Chapter 5
"Aku ingin melihatmu tersenyum,
Meskipun aku tidak tersenyum sedikitpun."
Lim Jeong Hee - Scent Of A Flower
Satu tahun yang lalu, apartemen nomor 127 termasuk apartemen dengan penghuni yang paling tenang. Memang dulunya apartemen itu hanya dihuni oleh dua laki-laki bujangan, yang sama-sama sibuk kuliah dan bekerja serta jarang berada di apartemen. Namun sekarang, setelah kehadiran Nora, apartemen itu jadi langganan kena tegur.
Apartemen itu selalu ramai dari pagi sampai tengah malam. Bagaimana tidak ramai? Kalau apartemen tersebut selalu diisi para laki-laki yang belum ahli dalam mengurus bayi. Ada saja keributan yang muncul, entah berdebat giliran yang mengganti popok, sampai bingung bagaimana cara membuat susu.
Di apartemen yang kecil dan tidak kedap suara itu, Jaehyun dibantu teman-temannya mengurus Nora. Bayi berumur satu tahun itu belum dapat mengurus dan menjaga dirinya sendiri, jadi jika Jaehyun atau Jungwoo bekerja maka Johnny, Taeyong, Doyoung, akan bergantian menjaga Nora.
Seperti hari ini, Johnny yang tengah memakai celemek di depan tungku api kebingungan bagaimana cara memasak bubur bayi. Padahal sebelumnya, ia sudah diberi resep bubur bayi dan cara memasaknya oleh Jaehyun. Namun, sekali bingung tetaplah bingung, itulah sifat Johnny.
"Ah! Yak! Kim Doyoung! Cepat ke sini!" Johnny menghela napas kesal. Ia melihat jajaran sayur dan dada ayam yang sedari tadi belum disentuhnya semenjak keluar dari mesin pendingin.
Johnny diam sesaat menunggu Doyoung menghampirinya ke dapur. Namun, yang didapatkan oleh Johnny justru Doyoung tak segera datang, tapi asik dengan lagu tiga beruang yang diputarnya terus-menerus.
Johnny geram, sampai-sampai melepas dan melempar celemeknya di meja. "Kim Doyoung kau benar-benar ingin aku masak jadi bubur bayi, ya?!" Johnny berjalan keluar dari dapur, dan berbelok ke ruang tengah tempat Doyoung sedang bermain dengan Nora.
Doyoung memakai topi beruang dengan piyama berwarna merah muda yang amat mencolok mata Johnny. Pria berumur dua puluh tiga tahun itu berdiri, dan menari-nari di hadapan Nora yang duduk di stroller baby.
Melihat itu, rahang bawah Johnny rasanya ingin copot. Johnny mengaga. "Kau sedang apa? Kau tampak bodoh!" Johnny bersungut-sungut. Ia menatap punggung Doyoung dengan tatapan iba sekaligus ngeri.
"Gom sema ri-ga, han chibe yiseo. Appa gom." Doyoung menunjuk dirinya sendiri. "Eomma gom." Doyoung berbalik dan menunjuk Johnny di belakang, kemudian dihadiahi sebuah tatapan tajam oleh Johnny. "Aegi gom." Doyoung mencubit gemas kedua pipi Nora.
Doyoung tidak peduli, laki-laki itu tetap menyanyi dan menari, padahal ada Johnny yang sejak tadi diam memerhatikannya. "Appa gommun tung-tunghae!" Doyoung menepuk perutnya sendiri.
"Eomma gommun nalshinhae!" Doyoung memukul pantat Johnny, hingga membuat Johnny terperanjat dan naik pitam.
"Dia gila, astaga aku tidak tahan lagi. Jaehyun pulanglah, Doyoung sudah gila," rengek Johnny, kemudian ia menjatuhkan tubuhnya di lantai dan terduduk dengan memelas. "Hentikan! Tolong berhenti!" Johnny menarik-narik kaki Doyoung dengan brutal.
Sedetik kemudian, Doyoung melempar topi beruang ke wajah Johnny. "Berisik!" Doyoung berkacak pinggang. "Kau pikir, aku tidak lelah harus bernyanyi lagu ini terus?! Mulutku hampir berbusa, dan pita suaraku sudah mau copot. Sedangkan kau masak saja banyak protes!" amuk Doyoung, yang kemudian ikut duduk di samping Johnny.
Tak lama sejak Doyoung berhenti menyanyi, Nora pun menangis. Sontak Doyoung menatap Johnny pasrah. "Kau lihat? Dia akan menangis jika aku berhenti menyanyi. Ya Tuhan, Nora sangat menggemaskan, tapi jangan sampai sifat Jaehyun yang menyebalkan itu harus menurun ke pada gadis kecil yang lucu ini." Doyoung mengacak-acak rambutnya frustrasi.
Johnny menatap Nora dengan tatapan kosong. "Aku belum siap jadi ayah." Tiba-tiba saja Johnny terbayang bagaimana ia jadi ayah nanti, ia takut jika ia akan serepot ini. Ini yang membuat Johnny salut ke pada Jaehyun, laki-laki yang seumuran dengannya harusnya menikmati masa muda, justru harus merawat anak sendirian.
"Aku juga," sahut Doyoung.
Karena melihat Nora yang menangis terus, Johnny pun bangkit dari duduknya lalu mengeluarkan Nora dari stroller baby, dan menggendongnya. "Kau lapar? Ayo kita makan, apa kau sudah bisa makan ramyeon?" tanya Johnny dengan polosnya. Johnny benar-benar sudah angkat tangan jika berurusan dengan makanan bayi.
"Bodoh! Yang benar saja!" cicit Doyoung. Akhirnya Doyoung pun ikut berdiri dan tidak lupa mengambil topi beruangnya yang tergeletak di lantai. "Aku saja yang masak, kau yang bernyanyi." Doyoung memakaikan topi beruang itu di kepala Johnny dengan asal.
Melihat Doyoung yang melenggang pergi, Johnny langsung mengikuti Doyoung dari belakang. "Aku tidak bisa!" Johnny merengek lagi. Kali ini apartemennya dipenuhi dengan tangisan Nora, dan rengekan Johnny.
Doyoung pura-pura tuli, dan memakai celemeknya dengan anggun bak koki handal. "Nora-ya, Paman akan memasakkan bubur ayam terenak segedung apartemen ini, oke? Jadi jangan menangis terus, ya?" Doyoung mengambil dada ayam, dan pisau di meja lalu beralih menatap Johnny. "Bernyanyi atau kutusuk kepalamu!" Doyoung menyeringai, seolah sedang memerankan tokoh psikopat di film.
Akhirnya Johnny pun mengalah, ia duduk di kursi dengan Nora yang ada di pangkuannya, lalu kemudian Johnny pun mulai bernyanyi. Benar kata Doyoung, Nora akan berhenti menangis bila ia dinyanyikan lagu tiga beruang. Buktinya begitu Johnny bernyanyi sampai setengah lagu, Nora duduk diam dan tidak menangis.
Sementara Johnny terus bernyanyi, dan Doyoung memasak, tiba-tiba seseorang membuka pintu apartemen. Dari wangi parfum yang tercium, Johnny mampu menebak siapa yang datang. Ya, dia Taeyong.
Taeyong berjalan masuk ke dapur, dan ikut duduk di sebelah Johnny. "Aku berulang-ulang mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Pintunya juga tidak terkunci." Taeyong melepas jaketnya, kemudian meletakannya di meja. "Kau sedang apa?" tanya Taeyong yang melihat Johnny.
"Dia sedang menjadi radio untuk Nora," sahut Doyoung yang sedang memotong-motong sayur.
Taeyong masih bingung dengan maksud ucapan Doyoung. "Aku tidak paham."
"Nora akan menangis kalau kami berhenti bernyanyi, jadi aku dan Johnny saling bergantian untuk bernyanyi." Doyoung menatap Taeyong, memastikan apakah laki-laki di hadapannya itu sudah paham maksudnya atau belum.
Melihat Johnny yang terus bernyanyi, membuat Taeyong tertawa. "Kalian ini bodohnya murni meresap sampai ke aliran darah ya?" Taeyong menggeleng kepala tak habis pikir, laki-laki itu mengeluarkan ponselnya, dan menyetel lagu tiga beruang lewat mp3 player ponselnya. "Percuma kaya tapi bodoh, teknologi digenggaman. Tapi jiwa kalian tertinggal di jaman Joseon," sindir Taeyong.
"Siapa?" tanya Johnny dan Doyoung bersamaan.
Melihat respons spontan yang tak terduga dari dua temannya, Taeyong semakin yakin bahwa Doyoung dan Johnny benar-benar sejiwa bodohnya. "Memangnya siapa lagi di sini anak orang kaya tapi bodoh selain kalian berdua?"
Doyoung menatap Taeyong sengit, ingin rasanya melemparkan spatula ke wajah tampan Taeyong. "Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Doyoung, mengalihkan niat kotornya untuk menghantam Taeyong.
"Biasa saja, monoton." Taeyong mengambil gelas kosong, kemudian menuangkan air putih ke gelasnya. "Ah, aku menyesal menjadi reporter," ucap Taeyong, kemudian meneguk minumnya hingga tandas.
Johnny mengusap-usap puncak kepala Nora sembari menyimak keluhan Taeyong. Tak biasanya Taeyong mengeluh, karena biasanya ia menyimpan masalahnya sendiri. "Jangan menyesali pilihanmu Taeyong-a, kau yang memilih pekerjaan ini sebulumnya, 'kan?" Johnny membetulkan posisi pangkuan Nora. "Persaingan di pekerjaan sangatlah keras, aku mungkin belum pernah merasakannya, tapi semangatlah!" Johnny menepuk punggung Taeyong, seolah ia memberikan dorongan tenaga untuk temannya.
Taeyong menyunggingkan bibirnya, lalu ia menatap Nora. "Kapan Jaehyun pulang?" tanya Taeyong.
"Sebentar lagi," jawab Johnny.
Taeyong mengangguk-anggukan kepalanya. Usai kelulusan, Jaehyun berubah jadi orang yang benar-benar gila kerja. Tidak peduli berapa besar gajinya, asal ada pemasukan Jaehyun tidak pernah mengeluh. "Ah, dia sangat sibuk. Jarang bisa berkumpul seperti dulu," ucap Taeyong.
Doyoung mengangkat panci yang berisi bubur itu ke atas meja, sembari sesekali meniup uap panas yang dihasilkan dari buburnya. "Bukan hanya Jaehyun. Kita semua sibuk. Kau, Jungwoo, dan Jaehyun sibuk bekerja, Johnny dan aku sibuk melanjutkan kuliah. Kapan-kapan kita harus meluangkan waktu agar bisa bekumpul seperti dulu."
Taeyong setuju dengan itu. Semakin bertambahnya umur, dan kesibukan—waktu berkumpul bersama teman juga semakin minim. "Ah iya jangan lupakan, bahwa kita bertambah satu member. Si kecil Nora." Taeyong mengacak-acak gemas rambut Nora.
**
Jaehyun yang baru saja pulang dari kantor itu langsung membereskan apartemen. Laki-laki itu sangat bersyukur karena teman-temannya bersedia membantu menjaga Nora. Saat ini Jaehyun hanya berdua dengan Nora di apartemen, karena teman-temannya sudah pergi, dan Jungwoo belum pulang karena ada perkumpulan dengan teman-teman kantornya.
Jaehyun mengerjakan tugas kantor seraya menunggu ramyeon-nya matang, ia malas harus memasak makanan yang lain. Jadi, ramyeon adalah solusi saat lapar menyerang. Jaehyun duduk di ruang tengah bersama dengan Nora yang duduk di pangkuannnya. Bayi itu duduk manis, tidak merengek sekali pun, dan yang dilakukannya hanya diam menunggu sang ayah menyelesaikan pekerjaannya.
Jaehyun melirik jam dinding, seketika ia tersadar kalau sedang memasak ramyeon. Dengan buru-buru Jaehyun menepikan pekerjaan, dan membuka tutup cup ramyeon-nya. Benar saja ketika tutup cup-nya terbuka, ramyeon di dalamnya sudah mengembang, dan kuahnya menjadi sedikit.
"Bagaimana ini? Nora kenapa tidak mengingatkan Ayah kalau ramyeon-nya sudah matang sejak tadi?" tanya Jaehyun ke pada Nora, namun bayi itu belum bisa bicara, sambil melihat uap ramyeon yang berlomba-lomba keluar dari cup.
Jaehyun menyuapkan ramyeon ke dalam mulutnya. Tidak apa bila kematangan, lagi pula rasanya juga tetap sama. Jaehyun menyantap makanannya sembari memangku Nora, ini sudah menjadi kebiasaan Jaehyun sehari-hari. Mengerjakan pekerjaan kantor, makan, sampai bersantai pun Jaehyun selalu ditemani Nora.
"Nora-ya, kalau sudah besar jangan bosan-bosan menemani Ayah makan ya?" Jaehyun mengusap puncak kepala Nora dengan lembut. "Nanti kalau Nora sudah dewasa, kita makan ramyeon bersama-sama ya?" Jaehyun tersenyum gemas. "Iya, Ayah," jawab Jaehyun dengan suara yang dibuat-buat seperti anak kecil.
Saat Jaehyun sedang menghabiskan makanannya, tiba-tiba terdengar samar-samar Nora yang menguap. Bayi itu mengantuk, dan membuat Jaehyun cepat-cepat menghabiskan makanannya.
"Anak Ayah sudah mengantuk?" Jaehyun bertanya, ia menaruh cup kosong bekas ramyeon di meja, lalu menggendong Nora. Selanjutnya Jaehyun meninggalkan pekerjaannya di ruang tengah, dan pergi ke kamar mandi dulu sebelum masuk kamar.
Jaehyun menyalakan keran air, lalu membasuh wajah, tangan dan kaki Nora. Hal itu sudah menjadi kebiasaan Jaehyun ke pada Nora tiap malamnya. "Nah, sudah bersih. Ayo sekarang tidur!" ucap Jaehyun dengan riang. Ia menggendong Nora, dan membawanya masuk ke kamar, kemudian menidurkannya di ranjang.
Tangan Jaehyun menarik selimut yang terlipat di ujung ranjang, kemudian menutupi tubuh Nora dengan benda tebal nan halus itu. Karena ingin membuat anaknya tidur, Jaehyun pun menidurkan dirinya di samping Nora. Jaehyun menepuk-nepuk pantat Nora, sesekali ia juga mengusap punggung anaknya itu dengan lembut.
"I can show you the world, shining, shimmering, splendid. Tell me princess, now when did you last let your heart decide ...." Jaehyun menggenggam tangan kecil Nora, kemudian menciumi tangan bayi itu dengan penuh kasih sayang.
"I can open your eyes, take you wonder by wonder. Over sideways and under on a magic carpet ride ... a whole new world, a new fantastic point of view ...." Jaehyun semakin mendekap tubuh Nora ke dalam pelukannya. "No one to tell us 'No' or where to go ... or say we're only dreaming."
Bagaikan sebuah kewajiban, Jaehyun selalu menyanyikan lagu tiap menidurkan Nora. Bahkan terkadang, jika Nora sudah memejamkan matanya, Jaehyun masih terus bernyanyi. Laki-laki itu ingin memastikan putri kesayangannya benar-benar terlelap dengan nyenyak.
Sayang, jika sudah besar nanti, tolong bahagia selalu ya? Karena Ayah sudah menyerahkan seluruh hidup Ayah untuk Nora ....
**
Jungwoo membuka pintu apartemennya, dan masuk ke dalam. Laki-laki itu setengah mengantuk, karena sempat minum beberapa gelas sebelum pulang. Saat Jungwoo menapakkan kaki di ruang tengah, ia melihat Jaehyun yang tertidur di depan laptopnya yang masih menyala.
"Jaehyun-a, bangun." Jungwoo meletakkan tasnya di lantai, ia duduk di samping Jaehyun yang sedang memejamkan matanya. "Bangun, pindah ke kamar. Aku mau tidur di sini. Kamarku panas," keluh Jungwoo.
Berhubung tidurnya belum terlalu lama, jadi mudah bagi Jaehyun untuk bangun. Ia mengerjapkan mata, dan menyingkirkan helaian rambut dari keningnya. "Jam berapa ini?" tanya Jaehyun, matanya yang lelah itu mencoba menatap Jungwoo.
Jungwoo yang tak kuasa lagi menahan kantuk langsung mengambrukan badan di lantai. "Tengah malam, mungkin. Aku tidak tahu," ucap Jungwoo yang kemudian hilang kesadarannya.
Melihat Jungwoo yang sudah pulas, Jaehyun pun membereskan pekerjaannya dari meja. Karena Jungwoo tidur tanpa alas apapun, Jaehyun mengambil selimut kemudian menutupi tubuh Jungwoo dengan selimut itu.
Sebelum melanjutkan tidurnya di kamar, Jaehyun membersihkan wajahnya dan menggosok giginya. Baru saja laki-laki itu selesai membersihkan diri, terdengar suara tangisan Nora, dan langsung saja Jaehyun bergegas ke kamar padahal ia belum mengeringkan wajahnya.
"Hei kenapa menangis?" Jaehyun menggendong tubuh Nora, dan memeluknya. "Nora bermimpi buruk?" tanya Jaehyun. Tangannya mendekap Nora sekaligus mengusap-usap kepala anaknya itu.
Setelah berhasil ditenangkan, Jaehyun pun membawa Nora mendekat ke jendela. Laki-laki itu membuka tirai yang menghalangi sinar bulan yang masuk lewat kaca. "Lihat, bulannya terang, bukan?" Jaehyun menatap Nora. "Dulu, Nora lahir saat bulan sedang terang-terangnya seperti ini," ucap Jaehyun. Jemarinya menyisir lembut rambut tipis Nora.
Mendadak Jaehyun jadi teringat tahun lalu, ketika Rose akhirnya memilih jalannya sendiri dan menelantarkan Nora. Rasa sakit itu belum sepenuhnya sembuh, Jaehyun masih saja terus mengingat-ingat kejadian yang memilukan itu. Keluarga, kekasih, dan sahabatnya, dalam satu malam berhasil menghancurkan perasaannya.
"Nora ...." Jaehyun memanggil Nora, sayangnya si pemilik nama justru hanya diam saja dan sibuk memerhatikan pantulan wajahnya di jendela.
"Jika suatu hari, Ayah melakukan kesalahan dan mengecewakanmu. Janji jangan pernah meninggalkan Ayah apa pun masalahnya, ya? Kita tinggal berdua, Ayah hanya punya kamu." Jaehyun mengeratkan pelukannya, dan mencium pipi Nora. Jaehyun tidak dapat membayangkan, bagaimana kondisinya, bila Nora tidak ada. Karena satu-satunya yang ia punya saat ini hanya Nora, hidupnya pun diabdikan pula untuk membahagiakan putrinya.
Adududuhhh ini uncle nyaa Nora gak mau punya Aunty nih?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro