Kerangka Tanpa Kepala
Kerangka Tanpa Kepala
Alkisah, Awuwukha adalah raksasa pemenggal kepala yang meresahkan dunia manusia. Raja Sirao, penguasa Tano Niha menyegelnya di dunia bawah, tempat arwah-arwah mempertanggungjawabkan perbuatan mereka semasa hidup. Kerangka itu hanya berupa susunan tulang tanpa daging. Kepalanya adalah lidah api hijau. Awuwukha membawa 5 Buni, para pelayanannya. Mereka adalah si pembaca, si penari, si penjaga, si perupa, dan tukang masak.
Sekarang, di mana pohon itu? Aro menggali ingatannya. Nenek hanya bercerita bahwa pohon itu tidak bisa secara utuh dilihat mata.
Mungkin, akarnya setinggi badan Aro. Mungkin batangnya selebar rumah. Mungkin daunnya bahkan menutupi langit. Entahlah, Aro tidak tahu.
Sejenak, nyalinya ciut. Ia sendirian, di dunia yang asing. Berada di kolong rumah yang hanya pernah dilihatnya di buku-buku IPS tentang rumah adat. Terancam ditangkap pula oleh prajurit tanpa kepala.
Mengendap-endap, Aro bergerak dari satu tiang penopang ke penopang yang lain. Keringat dingin sudah membasahi kaosnya. Di dekapnya erat-erat telur itu. Telur dalam tas berdenyut dengan irama teratur. Aro jadi sedikit tenang.
Kini, ia berjongkok di balik satu tiang raksasa dan berpikir. Misinya adalah menaruh telur ini ke pohon Liagra. Di pohon itu ada sarang laba-laba Andaria. Tentu telur ini tahu jalan menuju sarang, bukan? Bukankah seperti pulang ke rumah? Bisa jadi telur ini seperti penyu yang bisa kembali ke tempat dilahirkan? Uum ... ditetaskan?
Sebersit harapan muncul, dikeluarkannya pelan-pelan telur dari dalam tas.
"Sekarang, kamu harus membantu. Kita harus ke mana?" Aro berbisik.
Telur bergeming di tangannya.
Bibir Aro mengerucut. Tadinya ia berharap telur itu menjadi hidup, melayang dan berjalan menuntunnya ke arah Pohon Liagra. Namun kesadaran yang datang kemudian memukulnya dengan telak. Jika telur ini bisa pulang sendiri, apa gunanya Aro terlibat dalam misi pemulangan ini?
Kini Aro duduk di tanah, menatap telur sambil berpikir.
Telur tadi bereaksi ketika mereka ada di pondok Tabib Jenazah, lalu berpendar dan terbang ketika Sikhe membuka portal. Apa yang Tabib Jenazah dan Sikhe lakukan?
Tabib Jenazah tidak melakukan apa-apa, kakek itu hanya memijit perut laba-laba Andaria.
Sikhe tadi bernyanyi dan menari. Haruskah Aro melakukannya?
Aro memutar kepala, waspada apakah ada kemungkinan prajurit kerangka itu lewat. Sepertinya aman karena belum lama mereka melintas.
Dengan gugup, ditaruhnya telur itu di tanah. Aro berdiri dengan kikuk, ia mencoba mengingat-ingat bagaimana gerakan Sikhe ketika pusaran angin datang.
Gerak tari Sikhe sama dengan tarian Nenek. Tari Moyo, seperti elang.
Aro mengembangkan tangannya, mulutnya bergumam menirukan bunyi-bunyian yang diingatnya. Hanya bunyi gong yang ia ingat. Tidak satu pun nyanyian Sikhe yang bisa ia tiru.
Setelah beberapa gerakan, Aro mulai putus asa. Telurnya tidak bergerak.
Mungkin ia harus bernyanyi. Namun, lagu apa? Ia tidak tahu banyak lagu dalam bahasa Nias. Hanya satu dua lagu pendek. Itupun lagu anak-anak.
Aro mengembuskan napas kasar. Apa salahnya dicoba.
Mula-mula Aro memejam, membayangkan Papa dengan suara sumbangnya sedang duduk di pinggir ranjang. Namun, ia menelan ludah. Lebih baik jangan lagu Papa.
Aro lalu mengingat Nenek, yang selalu bersenandung tiap kali ia berangkat sekolah untuk pertama kali sesudah liburan. Lagu tentang berangkat sekolah.
Aro bergumam, makin lama syair lagi itu mengalir lancar dari bibirnya.
Bozi ene so masodo moi mondri do ba hele
Mangawuli drao manga, mofanodo ba sekola
Aro makin percaya diri. Gumaman beralih menjadi suara lirih.
Tak ada yang terjadi dengan telurnya.
Apakah Aro harus menari? Ide itu membuat Aro dongkol.
Tarian elang dengan nyanyian berangkat sekolah, sangat tidak nyambung.
Namun, di saat seperti ini, apa pun akan Aro coba. Lagi pula tidak ada yang melihatnya. Aro tidak perlu malu.
Sambil berdeham, Aro mulai bernyanyi. Tangan dikembangkan, tumit diangkat. Aro menirukan gerakan elang yang terbang di angkasa. Lambat-laun ia merasa semilir angin membelai lembut wajahnya. Aro berhenti bernyanyi tetapi terus menari. Jantungnya berdetak kencang takala dilihatnya telur itu mulai bercahaya dan naik ke udara.
Telur Laba-laba Andaria mulai bergerak lambat. Aro menghentikan tariannya.
Tak diduga, angin yang tadinya semilir menjadi deru ringan. Telur itu bergerak makin cepat. Aro tersandung-sandung mengikutinya. Telur itu melayang melliuk-liuk dengan gerakan tak terduga, kadang melesat tinggi, kadang menukik tajam, membuat Aro cemas sampai gemetar. Makin lama telur itu melaju dengan kecepatan tinggi. Sekarang, Aro harus berlari.
"Tunggu... tunggu.. jangan terlalu cepat!!" seru Aro tertahan. Jantungnya berdebar kencang seiring kelatap kakinya menyusuri jalan di tengah desa.
Mata Aro hanya fokus kepada telur yang melayang, tak dihiraukannya pemandangan sepanjang jalan itu. Ia hanya cemas jika ada patroli prajurit kerangka yang tiba-tiba muncul.
Telur itu membawa Aro ke jalan yang lebih lebar menuju salah satu rumah besar melintasi lapangan yang diterangi obor yang temaram. Tengkuk Aro meremang ketika hendak melintasinya. Suasana tanah lapang sepi, Aro bahkan tidak merasakan angin berembus. Keheningan yang membuatnya jeri.
Namun, telur itu terus melaju. Aro menjaga jarak. Allih-alih berlari, Aro berjalan cepat mengikuti si telur.
Tepat di tengah lapangan, suara gemerincing sontak membuat jantungnya melompat. Samar-samar dilihatnya sesosok sedang celingukan di pinggir lapangan. Aro hendak berlari mencari tempat sembunyi ketika sosok itu tiba-tiba menunjuknya.
Kepalanya langsung kosong seketika. Aro membeku. Kakinya terpancang di tanah.
Sosok itu sama dengan prajurit tanpa tengkorak yang dilihatnya tadi. Bedanya, kerangka itu memakai jubah bersulam motif pakis berwarna merah emas.
Aro tahu, meski tanpa kepala, kerangka itu tetap bisa mendengar dan melihatnya.
Ia mundur perlahan. Fokusnya terpecah dua. Sudut matanya masih bisa menangkap cahaya telur yang berkedip makin jauh dari tempatnya berdiri.
Aro mengumpulkan keberanian. Begitu si kerangka berderap menghampirinya, Aro memelesat berlari mengejar si telur.
Kerangka itu mengerluarkan suara seperti geraman. Aro berlari ketakutan.
Telur itu membawanya ke sebuah aula yang luas. Seperti balairiung dengan guci-guci besar berjajar di kanan-kiri. Aro terbelalak ketika telur itu mendadak oleng, meliuk-liuk meluncur ke bawah dengan perlahan.
Refleks, Aro menjatuhkan diri, tangan tengadah menangkap si telur sebelum terempas di lantai.
Kelegaan hanya bertahan sebentar, Aro langsung terbirit-birit mencari tempat bersembunyi ketika kerangka berjubah itu masuk.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro