Sang Penari
Sang Penari
Aro bersandar di balik salah satu guci raksasa. Telur sudah aman dalam tas. Dengan perlahan diputarnya kepala mengamati aula itu. Patung kayu seperti totem berjajar selang-seling dengan guci raksasa. Lantai yang terbuat dari batu pipih dingin membuat ia makin merinding.
Aro mengintip, mencari-cari di mana kerangka itu berada.
Si Kerangka berjalan mondar-mandir menyusuri deretan guci. Sesekali ia melompat-lompat. Aro beralih mencari jalan keluar. Sepanjang yang bisa dilihat, hanya satu pintu untuk melarikan diri, pintu masuk tadi. Sekarang, Aro ada di ujung ruangan.
Aro memejam, menempelkan telur ke dadanya. Telur itu berdenyut pelan, membuatnya sedikit tenang.
Penampilan si Kerangka tidak seperti prajurit yang berpatroli tadi. Melihat jubah yang dikenakannya, Aro berpikir kerangka itu pastilah berkedudukan tinggi. Mungkin kepala desa? Atau lurah? Atau bangsawan kaya? Namun Aro tidak melihat satu pun penduduk. Atau memang mereka tidak terlihat? Ini, kan, dunia Awuwukha, tempat para arwah disegel.
Aro bergidik karena pemikirannya sendiri.
Ia berniat membuka jurnal Nenek, mungkin ada petunjuk tentang si Kerangka. Namun, geraman dan kelatap langkah menghentikannya. Aro mengintip lagi, si Kerangka berjalan menuju ke guci tempat ia sembunyi. Ia harus cepat bergerak.
Dengan mengendap-endap, Aro beringsut ke guci depannya. Namun, si Kerangka memelesat menuju pintu, mengadang di sana. Seolah tahu bukan hanya ia yang ada dalam aula.
Aro mengigigit bibir. Bagaimana caranya menyingkirkan kerangka itu?
Ayo berpikir... berpikir....
Sejak Aro melihatnya di pinggir jalan tadi. Kerangka itu seperti mencari sesuatu. Apa yang dicari kerangka itu?
Mungkin dia kehilangan suatu benda. Apa itu tas? Senjata?
Aro geleng-geleng sendiri karena pemikirannya.
Lalu senyumnya mengembang.
Kepala! Tentu saja kepalanya!
Aro tidak yakin ada kepala di aula sini, tetapi tidak ada salahnya dicoba. Perlahan, ia melongok guci tempat ia bersembunyi. Kosong.
Aro mengembuskan napas, perlahan ia beranjak ke guci di depannya. Diketuknya perlahan.
Suara tung-tung membuat kerangka itu terlonjak. Jantung Aro berdentam makin kencang. Ia buru-buru beranjak ke guci berikutnya.
Tung... tung...
Tung... tung...
Kerangka itu sepertinya sadar bukan hanya dirinya yang ada dalam aula. Sambil menggeram, ia mulai menyusuri satu demi satu guci.
Aro mulai kehilangan harapan. Keringat dingin mulai membasahi keningnya .Jangan-jangan tidak ada kepala dalam sini.
Dalam sedetik Aro memutuskan berhenti mencari. Ia berancang-ancang akan lari begitu si Kerangka mendekat.
Jantungnya berdetak amat kencang ketika ia menunggu si Kerangka datang. Begitu si Kerangka terlihat, Aro langsung memelesat. Ia berlari sekuat tenaga mengabaikan si Kerangka yang mengaum di belakangnya.
Aula tampak seperti memanjang dua kali lipat. Meski Aro sudah berlari sekuat tenaga, pintu keluar seperti makin jauh. Aro megap-megap, paru-parunya seperti akan meledak. Kakinya lemas. Aro menunduk, diletakkannya tas di lantai. Mulutnya megap-megap berusaha menelan udara. Aro tidak punya banyak waktu, si Kerangka berderap di belakangnya. Tepat pada saat itu tangannya ditarik.
"Lewat sini, cepat!"
Sikhe datang, menyambar tangannya dan membuat Aro berpacu melintasi aula. Mereka berlari bersilangan dan berakhir di pintu lain yang tidak pernah dilihat Aro.
Mereka masih berlari menjauhi aula, sampai akhirnya kaki Aro tak tahan lagi. Anak laki-laki itu terkapar di tanah.
Aroma tanah basah dan dingin membuatnya tersadar.
Telur Laba-laba Andaria masih di dalam aula.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro