Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Laba-laba Andaria

Sikhe menyeret Aro ke depan pintu pondok. Laba-laba itu mulai bergerak. Petir masih menyambar-nyambar. Aro hanya bisa menganga sementara Sikhe berteriak-teriak sambil mengetuk pintu pondok. Serangkaian mata di tubuh makhluk itu seolah menyihir Aro. Membekukan kaki dan mengambil kesadarannya

Tepat, ketika salah satu bagian laba-laba itu menyentuh Aro, semua mata makhluk itu mendadak tertutup. Kaki-kakinya lemas. Laba-laba itu seperti robot mainan yang mendadak mati karena kehabisan baterai.

Pintu pondok terbuka, laki-laki kerdil dengan janggut menyentuh tanah berjalan tersandung-sandung. Wajahnya dipenuhi dengan lelehan air mata.

"Siapa dia? Dari mana asalnya? Kenapa kau terus-terusan membawa mayat ke rumahku? Bagaimana dia bisa melihat laba-laba Andaria dan mematikannya?"

"Oh, Tua, bisakah kau diam. Biarkan kami masuk dulu!" sentak Sikhe memegangi Aro yang masih syok.

Tabib Jenazah memandang Sikhe, dengan gerakan yang menyebalkan ia meniup-niup kumisnya yang menjuntai. Sambil mengusap air mata di pipi, ia minggir, memberikan jalan.

"Sekarang jelaskan," tuntut Tabib Jenazah ketika pintu ditutup.

"Dia Aro. Di depan itu yang keempatbelas. Selanjutnya, aku juga tidak mengerti." Sikhe mengarahkan pandangannya kepada Aro.

Aro memandang mereka berdua dengan bingung. Tak tahu harus menjelaskan dari mana, ia merogoh kantong dan menyerahkan jurnal Nenek.

Tabib Jenazah mengamati jurnal itu sebelum membaca isinya. Ketika membaca, raut wajahnya menjadi masam.

"Sejak kapan aku disebut sebagai kakek pemarah? Nenekmu yang menulis ini? Siapa namanya? Siapa yang membukakan pintu? Kenapa semua orang dari dalam pohon itu selalu nyasar ke tempatku!"

Aro tersentak. Ia mundur begitu Tabib Jenazah memukulkan jurnal nenek ke dadanya.

"Tenang Tua. Heran, kenapa, sih, selalu marah-marah tiap kali aku berkunjung ke sini." Sikhe menyelip di antara Aro dan Tabib Jenazah, lalu kepalanya beralih melihat Aro. "Nah, Aro. Sebelum laba-laba itu hidup lagi, coba jawab semua yang ditanyakan Tabib Jenazah."

Aro menelan ludah. Dengan terbata-bata diceritakannya kalau jurnal itu milik neneknya. Karena Nenek Ewona menyebut nama kecil neneknya, Aro pun memberi tahu Tabib Jenazah nama neneknya adalah Faeri. Aro datang karena ingin mematahkan kutukan Awuwukha. Awuwukha yang membuat papa dan neneknya menjadi sakit.

Sikhe mendengarkan cerita Aro sambil mengawasi laba-laba Andaria dari jendela, sedangkan Tabib Jenazah mendengar cerita Aro sambil mengernyit. Sesekali ia menggerutu lalu memekik mengucapkan sesuatu yang Aro yakin itu adalah makian karena Sikhe langsung memukul pundak Tabib Jenazah begitu kakek itu mengucapkannya.

"Lama sekali kau datang! Empatbelas dunia. Lama sekali! Faeri, nenekmu itu selalu menyusahkan! Lihat! Kekacauan yang ditinggalkannya! Mematahkan kutukan Awuwukha?! Hah! Demi penguasa megalit. Sampai petir menyambar pun aku tidak percaya!"

Seruan Tabib Jenazah dijawab dengan kilatan petir dan gemuruh keras seperti suara ban pecah.

Aro sampai gemetar. Sikhe buru-buru menutup mulut Tabib Jenazah agar kakek itu menghentikan racauannya. Tabib Jenazah menggeliat-geliat, berusaha melepaskan diri dari tangan Sikhe.

"Sudah, cukup! Sekarang, periksalah laba-laba itu. Air tidak mengalir lagi. Semoga saja hujan yang tidak seberapa ini bisa mengisi sumur-sumur di desa selama kita mencari tahu apa yang terjadi dengan Pohon Liagra."

Tabib Jenazah berhenti meronta. Sekarang kakek itu menarik napas panjang.

"Awuwukha berulah lagi? Apakah laba-laba itu yang menyebabkannya?"

Sikhe mengangkat bahu. "Tadi kutemukan makhluk itu menyumbat jalan air. Tapi meski sudah kutarik, aliran air tetap tak berjalan."

"Harusnya kau berikan saja dia kepada Awuwukha!" seru Tabib Jenazah.

"Aku tak mau kembali ke sana." Sikhe menyilangkan tangan.

"Kau harus membawanya kembali ke sana! Dia sepupumu! Nenekmu dan neneknya bersaudara!" desak Tabib Jenazah.

"Jangan bawa-bawa nenekku!" tukas Sikhe sengit.

Aro terkejut. Sikhe sepupunya? Nenek bersaudara dengan neneknya? Aro mengamati Sikhe.

Kulit Sikhe hitam legam, rambutnya keriting. Sikhe jangkung, lebih dari satu kepala dari tinggi Aro. Semua ciri-ciri fisik anak perempuan itu berkebalikan dengan Aro.

Bersaudara dari mana? Mungkin neneknya dan nenek Sikhe saudara angkat, simpul Aro dalam hati.

Suara pukulan keras pada pintu menghentikan perdebatan Sikhe dan Tabib Jenazah. Aro langsung melompat mundur, merunduk sambil memegang kepala.

"Laba-laba itu, hidup lagi," desis Sikhe.

Ketukan di pintu makin keras. Tungkai-tungkai Aro seperti meleleh. Tak diduga, Tabib Jenazah malah membuka pintu.

Tangan-tangan panjang dan berbulu langsung berebut menjangkau ke dalam rumah. Tubuh besar makhluk itu menabrak ambang pintu membuat pondok bergetar.

"Berikan dia!" Telunjuk Tabib Jenazah mengarah kepada Aro.

Sikhe memandang Aro dengan ragu.

"Cepat! Laba-laba Andaria tidak berbahaya. Makhluk itu bahkan tak bergigi!" desak Tabib Jenazah.

Sambil memejam Sikhe menyeret Aro dan mendorongnya ke pintu.

"Jangaaaaan!"

Aro merasa ia sudah berteriak, nyatanya yang keluar dari mulut Aro hanya erangan.

Aro gemetar di depan makhluk itu. Serangkaian mata menatapnya lekat. Tiba-tiba, Aro merasa iba. Mata-mata itu tidak menyerangnya dengan pandangan mengancam. Sinar mata makhluk itu seperti sedang memohon.

Tabib Jenazah memukul punggung Aro dengan keras, membuat tubuh anak laki-laki itu tergelincir dan jatuh tepat di depan salah satu kaki.

Dalam sekejap, tangan Aro dicengkeram, begitu kuat sampai Aro meringis.

Meski panik, Aro yakin Laba-laba itu bicara dengannya. "Tolong, selamatkan ...."

"Kalian dengar itu?" desisnya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro