Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ono Mbela

Ono Mbela termasuk golongan mahkluk tak kasatmata. Berambut dan berkulit putih hampir transparan. Matanya biru jernih membius. Ono Mbela hidup di atas pohon.

Dua keahlian utama: mempunyai mantra penenang dan mengendalikan akar pohon.

Di beberapa distrik, ada Ono Mbela yang bisa berubah menjadi binatang hutan.

Makhluk itu sekarang berdiri di hadapan Aro. Rambutnya yang digelung ketika pertama kali Aro bertemu dengannya, terurai sampai punggung. Harum ubi manis tiap kali rambut itu diterbangkan angin, mengendurkan bahu Aro yang tegang. Aro sadar, mantra penenang sudah disemburkan.

"Aku... emm, maaf. Ini buku milik Nenek. Aku tidak tahu harus menuju ke mana. Papa dan nenekku sakit." Aro berkata hati-hati. Sebisa mungkin mengingat tujuannya masuk ke toko roti ini.

Pemilik toko tersenyum. Mata biru perempuan itu berkelip jenaka. Ia mengulurkan tangan. "Aku Ewona. Kamu bisa memanggilku Nenek Ewona."

Aro jadi sedikit merasa aman. Catatan di jurnal Nenek menyebutkan bahwa Ono Mbela berwujud cantik dengan tubuh langsing dan gerakannya anggun. Meski disebutkan cantik, Aro sudah membayangkan sosok cantik berambut putih itu seperti kunti beraroma wangi melati. Syukurlah, Nenek Ewona terlihat seperti koki yang seluruh tubuhnya menguarkan bau roti.

Namun, alarm di kepalanya berbunyi. Awas, Ono Mbela bisa merampas ingatanmu.

Aro mengepalkan tangan, mengulang-ulang kalimat patahkan kutukan Awuwukha ... patahkan kutukan Awuwukha ... agar ia tetap fokus pada tujuannya.

"Hmm ... Nenekmu sakit?" tanya Nenek Ewona dengan nada prihatin.

Aro mengangguk ragu-ragu.

"Karena buku ini ada di tanganmu, berarti Faeri sudah menceritakan semuanya? Termasuk tentang dia yang mengirim para Binu dan menyegel dunia mengerikan mereka? Juga tentang buah pohon Liagra?"

Aro mulai gemetar. Rentetan pertanyaan seperti menembaki dadanya. Wanita itu tahu nama kecil neneknya. Nenek memang sudah menceritakan itu, tetapi Aro tidak ingat detailnya. Baru kali ini ia mendengar dongeng tentang leluhurnya di tanah Nias. Aro kecil tumbuh dikelilingi dengan tradisi dan dongeng dari Jawa, keluarga mamanya. Cerita Nenek terasa magis. Aro merasa ujung-ujung jarinya berkedut, darahnya mengalir deras, nadinya berdenyut penuh gairah ketika Nenek bercerita. Sensasi yang belum pernah dirasakannya.

Nenek Ewona mendekatinya. Aro makin mundur ketika nenek itu mencecarnya. Sekarang punggungnya sudah menempel di dinding.

Mendadak, ia merasa nyaman. Nenek Ewona meraih tangan Aro dan mengajaknya duduk.

Udara hangat seketika menyelubungi udara. Di mata Aro, Nenek Ewona menjelma menjadi Ibu Yos, guru yang selalu baik padanya.

"Namamu Aro? Hmmm ... pemberani yang ditakdirkan menjadi pahlawan. Anakku, Aro, jangan takut. Untuk melepaskan kutukan itu, yang diperlukan hanyalah nyali besar."

Aro diam. Sekarang ia tidak gemetar. Tatapan sedih Nenek yang terbaring di kamar kembali mengobarkan semangatnya. Tidak ada waktu untuk merasa takut. Setelah mendengar cerita Nenek, Aro tak punya pilihan.

"Nah, aku hanya perlu membukakan pintu."

Nenek Ewona beranjak, senyum masih menempel di wajah bulatnya. Pelan-pelan, etalase di dinding memudar, digantikan deretan pintu dengan berbagai nomor. Pintu-pintu itu hanya selebar bahu Aro. Berjajar dari atas menyentuh langit-langit sampai ke lantai.

Aro terperangah. Ketika Nenek Ewona bertanya nomor registrasinya, ia tidak sanggup menjawab.

"Nomormu? Faeri tidak memberi tahu?"

Aro masih bergeming. Benaknya terasa kosong. Tangan hangat Nenek Ewona yang menyentuh pipi membuatnya tersadar.

"Aa-aaku Sowa'a Aro. Tinggal di tepi sungai Oyo. Nomor er ... nomor sara ... err ...." Aro garuk-garuk kepala. Karena gugup, ia jadi lupa apa nama angka-angka itu dalam bahasa Nias. "Eng .... 1 ... 35 ... 12," lanjutnya sambil tergagap.

"Sara, telu, lima, sara, dua ...," gumam Nenek Ewona.

Perlahan, seluruh pintu di dinding hilang, menyisakan satu pintu berwarna kecokelatan. Ada bercak hijau dan hitam menyebar.

Bulu tengkuk Aro berdiri. Tadinya ia sudah siap, nekat demi kesembuhan Papa dan Nenek. Namun, melihat pintu di depannya, kaki Aro lunglai.

"A-a-ku masuk ke sana?"

Nenek Ewona merangkulnya. "Tenang saja, kamu anak pemberani. Apa yang ada di dalam sana tidak akan membuatmu terluka." Suara Nenek Ewona lembut menguatkan. Namun, ketakutan Aro makin keras menekan rasa optimisnya.

"Tapi ... tapi ... aku tidak tahu harus melakukan apa nanti."

"Ah,ya. Tunggu sebentar. Ada satu yang ditinggalkan Faeri untukmu."

Nenek Ewona menjangkau lemari tak kasatmata dan mengeluarkan tas selempang bermotif anyaman emas-merah.

"Jurnalmu, ada di dalam sini."

Nenek Ewona meninju udara lalu berseru, "Sowa'a Aro! pintu ini hanya terbuka sekali, dan tidak akan terbuka lagi sampai takdirmu digenapi. Pergilah!"

Bersamaan dengan itu, pintu terbuka, memperlihatkan tanah lapang luas di dalamnya.

Sekuat tenaga Aro memancangkan kaki, menahan dorongan halus di punggungnya. Ia tidak siap!

Jantung Aro berdetak hebat, ketakutan menjalari tubuh sampai ke ujung jari-jarinya. Sekarang, ia menyesal sudah percaya dengan semua cerita Nenek. Aro gentar. Ia akan lari ketakutan begitu bertemu dengan makhluk-makhluk di jurnal Nenek. Apalagi jika harus menghadapi Awuwukha, pemenggal kepala yang mengutuk papanya.

Ketika pintu di depannya terbuka dan angin mendorongnya, Aro sadar, ia tidak bisa lagi mundur.

Begitu melintasi pintu, tanah yang diinjaknya bergetar. Aro berbalik, tanah di bawah pohon bergerak, membentuk ceruk dalam dan menelan pohon itu.

Aro memandang jeri bentangan tanah lapang di depannya. Tak ada jalan lain. Tangannya meraba tas yang diberikan Nenek Ewona. Selanjutnya apa?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro