmu."
Sikhe berbalik, pergi dengan langkah mengentak-entak.
Melihat Sikhe yang menjauh, Aro bergegas mengejar.
"Tunggu! Tunggu!"
Sikhe tidak merespon, mempercepat langkah mengabaikan Aro yang memintanya berhenti.
Mereka kembali menuju tanah lapang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro