Chapter 29
Jaehyun selalu ingin menjadi ayah yang baik untuk Nora sekaligus kekasih yang penuh perhatian. Maka dari itu, ke mana pun Jaehyun pergi ia selalu mengajak Nana dan Nora. Seperti hari ini, bagaikan keluarga kecil yang bahagia, Jaehyun membawa dua perempuan yang amat dicintainya itu ke Coex Aquarium.
Sebetulnya ini adalah janji Jaehyun kepada Nora untuk mengajak gadis kecil itu berjalan-jalan untuk melihat ikan hiu favoritnya. Di sisi lain, Jaehyun juga mengajak Nana karena bertemu di kantor setiap hari saja tidak cukup menebus rasa rindu.
Tak terasa waktu berjalan, Nana mengira kalau ini masih pukul tujuh malam, tapi ternyata sudah pukul sembilan.
Nana melihat jam tangan hitam miliknya dengan tatapan sedih. Sebentar lagi mereka akan pulang, itu artinya ia akan berpisah dengan Jaehyun. Mengetahui itu Nana langsung memeluk lengan Jaehyun, dan menyandarkan kepalanya di bahu kekasihnya.
Karena tiba-tiba lengannya dipeluk erat oleh Nana, Jaehyun yang sedang menggendong Nora itu akhirnya menoleh ke samping, melihat kepala Nana yang kini menempel di bahunya seperti anak kecil yang takut tersesat.
"Kenapa?" tanya Jaehyun.
Rasanya untuk Nana bernapas saja berat. Padahal ia tahu kalau besok pagi juga akan bertemu lagi dengan Jaehyun di kantor, tapi tetap saja tidak bisa Nana menyingkirkan rasa sedih yang menyerangnya.
"Tidak ada," kata Nana lirih, dan semakin memeluk lengan Jaehyun erat.
"Ini sudah malam, dan mall ini sebentar lagi akan tutup." Jaehyun melirik Nana yang semakin memajukan bibirnya setelah mendengar ucapan Jaehyun barusan. "Aku antar pulang, lalu akan aku telepon setelah aku sampai rumah. Oke?"
Bukannya menanggapi, Nana justru hanya diam dan terus saja berjalan sambil memeluk Jaehyun.
"Ayah kita akan pulang?" tanya Nora.
"Iya, Sayang. Karena sudah malam," jawab Jaehyun.
Nora memperhatikan Nana dan ayahnya bergantian. "Nana pulang juga?" tanya Nora.
Mendengar Nora yang bertanya seperti itu pada Jaehyun, Nana hanya bisa tersenyum tipis. Sebetulnya ia juga tidak ingin pulang.
Jaehyun mengangguk pelan. "Nanti kita mengantarkan Nana pulang ke rumahnya dulu, ya?" Jaehyun menatap Nora, dan mengusap kepala putri kecilnya itu.
Ternyata jawaban Jaehyun justru membuat Nora sedih. Raut gadis kecil itu bahkan berubah jadi murung. "Tapi aku tidak mau Nana pulang," ucap Nora.
Nana menatap Nora yang sebentar lagi akan menangis.
"Nana harus pulang, Sayang," ucap Jaehyun.
"Tapi aku tidak mau Nana pulang!" tangis Nora semakin kencang, dan kali ini Nora juga berteriak.
Jaehyun menghela napasnya, dan mencoba bersabar untuk menasihati Nora. "Bagini, Sayang—"
"Aku tidak mau Nana pulang, Ayah!" teriak Nora, hingga membuat Jaehyun dan Nana saling berpandangan.
"Wakil Direktur, bagaimana ini?" tanya Nana, namun akhirnya tidak dijawab oleh Jaehyun.
Melihat mobilnya tak jauh lagi, Jaehyun merogoh sakunya dan membuat Nora menangis semakin kencang. Pada saat Jaehyun ingin mengambil kunci mobil, pria itu justru kedapatan melihat wajah Nana yang kini menatapnya dengan sendu.
"Kenapa?" tanya Jaehyun.
"Tidak ada, ayo kita pulang," ucap Nana.
Jaehyun membuka pintu mobilnya, dan memasukkan Nora yang kini masih menangis dan memberontak memukul dada Jaehyun—berharap ayahnya mau menurutinya.
Karena Nana merasakan atmosfer yang tak biasa, dan melihat wajah Jaehyun jadi lebih datar, Nana pun takut. Dari pada semakin membuat Jaehyun semakin pusing, Nana pun masuk ke mobil tanpa banyak bicara.
Jaehyun melirik jam tangannya dan cepat-cepat masuk ke mobilnya, mengingat sesampainya di rumah ada pekerjaan yang menanti.
Tapi baru saja Jaehyun mendaratkan bokongnya di kursi, pria itu sudah disambut dengan tangisan Nora yang semakin kencang.
"Nora," panggil Jaehyun, berharap jika putrinya dipanggil maka akan segera diam. Namun yang didapat justru tangisannya itu semakin kencang.
Nana yang melihat Nora menangis hanya bisa mengusap-usap kepala gadis kecil yang kini sedang memeluk lehernya dari belakang, seperti tak ingin pisah. Apakah Jaehyun akan tetap diam saja melihat putrinya menangis?
Jaehyun menatap Nora dan Nana bergantian, dan sebuah helaan napas lolos dari bibir pria itu.
"Kenapa?" tanya Nana.
"Kau mau pulang ke rumahku, dan menginap saja semalam? Karena Nora sepertinya akan terus menangis. Bagaimana?" tanya Jaehyun setelah berpikir panjang.
Napas Nana tercekat, kedua bola matanya melebar ketika mendengar tawaran tak terduga itu keluar dari bibir Jaehyun. Pendengarannya seolah tersumbat, dan yang terdengar hanyalah ritme jantung di dada Nana yang semakin cepat.
"Mau atau tidak?" tanya Jaehyun sekali lagi, karena Nana tak lekas menjawab.
"I-Iya aku mau," ucap Nana dengan pipi yang memanas, dan senyum yang tertahan.
"Okay, then let's go home, Baby." Jaehyun terkekeh setelah menyebut Nana dengan panggilan sayang untuk pertama kalinya. "Bercanda, aku hanya ingin menggodamu sesekali," ucap Jaehyun.
Nana mengangguk seraya tersenyum, wanita itu sudah salah tingkah dipanggil dengan sebutan itu. Walau hanya sebatas bercanda, tubuh Nana merespons dengan degup jantung yang bergejolak, serta sekujur tubuhnya kaku.
"Ya, aku juga tahu kalau kau bercanda, Haha." Nana tertawa hambar, menutupi salah tingkahnya di hadapan Jaehyun.
Jaehyun menoleh ke belakang melihat Nora yang masih menangis. "Nana akan ikut pulang bersama kita ke rumah, Sayang." Jaehyun mengusap puncak kepala Nora. "Sudah ya, jangan menangis. Ayah ikut sedih jika melihat Nora menangis," sambung Jaehyun.
Wanita yang sejak tadi dipeluk Nora itu tak tinggal diam, dan ikut mengusap kepala Nora. "Aku ikut pulang bersamamu, nanti kita gosok gigi bersama-sama ya," ucap Nana.
**
Nana telentang menatap langit-langit kamar Jaehyun, entah sudah berapa lama wanita itu terjaga. Sebetulnya saat ia baru saja satu jam menginjakkan kakinya di apartemen Jaehyun, saat itu juga Nana menyesali pilihannya untuk tidak pulang ke apartemennya sendiri.
Heran matanya tak terasa lelah sama sekali, rasa kantuk yang ia nanti-nantikan tak kunjung datang. Padahal lampu kamar sudah ia padamkan agar memancing rasa kantuknya. Tapi nihil. Ini sudah tengah malam, dan Nana hanya berguling-guling di atas tempat tidur, sembari menahan-nahan pikirannya tak melayang ke mana-mana.
"Ah, mungkin dengan minum air putih akan membantu untuk cepat tidur," ucap Nana.
Akhirnya wanita itu memilih meninggalkan kamar dan menuju ke dapur untuk mengambil minum, tapi ketika dalam perjalanan menuju dapur—Nana melihat pintu ruangan kerja Jaehyun masih terbuka sedikit, dan lampunya masih menyala.
Karena penasaran, niatnya untuk mengambil minum ditunda dan Nana memilih berbelok ke ruang kerja Jaehyun, barangkali pria itu masih terjaga juga sama dengan dirinya.
Nana mengintip dari celah pintu, dan benar, bahkan sekarang kekasihnya itu berubah jadi sosok pekerja keras lagi. Nana mengetuk pintunya sebanyak tiga kali.
"Aku boleh masuk?" tanya Nana sambil mengintip Jaehyun di depan pintu.
Tanpa berpikir panjang, Jaehyun mengangguk, membolehkan Nana masuk ke ruangannya. "Masuk saja." Dengan kacamatanya Jaehyun fokus menatap monitor di hadapannya.
Nana berjalan pelan menghampiri meja kerja Jaehyun, dan berdiri di samping kursi pria itu lalu ikut melihat apa yang ditampilkan monitornya sekarang.
Pandangan Jaehyun terhalang oleh rambut Nana, karena tubuh wanita itu sedikit merendah untuk melihat monitornya.
"Oh, kau sedang mengerjakan laporan untuk rapat minggu depan rupannya," ucap Nana.
Jaehyun mengangguk sembari menatap rambut panjang Nana yang tergerai di hadapannya. Aroma segar yang dihasilkan dari rambut Nana pun tercium, hingga membuat pria itu bersikeras menelan ludahnya.
Jaehyun menarik napasnya dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Pria itu mencoba mengembalikan lagi akal sehatnya.
"Nana-ya, kenapa kau belum tidur?" tanya Jaehyun, upaya mengalihkan perhatiannya.
Nana yang begitu sadar telah mengganggu pekerjaan Jaehyun langsung memundurkan tubuhnya.
"Ah, maaf." Nana menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, dan menundukkan kepalanya. "Aku terbangun," dusta Nana.
Jaehyun mengangguk paham. "Oke."
Lagi-lagi, Jaehyun kembali fokus mengamati rambut Nana. "Rambutmu terlihat lebih panjang dari saat pertama kita bertemu," ucap Jaehyun.
Rangkaian angka, laporan, dan pengeluaran, saham segalanya seakan menghilang dari kepala Jaehyun, dan menyisakan Nana. Rambut hitam panjang, piyama Jaehyun yang terlihat kebesaran di tubuh Nana, dan wajah lugu wanita itu—dalam sekejap mampu menghancurkan konsentrasi bekerjanya.
Nana memegang ujung rambutnya, dan mengangguk setuju. "Sebetulnya, aku ingin memotongnya karena—"
"Jangan!" sergah Jaehyun.
Bahu Nana terangkat lantaran terkejut dengan suara Jaehyun.
Jaehyun mengibaskan tangannya. "Jangan dipotong, biarkan panjang seperti itu, karena terlihat pantas untukmu," kata Jaehyun.
Nana yang sudah berdebar karena dibentak Jaehyun itu hanya mengangguk, dan sesekali cengar-cengir.
"Kau mau menemaniku bekerja?" tawar Jaehyun. Namun, sedetik kemudian ia menyesali ucapannya. Astaga Jung Jaehyun, kau ... benar-benar kacau.
Nana yang tidak bisa tidur, dan bingung harus bagaimana akhirnya menyetujui tawaran Jaehyun. "Boleh juga." Nana tersenyum. "Tapi, tidak ada kursi lagi di ruangan ini?" tanya Nana.
Jaehyun mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, dan benar hanya ada satu kursi dan sekarang ia pakai. Jaehyun menggaruk pelipisnya, bingung. Ia sudah terlanjur memberikan tawaran tanpa berpikir panjang.
"Nora juga suka menemaniku bekerja di sini, tapi ia duduk dipangkuanku. Maaf aku lupa kalau di sini tidak ada kursi lain," ucap Jaehyun.
Nana melihat meja Jaehyun yang terdapat sisi kosong di ujung, dan sebuah ide muncul di kepala wanita itu.
"Tidak apa-apa, aku bisa duduk di sini," ucap Nana, kemudian ia pun menduduki meja yang kosong itu, lalu memberikan senyuman manis kepada Jaehyun.
Jaehyun mengangguk. "Baiklah kalau itu pilihanmu," ucap Jaehyun. Ia membenahi kacamatanya dan menarik kursinya, kemudian kembali fokus pada pekerjaannya lagi.
Nana memperhatikan Jaehyun yang tengah bekerja itu dengan hati yang berbunga-bunga. Kapan lagi bisa menyaksikan seorang wakil direktur yang bekerja dengan piyamanya?
Sesekali tangan Nana membelai dan menyisir rambut Jaehyun dengan jemarinya. Semakin lama tangannya pun turun ke pipi dan mengusapnya lembut.
Jaehyun yang sudah berusaha keras membangun fokusnya itu, harus terpaksa runtuh akibat sentuhan tangan Nana di pipinya. Walau pandangannya lurus ke pekerjaannya, tapi di dalam kepalanya benar-benar kacau.
"Kenapa kau terus memainkan rambut, dan pipiku?" tanya Jaehyun.
Aliran darah di tubuh Jaehyun sedang tidak baik-baik saja. Apalagi ketika Jaehyun melirik ke arah Nana dari bawah, sialnya wanita itu semakin terlihat menawan walau penerangan di ruangan kerja Jaehyun tak terlalu bagus.
Nana tersenyum lebar. "Jung Jaehyun terlihat sangat tampan jika sedang bekerja," ucap Nana.
Sontak sebelah bibir Jaehyun terangkat setelah mendengar pujian Nana. Pria itu kemudian mengangkat dagunya dan menatap wanita yang sekarang duduk di meja kerjanya dengan intens.
"Aku tidak bisa bekerja," ucap Jaehyun. Lalu meraih tangan Nana, dan menuntunnya untuk turun dari meja.
Nana mengernyitkan dahinya, dan menuruti Jaehyun untuk turun dari meja kerja. Sepertinya ia menyadari bahwa telah melakukan kesalahan, karena mengganggu konsentrasi bekerja wakil direktur keuangan itu.
"Maaf aku sudah menggangu," ucap Nana, setelah kakinya menginjak lantai.
Jaehyun hanya diam dan menggelengkan kepalanya. "Lupa kalau aku tidak mudah menerima permintaan maaf orang dengan mudah?" Jaehyun masih menggengam tangan Nana.
Nana merasa bersalah, mengingat posisi dan pekerjaan Jaehyun tidak mudah dilakukan, tapi ia justru mengganggu pria itu ketika sedang bekerja.
"Maafkan aku," ucap Nana, lagi.
Melihat raut wajah Nana yang berubah jadi sedih itu membuat Jaehyun makin dibuat gemas. "It's okay," ucap Jaehyun lalu menarik Nana ke pangkuan dan memeluknya.
Jaehyun melepas pelukannya, begitu juga kacamatanya yang kemudian diletakkan di meja.
Berada di pangkuan, dan pinggang yang dipeluk oleh Jaehyun, membuat pipi Nana memanas. Wanita itu seperti tak sanggup jika harus berlama-lama menatap mata Jaehyun. Sekujur tubuhnya terasa lemas di pangkuan Jaehyun, dan bernapas lega pun tak mampu.
"Kau cantik sekali malam ini, sungguh," ucap Jaehyun.
Perlahan Jaehyun mulai terbiasa dengan debar-debaran di dadanya jika di dekat Nana. Bahkan pria itu mulai belajar menikmati tiap ritme detak jantung yang ia rasakan.
Jaehyun tak mampu menahan senyumnya ketika melihat wajah malu Nana yang sangat manis. Tak segan-segan pria itu meraih tangan kekasihnya, dan menciumnya. Jaehyun memandangi jemari Nana yang pas digenggamannya, seolah Tuhan sengaja menciptakan tangan Nana hanya untuk ia genggam.
"Kenapa selama ini aku tidak sadar, kalau aku punya wanita cantik yang selalu di dekatku?" Jaehyun memegang dagu Nana, dan menariknya mendekatkan wajah Nana.
Nana terlena dengan perlakuan Jaehyun yang manis. Melihat pria yang memangkunya saat ini sedang mengagumi tangannya itu, membuat hati Nana luluh. Mendapati tangannya dikecup manis oleh pria yang ia cintai benar-benar membuat Nana seakan jadi wanita paling bahagia.
Karena semakin terbawa suasana, Nana pun memberanikan diri mengalungkan lengannya di leher Jaehyun, dan membuat jarak keduanya semakin terkikis.
"Sebetulnya aku baru pertama kali berkencan, maka dari itu aku juga bukan pencium yang handal," ucap Nana.
Jaehyun tersenyum, dan menatap mata dan bibir Nana yang berwarna kemerahan itu. "Maka dari itu Tuhan mempertemukanmu denganku," ucap Jaehyun, kemudian mengusap pipi Nana lalu menarik dagunya dan mengecup bibir yang sejak tadi telah mencuri perhatian Jaehyun.
Nana membalas kecupan bibir Jaehyun, dan melumatnya pelan. Kemudian melepaskan ciumannya.
Jaehyun mengernyit, dan menatap Nana penasaran. "Kau berbohong, Nona, yang tadi itu apa?" tanya Jaehyun, lalu tertawa pelan.
"Aku tidak berbohong." Nana kemudian mengecup bibir Jaehyun lagi. "Lihat? Aku tidak berbohong," ucap Nana.
Jaehyun menggeleng tak habis pikir, sedangkan wanita yang dipangkuan hanya tertawa tanpa mengalihkan pandangannya.
Karena rasa gemasnya tak tertahankan lagi, Jaehyun menarik tengkuk Nana kemudian menghujani wajah Nana dengan ciumannya, yang kemudian berakhir di bibir kekasihnya itu.
Bibir dua sejoli itu saling bertautan cukup lama seolah menunjukkan siapa yang paling ahli dalam berciuman, hingga akhirnya Jaehyun menghentikan ciumannya agar Nana tak kehabisan napas, dan beralih menciumi pipi Nana.
Napas Nana terengah-engah di tengah aktivitas Jaehyun yang kini sedang menciumi pipinya. Karena refleks dan dibuat mabuk oleh ciuman Jaehyun, Nana mendekap kepala Jaehyun, dan benar-benar menikmati tiap ciuman yang diberikan pria itu.
Tak puas hanya dengan pipi, Jaehyun bergerak semakin ke bawah menciumi leher bawah telinga Nana, dan sesekali menggigit pelan leher itu hingga membuat Nana geli.
Setengah mati Nana menggigit bibirnya, menahan agar jangan sampai mengeluarkan suara. Tapi ciuman Jaehyun sungguh memabukan dan membuat tubuh Nana tak mau menuruti akal sehatnya. Hingga suara lenguhan lolos begitu saja dari bibir Nana.
Jaehyun tersenyum mendengar itu, namun tak lama kemudian sebuah ingatan tentang masa lalunya melintas hingga membuat pria itu menghentikan ciumannya.
Mengetahui Jaehyun menghentikan ciumannya, Nana yang tadi kelepasan itu langsung berusaha menutupi wajahnya dengan bersembunyi di dada Jaehyun.
Jaehyun menarik napasnya dalam-dalam, dan mengembuskannya—mencoba menyingkirkan perasaan sedih yang tiba-tiba datang itu.
"Aku mengantuk," ucap Nana yang kini sedang menyembunyikan wajahnya yang semerah tomat.
"Ayo aku temani kau sampai tidur, ya?" tanya Jaehyun, sembari mengusap kepala belakang, dan memeluk Nana. Jaehyun membenamkan wajahnya di ceruk leher Nana. "Kalau perlu aku bacakan dongeng kisah Rapunzel dan Pangeran tampan, agar kau bisa tidur dan tidak menggangguku bekerja lagi." Jaehyun terkekeh, dan mencium puncak kepala Nana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro